BAB VIII : RESERSE

Unit Reserse Poltabes Surabaya, 10.00 WIB

“Hai Ambon Manise!” seseorang menggebrak meja di mana Markus tengah membaca sebuah laporan dengan terantuk-antuk.

“Whoa!” Markus tersentak dari kursinya dan langsung ambil posisi berdiri.

“Begadang lagi Inspektur Markus?” tanya pria itu dengan mata usil.

Yang ditanya tampak memijit-mijit dahinya dengan ekspresi sebal, “Alex! Kau nyaris buat aku ketemu Tuhan.”

“Mustahil kamu mati secepat itu, Kus. Jadi ... berkas siapa yang kau tatapi sepanjang malam?”

Markus menyodorkan selembar layar hologram tipis ke hadapan Alex yang memunculkan tiga buah foto beserta sejumlah keterangan. Foto itu adalah foto seorang wanita muda berusia 30 tahunan yang dalam keterangannya dikatakan mati tenggelam. Tidak ada identitas yang ditemukan.

“Hmm ... wanita ini minggat dari suaminya dan sekarang hidup bersama seorang pria pengangguran,” Alex tampak manggut-manggut sejenak, “Kasus biasa, apa istimewanya?”

Mata Markus langsung melotot, “Kau kok bisa bilang ini kasus biasa.”

“Markus, kau pikir ada berapa orang yang dibunuh seperti dia? Setiap minggu setidaknya kita temukan satu. Dan Demi Tuhan, kita menemui jalan buntu untuk menemukan pelakunya!”  

“Mustahil kalian tidak tahu pelakunya Inspektur Alex. Saya di sini memang masih baru tapi ... masa kalian tidak tahu kalau pelakunya debt collector?”

“Debt collector? Kau jangan sembarangan menuduh tanpa bukti Markus.”

“Inspektur Markus,” seorang polisi lain memasuki ruang kerja Markus, “ini surat perintah yang anda minta,” ujar polisi itu sambil menyerahkan sebuah chip kepada Markus.

“Terima kasih,” Markus menancapkan chip itu pada arlojinya, “Nah sekarang Alex, kau mau ikut aku atau tetap di kantor?”

“Aku penasaran dengan temuanmu,” ujar Alex. Dua orang itu segera berjalan keluar dari kantor mereka menuju tempat parkir yang berada di basement.

*****

Pucang Anom – 11.00 WIB

Sebuah mobil station-wagon berhenti di sebuah gang sempit di daerah Pucang Anom. Mobil itu tampak sudah kusam dan usang sementara dua penumpang mobil yang turun beberapa saat kemudian menimbulkan kesan seram bagi orang-orang yang duduk di sekitar situ. Pakaian mereka layaknya seorang tukang pukul bayaran, berjaket kulit, bercelana kain longgar dan berkaus merah. Beberapa supir taksi yang tampak duduk santai sambil menikmati segelas kopi tampak buru-buru pindah dari duduknya begitu melihat kedua orang itu. Seorang ibu pemilik warung tampak memalingkan mukanya dari kedua orang tersebut dan buru-buru menyibukkan diri dengan menggoreng kerupuk.

Dua orang itu memasuki gang tersebut, melalui rumah-rumah sempit di mana beberapa rumah tersebut juga berfungsi sebagai tempat usaha jahit. Kedua pria itu langsung mengetuk sebuah pintu rumah yang terbuka.

“Assalamualaikum,” sapa seorang dari mereka.

“Wallaikumsalam,” terdengar jawaban seorang lelaki dari dalam rumah. Tak lama kemudian keluarlah seorang pria berbaju gamis dan berkopiah beledu hitam dari dalam rumah.

“Wah, Bapak-bapak sudah lama tidak ke sini. Silakan duduk Pak. Apa yang bisa saya bantu?” sambut si tuan rumah ramah.

Seorang dari mereka memencet tombol pada arlojinya dan menampilkan foto seorang pria berusia empat puluh tahunan yang kurus, berjanggut kasar, dan tampak kurang mengurus diri, “Apa Bapak pernah melihat orang ini di sini?”

“Aaaa,” sang tuan rumah tampak mencoba mengingat-ingat, “Ah ya saya ingat. Dia mengaku sebagai saudaranya Pak Usman, tukang jahit yang tinggal di perkampungan bagian bawah.”

“Oh terima kasih Pak,” sang tamu langsung berdiri dan bergegas menyalami sang tuan rumah, lalu buru-buru menarik kawannya keluar.

“Oi Markus! Kok buru-buru?” protes kawannya.

“Alex! Kita harus cepat kalau tidak nanti ...,” belum juga Markus selesai berkata, ia menyaksikan sosok pria tegap dan kekar tampak berjalan dengan langkah lebar menuju arah yang sama dengannya.

“Siagakan pistolmu!” ujar Markus.

“Eh? Buat apa?” tanya Alex bingung.

“Untuk mencegah sebuah pembunuhan.”

Dua polisi itu bergerak lebih cepat, mendahului pria asing yang tetap berjalan dengan kecepatan konstan. Ketika mereka sampai di rumah yang dimaksud pria asing tersebut tampak menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang listrik sementara Alex mengetuk pintu rumah yang tertutup dan Markus tak sedetik pun melepaskan pandangannya dari sosok pria asing itu.

Merasa diawasi, pria itu beranjak pergi menaiki anak-anak tangga menuju perkampungan yang terletak lebih atas. Tapi tatapan matanya tetap mengarah ke rumah yang sedang dituju oleh Alex dan Markus.

“Sunyi, tak ada jawaban,” ujar Alex.

Markus tak lekas menjawab, dia berjalan menuju gang yang ada di belakang rumah itu sementara kawannya mengikutinya dengan bingung. Di sana ia melihat sosok pria yang persis dengan foto yang ia bawa tengah mencoba melarikan diri.

“Berhenti! Kami Polisi!” Markus dan Alex segera berlari mengejar pria yang tampak berlari panik melalui gang-gang sempit di antara rumah-rumah bercat kusam tersebut. Sesekali tampak pria itu menjatuhkan beberapa barang milik warga untuk menghalangi laju pengejarnya, namun dua polisi itu dengan tangkas melompati halangan yang dibuat oleh target mereka.

Samar-samar di tengah pengejaran itu, Markus menyaksikan pria misterius yang ia curigai sedari tadi turut mengejar target yang sama.

“Lex, stop orang itu dan geledah dia,” Markus menunjuk ke arah pria misterius itu.

“Roger!” Alex berlari ke arah gang yang bersebelahan dengan gang yang dilalui Markus sementara Markus sendiri terus mengejar pria yang lari tersebut.

“Berhenti atau kau aku tembak!” masih sambil berlari Markus menarik keluar pistolnya dan menodong pria tersebut. Tapi pria itu terus saja berlari. Markus mengarahkan pistolnya ke atas dan terdengar sebuah letusan senjata. Pria tersebut langsung jatuh tersungkur. Tanpa membuang waktu Markus segera menghampiri pria itu, mencengkeram kerah bajunya dan memaksa pria yang tengah gemetaran itu untuk berdiri.

“Kenapa anda lari?” tanya Markus.

“Karena anda akan membunuh saya,” jawab pria itu dengan bibir bergetar.

“Saya tidak akan membunuh anda, saya mencari anda karena kekasih anda dibunuh.”

“Maryati? Oh tidak ... Maryati?” mata pria itu berkaca-kaca.

“Bapak ikut saya ke kantor polisi,” Markus memborgol pria itu dan menggiringnya menuju kendaraan yang ia tumpangi tadi. Di tengah jalan ia berpapasan dengan Alex yang tampak kembali dengan baju acak-acakan dan muka kusut.

“Ke mana orang itu?” tanya Markus.

“Membanting aku dengan bantingan ala pemain judo lalu pergi dengan cepat. Duh, siapa sih dia? Mata-mata militer ya?”

“Kurasa mereka debt-hunter.”

Wajah pria yang digiring Markus langsung pucat pasi, “A-astaga, me-mereka sudah di sini.”

Dahi Alex mengernyit bingung, “Dia ngomong soal apa sih?”

“Nanti saja kujelaskan di ruang interogasi.”

*****

Ruang Interogasi Poltabes Surabaya 15.00 WIB

Ruangan itu bercat dominan abu-abu. Terdapat sebuah meja di tengah ruangan itu dengan dua kursi yang tampak tengah diduduki. Satu kursi lagi terletak di pojok ruangan dan juga tampak diduduki oleh seseorang.

“Jadi benar bahwa Nyonya Maryati itu kekasih anda?” tanya Markus yang berperan sebagai interogator.

“Be-benar Pak,” jawab pria yang tadi ditangkap Markus. Bibirnya gemetaran karena takut pada ekspresi Markus yang memang seram.

“Dan sampai sebulan yang lalu anda masih bersama kekasih anda bukan?”

“I-iya Pak.”

“Lalu kenapa anda meninggalkan dia?”

“Saya dikejar-kejar penagih hutang Pak.”

“Dari perusahaan mana?”

Pria itu terdiam, membuat amarah Markus nyaris meledak, namun Alex segera menepuk bahu rekannya itu sambil memberi isyarat supaya ia keluar sejenak. Markus mengangguk, ia bangkit berdiri dan menyerahkan posisi interogator pada rekannya sementara ia menuju ruang pengawas yang dibatasi oleh kaca dua arah – kaca yang memungkinkan seorang di balik kaca untuk melihat gerak-gerik orang yang ada di depan kaca namun orang di depan kaca sendiri tidak dapat melihat sosok orang di balik kaca. Markus mengamat-amati gerak-gerik Alex yang memerankan polisi ‘baik’. Kata-katanya halus dan simpatik.

“Pak, jika anda tidak memberitahu kami segala hal yang menimpa anda, kami tidak akan bisa membantu anda. Kasus kematian kekasih anda itu juga akan menjadi kasus ‘peti es’. Kasus yang takkan dipecahkan oleh para penyelidik dalam waktu yang lama,” Alex mencoba mempengaruhi tersangka.

Pria itu hanya diam sebelum akhirnya buka suara, “Apa jenazah Maryati ditemukan dalam kondisi utuh?”

Alex melirik ke arah Markus yang berada di balik kaca, mengisyaratkan rekannya itu untuk membawa berkas kasusnya ke dalam ruangan. Markus segera berjalan kembali ke ruangan itu lalu berbisik di telinga Alex, “Mayatnya dalam kondisi 80 % utuh.”

“Bagian mana yang tidak utuh?”

“Tebak.”

“Jantung, paru-paru?”

“Kurang dua.”

“Liver?”

“Liver yah, ditambah rahim.”

Inspektur Alex langsung berjengit mendengar kata ‘rahim’ itu, “Wanita itu hamil?”

Markus mengangguk dan Alex kembali menghadapi sang tersangka, “Anda tahu kalau Nyonya Maryati hamil?”

Yang ditanya tampak terperangah, “Tidak, saya tidak tahu.”

Markus melirik grafik hologram yang terpampang di meja tempat orang itu menumpukan tangannya. Tidak ditemukan tanda-tanda kebohongan. Sekali lagi Markus menatap wajah tersangka itu lekat-lekat, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan pada wajahnya tapi tidak ia temukan.

“Bagaimana?” Alex menatap ke arah Markus usai mengajukan beberapa pertanyaan lagi.

“Bersih, untuk sementara.”

“Baiklah Pak,” Alex menyudahi interogasinya, “Bapak boleh pergi tapi Bapak kami kenakan wajib lapor setiap dua minggu.”

Mata si tersangka langsung membelalak, “Tidak Pak, tidak. Jangan lakukan itu pada saya! Saya harus lari! Sejauh-jauhnya dari sini. Mereka akan memburu saya! Mereka akan membunuh saya!”

Markus dan Alex saling berpandangan. “Perlu kita masukkan dia dalam perlindungan saksi?” tanya Alex.

“Pak Sutanto pasti tidak akan setuju.”

“Coba saja, sementara aku akan menenangkan dia.”

Markus menggeram sebelum akhirnya keluar dari ruang interogasi.dan berjalan menuju sebuah ruang dengan tulisan “AKBP Sutanto - Kanit Perlindungan Saksi” di pintunya. Pintu itu terbuka secara otomatis dan Markus masuk ke dalamnya.

“Selamat sore Pak,” ujar Markus sembari memberi hormat.

“Ada perlu apa Ipda Markus?” tanya seorang pria kurus dan cekung berseragam coklat ala kepolisian yang duduk di balik meja dan tengah menghadap ke arah komputer.

“Saya hendak mengajukan perlindungan atas satu saksi.”

“Saksi atas kasus apa?”

“Pembunuhan seorang wanita di daerah Tamansari Boulevard. Nyonya Maryati.”

Pria kurus dan cekung itu menoleh ke arah Markus dengan tatapan tidak suka, “Ipda Markus! Kenapa untuk kasus kroco macam itu kita harus berikan perlindungan saksi? Bukankah ada sejumlah besar kasus yang harusnya kita tangani daripada kasus ini? Pembunuhan? Bah! Hanya seorang wanita murahan yang terbunuh karena tak bisa bayar hutang! Apa pentingnya?”

“Bapak,” Markus berusaha keras menahan amarahnya, “harusnya Bapak tahu bahwa semua nyawa manusia itu penting. Lagipula kita ini adalah abdi negara yang menjunjung tinggi ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’.”

“Saya tahu itu,” Sutanto membantah, “Tapi kemanusiaan yang adil dan beradab juga bukan berarti berikan semua saksi kasus kriminal pengawal VIP bak seorang pejabat bukan?”

“Saya pribadi mencurigai ia tengah dikejar debt-collector atau lebih buruk lagi debt-hunter Pak. Kalau kita tidak lindungi orang ini, saya jamin kemungkinan besar besok atau lusa kita akan temukan dia sebagai jenazah di kamar mayat.”

“Baiklah, kirim filenya ke komputerku,” Sutanto mendengus kesal, “Coba kulihat apa yang bisa aku lakukan.”

“Terima kasih banyak Pak Ajun Komisaris,” sekali lagi Markus memberi hormat sebelum akhirnya keluar dari tempat itu. Di luar dugaan Alex sudah menunggunya di luar.

“Lho Alex, ada apa?”

“Sia-sia saja,” Alex mendengus kesal.

“Ada apa sih?” Markus tampak kebingungan melihat reaksi rekannya itu.

“Urus kasus baru saja Markus. Komisaris kita melepaskan orang itu.”

“Jan-!” Markus baru saja hendak mengumpat tapi Alex dengan cepat membekap mulutnya.

“Mengumpatnya di luar saja. Jangan di sini. Jangan buat karirmu jadi semakin terhambat,” ujar Alex.

*****

Kya-Kya Kembang Jepun, 20.00 WIB

Markus berjalan di antara kerumunan orang yang hadir di Kya-Kya Kembang Jepun malam itu. Terdengar melodi musik tradisional Tiongkok mengiringi pentas barongsai cilik di tengah-tengah pasar malam itu. Mata Markus melirik ke kanan-kiri mencari sosok seseorang hingga akhirnya ia menemukan sosok yang ia cari tengah melambaikan tangan ke arahnya. Markus langsung berjalan mendekat ke arah sosok yang tampak tengah meminum sebotol minuman soda di sebuah meja kafe.

“Bersantai sejenak Serma Riyadi?” ledek Markus pada sosok yang tak lain adalah abangnya itu.

“Kau jangan meledek ah! Gara-gara skorsing ini saya jadi tidak bisa terjun ke medan laga.”

“Medan laga di mana?”

“Tarakan, katanya Laskar Pralaya menyerbu kota itu.”

“Bukannya di sana ada Kodam[1] Mulawarman?”

“Entahlah, detailnya juga tidak jelas.”

“Taruhan, berita di media massa juga tidak jelas,” ujar Markus sembari mengaktifkan layar hologram di arlojinya dan menjelajahi beberapa situs berita.

“Tapi sementara itu,” Riyadi menenggak kembali minuman sodanya, “aku dapat pekerjaan bagus.”

“Mengawal orang,” tebak Markus.

“Ya, bukan pekerjaan yang kusuka sebenarnya. Tapi bayarannya bagus. Jadi ... kau tidak perlu kasih subsidi kepadaku Adikku sayang.”

“Oh baguslah.”

“Bagaimana pekerjaanmu?”

“Sedikit tidak lancar.”

“Tidak ada orang baik yang pekerjaannya lancar.”

“Pengalaman pribadi.”

“Pengalaman pribadi kita berdua,” Riyadi menunjuk ke arah Markus dan dirinya.

“Jadi ... mengenai dua benda aneh ini,” Markus mengangkat tangannya dan menunjukkan dua cincin permata yang melekat di tangannya, “bagaimana cara melepaskannya?”

“Tidak bisa dilepas.”

“Sampai mati?”

“Sampai mati.”

“Serius?”

“Aku serius! Lebih aman benda itu tetap menempel di sana daripada kau lepaskan.”

“Apa istimewanya benda ini?”

Mata Riyadi mendongak menatapi langit malam sesaat sebelum mengangkat tangannya dan membentuk burung terbang dengan kedua tangannya.

“Oke, aku paham yang itu,” Markus sudah tahu mengenai fakta bahwa sejak punya dua cincin itu ia bisa melawan hukum gravitasi “Yang lain?”

“Kau bisa tonjok orang sampai mati. Jadi hati-hati kalau kau melayangkan pukulan.”

“Sedang berusaha mengendalikan emosi yang mudah meletup ini,” Markus menunjuk dahinya, “Ngomong-ngomong ... kau dikuntit Mas?”

Riyadi mengangguk, “Bintara Sandi Yudha[2], duduk tiga meter dari sini. Tampaknya aksi yang kulakukan sudah terekam kamera pengawas.”

“Nggak bagus.”

“Harusnya dibuat buyar, tapi kalau itu kulakukan maka mereka akan mengawasiku makin intens. Lagipula di kota ini seseorag bisa dengan mudah dilacak selama ia tidak keluar dari kota ini. Oh ya, mengenai debt-hunter itu,” Riyadi menyorongkan sebuah komputer tablet ke arah Markus. Layar benda itu menampilkan jaring-jaring korban pembunuhan disertai dengan sejumlah keterangan mengenai riwayat hidup mereka.

“Dapat dari mana?” Markus mengernyitkan dahi.

“Kalian polisi harus lebih dekat dengan LSM.”

Mendengar kata Lembaga Swadaya Masyarakat itu Markus terkekeh. Sudah jadi rahasia umum jika LSM terkadang melakukan investigasi secara lebih mendetail atas sebuah kasus dibandingkan kepolisian sekalipun meski beberapa di antaranya terlalu mengedepankan subjektivitas dalam investigasi mereka. Tapi karena ‘sifat alam’ mereka adalah pengkritik, para pejabat POLRI yang sering tidak tahan menjadi bahan ‘hujatan’ akhirnya memutuskan untuk tidak mengindahkan peran mereka. Menerima bantuan dari mereka pun seolah menjadi ‘tabu’.

“Ini sangat membantu Mas. Terima kasih.”

“Aku punya perasaan yang sama denganmu Markus. Jika kita menolak untuk mengeksekusi para pencoleng dana negara, maka sudah seharusnya kita menolak pembunuhan atas orang-orang putus asa yang berhutang untuk melanjutkan hidupnya. Sebagian besar dari mereka berhutang untuk kelangsungan hidup anak-anak mereka dan yah ... tapi sayangnya karena tidak mampu membayar hutang, mereka harus membayarnya dengan darah mereka.”

[1]Komando Daerah Militer, markas TNI yang membawahi seluruh tentara dalam satu wilayah

[2]Divisi Milik Kopassus yang bertugas sebagai intelijen.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top