BAB VI : ANTABOGA KAWASTRAWAM

Surabaya, 03.00 WIB

Matahari belum terbit, udara cukup dingin menyelimuti kota Surabaya sebelum nantinya berangsur-angsur berubah menjadi sangat panas. Mobil-mobil pengangkut sampah tampak lalu-lalang di depan sebuah gedung rumah sakit yang tampak diterangi cahaya remang-remang. Seekor kucing garong berwarna coklat mengendap-endap di seputaran rumah sakit sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah sakit melalui pintu yang dijaga oleh satpam yang sedang asyik memperhatikan layar televisi.

Kucing itu mengendap-endap ke dalam bangsal yang dijaga oleh dua perawat wanita yang tampak sedang sibuk mengetik laporan di komputer tablet mereka, membuatnya bisa melenggang bebas dan masuk ke dalam bangsal tanpa disadari oleh dua perawat tadi. Ia berhenti di satu kamar lalu wujudnya berubah menjadi seorang pria tua berjanggut putih dengan setelan kaus abu-abu dan celana jeans hitam – sebuah setelan pakaian yang aneh dan tak lazim untuk orang seusianya. Ia masuk ke dalam ruangan itu dan mendapati seseorang tengah terbaring tak sadarkan diri dengan sejumlah alat monitor jantung serta selang infus terpasang di tubuhnya.

Pria tua itu mengeluarkan sebuah cepuk berwarna keemasan dari sakunya lalu membukanya. Cepuk itu memantulkan kilauan cahaya lampu, namun yang ada di dalamnya bukan kaca melainkan air. Pria itu mendekat ke arah pasien yang tak sadarkan diri itu lalu membuka mulutnya dengan tangan kirinya ketika sebuah tangan lain mencengkeram tangannya.

“Cukup sampai di situ saja, Antaboga.”

Pria tua itu menoleh dan mendapati seorang pria lain, berjanggut hitam panjang dengan pakaian serba hitam berdiri tegak di samping tempat tidur pasien itu. Dua buah rantai terlilit di kedua tangannya, dari pergelangan tangan hingga lengan atas.

“Kenapa Yama? Anak ini harus diselamatkan supaya pihak kita tidak kalah.”

“Ini perintah dari Bathara Indra, kita tidak boleh ikut campur sama sekali dalam urusan ini. Jika anak ini mati biarlah, jika ia hidup maka biarlah.”

“Takdir sedang tidak dalam genggaman dewata-dewata kahyangan, Yama. Aku akan tetap sembuhkan dia.”

“Nyawanya sudah di ujung tanduk dan aku datang untuk menjemputnya.”

“Tapi aku takkan membiarkanmu.”

“Kau tahu Antaboga, Baladewa dan anakku sudah cukup untuk menghadapi si Aswathama itu.”

“Anakmu sudah mati, Yama. Sama seperti halnya saudara-saudaranya. Aku tahu rencanamu, kau hendak meminta tolong pada Suryaputra, tapi aku rasa Suryaputra tidak akan bersedia Yama.”

“Aku bisa mendidik ‘dia’ untuk mencapai tingkat di mana ia bisa gunakan senjata itu.”

“Aku ragu ia akan berhasil menjadi Maharathi[1] Yama, Budi anak itu tidak seluhur ayahnya.”

“Lalu ... apa rencanamu dengan dia? Apakah dengan membangkitkan Gatotkaca maka kita bisa memenangkan perang ini?”

“Indra tidak selalu benar Yama, dan jikalau ia benar sedikit bantuan bagi Baladewa dan cucumu itu akan lumayan bermanfaat,” Antaboga membuka kembali tutup cepuk di tangannya lalu menuangkannya ke mulut pasien itu yang tak lain adalah Markus Passaharya.

Detak jantung pemuda itu mulai tampak stabil di layar monitor. Antaboga merogoh saku celananya, mengeluarkan dua buah cincin, satu bermata merah siam dan satu lagi bermata biru zamrud. Ikat cincinnya terbuat dari bahan serupa – sebentuk logam hitam mirip perunggu dengan ukiran rantai di sekelilingnya. Ia masukkan cincin bermata merah siam ke jari manis tangan kanan Markus sementara cincin bermata biru zamrud di tangan kirinya.

Brajadenta di tangan kananmu,

Brajamusti di tangan kirimu.

Api di tangan kananmu, halilintar di tangan kirimu.

Bangun kau Satria Agung Pandawa.

Ada tugas yang harus kau selesaikan.

*****

Surabaya, 04.00 WIB

Riyadi tampak tengah menghadap seorang perwira berpangkat Letnan Satu yang tampak duduk dengan angkuh di hadapannya.

“Saya tahu bahwa debt-hunter itu menyebalkan. Tapi kita sama sekali tidak berhak mengurus mereka. Mereka itu urusan polisi.”

Riyadi terdiam, dan sang letnan melanjutkan bicaranya, “Oke soal bertengkar dengan debt-hunter saya bisa memaklumi. Yang saya tidak paham adalah ... kenapa kalian bertengkar sambil menaiki mobil anti-G? Mobil siapa ini?”

“Mobil orang itu, Pak.”

“Apa merk dan tipenya?”

Riyadi kembali terdiam.

“Aku sudah hubungi badan pengawas lalu lintas dan mereka bilang tidak ada benda terbang di sekitar gedung Graha Intan. Naik apa kalian berdua ke sana? Scaffolding?”

Lagi-lagi Riyadi menjawab dengan diam. Jika ia bicara jujur bahwa orang yang bertengkar dengannya tadi malam bisa terbang melawan hukum gravitasi bisa-bisa ia ditertawakan dan lebih buruknya ia bisa dicopot dari kedinasan akibat dianggap mengalami gangguan jiwa.

“Tidak mau bicara, eh? Baiklah Riyadi ... kau diskors selama tiga bulan. Diskors tanpa gaji tentunya. Jadi ... aku sarankan kau cari pekerjaan sambilan selama tiga bulan ini.”

“Siap Pak!” Riyadi memberi hormat pada Sang Letnan sebelum akhirnya beranjak keluar.

Setelah bawahannya keluar dari ruangan itu seorang prajurit memasuki ruang kerja Sang Letnan, memberi hormat, lalu maju ke hadapan Sang Letnan  sembari membawa sebuah komputer tablet dan meletakkannya di hadapan Sang Letnan. Layar benda itu menayangkan kembali adegan pertarungan Riyadi dan Janggala yang tanpa sengaja terekam kamera keamanan di sebuah gedung.

“Manusia apa mereka berdua ini, Let? Yang satu bisa terbang dan Riyadi ... bisa menembus tanah serta mengeluarkan rantai?”

“Kau sudah cek rekaman ini dengan benar?”

“Sudah, itu sama sekali bukan ilusi optik atau rekayasa, Let. Itu nyata.”

“Minta Satsus Intel kita awasi gerak-gerik Riyadi. Mengerti?”

“Mengerti Let!”

“Laksanakan!”

“Siap!”

*****

Riyadi keluar dari markasnya, berjalan menuju tempat parkir lalu menarik keluar sebuah sepeda motor dari sana. Ia menekan sebuah tombol di stang kemudinya lalu muncullah sebuah pemindai ibu jari di depannya. Riyadi menekan pemindai itu dengan ibu jari kanannya dan menyalalah motor itu.

Antareja! Ada sebuah suara halus memanggilnya.

Riyadi menoleh dan mendapati seekor burung branjangan terbang di sekitarnya dan suara itu berasal dari burung itu. Riyadi tahu siapa dan apa maksud burung itu, karena itu ia membawa motornya keluar dari area markas itu lalu berhenti di sebuah taman yang jaraknya sekitar 50 meter dari markasnya. Burung branjangan itu hinggap di pundak Antareja lalu berbicara dengan bahasa yang jelas sekali bukan bahasa manusia, lebih mirip suara ular karena penuh dengan desisan.

Aku sudah bangunkan Gatotkaca, sekarang tugasmu adalah memberitahu dirinya mengenai seluruh rahasia yang sudah lama kau simpan. Ujar burung itu.

Bagaimana saya akan memberitahukannya, Eyang? Dengan berkata bahwa ayah kami memiliki tugas yang belum selesai? Bahwa ia yang dahulu menjadi tumbal dalam Bharatayudha kini harus kembali menjadi tumbal?

Terserah bagaimana kau akan menjelaskannya, Cucuku. Tapi patut kau sadari bahwa tanpa sekutu Pandawa mudah dikalahkan, tanpa ikatan persaudaraan Pandawa dihancurkan. Kalian berdua harus mencari yang lain, segera, sebelum badai kehancuran yang dibawa Aswathama menerjang.

Lalu burung itu pun terbang tinggi, meninggalkan Riyadi, menjulang ke langit. Sementara Riyadi kembali memacu motornya di jalanan kota Surabaya yang sudah sepi.

****

Di belakang motor Riyadi tampak seorang pria berhelm biru yang mengikutinya, pria itu mengaktifkan alat komunikasi di helmnya dan berkata pada lawan bicaranya, “Serma Riyadi tampaknya baru saja bicara dengan seekor burung.”

“Apa tadi kau bilang?” terdengar lawan bicaranya menanggapi.

“Saya bilang Sersan Mayor Riyadi tampaknya baru saja bicara dengan seekor burung.”

“Apa otakmu masih waras?”

“Antara otak saya yang sudah tidak waras atau Serma Riyadi memang mengalami gangguan jiwa, Pak.”

“Ada keanehan lain?”

“Sejauh ini, belum.”

DOR! Tiba-tiba ban motor si penguntit itu meletus dan motornya oleng lalu minggir ke trotoar sementara motor Riyadi terus melaju.

“Ada apa?” tanya lawan bicara si penguntit.

“Ban saya meletus, Pak, dan saya kehilangan Serma Riyadi. Maaf sekali.”

“Lekas cari Serma Riyadi sesegera mungkin dan jangan berani melapor sebelum kau temukan dia! Jika tidak kau akan menemui ajal! Jelas?”

“Sangat jelas, Pak!” jawab si penguntit itu gugup. Ia segera turun meninggalkan motornya lalu berjalan menuju sebuah layar hologram informasi yang ada di sana. Di sana ia mendekatkan arlojinya – yang wujudnya tampak seperti komputer tablet berukuran mini yang dapat digunakan di pergelangan tangan – lalu menekan beberapa tombol hologram yang muncul dari layar alat itu dan layar informasi di hadapannya langsung menampilkan sebuah peta kota Surabaya yang menyertakan sebuah titik biru yang berkedip-kedip dan melaju di jalanan peta tersebut.

Gotcha!” pria itu puas dengan hasil yang ia dapat, lalu mengunduh sesuatu dari layar informasi itu dan berjalan pergi.

*****

Surabaya, 05.00 WIB

Riyadi baru saja tiba di depan RSU Dr. Seoetomo ketika sebuah layar hologram muncul di stang motornya. Terlihat sebuah pesan : ‘PANGGILAN MASUK!’

“Terima!” ujar Riyadi dan layar itu lenyap, berganti dengan layar hologram baru yang menampilkan wajah saudara mudanya, pria keturunan Maluku bernama Markus Passaharya itu.

“Sudah sadar, Dik?”

“Sudah! Dan siap bertugas kembali Komandan!” jawabnya mantap dan tegas sambil berpura-pura memberi hormat pada Riyadi.

“Lain kali kalau bertemu ... debt-hunter ... jangan cari masalah dengan mereka.”

“Beta tidak bisa janji.”

Riyadi hanya mengeleng-gelengkan kepala.

“Di mana kamu?”

“Di kantor.”

“Buset! Jam 5 pagi? Kamu check-out jam berapa?”

“Ngacir, jam 3 pagi tadi.”

“Semprul! Enak bener ngantor.”

“Lho memang situ nggak ngantor?”

“Saya diskors! Gara-gara nekat urusan sama debt-hunter yang bikin kamu koma itu.”

“Kasihan!”

“Kasih subsidi kek! Jangan bilang kasihan saja! Ini kan juga gara-gara tingkahmu!”

“Saya kasih subsidi tapi ... situ jadi asisten saya untuk penyelidikan mau?”

“Boleh, kapan?”

“Jam 8 ini di atap gedung C Tamansari Boulevard Kondo, Kang Antareja,” Markus berkata setengah berbisik pada frasa ‘Kang Antareja’ itu.

Riyadi terkesiap. Baru saja Markus memanggilnya ‘Antareja’ sebuah nama yang selama ini hanya ia, ibunya, dan kakeknya saja yang tahu nama itu. Namanya yang sebenarnya. Nama yang ia peroleh sebagai salah satu putra Bima beribu tahun yang lalu.

****

Surabaya, Graha Sasmita, pukul 07.00 WIB

Janggala menunggu dengan was-was di depan sebuah ruangan yang tertutup oleh sebuah pintu berdaun kembar dan terbuat dari suatu bahan kayu imitasi. Sofa warna merah yang didudukinya memang empuk dan nyaman, tapi sesuatu yang ada di balik pintu itu benar-benar membuatnya tidak nyaman. Ia melirik arlojinya berkali-kali, mengamati detik dan menit yang semakin berlalu mendekati titik di mana ia harus menghadapi sesuatu di balik pintu itu.

“Saudara Ranta Janggala,” seorang wanita bersuara lembut muncul dari balik pintu itu dan memanggil Janggala.

“Ah, ya,” Janggala bangkit dengan kikuk lalu menghampiri wanita bersuara lembut itu.

“Nyonya Parwati sudah menunggu anda.”

Mampuslah aku! Gumam Janggala dalam hati sembari melangkahkan kaki dengan berat memasuki ruangan itu. Di dalamnya tampak seorang wanita mengenakan setelah blazer warna merah tua, berambut pendek yang dipotong menyerupai laki-laki, dan mengenakan kacamata berbingkai warna emas tengah duduk dan menatap Janggala sembari mengatupkan dua tangannya di depan wajahnya.

“Silakan duduk, Saudara Janggala,” ujar wanita itu. Nadanya tegas dan dingin, tipikal nada yang dimiliki oleh seorang bos besar bertangan dingin.

Janggala mematuhi perintah wanita itu dan duduk di kursi yang ada di hadapan meja kerja wanita itu. Degup jantungnya semakin tidak karuan.

“Bisa kau jelaskan alasan kau bentrok dengan personel TNI itu, Janggala?”

“I-itu ... karena ... aparat itu menantang rekan saya berkelahi.”

“Rekanmu yang bernama Anas bukan?”

“I-iya Bu.”

“Kau tahu bagaimana personel bagianmu itu harus bekerja kan?”

Janggala mengangguk dengan gugup dan hendak membuka suara lagi, tetapi wanita itu melanjutkan kata-katanya, “Jangan sampai melibatkan aparatur negara dalam operasi kalian. Anas ceroboh ... tapi kamu Janggala, lebih ceroboh lagi dengan melayani adu jotos dengan prajurit TNI itu. Syukurlah dia itu cuma bintara, kalau sampai dia itu perwira ... maka habislah kita!”

“I-iya Bu. Maafkan saya.”

“Tapi lebih dari itu ada satu hal yang membuat saya tertarik. Dari mana ... kau dapatkan kemampuanmu terbang di langit melawan gaya gravitasi itu, Janggala?”

“Eh?” Janggala terperangah, tidak menyangka bahwa sesuatu yang dirahasiakannya itu akan terbongkar.

“Aksimu terekam setidaknya 3 kamera CCTV di daerah itu, aku sendiri juga tidak bisa memastikan apakah kamera mata-mata milik instansi negara juga menangkap aksimu. Tapi ... aku akan pastikan rekaman ini tidak tersebar luas, asalkan kau mau beritahu aku darimana kau dapatkan kemampuanmu itu.”

“Saya ... sudah memiliki kemampuan ini sejak saya kecil, Bu.”

“Siapa orangtuamu?”

“Saya tidak tahu dan tidak pernah mau tahu.”

“Kau yatim piatu?”

“Ya, saya dibesarkan di panti asuhan.”

Wajah wanita itu tiba-tiba berubah teduh mendengar penjelasan Janggala, “Ceritakan padaku mengenai masa mudamu, Janggala.”

Dan Janggala pun mulai bercerita.

*****

Ruangan itu dipenuhi oleh puluhan layar monitor yang memantau gerak-gerik sejumlah orang pada tempat yang berbeda-beda. Ruangan itu diisi oleh setidaknya empat prajurit TNI AD berseragam hijau pucat. Salah seorang dari mereka menekan ponsel-arlojinya dan menampilkan wajah seorang prajurit TNI AD lainnya di layarnya, “Letnan, kau sudah dapatkan daftar riwayat hidup mereka?”tanya pria itu.

“Sudah, Kep! Saya sedang mengirimnya,” jawab lawan bicaranya itu.

“Kerja bagus Let.”

“Siap Dan!” lalu letnan itu memutus sambungan dan bersamaan dengan itu di sebuah layar monitor di ruangan itu muncullah sekumpulan dokumen yang terpapar dalam wujud kertas-kertas hologram ke sepenjuru ruangan.

“Untuk apa kita meneliti berkas Almarhum Sersan Mayor Rudi Alfaris, Kep?” tanya seorang prajurit.

“Jangan banyak tanya, prajurit. Lakukan saja tugasmu. Cari posisi istri ketiga Rudi Alfaris dan temukan anaknya,” ujar si kapten gusar.

“Setelah itu?”

“Laporkan padaku, akan kulaporkan pada pusat,” dan setelah berkata demikian kapten itu berjalan keluar dari ruangan itu. Di luar, kapten itu menekan sebuah tombol pada ponsel-arlojinya, menghubungi seseorang.

“Selamat malam Bapak,” sapa sang kapten penuh hormat.

“Ada apa Kapten Risman?”

“Saya baru saja mendapatkan sebuah info bagus untuk Bapak.”

“Info apa?”

“Keberadaan Awatara Antareja dan Gatotkaca.”

“Terangkan padaku.”

Tamansari Boulevard, Surabaya, pukul 08.15 WIB

Riyadi menunggu di puncak gedung Tamansari Boulevard, menunggu saudaranya yang tadi sempat mengirimkan pesan bahwa ia menunggu di atap gedung ini. Tapi sudah 15 menit berlalu, dan ia belum melihat tanda-tanda kedatangan adiknya itu juga. Riyadi berdecak kesal, ia mencoba menelepon adiknya melalui ponsel-arloji yang terpasang di pergelangan tangan kirinya itu tapi tidak mendapat balasan. Ia kembali berdecak kesal lalu mengambil sebatang rokok filter dari sakunya dan menyulut batang rokok itu. Baru ia menghisap batang rokok itu dua kali ketika secara tiba-tiba ia merasakan hembusan angin yang kuat datang dari arah belakangnya, memadamkan bara api rokoknya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang pemuda keturunan Maluku telah berdiri di belakangnya.

“Naik apa kau kemari, Dik?” tanya Riyadi.

“Terbang.”

“Heh? Yang benar saja kamu!”          

“Aku tidak bohong kok,” sekejap kemudian Markus sudah melayang sekitar 5 senti dari atas lantai atap membuat Riyadi melongo seperti orang tolol.

“Kenapa kau selama ini merahasiakannya Mas?” tanya Markus ketika ia kembali berpijak pada lantai atap.

“Itu permintaan dari Papa padaku dan ibuku sebelum ... sebelum ... dia tewas. Ia memintaku merahasiakannya. Memintaku menjaga dirimu dari konflik yang terjadi kali ini, memastikan dirimu tidak ... tewas sebelum ibumu.”

“Apakah Papa kita itu ... Bratasena?”

“Ya.”

“Dan ibuku adalah ... Arimbi sementara ibu sampean itu...?”

“Nagagini.”

“Berarti kita mungkin saja punya adik di luar sana.”

“Antasena? Dia itu jangan dicari. Dia itu pengembara, pergi ke manapun ia suka. Jikalau ia menitis di zaman ini sekalipun ... ada baiknya kita tidak melibatkan dia.”

“Kenapa? Apa kau sedang menyembunyikan sesuatu lagi? Kau tahu soal dia kan Mas?”

“Tidak, aku sama sekali tidak tahu mengenai keberadaannya. Tapi Papa pernah berpesan padaku jangan sekali-kali melibatkan Antasena dalam masa ini.”

*****

[1]Tingkatan kesatria dalam Mahabaratha versi asli. Maharathi adalah kesatria-kesatria setingkat Pandawa yang mampu menandingi kekuatan 50.000 prajurit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top