BAB V : NAPAKAWACA - ALUGARA
Tamansari Boulevard, Surabaya, 21.00 WIB
“Aku akan membunuhmu!” pekik Janggala penuh amarah
“Silakan coba saja, Bajingan!” tandas Riyadi tak kalah garang.
“Wihaya!” Janggala memasang sarung tangannya ke tangan kanannya dan langsung timbullah nyala api yang berkobar-kobar di sekelilingnya.
“Rantai Bumi!” Riyadi memukul sebidang aspal yang ada di hadapannya lalu sebuah keajaiban terjadi, sebuah rantai sepanjang 3 meter tiba-tiba muncul dari dalam tanah dan langsung melilit tangan kanan Riyadi.
“Kalian memakai Astra rupanya. Pantas saja Markus bisa ditumbangkan oleh bajingan macam kalian,” ujar Riyadi.
Janggala hanya diam, ia langsung menerjang Riyadi dan mengayunkan tangan kanannya yang terbakar api ke arah wajah Riyadi. Riyadi berkelit dan tanpa Janggala duga, Riyadi langsung mengayunkan rantainya layaknya sebuah cambuk dan menjerat kakinya. Kemudian dengan tangan kirinya ditariknya rantai itu sehingga Janggala terseret dan berhenti di hadapan Riyadi. Refleks Riyadi langsung membuat dirinya mengangkat kaki kirinya, berniat untuk menginjak Janggala, tapi yang terjadi malah kakinya ditangkap oleh Janggala dan dipukul oleh tangan kanan Janggala yang penuh kobaran api itu. Riyadi menendang wajah Janggala lalu mundur sejauh tiga langkah sembari memegangi kakinya yang terbakar. Janggala sendiri akhirnya bangkit berdiri sambil memegangi rahangnya yang sakit akibat ditendang sepatu boot milik Riyadi.
Janggala mengibaskan tangannya lalu menembakkan tiga buah kobaran bola api ke arah Riyadi. Riyadi mengibaskan rantai yang membelit tangannya dan menghancurkan dua dari tiga bola api itu. Tapi sebuah lagi lolos dan mengarah ke wajahnya. Refleks, Riyadi mengangkis bola api itu dengan tangannya, bola api itu membakar lengan kiri bawahnya.
Janggala tersenyum puas melihat ia berhasil melukai lawannya, tapi kepuasannya itu tak berlangsung lama. Api yang berkobar di lengan kiri Riyadi padam dan menunjukkan sebuah material licin dan liat telah melapisi lengan itu dan melindunginya dari kobaran api. Janggala terperangah, tapi belum sempat ia berkata-kata tiba-tiba ia dapati Riyadi sudah menghilang dari tempatnya berdiri.
“Dia kabur?” Janggala bertanya pada dirinya sendiri sembari mendekat ke arah tempat Riyadi semula berdiri. Dilihatnya aspal di tempat itu telah berlubang membentuk sebuah lorong ke bawah tanah. Janggala berlutut dan melongok ke dalam lubang itu tapi secara tiba-tiba kepalanya dijebloskan ke dalam lubang itu oleh sesosok pria yang tak lain adalah Riyadi.
“Itu akibatnya kalau kau macam-macam dengan adik saya, Bajingan!”
Janggala memukul aspal kuat-kuat lalu tanpa diduga-duga tubuhnya langsung melesat tinggi ke langit, membawa serta Riyadi yang masih mencengkeram lehernya.
“Apa-apaan ... ?” Riyadi sangat terperanjat ketika menyadari lawannya ini bisa terbang melawan hukum gravitasi.
“Mampus kau!” Janggala melepaskan cengekeraman Riyadi lalu membanting tubuh Riyadi ke arah sebuah gedung bertingkat menghempaskan Riyadi ke dalam sebuah ruang kerja di mana terdapat seorang karyawan yang tengah lembur.
Janggala sudah bersiap menyerang kembali ketika Tc-earphone miliknya berdering. Janggala dengan enggan menerima panggilan itu, “Halo?”
“Janggala, kembali kau ke kantor sekarang!” terdengar suara tegas seorang pria di seberang.
Janggala sempat terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Baik Pak!”
“Kau harus menjelaskan banyak hal, Janggala,” suara pria itu kembali terdengar.
*****
Riyadi baru saja bangkit berdiri di antara kumpulan pecahan kaca dan mja-kursi yang berantakan karena baru saja diterjang dirinya. Punggung dan lehernya terasa sakit sehingga dengan susah-payah ia berusaha bangkit berdiri. Tapi tanpa disangka-sangka ujung tengkuknya telah bersentuhan dengan sesuatu yang dingin. Sebuah logam, sebuah ujung laras sebuah senapan yang dipegang oleh seorang petugas keamanan.
“Angkat tangan!”
“Aww ... sial!” rantai di tangan Riyadi secara ajaib tiba-tiba lenyap lalu ia mengangkat kedua tangannya, menyerahkan dirinya untuk diborgol oleh petugas keamanan itu.
*****
Museum Nasional Jakarta, esok paginya.
Kartawijaya turun dari taksi yang mengantarnya ke gedung tua bernama Museum Nasional ini. Kartawijaya tidak pernah suka kemari. Baginya mengunjungi museum adalah sebuah tindakan yang buang-buang waktu. Mengunjungi museum baginya adalah sebuah tindakan yang membuang-buang waktu. Sebuah kegiatan yang hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang hanya berorientasi kepada masa lalu, orang-orang yang di matanya adalah orang-orang yang kalah – loser – dalam kehidupan.
Tapi kehadiran pemuda bernama Narada itu entah kenapa menggelitik rasa ingin tahunya. Dipandanginya cincin pemberian Narada kemarin. Ada sebuah rasa yang aneh ketika dirinya memandangi cincin itu, seolah ia pernah memiliki cincin ini dan cincin ini merupakan benda kesayangannya.
“Mungkin hanya perasaanku,” Kartawijaya menepis perasaan itu lalu berjalan menuju ke arah pintu gerbang museum. Ia membayar tiket masuk lalu berjalan ke bagian dalam museum. Sejumlah patung-patung dari masa kerajaan Sriwijaya menyambutnya ketika ia pertama kali menjejakkan diri ke dalam museum, selanjutnya ia berjalan menuju sebuah keributan yang tengah terjadi di bagian tengah museum di mana sekumpulan polisi tampak tengah sibuk lalu-lalang di sana.
“Yo Kartawijaya!” seorang petugas polisi menyapanya. Kartawijaya kenal dengan petugas ini, seorang petugas yang dahulu sempat ia kenal di masa lalunya, kawan lama yang ia kenal dari masa sekolah menengahnya.
“Heh, kebetulan sekali bisa ketemu di sini, ngomong-ngomong ada apa sih di sana?”
“Ah, ada relik yang baru saja diekskavasi dan tiba-tiba saja relik itu menghilang.”
“Menghilang?”
Polisi itu mengangguk, “Tul! Menghilang!”
“Dicuri?”
“Kemungkinan besar ya. Tapi oleh siapa? Petugas jaga dan polisi yang bertugas sudah ditanyai dan diselidiki. Hasilnya nihil.”
“No offense Imron, tapi bukankah kepolisian kita ini sudah sangat notorius dengan tindakan pelanggaran hukumnya?”
“Aku tak akan menyangkal soal itu Kartawijaya, tapi kurasa tak mungkin orang-orang ini berbuat begitu.”
“Ngomong-ngomong apa yang dicuri?”
“Sebuah cincin.”
“Cincin?”
“Ya, cincin. Cincin berbentuk emas murni dengan ukiran-ukiran hewan-hewan dan bermata cincin ... batu ... apa itu namanya? Badar besi ya?”
Wajah Kartawijaya langsung pias mendengar penuturan polisi itu, ia segera silangkan tangannya ke belakang lalu cepat-cepat menarik cincin yang punya ciri-ciri sama dengan yang disebutkan polisi tadi, yang sialnya terpasang di tangan kirinya. Tapi dia sedang sial, cincin itu membandel dan tak mau lepas dari jarinya.
“Saya permisi dulu ya. Banyak tugas nih,” petugas polisi itu pamit sementara Kartawijaya hanya bisa tersenyum kecut.
Seorang tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang dan ketika Kartawijaya berbalik ia mendapati Narada telah berdiri di sana. Kartawijaya hendak mengajukan protes soal cincin itu ketika di kepalanya tiba-tiba terdengar suara.
Tenanglah Kartawijaya. Itu suara Narada.
“Bagaimana ...,” Kartawijaya hendak menanyakan soal suara itu ketika Narada meletakkan jari telunjuknya di bibirnya – pertanda ia meminta Kartawijaya untuk diam.
Antara kau dan aku bisa berbicara via pikiran, Kartawijaya.
Bagaimana ini mungkin?
Sebab kau sama seperti aku, seorang penghuni kahyangan.
Oh, seorang penghuni kahyangan? Oke, apa kesalahanku hingga aku diturunkan ke bumi kalau begitu.
Sebagai manusia kau tampaknya bukan orang yang taat, Kartawijaya. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau dahulu adalah Baladewa?
Baladewa Raja Mandura?
Dan di masa sebelumnya kau adalah Lesmana, adik Sri Kresna. Kau adalah Adisesa – ular milik Bathara Wisnu – yang memanifestasi diri menjadi penjaga Bathara Wisnu ketika Bathara Wisnu menjelma dari masa ke masa.
Kartawijaya tiba-tiba melihat sekilas penglihatan yang tampaknya berasal dari masa lalu. Tampak di sana ada sebuah kereta perang emas dan dirinyalah yang menjadi sais, sementara di sisinya tampak seorang pria muda dengan wajah teduh namun berwibawa. Lalu penglihatan itu sirna.
Apa itu tadi? Kartawijaya merasakan kepalanya amat sakit seperti habis dipukul dengan sebuah palu godam.
Kau melihatnya Baladewa?
Melihat apa?
Sang Hyang Wisnu, dalam wujud Awatara kedelapan. Sri Kresna.
Tapi ... . Kartawijaya mencoba untuk bertanya kepada sosok Narada tapi sosok itu tiba-tiba menghilang.
Maaf aku tak bisa berlama-lama di sini, Baladewa. Aku tak mau mereka menemukanku. Suara Narada kembali bergaung di kepala Kartawijaya.
Mereka? Mereka siapa?
Pasukan-pasukan Aswathama.
Belum habis keheranan Kartawijaya tiba-tiba muncullah sekumpulan orang yang memecahkan kaca museum dari atas. Beberapa orang bersenjata juga muncul dari bagian depan museum dan melepaskan tembakan-tembakan ke arah pengunjung. Kartawijaya melihat seorang pria tua tertembak tepat di kakinya lalu dengan cekatan ia menghampirinya dan memapah pria tua itu ke balik sebuah pilar di sudut ruang pamer.
“Terima kasih Nak!” ujar pria tua itu.
“Bukan apa-apa Pak, sekarang ...,” Kartawijaya berhenti bicara ketika menyadari seorang tengah menodongkan laras senapan padanya.
“Bangun! Berkumpul di tengah ruangan!” sentak penodong itu kasar. Penodong itu adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng yang menutupi wajahnya.
Kartawijaya bangkit sambil menggendong pria tua itu dan menuju ke tengah-tengah museum di mana segenap orang tampak telah dikumpulkan di sana. Ia melirik ke arah samping dan mendapati para polisi yang bertugas di sana telah ditembak mati, darah berceceran di mana-mana.
“Kalian semua! Cari benda itu!” seorang dari kelompok misterius ini – yang tampaknya adalah pimpinan mereka – memerintahkan bawahannya untuk menyebar dan mencari sesuatu di museum ini.
Kelompok itu menyebar dan mengobrak-abrik seisi museum, sebagian bahkan tak segan memukul patung atau benda-benda bersejarah dengan popor senapan mereka.
“Hei! Biadab kalian! Barang bersejarah itu harus dijaga!” seorang pengunjung memprotes.
DOR! Satu peluru mengakhiri ocehan sekaligus nyawa pengunjung itu, membuat beberapa pengunjung yang ditawan di sana menjerit-jerit panik.
“Bos! Ketemu!” seorang pria bersenjata itu mengangkat tinggi-tinggi sebuah benda mirip trisula berwarna hitam legam dari dalam peti kayu.
“Akhirnya! Bawa kemari!” ujar pimpinan mereka.
“Okidoki!” pria itu berjalan ke arah pimpinan mereka ketika tiba-tiba trisula itu terbang melayang dari tangannya dan jatuh di hadapan satu orang tawanan.
“Hei! Kau sengaja ya?” pemimpin mereka menampar pria itu lalu berjalan ke arah jatuhnya trisula itu dan mencoba menariknya namun ... tak dapat ia angkat.
“Apa-apaan ini? Kenapa kok ... rasanya trisula ini berat sekali?”
“Masa sih Bos?” seorang dari mereka menggantungkan senapannya dan berjalan ke arah trisula itu lalu membantu pimpinan mereka mengangkat trisula itu, namun tetap gagal.
“Aduh ... berat!” keluhnya
“Coba lagi!” ujar pimpinan mereka sembari mencoba menarik trisula itu dan hasilnya tetap saja sama.
“Kenapa ini Bos?” tanya seorang dari antara mereka.
“Entahlah ... barangkali ...,” pimpinan mereka menatap tajam-tajam pada seorang yang berlutut di hadapan trisula itu, “Kau! Coba angkat benda itu!”
Yang dipanggil bergeming saja, membuat pimpinan kelompok itu menjambak rambut orang itu yang tak lain adalah Kartawijaya, “Kau tuli ya? Angkat!”
Kartawijaya akhirnya patuh, meski dadanya penuh dengan gemuruh amarah. Ia membungkuk dan mengangkat trisula itu dengan mudahnya.
“Seorang awatara!” tukas seorang pria bertopeng itu.
“Kalau begitu ... bunuh dia!” perintah sang pimpinan.
Seketika itu juga ada suara bergaung di dalam kepala Kartawijaya. Panggil Alugara, Baladewa. Dan babat habis mereka!
“Astra ... Alugara!” desis Kartawijaya pada cincin yang terpasang di tangan kirinya. Sekonyong-konyong cincin itu berubah menjadi sinar kehitaman yang segera mewujud menjadi sebuah gada dengan ujung gagang dan ujung pangkal berbentuk taju yang tajam. Bentuk gada itu mengerucut ke atas – dengan bagian ujung atasnya lebih lebar daripada ujung gagangnya[1].
“Tembak!” terdengar seruan untuk menembaki Kartawijaya tapi secara ajaib peluru-peluru yang dimuntahkan oleh senjata-senjata itu jatuh berdentingan di lantai sebelum menyentuh tubuh Kartawijaya. Gada di tangan pria itulah sebabnya. Kartawijaya mengayunkan gadanya dengan kecepatan gerak di luar nalar manusia dan berhasil menangkis seluruh serangan peluru-peluru tersebut. Pada satu kesempatan ia melemparkan gada itu kepada seorang penyerangnya dan pecahlah kepala pria malang itu. Gada itu sendiri terbang kembali ke arah Kartawijaya yang berlari sambil memungut senapan yang dijatuhkan pria malang itu.
Komplotan itu tak tinggal diam, mereka kembali menembaki Kartawijaya dan kali ini sukses melukai bahu kanan Kartawijaya. Kartawijaya mengerang sesaat sebelum memukulkan gada itu ke lantai dan membuat sebuah gelombang energi menghempaskan seluruh penyerangnya beserta segenap tawanan. Para penyerangnya bangkit dengan cepat, namun kali ini Kartawijaya telah mengokang senapan milik salah satu dari mereka lalu menembak satu orang dari antara mereka. Satu orang jatuh sementara yang lainnya menghunus pisau, mengepung pria itu dan mencoba menyerang Kartawijaya dengan pisau.
Hal yang tidak diduga mereka, Kartawijaya berlutut lalu mengayunkan gadanya satu putaran penuh sehingga gadanya menghantam kaki-kaki mereka, membuat tulang-tulang paha mereka remuk dan hancur oleh hantaman gada itu. Kedelapan pria bertopeng itu jatuh mengerang-ngerang sambil memegangi kaki mereka yang remuk.
Kartawijaya sendiri berpaling kepada para tawanan dan berujar, “Ada yang bisa hubungi polisi?”
*****
Polisi datang tak sampai sepuluh menit pasca kejadian. Mereka mengevakuasi jenazah rekan-rekan mereka serta beberapa korban lainnya. Seorang petugas langsung menghampiri Kartawijaya yang duduk termenung di salah satu sudut ruangan itu – masih dengan memegang gadanya.
“Apa Bapak yang melawan gerombolan ini?” tanya petugas itu.
Kartawijaya mengangguk sementara petugas itu bertanya kembali, “Sendirian?”
“Ya.”
“Dengan gada itu?”
“Ya.”
“Itu gada milik siapa? Museum?”
“Tidak, ini milik saya pribadi. Saya seorang kolektor,” jawab Kartawijaya berbohong.
“Apa keperluan anda denga museum sehingga bawa-bawa gada kemari?”
“Oh, saya hanya hendak menaksir usia gada ini kepada kurator museum, tapi yah ... ternyata ada kejadian macam ini. Ngomong-ngomong siapa mereka ini?”
“Laskar Pralaya.”
“Mereka? Di sini?”
“Kami akui kami kecolongan Pak. Mereka seharusnya tak bisa masuk ke ibukota.”
“Oke ... apa ada pertanyaan lagi? Jika tidak saya hendak pulang ke rumah saya.”
“Baiklah Pak, identitas anda sudah kami catat. Jika kesaksian Bapak dibutuhkan kami akan memanggil Bapak kembali. Terima kasih atas kerjasamanya, Pak.”
“Baiklah, terima kasih kembali.”
*****
Kartawijaya memasuki sebuah stasiun MRT dan membeli tiket menuju stasiun di dekat kediamannya lalu berdiri di peron dan menunggu kereta.
Kau tidak merasakan telah melupakan sesuatu Baladewa? Suara Narada kembali bergaung di benaknya.
Melupakan apa?
Nenggala! Kartawijaya bisa merasakan kehadiran Narada di belakangnya.
Kenapa kau tadi menghilang Narada?
Aku ini brahmana Baladewa. Pantang bagiku untuk menyakiti sesama makhluk.
Bukankah Bisma, Rsi Drona dan Parasurama juga brahmana? Bukankah mereka semua juga maju perang?
Mereka adalah brahmana-kesatria sementara aku adalah brahmana-pertapa. Lagipula ... aku tak punya cukup kekuatan untuk melawan mereka.
Apa yang kau maksud dengan Nenggala tadi?
Senjatamu, trisula yang dicari antek-antek Aswathama tadi. Narada menyelipkan sebuah tongkat besi di genggaman Kartawijaya.
Jaga benda itu, jangan dipakai bila tidak terpaksa, jangan dipakai pula untuk melawan cecunguk macam orang-orang tadi, pakailah pada musuh yang benar-benar kuat.
Kartawijaya berbalik dan mendapati Narada sudah tidak ada lagi di sana.
*****
[1]Para penggemar cerita wayang akan mengenal ini sebagai bentuk gada yang sama dengan gada milik Satyaki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top