BAB IX : SERATUS PERKASA KETURUNAN WANGSA KURU

Jakarta, 09.00 WIB

Sebuah memo diterima Kartawijaya di arlojinya. Memo itu berisikan perintah untuk mewakili atasannya dalam pertemuan dengan direktur utama Hastinaputra Corporation siang nanti pukul 12.00 WIB. Kartawijaya mendesah, ia memang kurang suka diminta mewakili perusahaan dalam pertemuan-pertemuan resmi. Ia lebih suka mengawasi pembangunan sebuah konstruksi atau menggambar sebuah rancang-bangun daripada menghadiri rapat yang mewajibkan seseorang untuk pandai-pandai beretorika.

“Ya sudahlah,” Kartawijaya menutup memo itu dan beranjak menuju pelataran belakang kantornya di mana di sana ia menghampiri seorang pria paruh baya berkulit sawo matang.tengah meniup-niup secangkir kopi yang masih panas.

“Pak,” sapa Kartawijaya, “antar saya ke Menteng ya?”

“Ha? Oh sebentar Pak,” buru-buru pria itu menghabiskan kopinya lalu berjalan ke arah sebuah mobil putih berpintu empat dan menekan ibu jarinya di panel sensor.

Identitas Driver Diterima.

 

Terdengar suara kunci pintu  terbuka, Kartawijaya dan sopir itu langsung membuka pintu dan memasuki mobil itu. Sang sopir segera menyalakan mesin dan mobil itu segera keluar dari kompleks perkantoran tersebut menuju jalanan Jakarta yang ramai.

Jakarta, 10.00 WIB

Kartawijaya turun dari sebuah mobil MPV (Multi-Purpose-Vehicle) berwarna silver. Dipandanginya nama tempat yang ada di hadapannya itu : NEW JEPARA. Nama yang sama dengan nama restoran yang tertera di memonya. Ia berkaca pada kaca spionnya, merapikan dasi dan jasnya lalu berjalan masuk ke dalam resto.

Seorang pelayan yang mengenakan kemeja putih, celana dan jas merah tua, serta dasi hitam menyambut Kartawijaya, “Selamat datang di NEW JEPARA Bapak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mencari Bapak  Aji Sudrajat. Di mana beliau duduk?” jawab Kartawijaya.

“Oh Bapak ini dari ...,” pelayan itu menekan arlojinya dan memunculkan sekumpulan daftar nama hologram.

“PT. Bangun Eka Pertiwi. Mewakili Bapak Katamsi.”

“Oh baiklah. Bapak sudah ditunggu di lounge VIP. Mari Pak, ikuti saya.”

“Terima kasih,” Kartawijaya pun berjalan mengikuti pelayan pria itu menuju sebuah ruangan yang terletak agak di belakang. Ruangan itu adalah sebuah ruangan yang memiliki meja makan yang cukup panjang dan mampu menampung setidaknya 30 orang. Di sana sudah duduk setidaknya sepuluh orang yang tampaknya adalah petinggi dari berbagai perusahaan.

“Oh,” seorang pria berkumis dan berjanggut hitam yang duduk di kepala meja langsung bangkit begitu sang pelayan mengantarkan Kartawijaya memasuki ruangan, “Selamat datang Pak Kartawijaya,” sang pria itu langsung menyalami Kartawijaya.

“Terima kasih Pak Aji.”

“Silakan duduk,” Sudrajat menawari Kartawijaya untuk duduk di kursi yang paling dekat dengan kepala meja.

“Ah, tidak usahlah Pak,” Kartawijaya menolak tawaran itu dengan canggung.

“Tidak apa-apa. Silakan saja.” Sudrajat memaksa.

Setelah sempat sejenak tawar-menawar akhirnya Kartawijaya menyerah dan menuruti permintaan tuan rumah dengan duduk di kursi yang berada di sudut meja dan dekat sekali dengan kepala meja.

Tamu-tamu yang lain mulai berdatangan. Masing-masing saling menyapa, berkenalan, dan bertukar kartu nama digital yang berbentuk seperti lembaran hologram tipis yang langsung masuk ke dalam gadget mereka. Kartawijaya pun tidak ketinggalan. Meskipun selama ini ia tidak terlalu suka dengan tradisi macam itu, akhirnya ia turut membaurkan diri dalam tata-krama para eksekutif itu juga.

Makan siang itu berlangsung dalam suasana penuh pembicaraan bisnis. Mengenai daerah-daerah potensial yang kira-kira bisa menjadi lahan bagi mereka untuk membangun sebuah konstruksi, mengenai nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dan juga mengenai kondisi sosio-ekonomi Indonesia. Di saat makan siang itu telah berakhir, sang dirut – Aji Sudrajat – tiba-tiba berujar pada Kartawijaya, “Bapak Kartawijaya, bagaimana pendapat anda tentang Indonesia?”

“Yah, um ... saya warga Indonesia dan ini adalah tanah air saya. Di sini saya bekerja dan hidup.”

“Jawaban klasik,” desis Aji Sudrajat, “tapi pernah dikatakan seseorang  bahwa negara itu adalah penopang seluruh kehidupan rakyatnya. Pertanyaannya sekarang : Apakah negara ini sudah menopang kehidupan seluruh rakyatnya dengan baik?”

Dahi Kartawijaya mengernyit, pembicaraan yang dilakukan Aji Sudrajat ini tidak biasa.

“Kita bisa berbincang nanti di apartemen saya Pak Kartawijaya, jika anda berminat.”

Ada gairah aneh yang membara di dada Kartawijaya. Gairah yang sudah bertahun-tahun tidak ia rasakan. Gairah membara saat ia masih menjadi aktivis yang dengan gagahnya menantang segala bentuk tindakan pemerintahan sebelum akhirnya dijatuhi sebuah kenyataan pahit. Aktivis takkan bisa hidup layak dan seluruh hidup mereka adalah untuk pengabdian. Tapi melihat seluruh tindakan yang ia ambil bersama teman-temannya nyata-nyata tidak membuahkan hasil, kawan-kawannya mulai putus asa. Satu-per-satu meninggalkan idealisme mereka. Ia adalah yang terakhir mempertahankan idealisme itu sebelum akhirnya menyerah juga pada tuntutan zaman. Ia bekerja dan pekerjaaannya itu membuatnya lupa atas segala idealisme yang ia junjung dulu. Di kepalanya kini hanya ada proyek, tenggat waktu, dana operasional dan profit. Tidak ada lagi Kartawijaya yang membela korban-korban pemerkosaan, tidak ada lagi seorang Kartawijaya yang berseru-seru lantang menyerukan ketidakadilan yang dialami sejumlah masyarakat yang tanahnya disabot.

“Tentu saja saya bersedia,” entah kenapa Kartawijaya merasa ia harus mengiyakan tawaran itu.

“Kalau begitu mari ikut saya,” Aji Sudrajat bangkit berdiri dan membubarkan jamuan makan siang itu. Berjalan ke kasir dan membayar tagihan makan via akun bank miliknya lalu kembali kepada Kartawijaya.

“Apartemen saya empat kilometer dari sini. Kita bisa naik busway.”

“Lho, saya bawa mobil Pak. Bapak bisa ikut mobil saya.”

Sudrajat memandang ke arah mobil yang dimaksud Kartawijaya sebelum mengangguk mengiyakan, “Oke. Bolehlah.”

*****

M-21 MansionTower, Menteng, Jakarta

Kartawijaya memasuki sebuah apartemen berkamar dua di lantai 20 sebuah mansion bernama M-21 Tower. Ruang apartemen tempat tinggal Aji Sudrajat. Kartawijaya melirik foto-foto yang dipajang di dinding-dinding kamar itu. Foto-foto Sudrajat bersama seorang wanita sepantarannya dan seorang anak perempuan.

“Keluarga anda?” Kartawijaya bertanya.

“Ah ya. Itu keluarga saya,” jawab Sudrajat.

“Err mohon maaf atas kekasaran saya, tapi tidakkah apartemen ini terlalu kecil untuk ditinggali keluarga anda?”

Sudrajat terkekeh, “Tidak. Ini cukup besar. Sekarang apalagi, soalnya saya sekarang tinggal sendirian.”

“Lho, ke mana anak-istri anda?”

“Anak saya sedang sekolah di Australia sementara istri saya menemani anak saya di sana.”

“Jadi anda sendirian? Tidak kesepian?”

“Tidak, saya malah serasa kembali menjadi bujangan. Haha. Anda sendiri tidak menikah Pak Kartawijaya?”

Kartawijaya menggeleng, “Tidak.”

Sudrajat mengusap-usap kedua telapak tangannya, “Baiklah, mari kita lanjutkan pembicaraan kita tadi.”

“Anda tergabung dalam gerakan politik tertentu?”

“Parpol? Tidak. Bagi saya berpolitik melalui parpol adalah omong kosong. Toh anda bisa lihat sendiri bagaimana parpol hanya mencari keuntungannya sendiri baik saat pra-pemilu ataupun pasca pemilu. DPR-MPR hanyalah lahan penuh konflik. Bayangkan apa jadinya jika DPR-MPR tidak ada? Negeri kita tentu saja akan menjadi negeri yang lebih maju dan lebih baik.”

“Kemungkinan itu ada, tapi bukan 100 % jaminan hal itu akan terjadi.”

“Karena itulah kami memiliki sebuah masterplan baru Pak Kartawijaya,” Sudrajat mengibaskan tangannya dan sebuah model 3D hologram muncul di sebuah meja yang ada di tengah ruangan. Model itu merepresentasikan susunan diagram berisi peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi selama 100 tahun terakhir.

“Laskar Pralaya adalah gerakan separatis paling ganas dan paling sulit diberantas di negeri ini. Mereka tidak punya markas tetap tapi selalu saja muncul bak rumput liar. Dalam 80 tahun terakhir ini pemerintah kita seolah dipecundangi oleh mereka, atau begitulah kata pers.”

“Anda simpatisan Laskar Pralaya?”

“Saya bukan simpatisan mereka, tapi saya juga tidak pro pemerintah berstatus-quo kita. Kegagalan pemerintah kita menangani Laskar Pralaya adalah sebuah momok yang selama ini berusaha mereka tutup-tutupi. Tapi itu menjadi cukup bukti bahwa pemerintah kita perlu reformasi ulang. Namun reformasi kali ini harus berlangsung tanpa campur tangan sekumpulan bajingan.”

“Bagaimana bisa reformasi berjalan tanpa disusupi sekumpulan bajingan.”

“Anda mungkin akan mendengar rencana saya sedikit tidak masuk akal Pak Kartawijaya, tapi percayalah. Rencana ini akan berhasil.”

Kartawijaya baru saja berpikir lawan bicaranya ini mengalami gejala-gejala delusional ketika tiba-tiba pria itu menarik keluar sebuah tongkat berwarna kuning tembaga dari tempat payung dan menarik gagangnya sedemikian rupa hingga menunjukkan wujud asli tongkat itu sebagai pedang logam yang memancarkan cahaya kuning keemasan.

“Apa yang ...,” Kartawijaya terperanjat.

“Kenapa anda kaget Pak Kartawijaya? Bukankah anda sudah pernah menyaksikan benda semacam ini?”

Kartawijaya terkesiap dan Sudrajat melanjutkan bicaranya, “Di Museum Nasional, saat penyerangan Laskar Pralaya tempo hari dikatakan bahwa dua artefak yang baru saja digali tiba-tiba hilang. Satu artefak berupa gada dan satu lagi berupa tongkat logam sepanjang 1,8 meter. Anda hadir di museum hari itu dan anda tampaknya tahu betul bahwa dua benda itu bukan benda sembarangan.”

“Siapa anda sebenarnya?”

“Saya?”  Sudrajat mengulum senyum, “Saya adalah bagian dari 100 orang yang akan merestorasi negeri ini.”

“Seratus perkasa keturunan wangsa Kuru,” tiba-tiba saja kata-kata itu terucap dari mulut Kartawijaya.

“Ah, jadi anda mengingat kami Kakang Prabu Baladewa.”

*****

Di sebuah ruang berdinding putih, berhias aneka benda kesenian baik berupa lukisan, patung, dan benda-benda kerajinan lainnya seorang pria tua tampak berjalan mendekat ke arah sebuah meja di mana di sana tampak seseorang duduk di belakangnya.

Wajah pria yang duduk di belakang kursi itu tak tampak langsung oleh mata pria tua itu sebab pria itu tampak tengah menatap pemandangan kota yang terbentang melalui kaca jendela.

“Aswathama,” pria misterius itu akhirnya angkat bicara pada si pria tua, “Kenapa tidak kau tuliskan lagi sesuatu di atas kitab takdir itu Aswathama? Sesuatu yang membuat jalanku menjadi lebih mudah?”

“Saya tidak bisa menuliskan lebih banyak lagi di kitab ini, Tuanku. Sebab anugerah yang kuberikan pada anda dan keluarga saya rasa sudah lebih dari cukup. Lagipula kitab takdir hanya bisa ditulis sekali dalam satu abad.”

“Dan kenapa kau tidak menurunkan kami saja? Kenapa kau harus turunkan para Pandawa juga?”

“Untuk menurunkan sejumlah atma pada satu masa, sejumlah atma yang menjadi lawan tanding mereka juga harus turut turun. Tapi Paduka sudah tak perlu khawatirkan mereka lagi. Bukankah Pandawa seluruhnya sudah mati?”

“Nakula dan Sadewa belum. Anak-anak mereka juga belum.”

“Tapi Kurawa sudah menang. Anak-anak Kunti sudah tewas. Apalah arti anak-anak Pandawa serta si kembar itu di hadapan Seratus Perkasa Keturunan Wangsa Kuru? Lagipula Awatara Wisnu tak ada lagi bersama mereka.”

“Tapi ada Kakang Prabu Baladewa di tanah ini.”

“Anda meminta saya untuk membunuhnya?”

“Jangan. Jika kita sampai membunuhnya maka ...,” Sudrajat terdiam. Matanya tidak fokus, tubuhnya gemetaran penuh kegelisahan.

“Tuan takut akan amarah para Dewata?”

“Ya.”

“Dewata tidak akan ikut campur, Tuanku. Sebagaimana yang sudah-sudah kehadiran mereka di dunia ini hanya sekedar datang untuk memberi berkah pada para pahlawan semata. Apa yang Tuanku takutkan jika segala berkah yang Tuan miliki telah melampaui segala berkah yang dimiliki oleh para pahlawan lainnya?”

“Jangan ngayem-ngayemi kau Aswathama. Dahulu pun kalian para patih dan punggawa selalu menyanjung-nyanjung sampai aku lupa diri. Kau lihat hasilnya? Seluruh Kurawa dibantai habis di Padang Kurusethra. Dengarkan aku Aswathama, kali ini aku tidak ingin masalah ini tidak tuntas. Kau harus temukan si Nakula dan Sadewa lalu ... bunuh.”

“Baik Tuanku, bagaimana dengan anak-anak Pandawa?”

“Biar itu diurus oleh Jayadratha.”

“Baik Tuanku,” Aswathama membungkukkan badan kemudian beralih-rupa menjadi kepulan asap hitam yang terbang menghilang dari ruangan itu.

******

“Aswathama tidak berubah sama sekali ya Kang?” seorang pria yang sosoknya mirip dengan Sudrajat hanya lebih kekar dan tampak sedikit lebih tua daripada Sudrajat memasuki ruangan.

“Kenapa kau tidak ketuk pintu dulu, Dursasana?”

“Aku sudah ketok sampai tujuh kali tapi Kakang tidak menjawab. Jadi aku masuk saja.”

“Oh maaf. Ada kabar apa?”

“Jayadratha dan timnya sudah temukan beberapa anak-anak Arjuna. Dan anak-anak itu kini sudah dihabisi.”

“Bagus. Jadi ... sudah berapa anak-anak Pandawa yang kita dapat?”

“Kita masih memburu anak lelaki si Yudhistira itu. Tapi anak itu kabur dari rumahnya sejak berusia 18 tahun, jadi susah melacak keberadaannya.”

“Menurutmu dia Awatara Pancawala?”

“Mungkin ya. Si Yudhistira itu cuma punya dua anak. Satu lelaki, satu perempuan. Tidak mungkin kan Pancawala itu perempuan?”

“Oke, lalu anak-anak Bratasena?”

“Si Rudi Alfaris, eh ... maksudku Bratasena, menikah dengan seorang prajurit wanita bernama Maria Magdalena Passaharya. Anaknya kandungnya cuma satu, namanya Markus Passaharya. Selain itu mereka punya anak angkat juga, namanya Hariyadi Daksa.”

“Si Markus ini ... kira-kira siapa dia? Antareja, Gatot, atau si Antasena?”

“Entahlah. Tapi perburuan Jayadratha saat ini difokuskan untuk menghabisi anak-anak si Hariwangsa alias Arjuna itu dulu.

“Sudah berapa yang Jayadratha dapat?”

“Sudah delapan. Mereka itu Awatara Sumitra, Bratalaras, si kembar Kumaladewa dan Kumalasakti, Bambang Wijanarka, Bambang Wilugangga, Bambang Antakadewa, Bambang Sumbada.”

“Tunggu ..., kalian belum temukan Abimanyu?”

“Belum. Irawan juga belum. Wisanggeni apalagi.”

“Prabakusuma juga belum!” pria misterius itu memukul meja di hadapannya, dalam beberapa detik meja itu retak-retak dan hancur menjadi serpihan-serpihan kecil.

“Memang belum. Di zaman ini semakin sulit mencari mereka, Kang. Daftar pernikahan Hariwangsa di catatan sipil telah disabot. Kita hanya tahu bahwa ia pernah menikah dua kali, selain itu tidak. Jayadratha menemukan 8 anaknya dalam waktu sesingkat ini sudah merupakan prestasi bagus, mengingat kita mencarinya nyaris tanpa petunjuk dan hanya mengandalkan penelusuran dari wilayah ke wilayah. Tapi ... sebagai direktur keuangan aku juga menyarankan untuk sementara kita hentikan dulu perburuan ini Kang. Sudah 11 tahun kita melakukan ini, dan dana yang kita keluarkan untuk ini juga tidak sedikit. Penggunaan anggaran perburuan ini meningkat terus dari tahun ke tahun. Ditambah lagi ... kita masih punya kewajiban untuk membantu ‘mereka’.”

“Oh ya, ‘mereka’.”

“Saya meminta Kakang Duryodhana mempertimbangkannya kembali. Jika perusahaan ini pailit atau merugi, apa yang kita cita-citakan selama ini akan sia-sia.”

“Usulanmu akan kupertimbangkan Dursasana. Terima kasih sudah datang.”

“Daulat Kang. Saya undur diri.”

Si pria misterius yang dipanggil Duryodana itu memain-mainkan jari-jemarinya dengan gelisah sebelum akhirnya menatap ke arah sebuah layar hologram yang melayang-layang di hadapannya.

“Sedna, hubungi Paman Sengkuni,” ujar pria itu.

Proses pemanggilan dilakukan. Sebuah suara virtual terdengar di seantero ruangan. Beberapa saat kemudian layar hologram itu memunculkan sosok seorang pria paruh baya dengan rambut tipis yang sudah mulai memutih tampak tengah sibuk membolak-balik puluhan layar hologram.

“Paman Sangkuni,” panggil Duryodhana,

“Eh,” pria di layar itu tampak terperanjat dan menghentikan aktivitasnya untuk sesaat lalu buru-buru membetulkan letak kacamatanya dan menghadap ke arah layar, “Ada yang bisa saya bantu Anak Prabu?”

“Bagaimana keadaan di senat sana?”

“Wuah, kacau balau Anak Prabu. Seluruh fraksi panik atas serangan di Museum Nasional. Ditambah lagi serangan ke Tarakan ini.”

“Ada pergerakan dari TNI?”

“Komisi I (Komisi Pertahanan) sudah menerima rancangan serangan operasi militer TNI. Tapi hanya draft kasar seperti biasa. Jadi bagaimana Anak Prabu? Apa yang harus saya lakukan?”

“Tidak ada. Laporkan saja padaku perkembangan lebih lanjutnya.”

“Baik Anak Prabu.”

Sambungan terputus.

 

Pria misterius yang dipanggil Duryodhana itu akhirnya beranjak berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu sambil mengucapkan perintah pada entitas virtual yang ada di dalam ruangannya, “Periksa keamanan jaringan Sedna, cari tahu siapa yang mencoba masuk.”

Perintah dilaksanakan. Jadwal pelaporan enam jam dari sekarang.

 

 

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top