BAB IV : BALADEWA DARI MANDURA
Jakarta, 21.00 WIB
Gedung itu adalah sebuah gedung perkantoran berlantai limapuluh. Semua lampu di gedung itu sudah dipadamkan kecuali di lantai 23 di mana seberkas cahaya masih terlihat di satu ruangan. Dalam ruangan itu tampak empat orang tengah sibuk menggambar sesuatu di hadapan sebuah meja gambar teknik berlayar digital menggunakan pena dan mistar. Empat orang itu tampak sangat serius menekuni pekerjaannya hingga tak terasa jam yang terpasang di tengah ruangan itu sudah menunjukkan pukul 21.00.
Tiga orang saling melirik kawan-kawannya satu sama lain, lalu seorang dari mereka memberanikan diri untuk bicara, “Sudah jam 9 malam, Pak. Bapak tidak pulang?”
Yang diajak bicara adalah seorang pria kekar dengan potongan rambut rapi, berjanggut kasar, berkumis tebal, ekspresi mukanya kukuh nan keras. Wajar saja jika terkesan segan untuk bicara padanya.
“Kalian mau pulang?” pria itu melirik pada jam dinding yang terpasang di sudut ruangan, “Kalian duluan saja, aku hendak selesaikan gambar ini dulu.”
“Kalau begitu kami pulang dulu Pak Kartawijaya,” kata seorang dari antara mereka.
“Oke! Hati-hati di jalan semua,” jawab pria yang dipanggil Kartawaijaya itu sambil terus bekerja.
Sepeninggal anak buahnya, Kartawijaya kembali menghadapi deretan grafik dan tabel-tabel data berbentuk tampilan holografis yang ditampilkan oleh sebuah alat berbentuk lingkaran berdiameter 10 cm dan terpampang di hadapannya. Tak peduli akan malam yang sudah semakin larut, Kartawijaya masih saja meneruskan pekerjaannya. Maniak kerja – begitulah julukannya, dan karena hal itu pulalah sampai detik ini ia belum memiliki yang namanya pasangan hidup meski kepala empat sudah membentang di depan matanya.
Di tengah-tengah keasyikannya dalam bekerja, tanpa ia sadari sesosok pria muda berkulit gelap muncul di sudut ruangannya, “Masih asyik juga anda bergelut dengan pekerjaan Kartawijaya.”
Kartawijaya melirik sesaat pada pria muda itu dengan tatapan tidak suka. Ia tidak suka pekerjaannya diganggu, lebih tidak suka lagi karena ia beranggapan bahwa pria muda ini sok kenal dan sok akrab dengan dia meski usianya jauh lebih muda daripada dirinya.
“Siapa kamu, OB[1] baru?” tanya Kartawijaya ketika pemuda itu berjalan mendekati meja kerjanya.
“Narada,” jawabnya cuek.
Makin bertambah pula kekesalan Kartawijaya pada orang ini. Di matanya kata-kata pria muda ini sungguh tak sopan sama sekali. Ditolehkannya kepalanya ke arah Narada dan sebuah bentakan keluar dari mulutnya, “Kamu diajari sopan-santun nggak sih sama orangtuamu?”
Tapi ia dapati di belakangnya tidak ada siapa-siapa. OB itu tidak ada di tempatnya. Jantung Kartawijaya langsung berdegup kencang, tak beraturan. Berkali-kali ia harus menghela nafas panjang sebelum dapat menguasai kembali dirinya. Ia adalah orang yang rasional, tak pernah sekalipun ia bertemu dengan yang namanya hantu, tapi pengalaman hari ini juga bukan pengalamannya barusan membuatnya berpikir apakah dia terlalu capek, atau makhluk astral itu memang ada.
“Lebih baik aku pulang,” Kartawijaya segera merapikan peralatannya, lalu memasukkan benda berbentuk lingkaran berdiameter 10 cm tadi ke dalam saku celana panjangnya. Benda itu bernama CPA – Circle Personal Assistant, disebut demikian karena benda berbentuk lingkaran ini memiliki fungsi setara komputer sekaligus berfungsi sebagai asisten pribadi dengan mengingatkan pemiliknya akan agenda-agenda penting yang sudah ditulis di dalamnya.
Kartawijaya bergegas menuju lift dan memencet tombol ‘1’ ketika ia sudah memasuki lift itu. Tak butuh waktu lama sampailah ia di lobi bangunan yang hanya diterangi oleh beberapa buah lampu, tidak sepadan dengan ukuran ruang lobi yang cukup besar.
“Pulang Pak?” satpam di lobi itu menyapa Kartawijaya dengan seulas senyum.
“Iya, mari Pak,” balas Kartawijaya
Kartawijaya berjalan menuju sebuah apartemen yang terletak hanya selisih empat gedung dari gedung kantor itu. Ia memang sengaja memilih apartemen yang dekat dengan kantor supaya ia tak perlu memakan banyak waktu untuk perjalanan.
Satpam apartemen itu menyapanya ketika Kartawijaya melangkah masuk ke dalam lobi. Setelah membalas sapaan satpam itu Kartawijaya masuk ke dalam lift dan menuju lantai 7. Di sana ia masuki sebuah kamar bernomor 704, kamar yang menjadi rumahnya. Begitu masuk ke dalam, ia langsung hempaskan diri di sofa, menutup mukanya untuk beberapa saat sebelum menuju lemari pakaian untuk mengambil satu set pakaian tidur dan masuk ke kamar mandi.
Seusai selesai dengan urusan bersih-bersih badan itu, Kartawijaya yang sudah mengenakan setelan pakaian tidur langsung beranjak ke ruang keluarga – bermaksud untuk menonton TV sejenak. Tapi belum sampai ia di sana, ia sudah mendapati suara TV yang tengah menyala. Bingunglah Kartawijaya, “Bukankah TV-nya sudah kumatikan saat aku berangkat tadi?” begitu pikirnya.
Ketika ia sampai di ruang keluarga, ia dapati bahwa TV miliknya memang menyala dan yang lebih mengejutkan dirinya, sosok pria muda bernama Narada itu tengah duduk santai di sofa dengan kedua kakinya ditumpangkan di atas meja. Murkalah Kartawijaya, “Hei kau! Entah jin, entah siluman, entah pemuda kurang ajar, siapa yang beri kau izin masuk ke rumahku dan santai-santai di sini? Keluar!”
“Wah-wah, kok begitu sambutanmu pada kawan lama?” pria bernama Narada itu langsung bangkit dari sofa.
“Teman lama? Aku tidak pernah punya teman sepertimu!”
“Di kehidupanmu yang sekarang memang tidak, tapi di kehidupanmu yang lalu?”
“Heh? Tukang gendam apa tukang tipu kau ini? Keluar! Aku tak mau lihat mukamu lagi!”
“Jangan begitu Baladewa, tak sopan kau usir seorang Bathara yang datang ke rumahmu.”
Mendengar kata ‘Baladewa’, Kartawijaya langsung merasakan sesuatu yang familiar dengan nama itu. Seolah ‘Baladewa’ adalah sebuah nama yang melekat dengan dirinya. ‘Baladewa’ adalah dirinya. Tapi kekerasan hati dan jalan pikiran logis membawanya kembali pada sebuah pertanyaan logis, “Bathara? Masih ada Bathara di zaman ini?”
“Bathara selalu ada di setiap masa, Baladewa. Kami tidak mati.”
“Bathara sudah lama mati! Sebab jika mereka masih hidup maka sudah pasti tidak akan ada kesewenang-wenangan di negeri ini!” Kartawijaya menunjuk ke layar televisi yang menayangkan berita mengenai kasus-kasus peradilan yang dianggap melanggar hak-hak orang lemah. Sebuah kasus tuntutan hukuman penjara pada seorang penegak hukum yang selama ini dikenal sangat beringas dalam membabat para pelanggar hukum.
“Ini zaman Kaliyuga, Baladewa. Kau tahu sendiri itu. Lupakah kau pada kejadian 38 tahun yang lalu? Saat itu kau bertarung dengan Aswathama bukan? Apa yang terjadi saat itu?”
“38 tahun yang lalu? Kau sinting ya? Belum lahir aku saat itu! Masih jadi orok di rahim ibuku!”
Narada menggeleng-gelengkan kepalanya, “Ternyata memang sulit meyakinkanmu yang ingatannya sudah disegel oleh Aswathama. Baiklah ... Baladewa, aku tinggalkan satu hadiah untukmu di sini. Pakailah itu, siapa tahu kau bisa mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi.”
Lalu Narada menghilang secara tiba-tiba, sama seperti saat Kartawijaya menyaksikannya di kantor. Kartawijaya kebingungan, dicubitnya pipinya untuk memastikan dirinya tidak bermimpi. Sakit, itu artinya ia sadar 100%. Televisi masih menyala, sofa tampak berlekuk bekas diduduki seseorang, sementara di meja yang terletak di depan sofa ia dapati selembar kertas dan sebuah cincin bermata batu badar besi. Ia pungut cincin itu, mengamat-amati cincin itu dari segala sudut. Ikat cincinnya bukan dari monel (emas putih) sebagaimana kebanyakan cincin yang dijual di perajin cincin maupun pusat perbelanjaan, melainkan emas murni dengan ukiran-ukiran hewan seperti kijang, sapi, dan domba. Mata cincinnya batu badar besi berwarna hitam legam, berbentuk segienam dan berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu. Kartawijaya coba kenakan cincin itu di jari manis kirinya dan ia dapati cincin itu masuk dengan pas.
Matanya kemudian beralih kepada secarik kertas yang ada di sana. Sebuah kelangkaan bisa menemukan kertas di zaman semodern ini. Kartawijaya ingat betul bahwa kertas fisik saat ini sangat jarang digunakan. Kertas fisik hanya digunakan untuk gambar teknik atau rancangan-rancangan bersifat teknis lainnya. Lagipula kertas di tangannya ini terlihat sudah menguning, sebuah kertas yang tampaknya dicetak pada awal-awal abad 21. Di kertas itu tertulis ‘MUSEUM NASIONAL, BESOK PUKUL 10.00.’
[1]Office Boy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top