BAB III : KORSA

Tamansari Boulevard

Sepeda motor yang dinaiki Markus telah membawanya ke kompleks apartemen mewah Tamansari Boulevard. Markus mendecakkan lidahnya ketika melihat bangunan megah dan tinggi itu menjulang dengan angkuhnya di tengah-tengah daerah yang dahulu adalah rumah-rumah susun kumuh dan tak terurus.

“Jadi untuk ini ya mereka dulu harus pindah? Supaya mereka mendapatkan tempat enak buat dirimu untuk mendudukkan pantat betonmu?” omel Markus sembari mengeluarkan sepuntung rokok dari saku jaketnya, lalu dinyalakannya dengan sebuah pemantik dan dihisapnya dalam-dalam.

“Heh,” Markus mendesah panjang sambil menghembuskan asap putih kelabu ke udara malam, “Tapi sia-sia saja aku berkeluh-kesah bukan?”

Menit demi menit pun berlalu, rokok di tangan Markus mulai memendek dari waktu ke waktu hingga akhirnya nyaris tandas. Baru saja Markus hendak memadamkan rokoknya terdengar suara histeris meminta tolong dari arah taman di seberang apartemen itu, “Pak! Pak! Tolong saya!” seorang wanita dengan panik berlari ke arah Markus. Wajahnya panik dan penuh ketegangan.

“Tenang Bu. Ada apa?” Markus segera menginjak puntung rokoknya dan menghampiri wanita itu.

“Sa-saya dikejar orang,” wanita itu dengan ketakutan menunjuk ke arah sebuah gang yang gelap. Dari gang tersebut muncul seorang pria kekar yang memegang sebilah belati.

“Hei! Mau apa kau?” bentak Markus.

“Ini urusanku dengan dia, Tuan. Sebaiknya anda minggir,” jawab pria itu dingin.

“Belati itu! Mau apa kau dengan benda itu?”

“Ini? Melakukan tugasku,” jawabnya datar sementara buruannya tampak gemetaran di balik punggung Markus.

Markus merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ID Card Kepolisiannya, “Berhenti di sana! Anda saya tahan!” sementara wanita yang tadi berlindung di balik dirinya perlahan beringsut, mencoba melarikan diri.

 “Itu kalau anda bisa tangkap saya, Pak Polisi!” pria misterius tersenyum jahat lalu melemparkan belati itu dengan akurasi yang luar biasa ke arah buruannya. Pisau itu menancap di kepalanya dan wanita itu roboh tak bernyawa.

“Astaga!” Markus mendelik ngeri ke arah wanita itu, “Diam di tempat! Anda saya tahan!”

“Polisi baru ya? Pantas saja naif.”

“Stop!” kali ini Markus menarik keluar revolver miliknya dan menodongkannya ke arah pria tersebut. Tapi pria tersebut juga mengeluarkan sepucuk revolver dan balas menodong Markus. Di luar dugaan, pria itu tanpa ragu-ragu menembak Markus tepat di dada kanannya.

“Heh?” pria itu terperangah sesaat ketika menyaksikan bahwa Markus tetap bergeming di tempatnya.

“Oh, saya lupa beritahu anda Pak,” Markus segera beranjak maju, masih tetap menodongkan pistolnya, “kalau saya ini bukan polisi biasa.”

“Menarik!” pria itu menyeringai keji lalu langsung menerjang ke arah Markus, melayangkan sebuah pukulan tangan kanan.

Markus berkelit dari pukulan pria tersebut. Dihantamnya pria itu dengan tendangan kaki kanannya tapi pria itu juga tak kalah gesit, ia berkelit lalu mundur empat langkah dari posisi Markus berdiri. Sekali lagi pistolnya menyalak dan menghantarkan sebutir peluru ke arah Markus tapi peluru itu tampaknya tidak menyakiti polisi itu sama sekali.

“Hup!” Markus memiting lengan pria itu dan memitingnya sedemikian rupa, lalu memborgolnya.

“Kena kau!” pria keturunan Ambon itu tersenyum bangga, penuh kemenangan.

“Kau yakin, Pak Polisi?” pria misterius itu dengan tenaga yang tak terduga tiba-tiba menghancurkan borgol yang membelenggunya sehingga serpihan-serpihan rantainya berjatuhan di aspal jalan.

“Tak mungkin! Siapa kau?”

“Aku adalah orang yang sebaiknya jangan kau jadikan musuh, Pak Polisi!” pria itu mengeluarkan sebilah pisau belati yang memendarkan cahaya biru dari balik mantelnya. Dengan kecepatan yang luar biasa, pria itu sudah menusuk Markus dengan pisau itu tepat di dadanya. Polisi itu merasakan seluruh energinya terkuras habis dan kakinya gontai, tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya. Akhirnya robohlah dia ke tanah dengan seluruh tulang dan otot yang terasa sudah tak lagi ada pada tempatnya.

“Tapi sayang kau sudah menjadi musuhku,” ujar pria itu sembari berjalan pergi, meninggalkan Markus sendirian, terkapar di jalanan yang gelap dan sepi.

*****

Di tengah kesadarannya yang mulai menipis seiring waktu, Markus akhirnya menakan dengan susah payah berhasil menekan sebuah tombol merah yang ada di gelang pada lengan kanannya sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri.

Beberapa menit kemudian seorang polisi tiba di tempat di mana Markus terbaring tak sadarkan diri segera ia menekan tombol panggil pada gelang komunikasi yang terpasang di tangan kirinya dan tampaklah sebuah layar virtual yang memunculkan wajah seorang operator wanita. “Kami temukan seorang opsir polisi, terluka di daerah Tamansari Boulevard Mohon kirimkan ambulans secepatnya!” ujar sang polisi itu.

“Segera!” operator wanita yang tampak di layar segera merespon laporan tersebut, “ambulans akan tiba dalam waktu 5 menit.”

*****

RSUD Dr. Soetomo

Seorang wanita paruh baya – berseragam loreng khas TNI Angkatan Darat dengan tanda pangkat dua garis hitam berlekuk seperti dua gunung berjajar, pangkat Peltu[1] – tampak memasuki pintu rumah sakit dengan langkah tergesa.

“Permisi Suster, anda tahu di mana anak saya?” tanya wanita itu pada suster jaga.

“Anak Ibu? Siapa namanya?”

“Markus Passaharya.”

“Ipda Markus Passaharya? Dia ada di Bangsal 7, Bu. Mari saya antar.”

Wanita berseragam loreng ala tentara itu tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata ketika menyaksikan putranya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dalam kondisi tak sadarkan diri. Meskipun ia adalah seorang prajurit, kesatria pembela negara, tapi batinnya hancur juga ketika menyaksikan putranya terbaring tak berdaya macam itu. Sesaat kemudian seorang pria berjaket kelabu dan mengenakan topi loreng ala tentara pula mendekat ke arah wanita itu. Dari wajahnya tampak ia lebih muda daripada ibu yang sedang berduka itu.

“Tante?” pria itu menyapa wanita itu.

“Ah, Riyadi. Terima kasih sudah datang,” wanita itu cepat-cepat menyeka air matanya.

“Kenapa dengan Markus?”

“Kabarnya diserang oleh seorang kriminal di Tamansari Boulevard.”

“Diserang dan dilukai? Bagaimana mungkin?”

“Aku juga tidak tahu, Riyadi.”

“Cuma satu orang yang bisa melukai dia.”

“Adipati Karna dengan Kontawijayandanunya maksudmu? Riyadi, jika benar musuhnya menggunakan Kontawijayandanu sudah pasti dia sudah mati sekarang.”

Riyadi mematut-matut dagunya untuk sesaat, pandangannya beralih antara Markus Passaharya yang terbaring tanpa daya lalu kepada ibu si sakit yang menunggu di samping ranjang itu,“Sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sini, Tante. Saya akan memeriksanya.”

“Terima kasih Riyadi, titip salamku untuk ibumu.”

*****

Tamansari Boulevard

“Hei Dham,” Riyadi menyapa seorang petugas polisi yang tengah berjaga sendirian di sebuah pos polisi di tengah jantung kota Surabaya ini, “Kok sendirian?”

“Hamzah sedang keliling sambil ke kamar kecil tuh. Tumben sampean kemari Di? Ana apa – ada apa – Mas?”

“Barusan ada polisi ditusuk preman di sekitar sini kan?”

“Yap.”

“Di mana tuh tempatnya?”

“Mau kuantar ke TKP?”

“Memang boleh masuk?”

“Yang ditusuk itu kan adik sampean, kan?”

“Kok tahu?”

“Baca berkas sesama anggota kepolisian,” polisi bernama Idham itu nyengir kuda di hadapan Riyadi.

“Kalau situ ngantar saya apa nggak kosong pos polisi ini?”

“Ya nunggu Hamzah balik dulu lah, ayo Mas, ngopi dulu!” Idham menyodorkan segelas kopi panas kepada Riyadi.

“Suwun.”

Riyadi dan Idham melanjutkan obrolan mereka sampai sepuluh menit ke depan. Saat waktu sepuluh menit telah berlalu datanglah seorang polisi lainnya ke pos jaga itu.

“Yo Hamzah, lama sekali kau kelilingnya,” sapa Idham.

“Ya, biasalah.”

“Jaga pos dulu ya, aku mau keliling sama temanku dulu.”

“Oke!” Hamzah langsung menuang kopi ke dalam gelas dan duduk santai di sebuah bangku panjang, sementara Idham dan Riyadi langsung melangkah keluar dari pos jaga itu.

*****

“Di sini tempatnya!” Idham menunjuk sebuah area yang dikelilingi garis polisi.

“Wuiii … tampaknya polisi sudah menyapu bersih tempat ini,” komentar Riyadi.

“Memang, tapi … aku masih bisa melacak jejak energinya.”

“Kenapa tidak kau lakukan dari tadi saja?”

“Lalu membocorkan kemampuanku di hadapan semua orang? Tidak, tidak. Aku tidak mau ambil resiko kepalaku putus atau aku mati dengan perut bocor gara-gara orang tahu kemampuanku, oke?”

“Oke, oke, lakukan saja.”

Idham berlutut di atas aspal yang kasar dan dingin, lalu menempelkan kedua tangannya ke atas aspal, berkonsentrasi. Satu-dua bayangan melintas di otaknya dan tak lama kemudian seluruh rentetan kejadian penusukan Markus terpampang di hadapannya.

“Huff!” Idham menghela nafas panjang ketika ia selesai melakukan itu. Dahinya berbanjir peluh dan matanya tampak berkunang-kunang.

“Bagaimana?”

“Pelakunya seorang debt-hunter.”

“Sial! Sudah kuduga ini akan menjadi sesuatu yang tidak beres. Kau tahu di mana dia sekarang, Mas?”

“Dia … ada di sebuah kafe, Kafenya bernama …De Java.”

“Yoy! Aku akan segera ke sana. Kau ikut?”

“Tidak ah. Aku capek! Aku mau langsung balik ke pos jaga lalu tidur.”

“Kalau terjadi apa-apa denganku kau yang akan kupersalahkan lho.”

Idham hanya nyengir, “Siapapun lawanmu itu, dia bukan lawan dari seorang Awatara Antareja, Mas.”

*****

Janggala tengah duduk di sudut sebuah kafe yang tengah sepi oleh pengunjung, matanya berkali-kali melirik arlojinya sementara matanya tak henti-hentinya memperhatikan sekeliling kafe itu. Tingkahnya baru ia hentikan ketika seorang pria yang berpakaian serupa dengan dirinya memasuki kafe itu dan menghampirinya.

“Lama sekali kau, Anas? Ke mana saja kau?” Janggala menyapa pria misterius bermantel hitam itu ketika ia memasuki bar tersebut.

“Kau tahu sendiri lah,” jawab Anas dingin.

“Kau dapatkan bayarannya?”

“Oh tentu dong.”

“Dengan apa ia membayarnya?”

“Dengan nyawanya dan nyawa seorang polisi.”

“Polisi?”

“Ya! Seorang polisi sok jagoan yang dengan congkaknya langsung menghadangku dalam melakukan tugasku.”

“Dia mati?”

“Harusnya iya. Sudah kutusuk ia tepat di jantungnya.”

“Toast!” Janggala mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, “untuk satu lagi aparat busuk yang akan dimasak matang-matang di bawah sana.”

“Setuju.”

*****

“Sudah malam, sudah waktunya aku pulang.”

“Hendak mengeloni istrimu, Bung?”

“Kalau jam segini aku masih dapat jatah, kalau lewat jam ini aku minta jatah siap-siap saja besok aku ke kantor dengan mata lebam.”

“Hati-hati di jalan Bung, kalau sampai kau terburu nafsu karena bayangan tubuh molek istrimu bisa-bisa kau dapat gelar strata-4 lebih cepat nanti.”

“Strata-4? Bukannya maksimal jenjang pendidikan itu Strata-3?”

“Gelar ‘Almarhum’ maksudku.”

“Setan kau, Janggala!” Anas pura-pura gusar.

Janggala tahu kawannya itu hanya pura-pura gusar sehingga ia malah tertawa. Pada akhirnya Anas pun turut pula tertawa sebelum ia memakai helmnya dan mulai menyalakan motornya.

“Selamat malam Tuan-tuan,” tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapa mereka. Ketika Anas dan Janggala berbalik, tampaklah di hadapan mereka seorang pria yang tak lain adalah Riyadi.

“Apakah anda berdua debt-hunter ya?”

Debt-hunter atau bukan, itu bukan urusan anda, Pak,” ujar Anas.

“Siapa di antara kalian yang tadi sore menusuk seorang polisi di depan Tamansari Boulevard blok A-2?”

Air muka Anas langsung berubah pucat ketika mendengar kata-kata itu, “Kau polisi?”

“TNI lebih tepatnya.”

“Hah, cuma TNI rupanya. Tenang saja, Anas, orang ini tidak akan berani macam-macam. Dia serang kita maka sudah pasti dia kena sanksi,” ujar Jenggala angkuh.

“Kata siapa? Mari buat ini menjadi urusan pribadi. Yang kalian tusuk tadi itu ... adik saya. Jadi ... sekarang katakan siapa di antara kalian yang menusuknya?”

“Kalau kami menolak?” kembali Janggala yang menanggapi kata-kata Riyadi.

“Maka aku akan paksa kalian mengaku.”

“Lawan yang menarik, nih. Anas ... pulang sana. Keloni istrimu, orang ini biar aku yang urus.”

“Tapi,” Anas mencoba membantah.

“Sstt!! Aku bisa mengurus ini lebih rapi dan lebih bersih daripada dirimu.”

“Uh, oke,” Anas segera menyalakan mesin motornya dan mengaktifkan menkanisme jet pendorong di bagian belakang motor itu, dalam sekejap motor itu sudah melaju dengan kecepatan 80 km/jam di jalanan kota Surabaya.

“Temanmu yang melakukannya kan?” tanya Riyadi pada Janggala.

“Bisa dia yang melakukannya, bisa juga aku. Tak masalah bukan? Kau bisa saja tuduh aku pelakunya lalu kau bawa aku ke meja interogasi, hajar aku sampai bicara, dan ting-tong kau dapatkan seorang tersangka.”

“Aku tidak tahu apakah sikapmu ini bisa dibilang setia kawan atau bagaimana.”

“Sama seperti dirimu Pak Prajurit. Karsa – komando satu rasa.”

“Pembunuh bela pembunuh.”

“Sama seperti kalian, pencoleng berlencana bela pencoleng berlencana.”

“Jadi ...,” jari-jemari Riyadi sudah mulai bergemeretak.

“Mari kita selesaikan ini dengan cara orang primitif, pakai otot!” sambung Janggala.

[1]Peltu : Pembantu Letnan Satu, satu jabatan di bawah Letnan Dua

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top