BAB II : SENJA

Plaza Surabaya

 

“Kamu terlambat,” gerutu seorang wanita berkacamata yang rambutnya diikat ekor kuda kepada seorang pria muda berkulit hitam dan berambut cepak.

“Cuma lima menit. Bukan masalah besar toh?” pria muda itu mencoba berdalih.

“Lima menit itu berharga banget loh, Pak Polisi!”

“Iya-iya, maaf deh, Bu Direktris.”

“HEH! Aku belum jadi direktris tahu!” wanita itu pura-pura sewot.

“Tapi situ kalau ngomong macam direktris saja,” lawan bicaranya kembali menggodanya. Kali ini wanita itu tak bisa menahan tawanya dan sang pria itu pun ikut tertawa.

Pria itu mulai berbasa-basi, “Bagaimana kabar ayahmu?”

“Masih menjadi ‘algojo berdarah dingin’.”

“Algojo? Memangnya sudah berapa banyak temen cowokmu yang ‘dibunuh’ sama dia?” tanya Markus.

Rani tertawa, “Tentu saja belum pernah ada yang terbunuh. Semarah-marahnya dia mana mungkin ia berani bunuh orang? Dia kan ‘algojo’ ruang sidang?”

“Kalau aku yang dia bunuh, apakah kau akan menangis di atas makamku?”

Rani kembali tertawa, “Tidak! Aku akan cari pacar baru!”

“Lihatlah, kini kau melucu.”

“Itu karena kau juga melucu.”

Dan kedua insan itu pun kembali tertawa berderai.

*****

“Tak kusangka seorang polisi sepertimu punya rasa humor, Markus.”

“Ah, jangan samakan kami dengan jaksa macam ayahmu dong. Kami polisi bahkan punya rasa humor lebih besar daripada seekor sapi potong.”


Wanita itu tertawa lagi, “Tentu saja! Kamu kan manusia, bukan hewan memamah biak.”

Dan kini sang pria itu pun ikut tertawa sebelum kembali berbincang.  Perbincangan mereka terus bergulir sebelum sebuah alunan musik terdengar dari gelang yang dikenakan sang pria.

“Ada tugas Markus?” sang wanita itu bertanya kepada sang pria.

Pria bernama Markus itu hanya mengangguk.

“Pergilah. Mungkin kita bisa bertemu lain kali.”

“Maaf kalau aku telah merusak acara pertemuan kita, Ratih.”

“Bukan salahmu, Pak Polisi. Kau itu abdi masyarakat, karena itu sebagai calon istrimu aku sudah harus dapat memaklumi tugas dan kewajibanmu mulai dari sekarang.”

*****

Wanita bernama Ratih itu mencegat sebuah taksi di depan Plaza tersebut dan taksi itu pun melaju di jalanan kota yang mulai padat oleh kendaraan. Ia memandang ke langit di mana beberapa mobil anti-gravitasi tampak terbang hilir-mudik di jalur lintasan yang sepi.

“Bahkan setelah kendaraan itu ditemukan, kenyamanan masihlah menjadi milik orang-orang berduit,” gumam Ratih dalam hati sementara taksinya masih berjuang untuk lolos dari kemacetan itu.

*****

Tambaksari, Surabaya.

Tambaksari, Surabaya.

“Yo Ipda[1] Markus! Akhirnya kau datang juga!” seorang polisi paruh baya menyambut kedatangan Markus yang baru saja tiba dengan menaiki sepeda motor dinasnya.

“Ada apa, Pak Rahman?”

“Pembunuhan!”

“Pembunuhan?”

“Ya!” ujar Rahman sembari mengajak Markus memasuki sebuah gang sempit yang dibatasi oleh garis polisi. Kerumunan orang terlihat di sisi gang yang berlawanan dengan jalan masuk yang ditempuh Markus dan rekannya. Dari gang itu mereka memasuki sebuah gang buntu, di mana pada ujung gang tersebut telah tergeletak sesosok jenazah. Jenazah pria berusia 30 tahunan dengan sebuah luka menganga di perutnya.

Rahman segera mengenakan sarung tangan karetnya lalu segera berlutut di samping mayat tersebut, “Coba lihat ini!” Dimiringkannya sedikit kepala pria itu sehingga terlihatlah sebuah bekas luka tusuk di belakang kepalanya.

“Satu tusukan fatal… dan habislah nyawanya,” Rahman mendesah.

“Siapa Mr.X ini?”

“Pendatang ilegal tampaknya, lihat saja gelang identitasnya tidak ada.Yang kita dapatkan cuma alamat tempat kerjanya saja.”

“Di mana?”

“Tamansari Boulevard, apartemen 1224.”

“Aku akan segera ke sana.”


[1] Inspektur Polisi Dua

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top