BAB I : TENGGARA
Republik Indonesia, 2115 M.
Malam telah turun di Tenggara, sebuah kota baru yang dibentuk di provinsi Jawa Barat. Seperti namanya – Tenggara, kota ini berada sebelah Tenggara kota Jakarta. Kota metropolitan yang seolah adalah surga, tapi juga menyimpan segudang masalah.
Seorang pria bertubuh kekar, berbalut jaket hitam selutut berjalan di tengah keramaian kota Tenggara. Mobil-mobil hilir mudik di jalanan beraspal juga di udara. Suara musik terdengar berdentum-dentum di pertokoan yang berjajar di sepanjang jalan. Beberapa wanita tuna-susila menjajakan diri pada setiap orang yang mereka temui, termasuk kepada pria itu.
“Tidak!” jawabnya tegas sembari melambaikan tangan, tanda ia tidak bersedia.
Kakinya terus melangkah hingga ia tiba di muka sebuah gang sempit dan gelap. Dimasukinya gang itu tanpa rasa ragu sedikit pun. Tampak di beberapa sisi gang, sekelompok muda-mudi bergaya punk sedang memadu kasih. Pria itu tak mempedulikannya, ia menaiki sebuah tangga di sisi sebuah bangunan. Terus naik hingga ia tiba di lantai 4 bangunan tersebut.
Lantai 4 bangunan yang ternyata merupakan apartemen murah, tempat tinggal yang bagi mereka yang mendamba untuk mencicipi gemerlap perkotaan tapi tak punya cukup uang untuk menghuni suatu tempat tinggal yang layak. Dinding apartemen ini berlumut dan retak di sana-sini. Hidung yang peka akan menangkap aroma apak yang luar biasa kuatnya, kombinasi antara kondisi tempat itu yang lembab dan tumbuhnya cendawan-cendawan di langit-langitnya.
Pria itu berhenti di depan sebuah kamar bernomor 4E. Diketuknya pintu kamar itu perlahan.
“Siapa?” tanya seseorang dari dalam kamar itu, tapi sang pria tidak menjawab.
“SIAPA?” pria di dalam kamar itu membuka pintu dengan kasar sembari menghardik sang pengetuk pintu dengan pongahnya.
Sang pria yang mengetuk pintu tidak menjawab apa-apa selain mengambil sebuah benda mirip selembar kaca tipis. Ia goyangkan benda itu sedikit dan muncullah sekumpulan tulisan pada kaca tipis itu :
Complete Name : Ranta Janggala
Position : Debt Hunter
Satyawati Finance Corp.
Dan langsung pucat-pasilah wajah pria penghuni apartemen itu. Dipersilakannya tamu yang tidak ia harapkan itu untuk memasuki tempat tinggalnya dengan penuh keterpaksaan. Sang pria bernama Janggala itu tersenyum penuh kemenangan dan langsung memasuki apartemen itu tanpa ragu-ragu.
“Anda punya tempat tinggal yang menawan Pak Halim,” ia menyindir sang tuan rumah atas kondisi tempat tinggalnya yang kumuh, bau, dan jorok. Kecoa berlalu-lalang di lantai kamarnya yang buram karena tidak pernah disaput kain pel, piring kotor bertumpuk di mana-mana – tak pernah dicuci tampaknya.
“Terima kasih,” sang tuan rumah menjawab getir dengan senyum yang kentara sekali dipaksa-paksakan, “Ngomong-ngomong … ada yang bisa saya bantu, Pak Janggala?”
“Tentu saja ada, Pak Halim. Ini soal …,” Janggala memainkan benda mirip kaca tipis itu tadi – mini tablet – dan seketika benda itu menampakkan sejumlah besar deretan angka yang bermuara di satu jumlah, “daftar hutang anda.”
“Gila! Mampus aku! Habislah aku!” pria bernama Halim itu bergumam ngeri dalam batin, diliriknya tamunya itu dengan takut-takut, seolah tamunya itu adalah seorang iblis pencabut nyawa.
Tapi memang pria bernama Halim itu punya alasan untuk takut. Sudah setahun ini ia telah lari dari kejaran para penagih hutang yang terus memburunya. Ya! Ia diburu para penagih hutang atas hutangnya yang telah menggunung. Salah memang ia menempuh hidupnya dulu. Salah memang ia habiskan duitnya untuk bermain perempuan. Salah memang jika ia dahulu tidak sadar bahwa ia hidup mewah di atas gunung hutang sampai-sampai ia lupa bahwa ia tak sanggup membayar itu semua.
Lari dari kejaran para debt collector – penagih hutang – menjadi solusi terakhir bagi dirinya. Ia tinggalkan anak-istrinya di suatu tempat dalam lindungan keluarga dan kerabatnya sementara ia sendiri pergi dari satu kota ke kota lainnya. Ia bekerja apa saja asalkan bisa hidup, bahkan mencuri ataupun menipu pun ia bersedia lakukan itu demi mendapatkan cukup uang untuk terus hidup dan bergerak dari satu kota ke kota lainnya. Tapi kini ia berhadapan dengan momok terbesar para penghutang yang mangkir dari kewajibannya, debt hunter – debt collector dengan kemampuan khusus dalam bidang investigasi dan pelacakan orang hilang. Kemampuan investigasi mereka dapat disetarakan dengan kemampuan seorang penyelidik kepolisian, dan mereka juga terkenal tak segan-segan merenggut apa saja dari seorang penghutang yang mangkir.
“Jadi … berapa duit yang anda punya sekarang?” Janggala bertanya dengan intonasi yang tenang, datar, namun terasa mengancam bagi Halim.
“A-anu, saya baru pu-punya uang satu juta.”
“Wuah! Hutang Bapak ini empat milyar kok Bapak mau bayar cuma satu juta?” Janggala menunjuk ke angka yang berada di baris paling bawah – yang menunjukkan nominal Rp. 4.310.400.000,-.
“A-ampun Pak! Saya janji! Saya akan bayar!” Halim bersimpuh di hadapan Janggala dan dengan penuh menghiba memohon-mohon tambahan waktu.
Janggala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kalau Bapak memang berniat membayar, kenapa harus tunggu sampai setahun?”
“I-itu karena saya butuh waktu untuk mengumpulkan uangnya, Pak.”
“Oh ya?” Janggala bangkit berdiri dari kursinya dan mengamati sekelilingnya, tampaknya ada sesuatu yang tengah ia cari.
“Punya barang berharga?” tanya Janggala.
“A-ada Pak. Saya punya TV!”
“Yang lain?”
“Cu-cuma itu, Pak!”
Seulas raut kecewa tampak muncul di wajah Janggala namun tak berapa lama kemudian senyum sinisnya kembali terkembang, “Kalau begitu … Bapak bayar saja dengan nyawa Bapak!”
“Hah? Maksudnya?”
“Usia Bapak masih muda, masih 30 tahun. Sedikit perokok tapi secara umum anda sehat! Organ tubuh anda masih bagus! Mahal kalau dijual!”
“A-apa? Anda tak bisa melakukan itu! Negara ini adalah negara hukum! Ini merupakan suatu pelanggaran hukum!”
“Hooo? Seorang pelanggar hukum berbicara soal hukum? Apa telingaku tak salah dengar?”
“Saya memang pelanggar hukum Pak! Tapi jika anda dengan semena-mena mencabut nyawa orang lain, saya yakin anda takkan bisa lolos dari hukum!” Halim mencoba mengancam Janggala dengan sedikit pengetahuan hukum yang ia dapatkan saat dirinya masih berjaya dahulu.
“Saya rasa polisi tidak akan ambil pusing dengan kematian seorang bajingan di sebuah tempat kumuh seperti ini. Polisi kita … lebih tertarik untuk kasus-kasus besar dan fenomenal, lebih tertarik lagi kepada kasus-kasus yang bisa hasilkan uang. Polisi tak akan pernah ambil pusing atas kematian anda. Peduli setan mereka pada anda, jadi … saya sarankan anda segera serahkan nyawa anda!” Janggala segera menarik keluar sepucuk pistol dan menodongkannya ke arah Halim.
“Tidak!” Halim segera merogoh bagian belakang celananya dan menarik keluar sepucuk pistol pula.
DOR! Halim menembak lebih dulu, tapi Janggala berkelit dan langsung mencengkeram tangan Halim lalu memelintirnya sehingga jatuhlah pistol sang tuan rumah ke lantai. Ditodongkannya pistol miliknya ke tengkuk Halim dan tak sampai lima detik sebuah letusan pistol merenggut nyawa pria malang itu.
Jasad pria malang itu jatuh terbalik di lantai yang kotor penuh debu, Janggala menarik sebuah kubus kaca berwarna biru dari balik mantelnya. Sebuah lingkaran merah berpendar-pendar di bagian atas kubus tersebut. Janggala menekan lingkaran merah itu dan kubus itu segera berubah menjadi sebuah kotak plastik pipih berwarna hitam. Dibukanya kotak pipih itu dan di dalamnya terlihatlah sekumpulan pisau bedah yang biasa dipakai para dokter.
“Saatnya ‘panen’!” Janggala segera membelah dada dan perut pria malang itu dengan pisau bedahnya.
*****
Janggala menarik keluar tiga kubus lagi dari balik mantelnya. Ketiga kubus itu berubah menjadi kotak berpendingin hidrogen yang umum dipakai untuk mengawetkan organ tubuh, kotak ini lazim disebut portable cyro box (PCB). Janggala menarik keluar hati, jantung, pankreas, dan ginjal milik jasad yang tadinya bernama Halim itu lalu memasukkan semua organ itu ke dalam tiga kotak portable cyro box yang ia bawa dan ia letakkan agak jauh dari tempatnya membedah Halim. Sesudah itu selesai ia lakukan, ia keluarkan sebuah sarung tangan baja dari balk mantelnya, ia pasangkan sarung tangan itu di tangan kanannya lalu dicengkeramnya wajah jenazah sang korban.
“Wihaya!” Janggala berujar lirih sebelum jasad itu tiba-tiba diselubungi oleh nyala api yang membara yang dalam dua detik langsung padam. Apa yang tersisa dari jenazah Halim tidak lain hanyalah seonggok abu hitam yang semakin menambah kotor lantai apartemen itu.
Janggala kembali bangkit, berjalan ke meja di mana ia meletakkan ketiga PCB itu lalu dengan langkah tenang keluar dari apartemen sang ‘korban’, menuju kembali ke jalanan yang ramai. Tc-earphone – sebuah benda mirip earphone yang berfungsi sebagai telepon – yang menempel di telinga kirinya ia aktifkan.
“Misi selesai! Tebusan sudah kudapat! Siapkan komisinya!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top