BAB XII : PARASURAMA

Jam di tangan Mahesa sudah menunjukkan pukul 12 malam tapi tak ada tanda-tanda kemunculan Tualen yang akan menjemput mereka. Mahesa mulai gelisah tapi Mappangaraja tetap tenang meski beberapa kali ia menengok ke arah hutan yang gelap seolah tengah menunggu sesuatu.

Sekonyong-konyong Mappangraja kemudian berdiri dan mematerialiasasi busur Wijaya Dhanu miliknya kemudian mengarahkannya ke hutan gelap yang sedari tadi ia pandangi.

"Turunkan busurmu itu Karna, aku sama sekali tidak punya niat jahat di sini!" ujar suara itu.

"Dengan aku mungkin tidak, tapi bagaimana dengan Mahesa, Murdiono ah tidak ... Prabu Duryodhana?"

Sosok yang sedari tadi menyembunyikan diri dalam kegelapan hutan itu akhirnya menampakkan diri dan Mahesa benar-benar terperanjat ketika menyaksikan bahwa di hadapan Adipati Karna kini benar-benar berhadapan dengan Sang Presiden.

"Aku kemari hendak membuat penawaran Sobat Lama. Sudah berapa abad berlalu sejak peristiwa kamu dihina Pandawa sebagai anak kusir kala kontes memanah dahulu? Bahwa kamu sebagai anak kusir tidak layak menantang Arjuna karena dia pangeran dan kamu cuma anak kusir kereta yang harusnya puas diri dengan tugas merawat kuda, memotong jerami untuk makan kuda, mencuci kandang dan kereta kuda, dan tugas-tugas remeh semacam itu. Kala itu siapa yang menolongmu kawan?"

"Kamu memang yang dahulu menolongku keluar dari status anak kusir, Duryodhana, dan kita dahulu juga adalah teman dekat sampai mati. Tapi aku sudah membayar tuntas budimu dengan memperluas wilayah Hastina selama bertahun-tahun, aku juga sudah membayar tuntas janjiku untuk terus membelamu sampai aku mati karena leherku ditebas panah Arjuna. Aku tak punya hutang budi apa-apa lagi padamu di kehidupan ini."

"Jangan begitu Karna, meskipun kamu berkata demikian. Aku berhutang setara 100 nyawaku padamu. Dan di kehidupan lampau aku baru membayar sepersepuluh dari yang seharusnya kamu dapatkan."

"Apa maumu?"

"Aku butuh kamu lagi Karna, jadilah wakilku di pemerintahan. Bersama kita akan menyatukan seluruh bumi di bawah naungan kerajaan kita lagi!"

"Tawaran menarik, tapi terpaksa kutolak."

"Oh, kamu mengkhawatirkan nasib si kecil Abimanyu ini? Itu bisa kita atur. Jika Abimanyu kecil berjanji tidak akan macam-macam selama kita hidup maka dia akan aman sentosa."

"Kamu berubah Duryodhana. Kamu bukan lagi Raja Hastina yang pemarah tapi peduli pada rakyatnya seperti yang kuingat dahulu. Kamu sekarang sudah gila kekuasaan, lebih gila daripada kondisimu menjelang Pertempuran Padang Kurushetra!"

"Atas dasar apa kamu menuduhku demikian?"

"Kamu membuka 28 titik lokasi tambang di sejumlah daerah tapi tidak memberikan uang kompensasi yang layak pada masyarakat yang rumahnya harus digusur akibat keperluan pembangunan fasilitas tambang. Uang kompensasi yang mereka terima harusnya 350 juta per kepala keluarga paling sedikit, tapi yang mereka terima hanya 110 juta. Kamu tahu itu tapi kamu diam saja kan? Lalu bagaimana AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tambang-tambang emasmu di Banyuwangi sana? Ke mana kamu buang limbah air raksa yang kamu pakai memurnikan emas? Ke laut kan? Peduli amat sama nelayan yang nantinya keracunan air raksa atau biota laut yang mati kan? Perlu kujabarkan lebih jauh lagi?"

Sang Presiden alias Awatara Duryodahan itu hanya tersenyum simpul, sembari mengangkat kedua tangannya. Lalu sekonyong-konyong tanah di sekitar Mahesa dan Mappangaraja bergetar, gumpalan asap-asap tebal keluar dari dalam tanah dan menyatu menjadi sosok makhluk yang tidak jelas wujudnya. Makhluk itu mirip dengan manusia namun tingginya menjulang setinggi enam meter, tidak memiliki mata namun mulutnya bulat tidak sempurna dengan gigi-gigi taring mengelilingi rongganya. Tangannya berjumlah dua pasang dengan masing-masing telapak tangan hanya berjari tiga namun ujung-ujungnya tampak tajam dan sanggup mengoyak apapun yang menghalangi jalannya.

Mappangaraja mendelik tidak percaya ketika menyaksikan kemunculan makhluk itu. Makhluk itu jelas-jelas bukan berasal dari dunia ini, tidak, makhluk itu bahkan seharusnya tidak boleh masuk dunia manusia. Wujudnya yang tidak lazim dan tidak bermata sudah menunjukkan bahwa makhluk ini pastilah makhluk jahat yang dahulu dihukum di lapis paling bawah neraka namun kini dilepaskan entah oleh siapa ke dunia.

"Kamu pernah dengar kisah Taraka bukan, Karna?" Duryodhana terkekeh, "Raja kaum Asura yang kebal terhadap astra apapun, tak bisa dilukai siapapun termasuk Batara Wisnu sekalipun kecuali oleh anak berusia tujuh tahun?! Masih ingat?"

"Mahesa, lari!" Mappangraja melompat menghindar ketika Taraka mengangkat kakinya

Tanpa perlu diperintah dua kali Mahesa melesat mengindar kemudian berlari sekencang-kencangnya dengan diikuti Mappangaraja dari belakang. Sesekali Mappangaraja menembakkan anak panah dari astra miliknya ke arah Taraka namun benar kata Duryodhana, kulit asura itu kebal terhadap senjata apapun termasuk astra. Anak panah yang Mappangraja lontarkan malah diserap masuk ke dalam kulitnya.

Tiba-tiba Mahesa merasakan kekuatannya melemah seolah tenaganya diserap habis oleh sessuatu yang tampak. Ia melihat ke angkasa dan menyaksikan bagaimana awan gelap tiba-tiba menutupi segala cahaya bulan dan bintang yang diikuti pula oleh sensasi rasa tidak nyaman yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Jangan berhenti!" seru Mappangraja, tapi tubuh Mahesa seolah tak mau diajak bekerjasama. Mahesa berhenti mematung dan melirik ke arah Taraka yang satu langkah lagi akan menginjak dirinya.

"MAHESA!" Mappangaraja berseru histeris namun Mahesa tetap diam bergeming.

Kaki raksasa tak bermata itu sudah tinggal beberapa meter saja dari tubuh Mahesa namun sekonyong-konyong ada kapak berwarna keemasan melayang tepat melintasi bagian samping tubuh Mahesa dan menghantam si raksasa sampai raksasa itu jatuh dan kemudian sirna.

Bersamaan dengan sirnanya raksasa itu, Sang Presiden terdengar mengerang dan meraung kesakitan dengan suara tinggi layaknya hewan buas yang terluka. Mahesa kini merasakan dirinya sudah bisa bergerak normal kemudian menoleh ke belakang guna melihat siapa yang tadi menolongnya dengan melempar kapak.

Ia melihat seorang pria paruh baya berkulit gelap namun rambutnya masih hitam legam berjalan ke arah jatuhnya raksasa tadi. Mahesa takjub melihat bagaimana pria itu tampak sangat kekar dan berotot. Ia juga takjub melihat pria itu tak mengenakan pakaian apapun selain selempang dan celana yang tampaknya dijahit dari kulit hewan. Mata pria tampak terus-terusan mendelik ketika Mahesa melihatnya kembali ke arah dirinya sembari membawa kapak yang ia lemparkan barusan.

"SIAPA KAU?! Lancang sekali kau menggangguku!" Duryodana yang sudah agak tenang kini meneriaki pria misterius berkapak tersebut.

Pria itu menjawab pertanyaan Duryodana dengan dua bait sajak tanpa menoleh ke arah Sang Presiden.

"Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,

pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia,

wahai keturunan Bharata.

Untuk menyelamatkan orang-orang benar

dan membinasakan orang jahat

dan menegakkan kembali kebenaran,

Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman."

Baik Duryodhana maupun Mappangaraja sama-sama terhenyak mendengar kata-kata itu, sementara Mahesa hanya bisa mengernyitkan dahi.

"Pakai jaket tebalmu Abimanyu dan ikuti aku!" perintah pria itu, "Dan kamu Karna, juga ikut aku!"

"Baik ... Guru!" jawab Mappangraja dengan suara bergetar.

*****

Mahesa rasanya hanya memasuki sebuah jalan setapak yang penuh semak dan pohon namun tiba-tiba saja ia sudah berada di puncak gunung yang penuh dengan salju dengan angin dingin menusuk yang menampar-nampar wajahnya. Jaket tebal ini agak membantu tapi tidak cukup hangat, segera saja gigi Mahesa bergemeletuk.

"Dingin?" Mahesa mendengar suara yang familiar dari arah kanannya.

"Ya Mas Bayu, banget!"

"Irawan dan Abimanyu," pria misterius berkapak itu duduk di sebuah batu besar, tampak sama sekali tidak terganggu dengan hawa dingin menusuk di tempat itu meski ia tidak mengenakan pakaian yang memadai, "Apa kalian sudah tahu dari guru kalian masing-masing kenapa kalian dibawa kemari?"

"Untuk mendapatkan Triwikrama sehingga kami bisa mengalahkan Kurawa!" jawab Bayu mantap.

"Congkak! Sebagaimana layaknya kesatria-kesatria di masa lalu!" pria berkapak itu menggerutu.

"Mohon ampun atas tingkah mereka, Guru!" Mappangaraja maju dan berlutut di hadapan si pria berkapak, "Tapi mohon Guru mengerti bahwa beginilah anak-anak masa kini bersikap."

"Aku tidak mempermasalahkan sikapnya Karna. Aku mempermasalahkan motivasinya! Setelah kamu mengalahkan Kurawa lalu kalian mau apa dengan kekuatan itu?"

Mahesa dan Bayu saling pandang, mereka sama sekali tidak berpikir sampai ke sana. Jika mereka sudah menang dan kembali ke kehidupan normal mereka, akan mereka apakan kekuatan bernama Triwikrama ini?

"Apa Bapak memiliki saran harus kami apakan kekuatan itu?" spontan Mahesa bertanya.

Pria berkapak itu menaikkan alis, tersenyum tipis, lalu menjawab, "Anak ini perlu diajari sopan santun lagi tapi aku suka sikapnya. Tapi hati-hati Abimanyu!" pria itu menudingkan kapaknya ke arah Mahesa, "Dibandingkan Irawan keteguhan hatimu kurang mantap. Bisa saja kamu mengingkari syarat yang aku berikan padamu ini!"

"Semoga tidak terjadi demikian, O Tuan Guru Parasurama!" ujar Palgunadi yang sedari tadi berlutut di belakang Mahesa dan Bayu.

"Parasurama?" tenggorokan Bayu rasanya tercekat sementara Mahesa tidak mengerti apa sebabnya orang-orang sampai takut betul pada orang ini.

"Baiklah mari kita mulai saja ya?" ujar Parasurama sembari mendekat ke arah Bayu dan Mahesa.

"Irawan dan Abimanyu. Berdua kalian akan mewarisi senjata ayah kalian : Busur Gandewa yang dipahat oleh Brahma Sang Pencipta dan Panah Pasopati yang dipahat oleh yoga Siwa Sang Pelebur! Gandewa akan jatuh pada yang lebih kuat dan lebih pandai di antara kalian berdua, Irawan! Adapun Pasopati akan jatuh pada Abimanyu yang bertugas menjaga panah itu andaikata pemegang Gandewa membutuhkannya."

Pria yang dipanggil dengan nama Parasurama itu menghantamkan kapaknya ke tanah kemudian mengangkatnya lagi dan menunjuk angkasa sembari berseru-seru, "Oh Tuhan Wisnu! Aku Parasurama putra Jamadagni, yang dilahirkan untuk memusnahkan kaum kesatria yang congkak dan sewenang-wenang, yang ditunjuk menjadi Awatara Wisnu keenam, yang telah bertemu dengan Awatara Wisnu Ketujuh Ramachandra dari Ayodya dan Awatara Kedelapan Kresna Raja Dwaraka – Sahabat Pandawa Lima – dan yang akan terus berjalan di muka bumi sampai kedatangan Awatara Tuhan Wisnu Yang Kesepuluh!

"Aku menemukan pewaris Arjuna! Pewaris Gandewadhanu Astra dan Pasopati Astra! Dan aku bersumpah pada Indra – Raja Para Dewa – serta Agni – yang menjaga astra-astra tersebut – bahwa dua anak ini layak dan pantas menggunakannya! Jikalau mereka tidak lagi layak menggunakannya maka aku sendiri yang akan datang mencabut nyawa mereka!"

====

Ramachandra= Rama dari kisah Ramayana

====

Parasurama kemudian menghantamkan kapaknya keras-keras ke tanah dan seketika itu juga Mahesa dan Bayu terpental jauh sekali sampai kesadaran mereka lenyap.

*****

"Hes!" Mahesa merasa Bayu mengguncang-guncang tubuhnya, "Hes!"

"Uuhh iya Mas Bayu," Mahesa membuka mata tapi di sekitarnya hanya ada kegelapan.

"Ini di mana Mas Bayu?" tanya Mahesa.

"Entah, tapi yang jelas tempat ini aneh, coba lihat!" Bayu menyalakan senter namun sorot lampunya hanya bisa menerangi sebagian wajahnya semata, seolah ada tabir kabut yang menghalangi sorot lampu senter itu padahal lampu senter itu memiliki lumens tinggi dan biasanya mampu menerangi sampai jarak 2 meter.

"Memang aneh tapi ...," Mahesa tiba-tiba ingat bagaimana pria berkapak tadi ditakuti oleh kedua guru mereka dan oleh Bayu sendiri, "Aku dari tadi heran, pria bernama Parasurama itu tadi siapa?"

"Dewa Ratu!" Bayu terlonjak kaget, "Kamu bolos pelajaran agama berapa kali selama di SMA?"

"Hmmm .... kayaknya waktu kelas XI selalu bolos deh. Soalnya latihanku kan hari Jumat dan pelajarannya juga hari Jumat numpang di SMA lain yang jaraknya jauh. Jadi yaaa ... hehehehehe."


=====

Catatan :

Tidak seperti pelajaran agama Islam dan Kristen yang diadakan di waktu yang sama, pelajaran agama yang lebih minor seperti Penghayat, Hindu dan Buddha (serta kadang Katolik Roma) biasa diadakan hari Jumat pukul 12.00. Jika beruntung ada guru agamanya berada atau mau datang di SMA itu maka pelajaran diadakan di SMA itu pukul 12.00, jika tidak maka siswanya harus pergi ke SMA lain untuk belajar dengan guru agamanya. 

=====

"Tahu Rama dari Ayodya dari Kisah Ramayana kan?"

"Yaa ... tahu."

"Tahu Awatara Wisnu sebelum Rama?"

"Errr ... enggak."

"Ya beliau tadi itu yang menjadi wadah bagi Tuhan Wisnu sebelum Rama. Namanya juga Rama, Rama putra Jamadagni, julukannya Parasurama – Rama yang membawa senjata kapak. Kalau kamu baca Mahabharata versi lengkap dia juga hidup di era kita waktu kamu jadi Abimanyu dan aku jadi Irawan. Dia jugalah yang menjadi guru bagi Adipati Karna dan Rsi Drona. Parasurama menghadiahkan Busur Gandewa kepada Rsi Drona dan Rsi Drona mewariskannya pada ... ayah kita."

"Tunggu sebentar!" sekarang Mahesa baru sadar kenapa mereka semua merasa takut, "Jika kita tadi benar bertemu dengan Parasurama berarti dia sudah berusia ... lebih dari 1000 tahun dong!"

"Dan kita beruntung dibiarkan hidup tahu! Tahu apa yang dia lakukan saat menjadi Awatara Wisnu?"

"Tidak, bisa Mas ceritakan versi singkatnya?"

"Ada seorang raja, namanya Arjuna Sasrabahu, datang ke tempat Rsi Jamadagni dan merampas sapi milik Sang Rsi. Putra Sang Rsi, Parasurama, yang pulang dan mendapati rumahnya sudah dijarah seorang raja bangkit amarahnya dan menghajar lalu membunuh Arjuna Sasrabahu. Sapi ayahnya dia bawa pulang tapi ayahnya menyuruhnya pergi ke gunung dan hutan guna melakukan penebusan dosa karena ia sudah membunuh orang dan orang itu seorang raja pula.

Maka Rama pun patuh pada perintah ayahnya, ia memasuki hutan dan gunung melakukan tirakat. Namun saat ia kembali pulang ia dapati ayahnya sudah dibunuh putra-putra Sang Raja. Rama kemudian mengambil kapak dan membantai semua pangeran yang membunuh ayahnya. Lalu segenap kaum kesatria di sepenjuru bumi bangkit melawan dia, namun mereka semua habis dibantai oleh Parasurama. Sejak saat itu ia sangat membenci kaum kesatria dan tidak mau menurunkan ilmunya kepada kaum kesatria. Maka dari itu ketika beliau mau mengajar Adipati Karna itu adalah suatu pengecualian besar! Biasanya sih beliau ketemu kesatria seperti kita, kepala kita sudah melayang duluan sebelum kita selesai ngomong!"

"Ah! Bagus sekali, kalian berdua sudah sadar," dari kejauhan tampak seseorang membawa bara api di tangannya berjalan mendekat ke arah mereka.

"Kalian berdua ...," wajah Tualen tampak serius – tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum dan selalu bercanda, "terseret masuk ke dalam dunia lain yang tidak dihuni oleh makhluk apapun juga karena anugerah Triwikrama dari Rsi Parasurama tadi."

"Dunia lain? Lalu bagaimana kami bisa keluar dari sini Bapa Tualen?" tanya Bayu.

"Kalian harus saling beradu senjata. Ananda Irawan silakan panggil Busur Gandewa dan Ananda Abimanyu silakan panggil Pasopati. Kemudian lepaskan senjata kalian masing-masing ke arah rival kalian!"

"Tunggu sebentar! Bukankah itu beresiko akan membunuh kita Bapa Tualen? Lagipula di sini amat gelap, bidikan kami bisa saja meleset!"

"Jadikan ini sebagai ujian terakhir Nanda, untuk menguji sebagaimana menguasainya Nanda dengan Aji Danurwenda serta apakah benar Nanda berdua punya kekuatan untuk menahan diri tidak menggunakan kedua astra ini untuk kepentingan pribadi semata?" ujar Tualen sembari menggenggam bara api di tangannya erat-erat, memadamkan nyala pijar terakhir di tempat itu.

"Satu lagi yang perlu saya tambahkan, jika dalam setengah jam Ananda berdua gagal keluar dari sini maka Ananda akan mati ditelan makhluk yang menghuni tempat ini," ujar Tualen.

Kedua remaja itu terkejut dengan perkataan terakhir Tualen. Itu artinya mereka harus segera membuat keputusan secepat mungkin di tengah suasana kegelapan yang mencekam ini.

"Bagaimana ini Mahesa?"

"Kita lakukan saja sebagaimana kata Bapa Tualen. Tapi kita perlu patokan agar bidikan kita tidak meleset!"

"Kamu sudah bisa memanah tepat ke arah sumber suara kan?" tanya Bayu.

"Sudah!" jawab Mahesa mantap, tapi Bayu masih agak ragu dengan kemampuan adik tirinya itu.

"Saya yakin Mas Bayu akan bisa memanah tepat sasaran! Saya juga minta Mas Bayu mempercayai kemampuan saya! Jika kemampuan saya masih kacangan mustahil saya bertahan hidup dari teror siang malamnya Adipati Karna!"

Bayu mau tidak mau tersenyum simpul karena ia sendiri ingat bagaimana Palgunadi memburu dan menerkamnya siang dan malam sampai ia berkali-kali nyaris mati. Ia percaya saudara tirinya juga sudah mengalami hal serupa dengannya jadi kemampuan mereka pastilah sama sekarang.

Gelang perak di tangan Bayu memancarkan sinar terang yang kali ini mampu menembus kegelapan di tempat itu. Pancaran sinar itu juga membuat Mahesa mengetahui posisi persis Bayu. Sesudah itu gelang tembaga milik Mahesa kini juga bersinar terang seolah hendak memberitahukan posisi pemiliknya kepada Bayu.

Kedua remaja itu bertukar pandang sejenak sebelum gelang mereka kembali meredup, saling memberikan memberi kepercayaan penuh kepada saudaranya masing-masing tanpa kata.

"Triwikrama! Astra Gandewadhanu!" Bayu menyerukan nama busur yang dahulu pernah menjadi milik ayahnya itu.

Kilatan kilat emas menyambar gelang perak Bayu dan memunculkan sebuah busur emas yang berkilat-kilat dengan ukiran-ukiran yang sebagian bisa Bayu kenali menggambarkan penciptaan bumi oleh Brahma Sang Pencipta.

Mahesa di ujung sana balas mewujudkan Sarotama serta memanggil anak panah yang dahulu menjadi senjata andalan ayah mereka, "Triwikrama! Pasopati!"

Kilat biru menyambar tangan kiri Mahesa yang sudah diganti dengan tangan bionik dan sebuah anak panah berwarna perak kebiruan dengan ujung panah berbentuk bulan sabit muncul di genggaman tangan kiri Mahesa.

Dua bersaudara itu kembali bertukar pandang selama kurang dari dua detik karena masing-masing astra mereka memancarkan pendar cahaya yang cukup terang untuk menghalau kegelapan tempat itu. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi mereka saling melepaskan anak panah masing-masing.

Bayu dapat merasakan bahwa Busur Gandewa memproduksi anak panah yang lebih kuat daripada busurnya yang biasa sementara Mahesa merasakan bahwa Busur Sarotama berderak-derak ketika ia hendak melepaskan Pasopati. Sedetik kemudian dua anak panah melesat ke arah masing-masing remaja tersebut. Kedua anak panah mereka bertabrakan dan tampak seperti beradu kekuatan di antara mereka sebelum akhirnya meledak dan melontarkan mereka berdua ke arah yang berlawanan.

******

Ketika Bayu berhasil bangkit kembali pasca ledakan itu, ia dapati dirinya kini sudah berada di hutan tempatnya berlatih bersama Palgunadi. Ia menengok dan mendapati Palgunadi serta Mappangaraja – guru Mahesa – tampak terhempas membentur sebuah pohon dan kini mereka berdua sedang berusaha bangkit pula. Di sisi lain ia melihat Mahesa tampak membalikkan badannya, menatap rembulan yang bersinar nyaris penuh di atas sana.

"Hei Mahesa! Mahesa! Kita berhasil woy! Kita berhasil!"

"Iya," jawab Mahesa lesu.

"Hei! Kamu kenapa sih!" Bayu menepuk pundak saudaranya itu masih dengan ekspresi penuh kegirangan namun ia segera mendapati hal yang membuat saudaranya berduka.

Di tangan Mahesa tergenggam gagang Astra Sarotama.

Gagangnya semata, busur panah itu tampaknya telah hancur akibat penggunaan Pasopati barusan.

Mahesa menatap Bayu dengan tatapan iri serta marah dan saudaranya itu langsung paham maksud Mahesa. Apa coba artinya seorang manusia awatara tanpa sebuah astra sebagai senjatanya?

Catatan Pengarang :

Halo pembaca? Sudah lama sekali tidak ada update ya? Mohon maaf ya baru ada update sekarang. Kebetulan riset untuk Sang Awatara sudah selesai dan saya sedang ada sedikit waktu luang untuk menulis kembali.

Sedikit info bahwa sekarang salah satu novel saya sudah terbit secara official di App Webcomis dengan judul LOKAPALA.

Apabila teman-teman menginginkan cerita-cerita seperti Sang Awatara dan Citralekha bisa terus update secara rutin mohon bersedia memberikan like (tanda bintang) pada cerita tersebut kemudian bagikan ke kenalan / teman yang lain supaya like di sana bisa mencapai 10.000. Per "10.000 like" mampu membantu keuangan bulanan saya selama 6 bulan sehingga saya tidak perlu lagi bekerja di dua tempat dan bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan buku ini.

Cara memberi like :

1. Download app / masuk situs WEBCOMICS

2. Login menggunakan facebook atau email

3. Cari cerita Lokapala (Season 1 – Usana) atau klik tautan berikut :

4. Klik tanda bintang sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut

Dukungan kalian sangat berarti supaya dapur author tetap mengepul. So please share dan like sebanyak-banyaknya :D . Terima kasih sebelumnya karena sudah bersedia membaca cerita-cerita karya author :D.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top