BAB VIII : MEREKA YANG DIPERALAT
Gunung Biru, Sulawesi Selatan, 22.45 WITA
Sebuah truk tentara bermuatan bekal ransum, obat, serta peti-peti peluru menembus jalanan makadam yang sudah tak lagi utuh. Di ujung akhir jalan tersebut, yang terhampar adalah jalanan tanah berbatu yang tidak rata dengan sejumlah retakan yang rawan memicu longsor.
Pengemudi truk itu membaca peta, menghela nafas sambil mengeluh, "Masih 7 km lagi!"
Sementara itu seseorang berseragam dokter yang duduk di belakang tampak mengetuk-ngetuk kaca yang membatasi antara kursi sopir dengan bak truk, "Cepat Bang! Sudah hampir tengah malam! Makin sulit lihat jalan kalau nanti kabut sampai turun!"
Janggala menghela nafas dalam-dalam, berupaya mengurangi ketegangannya, sebelum mulai menginjak kembali pedal gas dan memacu truk itu melintasi jalan tanah dengan terseok-seok. Perjalanan melelahkan itu baru berakhir satu jam kemudian ketika dari kejauhan kamp militer dengan tenda-tenda hijau yang hanya diterangi sedikit api unggun.
"Malam Kopral!" Janggala memberi hormat dari kemudinya kepada dua kopral penjaga kamp, "Kiriman perbekalan, obat, dan amunisi dari Yonbekang!"
"Kok lama! Panglima sudah tunggu kau sejak lama!" hardik seorang penjaga kamp.
"Maaf Kopral, ada sedikit hambatan di jalan tadi," jawab Janggala.
"Masuk sana!" kembali Kopral itu menghardik supaya Janggala segera masuk dan memarkirkan mobilnya.
Kala Janggala telah memarkirkan mobil dan dua dokter bermasker yang menumpang di belakang telah turun dari bak belakang, Janggala langsung dihampiri seorang pria Indonesia Timur berbaret hitam yang menenteng senapan serbu berpelontar granat.
"Jendral!" Janggala memberi hormat pada orang yang tak lain adalah Panglima TNI itu.
Mandatjan membuat gestur meletakkan jari di bibir, pertanda ia tidak ingin disebut pangkatnya, "Oke, kamu ikut saya, sopiri mobil jeep saya! Kita ke Lembah Napu sekarang!"
Hanya ada dua prajurit yang mengawal Sang Jendral, membuat Janggala langsung memasang mata waspada ke sekeliling kamp di mana para prajurit dan perwira di sana tampak tak mengacuhkan Sang Jendral. Sebuah kejanggalan, mengingat jika ada jendral berpangkat brigadir jendral saja sampai ikut dalam operasi garis depan itu artinya operasi militer itu sangat vital dan serius, namun para prajurit di sini seolah tampak tak ada yang peduli dengan kepergian Mandatjan ke garis depan kecuali dua kopral yang berjaga di depan kamp. Mereka tetap memberi hormat yang khidmat kepada Sang Panglima TNI ketika Janggala mengemudikan jip militer yang ditumpangi Mandatjan keluar menuju Lembah Napu.
Gunung Biru memiliki sejarah panjang sebagai tempat persembunyian pemberontak NKRI. Sekelompok gerakan ekstremis bernama Mujahidin Indonesia Timur yang berafiliasi dengan ISIS dan dipimpin seorang bernama Abu Wardah Santoso pernah mendiami kawasan pegunungan ini pada tahun 2015-2016. Medan yang berat dan sulit membuat gerakan ekstremis itu sulit sekali ditumpas meskipun negara saat itu sudah mengerahkan 2500 personel TNI dan POLRI untuk memburu Santoso. Perburuan itu baru berakhir setelah operasi militer berjalan selama setahun dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Setidaknya ada puluhan aparat yang tewas 'dikerjai' kelompok ekstremis yang lebih paham soal medan pegunungan di sana daripada aparat bersenjata.
Barangkali karena itulah petinggi Laskar Pralaya menggunakan tempat ini pula sebagai markas utama mereka. Hal ini masuk akal sebab berdasarkan data intel terakhir yang Janggala dapat dari Pak Tua Syailendra itu, jumlah Laskar Pralaya sebenarnya tak sampai seribu orang. Mereka adalah tentara desersi, atau orang-orang pembenci negara yang diperalat oleh Duryodhana dan sekutu-sekutunya. Sekarang Duryodhana pasti hendak melenyapkan mereka karena ia sudah mendapat apa yang dia inginkan : kontrol penuh atas negara ini.
Setelah melalui jalan makadam sepanjang 12 kilometer, Janggala dan Mandatjan akhirnya tiba di lokasi pertemuan. Janggala memandang sekelilingnya dan menarik nafas lega karena jumlah Laskar Pralaya yang hadir di sana hanya belasan orang. Jika kondisinya memburuk, astranya bisa menghabisi mereka sesegera mungkin.
Pemimpin Laskar Pralaya adalah seorang berkulit coklat gelap, berusia empat puluhan, dengan ekspresi wajah yang keras. Namanya Daeng Poja. Mantan anggota Kopassus AD yang melakukan desersi kemudian bergabung dengan Laskar Pralaya dan menjadi komandan utama di sana. Wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun selain tatapan tidak suka terhadap rombongan TNI yang datang menghampiri mereka untuk berunding. Namun setidaknya ia cukup waras untuk menghentikan beberapa anggota laskarnya yang sudah mulai hendak mengangkat senjata mereka.
"Selamat malam, Saudaraku!" sapa Mandatjan kepada para Laskar Pralaya itu.
Daeng Poja selaku komandan mereka hanya tersenyum sebelah muka mendengar sapaan itu, namun ia kemudian menawari Mandatjan untuk duduk di kursi kayu berjarak dua puluh langkah dari hadapannya.
Mandatjan pun duduk di sana lalu sambil melempar senyum kembali mengajak Daeng Poja berkomunikasi, "Komandan Poja, saya di sini mewakili pemerintah RI hendak berdialog dengan Anda semua. Apakah mungkin bagi kita untuk menyelesaikan ini semua dengan jalan damai?"
Daeng Poja kembali tersenyum kecut sebelum menjawab, "Dialog dengan pemerintah hanya akan jadi sandiwara belaka. Saya yakin jika kami menyerahkan diri, nasib masyarakat yang kami perjuangkan takkan berubah. Segalanya akan tetap seperti dulu. Status quo! Tidak, saya rasa jalan damai itu mustahil. Saya hadir di sini hanya untuk menghormati seorang kawan lama dari kesatuan saya yang terdahulu, Mandatjan. Ah tidak ... Jenderal Mandatjan."
"Pemerintah kita mungkin tidak sempurna, tapi bukankah esensi dari perjuangan mengisi kemerdekaan adalah membantu dan mendorong pemerintah untuk terus berimprovisasi menjadi lebih baik? Dengan cara-cara yang dibenarkan hukum tentu saja!"
"Jenderal! Tolong dengarkan ini : dulu kala saat Soekarno dan tokoh pergerakan menjanjikan kemerdekaan, para pendahulu kita mengharapkan setelah berdekade-dekade kesengsaraan di bawah kaki bangs asing akan datang tahun-tahun kenikmatan yang panjang dalam wujud kemerdekaan. Namun nyatanya kemerdekaan hanyalah manis tebu sesaat. Sejak saat itu selalu saja ada yang namanya kesengsaraan, ketidakadilan, masalah kemiskinan, masalah kesehatan dan masih banyak lagi. Apa jawab mereka setiap kali kita mengeluhkan mengapa kemerdekaan tak jua membawa kita pada kenikmatan yang dijanjikan Soekarno dulu yakni kenikmatan yang adil dan beradab dalam bingkai keadilan sosial? Jawaban mereka selalu saja kemerdekaan itu harus diisi perjuangan. Jadi buyut-buyut kami mengisi kemerdekaan dengan perjuangan, kakek-kakek kami berjuang mengisi kemerdekaan, ayah-ibu kami berjuang mengisi kemerdekaan. Tapi apa hasilnya? Kami tak jua merasakan nikmat kemerdekaan. Pendidikan makin mahal, biaya kesehatan makin tak terjangkau. Setiap jengkal tanah dipajaki. Pendapatan selalu lebih besar pasak daripada tiang tak peduli betapapun kita berusaha menghemat. Gerakan ayo menabung 20% pendapatan menjadi omong kosong! Petani dan peternak dimiskinkan sampai tahap akut sehingga hidup segan mati pun tak mau. Jadi untuk apa mempertahankan kemerdekaan? Biarlah negara ini hancur dan penduduknya saling bantai. Biarlah yang bangkit dari sisa-sisa negara ini membangun entah kerajaan entah negara entah serikat datang entah apapun juga yang kiranya nanti hancur juga. Tapi biarlah! Tiap negara yang berdiri suatu saat akan hancur, apalagi negara dengan asas omong kosong lubang pantat ini!"
Wajah Daeng Poja tampak memerah karena marah. Namun Janggala langsung melihat sesuatu yang lebih meresahkan daripada kemarahan Daeng Poja.
Gumpalan asap-asap hitam pekat mengepul di angkasa dan kemudian membentuk rupa seperti angin topan lalu mendekat ke arah tempat perundingan.
"Daeng Poja! Jenderal Mandatjan! Merunduk!" Janggala berseru sembari berlari ke arah dua pemimpin itu.
Keduanya merunduk dan Janggala melemparkan selembar kertas rajah yang ditatahi gambar Batara Ganesha ke udara. Selubung tipis keemaasan langsung terbentuk dan melindungi Mandatjan dan Daeng Poja dari serbuan makhluk serupa asap yang bernama Wetala itu.
Janggala langsung memasang sarung tangan logamnya, "Astra ... Wihaya!" dan sarung tangan logam di tangan kanan Janggala langsung mengeluarkan kobaran api.
Dengan satu sapuan tangan Janggala, kobaran api panjang langsung muncul pusat telapak tangan Janggala dan menghanguskan sejumlah Wetala menjadi serpihan abu layaknya abu pembakaran kertas. Janggala kemudian keluar dari selubung dan mengkonsentrasikan kekuatan cakranya untuk memanggil api yang lebih besar lagi sementara satu Wetala berukuran lebih besar daripada kawan-kawannya menggeliat di angkasa, dan merasuk ke salah satu raga prajurit Laskar Pralaya yang lehernyaa tergorok oleh serbuan gelombang pertama tadi.
"Oh ya ampun!" Janggala langsung menembakkan satu bola api ke prajurit yang siap menembak itu, menghanguskan raga sang prajurit menjadi abu. Tapi di saat ia melakukan itu, Wetala-Wetala yang lain keburu merasuki raga yang lain, tak terkecuali raga dua prajurit TNI yang tadi mengawal Mandatjan.
DOR! Ada suara tembakan, asalnya dari pistol Daeng Poja yang menembak salah satu anggota TNI itu tepat di dahi. Sewajarnya orang yang kena tembakan macam itu akan jatuh tak bernyawa, tapi prajurit itu hanya mendongak sejenak sebelum jari tangan kanannya mengoyak luka itu lebih lebar kemudian mengeluarkan peluru yang bersarang di dahinya. Dua detik kemudian luka itu menutup sempurna seperti tak pernah ada luka sebelumnya.
Daeng Poja terhenyak melihat pemandangan itu. Dia langsung bertanya pada Mandatjan tentang apa yang ia lihat barusan, "Apa itu yang aku lihat? Apa aku sudah gila?"
"Kau tidak gila Daeng! Kita memang sedang dikeroyok setan malam ini!" jawab Mandatjan.
Janggala dengan cepat langsung menembakkan kembali dua bola api sekaligus ke dua prajurit TNI tersebut. Keduanya menghindar dengan tangkas, tapi Janggala sudah menyempurnakan teknik pengendalian apinya beberapa hari ini dan dua bola api yang tadinya nyaris menyentuh tanah sekonyong-konyong berbalik lalu mengejar kedua targetnya layaknya peluru kendali.
Sementara itu, satu sosok prajurit Laskar Pralaya yang memegang sebuah pelontar roket tengah bersiap menembakkan satu roket ke arah Janggala. Janggala yang sadar dirinya sedang dibidik dari arah lain langsung melompat terbang dan dari angkasa ia melesat turun, meninju kepala musuhnya itu dengan astra di tangan kanannya sampai kepala musuhnya remuk dan terbakar.
Janggala menoleh ke arah dua prajurit TNI tadi dan mendapati keduanya sudah hangus terbakar. Di sekelilingnya juga sudah tak ada lagi prajurit yang dirasuki Wetala. Ia menarik nafas lega sejenak namun langsung saja ia mendapat kabar buruk dari kamp yang dilaporkan oleh Sadewa, salah satu dari dokter kembar.
"Seisi kamp dirasuki Wetala, kami menghabisi mereka sebanyak yang kami bisa, tapi jumlah mereka ratusan. Kami harus mundur ke dalam gunung. Kamu juga mundurlah ke dalam gunung bersama Daeng Poja dan Jenderal Mandatjan!"
"Sampai kapan ini Om?" tanya Janggala.
"Sampai bala bantuan tiba. Mungkin setelah Kadek dan kawan-kawan sudah kembali dari Macau!"
Lalu komunikasi pun terputus.
"Daeng Poja! Jenderal Mandatjan! Kita harus lari masuk hutan. Sekarang seisi kamp tengah memburu Anda dan Daeng Poja!"
"Tunggu! Kenapa mereka memburu Mandatjan? Bukankah Mandatjan adalah panglima mereka?"
"Daeng Poja, saya, kamu, dan mereka semua, kita semua sedang jadi pion dalam adegan kudeta yang dilancarkan mantan Wakil Presiden kita. Kamu tahu Asosiasi X yang selalu jadi donatur bagi Laskar Pralaya? Mereka tak lain adalah Satyawati Corporation dan otak di balik pendanaan kalian juga tak lain dan tak bukan adalah Wapres yang sekarang jadi presiden kita itu!"
Daeng Poja tampak tidak percaya, "Tidak mungkin! Asosiasi X adalah organisasi nirlaba yang mendapat dukungan dari banyak jutawan yang muak dengan ketidakadilan negeri ini dan berniat untuk membangun sebuah negeri yang lebih baik! Bagaimana mungkin Satyawati Corp. masuk ke sana?"
"Waw? Hahaahaha! Apa yang tadi aku dengar? Ada sekelompok jutawan rela buang uang untuk meruntuhkan suatu negeri demi berdirinya negeri yang lebih baik? Bung!" Janggala menuding ke arah Daeng Poja, "Otak tuh dipake buat mikir!"
"Janggala! Tolong jangan melakukan agitasi!" ujar Mandatjan yang mengkhawatirkan reaksi Poja selanjutnya namun ia terlambat.
Daeng Poja sudah tersulut amarahnya karena secara tidak langsung Janggala mengatakan dirinya sebagai orang bodoh dan tolol, "Bilang sekali lagi kayak tadi! Bilang sekali lagi! Kamu pikir aku bakal ragu menembakmu?"
"Mau tembak saya? O silakan saja Kerak Telor! Tolong ingat bahwa satu-satunya yang bisa lawan gerombolan setan kaya tadi itu hanya saya seorang!"
"Janggala, Poja! Cukup!" hardik Mandatjan namun dua orang yang sudah terlanjur berseteru itu tampaknya tak bisa diajak ngomong lagi.
Poja segera menarik pelatuk pistolnya dan peluru melesat ke arah Janggala. Janggala dengan enteng menangkap peluru itu dengan sarung tangannya lalu meremasnya hingga menjadi logam cair yang lumerannya berjatuhan ke tanah.
"Ka-kamu bukan manusia," Daeng Poja tergagap-gagap, ketakutan dan rasa ketidakberdayaan menghadapi kekuatan di luar nalar merasuki segenap syaraf dan tulang sumsumnya.
"Pergi! Ah pergi!" Daeng Poja langsung mengambil langkah seribu, lari terbirit-birit ke arah hutan.
"Janggala! Apa maksudmu bertindak seperti tadi?" Mandatjan tampak kesal namun masih berusaha bertanya pada Janggala secara hati-hati karena tidak mau Janggala bertindak di luar dugaan lalu nyawanya ikutan melayang.
"Daeng Poja jarang bertempur. Dia lebih sering berada di garis belakang. Kekasaran dan keberanian yang dia tunjukkan tak lebih dari sekedar topeng belaka. Sejatinya kesuksesan Laskar Pralaya lebih banyak dilakukan oleh prajurit-prajurit mereka di luar Gunung Biru, yang kemungkinan besar adalah prajurit-prajurit yang sudah dirasuki oleh Wetala. Sekarang Daeng Poja sendirian, dia merasa tidak aman. Bisa jadi nanti dia akan menuntun kita ke dalam jebakan andaikata Jenderal meminta dia untuk mengantarkan kita ke markas mereka secara baik-baik."
"Lalu soal menakut-nakuti?"
"Dia akan langsung lari ke tempat persembunyiannya. Saya sudah menanamkan pemancar di pakaian Daeng Poja dan pemancar itu akan memberitahu kita ke mana Daeng Poja akan lari!"
"Jadi kita menunggu di sini?"
"Tidak Jenderal, kita sebaiknya masuk hutan dan berjalan santai menuju markas Laskar Pralaya."
"Kalau mereka nanti menyerang? Kita cuma dua orang lho!"
"Jenderal, Anda lupa? Saya dan beberapa teman yang serupa dengan saya bisa membuat satuan Brimob di Surabaya kalang kabut dan kehilangan ¾ personel mereka. Apa susahnya menghabisi belasan orang yang sudah dalam kondisi ketakutan, kelaparan, dan kelelahan?"
******
Janggala dan Mandatjan pun akhirnya berjalan masuk ke dalam hutan. Jalanan di dalam sana tidak rata, penuh tanjakan dan kadang juga turunan yang curam. Mandatjan yang mantan prajurit pasukan khusus pun kadang merasa kesulitan melaluinya, apalagi beberapa jalan setapaknya berbatasan langsung dengan jurang yang menganga dan siap menerima raga siapapun yang kebetulan sial dengan tangan terbuka.
Untungnya Janggala, meskipun secara teknis seorang warga sipil, sepertinya tahu medan dan paham bagaimana melintasi jalanan yang curam, licin, atau rawan longsor. Mandatjan pun mau tak mau penasaran juga dari mana ia belajar semua itu.
"Kamu dulu suka naik gunung ya? Kok paham betul medan seperti ini?"
Janggala menggeleng, "Tidak Jenderal. Saya hanya tahu saja."
"Belajar dari mana?"
"Kalau Jenderal percaya reinkarnasi, "Janggala diam beberapa saat ketika ia menemukan semak-semak berduri yang tumbuh lebat menghalangi jalan dan menghabiskan beberapa detik berikutnya untuk memangkasi semak itu supaya jalannya terbuka, "Saya dulu hidup di hutan seperti ini, bersama para pertapa hutan dan seorang ibu. Di sana saat itu banyak tanah gembur rawan longsor, jalanan menanjak terjal atau turunan curam yang harus saya dan Ibu lewati ketika kami hendak mandi atau mengambil air ke sungai. Dari memori itulah saya mengenali wilayah ini karena di sini cukup mirip dengan tempat saya hidup di kehidupan yang lampau."
Mandatjan manggut-manggut sambil terus mencoba mengikuti langkah Janggala yang cepat dan ringan seolah-olah dia tidak punya bobot tubuh. Setelah enam jam melalui medan yang berat, penuh semak, dan licin berlumut, mereka pun tiba di sebuah perkampungan di tengah hutan. Suasanya remang-remang, hanya ada satu api unggun di tengah perkampungan yang hanya punya lima rumah beratap daun rumbia itu.
Ada isak tangis terdengar dari satu rumah, isak tangis seorang lelaki. Mandatjan menarik kokang senapannya dan bersiap menembak musuh namun Janggala mengisyaratkan Mandatjan untuk diam di tempat dan membiarkan dirinya memeriksa tempat itu. Mandatjan patuh dan membiarkan Janggala yang terbang mendekat.
Janggala memasuki sebuah gubuk gelap dengan dibantu penerangan dari api produksi sarung tangannya. Ia melihat Daeng Poja tengah duduk terpekur, meratap di hadapan dua jenazah pria muda yang lehernya sama-sama tergorok pisau.
"Orang dekat?" tanya Janggala dingin.
"Keponakanku! Aku kira di sini aman! Markas ini harusnya aman! Kami tidak pernah beritahukan siapapun tentang markas ini termasuk kepada anggota-anggota yang bukan lingkar inti! Tapi kenapa di sini bisa terjadi pembantaian?"
Janggala berjongkok, memeriksa kondisi luka dua pemuda yang terbujur kaku itu, keduanya mengalami luka gorok yang memutus urat nadi, sementara di tangan masing-masing dari mereka tergenggam sebuah badik yang berlumuran darah.
"Tidak aman di sini Daeng. Tahukah Daeng letak gua di sekitar sini?"
Daeng Poja menunjuk arah timur tapi dirinya tampak tak mau bangkit dari sana.
"Ayo ikut saya Daeng," ajak Janggala lagi, namun Daeng Poja menggeleng.
"Kau saja yang pergi! Biarkan aku mati di sini!"
"Kenapa Daeng mau mati?"
"Aku mendirikan Laskar Pralaya untuk melawan diktatorisme dan diskriminasi pemerintahan pusat terhadap warga-warga daerah! Ketika Asosiasi X menyumbang sejumlah besar dana untuk pergerakan kami, aku pikir gerakan kami berhasil menggugah hati nurani banyak orang. Tapi ... ternyata aku salah! Kalian benar! Dalang di balik Asosiasi X adalah Presiden sendiri dan sekarang dia membuangku," Daeng Poja kemudian menyerahkan sebuah perekam digital kepada Janggala.
Janggala menerima perekam tersebut dan memutar isinya. Isinya menampilkan wajah Presiden Murdiono yang duduk di atas sebuah kursi kulit dengan sebelah kaki diangkat. Wajahnya menampilkan ekspresi congkak dan jahat.
"Terima kasih atas kerja kerasmu selama ini Daeng Poja. Jujur saja selama tujuh tahun ini saya benar-benar kagum dan merasakan manfaat dari kegigihan Daeng mengorganisir massa, membunuhi aparat kepolisian, prajurit TNI dan warga sipil dalam aksi-aksi teror sistematis. Sedikit demi sedikit kepercayaan masyarakat pada pemerintahan terkikis dan makin banyak masyarakat yang mendukung Laskar Pralaya atau mengharapkan adanya suatu pemerintahan revolusioner. Tapi mohon maaf kerjasama ini harus kita akhiri sesegera mungkin. Sebagai kenang-kenangan, saya tinggalkan hadiah untuk Daeng, semoga Daeng suka melihatnya."
"Hadiah apa yang dia maksud?"
"Semua anggota organisasi lingkar inti sudah mati. Saya saja yang tersisa!"
"Kalau begitu tambah lagi alasan Daeng harus ikut saya!"
"Untuk apa? Orang sepertimu toh akan tetap berpikir NKRI bobrok ini harus tetap berdiri, seloyo atau sehancur apapun bentuknya nanti!"
Tiba-tiba saja Mandatjan yang tadi menunggu di luar masuk ke dalam gubuk itu lalu tanpa diduga langsung menonjok pipi Daeng Poja sampai lelaki itu tersungkur di lantai tanah, " Dengar ya Daeng! Murdiono itu jelas-jelas berhasrat ingin menjadi diktator tunggal seumur hidup! Begitu Murdiono menghancurkan negeri ini, kamu bahkan tak akan punya mulut untuk bicara lagi atau kondisi untuk diperdebatkan lagi."
"Apa bedanya kalau aku mati di sini atau mati nanti? Sama saja! Aku akan hidup di bawah pemerintahan yang tidak adil!"
"Kamu tidak mau balas dendam soal kematian ponakanmu ini?"
Daeng Poja terdiam sesaat namun Mandatjan sudah keburu mencecarnya dengan gerombolan argumen lain, "Meskipun nanti kamu dipenjara sekalipun Daeng, aku akan pastikan kamu dapati Murdiono sialan itu mati! Tapi biar itu terjadi, kamu harus ikut saya sekarang Daeng! Bagaimana? Kuberi kau waktu lima detik, ikut kami atau tidak?!"
"Guanya ada di timur kampung ini. Makan waktu 3 jam jalan kaki!" ujar Daeng Poja.
"Kalau begitu sebaiknya kita bergegas, sebelum para anggota TNI kesurupan setan itu menemukan kita!"
******
Kediaman Kanwa, Bumi Serpong Damai, 03.00 WIB
Dengan memanggil sebuah angkutan online, Syailendra berhasil meloloskan Mandala dengan selamat ke salah satu kediaman milik Kanwa yang berlokasi di Bumi Serpong Damai. Di sana Kanwa kebetulan sedang berada di tempat sehingga Syailendra akhirnya berhasil menceritakan kondisi terkini mengenai operasi mereka yang gagal total ini.
"Duryodhana pasti akan memburu kalian kalau kalian terus di Jabodetabek. Tapi kembali ke Bali via bandara juga bukan pilihan yang bagus. Dia pasti akan menyuruh aparat memperketat keamanan di bandara," kata Kanwa.
"Kita mungkin tak bisa naik pesawat tapi kita bisa naik bus, lebih aman!"
"Ide bagus! Aku bisa hubungi temanku yang punya perusahaan angkutan bus. Kalian bisa naik bus keberangkatan paling pagi!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top