BAB VII : TERJEBAK
Hotel Kertajaya, Tangerang, 21.00 WIB
Sepertinya Syailendra agak terlambat menghadiri acara di Hotel Kertajaya, sebab ketika kendaraan yang ia tumpangi tiba di sana, sopirnya kesulitan mencari tempat parkir sehingga terpaksa harus menurunkan Syailendra dan Mandala di lobi hotel dan tidak bisa menjanjikan di mana dirinya akan memarkir mobilnya.
Pada akhirnya Syailendra terpaksa membiarkan sang sopir memarkir mobilnyaa cukup jauh sementara ia dan Mandala segera turun dan menuju hall tempat gala dinner diadakan. Di dalam, sebuah panggung penuh cahaya lampu kuning yang dibentuk menyerupai gambaran sebuah istana dari era Nusantara kuno sudah disorot sedemikian rupa, menyorot seorang yang tidak lain dan tidak bukan merupakan presiden pengganti dari presiden sebelumnya yang telah tewas, Murdiono atau Syailendra lebih suka menyebutnya Duryodana.
Acara tersebut berlangsung cukup membosankan bagi Syailendra dan Mandala. Setelah pidato panjang lebar oleh sang presiden, acara dilanjutkan dengan sambutan Menko Perekonomian yang lagi-lagi mengulangi kata-kata Sang Presiden yakni mengucapkan terima kasih kepada hadirin-hadirin sekalian yang telah bersedia menanamkan modal mereka pada negara untuk membantu negara menjalani hari-hari sulitnya dalam menghadapi ancaman Laskar Pralaya.
"Laskar Pralaya sungguh biadab! Berani sekali mereka melakukan tindakan bom bunuh diri! Percayalah Bapak-Ibu, uang yang Bapak-Ibu sumbangkan akan kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk membangun kembali infrastruktur-infrastruktur yang dihancurkan oleh kelompok ekstrimis ini sekaligus memberikan peralatan termutakhir untuk menunjang kinerja TNI yang akan menumpas mereka. Bapak-Ibu akan lihat hasilnya sebentar lagi. Paling lama bulan depan, seluruh Laskar Pralaya akan tumpas!" Sang Menko Perekonomian melontarkan pidato berapi-api yang langsung disambut dengan gemuruh tepuk tangan para hadirin.
"Jagakan kursi saya, Mandala," ujar Syailendra ketika merasa dia sudah cukup lama berada di sini, "saya mau ke 'kamar mandi'."
Ya Papi! tulis Mandala sebagai jawaban.
*****
Syailendra berpura-pura menuju kamar mandi, namun secara diam-diam ia membuka pintu tangga darurat lalu mulai menuruni tangga itu hingga ia sampai di basement yang dijaga beberapa orang petugas keamanan. Syailendra langsung mengeluarkan sebuah pena dari sakunya yang langsung ia putar knopnya 180 derajat hingga sebuah jarum melesat mengenai leher salah satu penjaga dan merubuhkannya ke alam mimpi. Teman-temannya menyadari bahwa ada temannya yang pingsan dan langsung beranjak menghampirinya namun segera saja mereka jatuh terlelap karena serangan jarum bius milik Syailendra.
Syailendra berjalan santai menuju sebuah ruang yang dilindungi pintu baja dan sistem keamanannya menggunakan kombinasi sidik jari. Pria paruh baya itu langsung mengaktifkan tc-earphonenya, "Gempar! Aku butuh bantuan dengan kunci ini!"
"Letakkan satu chip yang saya berikan tadi ke bagian alat itu, Kolonel. Lalu beri saya waktu satu menit," jawab Gempar dari ruang kerjanya nun jauh di Bali sana.
Syailendra menuruti instruksi Gempar lalu menunggu selama beberapa saat sambil terus menoleh kanan-kiri guna memastikan tidak ada lagi petugas keamanan yang mendatanginya. Setelah semenit, terdengar bunyi 'bip' dari alat pemindai sidik jari tersebut lalu terbukalah pintu baja pelindung ruangan tersebut.
Syailendra berjalan cepat melewati deretan komputer server menuju bagian tengah ruangan yang mana seharusnya server pusat berada. Tapi ketika ia sampai di tengah ruangan, didapatinya ada orang berdiri di tengah ruangan, seolah sudah menunggunya.
"Selamat malam Kolonel Syailendra," orang yang tampak tak asing bagi Syailendra itu berujar congkak.
"Wijayadi Saputra, sedang mencoba main-main jadi pahlawan ya?"
"Saya sedang tidak main-main Pak Tua. Saya di sini ... hendak melenyapkan seorang pengkhianat!" Wijayadi menarik keluar sebuah pena dari saku kemeja hitamnya dan berujar, "Astra ... Mahawira!"
Pedang baja berukirkan gambar-gambar prajurit di kedua sisi bilahnya termaterialisasi di tangan Wijayadi dan langsung saja anak muda itu menyasar kepala Sang Kepala Dakara untuk dipisahkan dari tubuhnya.
******
Syailendra berkelit hanya sepersekian detik sebelum bilah sundang itu sukses menatak putus lehernya. Ia mengelak mundur beberapa langkah, mengambil jarak, lalu menarik keras kalung yang mata kalungnya berbentuk lingkaran dengan ukiran terompet kerang kemudian melemparnya ke udara.
"Astra ... Seruling Dewata!" mata kalung itu berubah wujud menjadi sebentuk seruling logam berwarna perak dengan tujuh lubang nada.
Kaki kanan Wijayadi, menghentak lantai keras, melentingkan tubuhnya ke arah Syailendra dengan posisi bilah pedang mengarah kepada musuh. Syailendra sendiri tak tinggal diam, dengan posisi tangan kanan menggengam bagian tengah seruling kuat-kuat, ia memukulkan serulingnya ke bilah astra milik Wijayadi yang juga menimbulkan gelombang kejut sehingga seluruh komputer server yang ada di sana meledak dan tak berfungsi.
Wijayadi terhempas dan membentur dinding namun dengan segera kembali berdiri lalu mengambil posisi membungkuk dengan kaki kiri ditekuk sementara kaki kanan ia renggangkan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak miring 140 derajat ke kiri. Bilah sundang Wijayadi tampak menyala merah dan Syailendra tahu astra di tangan anak muda itu sudah dalam taraf membahayakan, karena itu ia segera mendekatkan seruling logam di tangannya ke arah bibirnya lalu mulai memainkan suatu melodi.
Melodi yang dimainkan Syailendra sekilas terdengar seperti lagu Bali atau Jawa kuno namun jika diperhatikan juga bukan termasuk keduanya. Belum sampai 10 detik sejak Syailendra mulai memainkan serulingnya, Wijayadi merasakan kantuk hebat yang membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Ia mencoba tetap sadar namun membagi tenaga dalam melawan kantuk serta mempersiapkan serangan agak sulit bagi Wijayadi yang belum terlalu berpengalaman dengan kondisi pertarungan lapangan. Walhasil tanpa dia duga, Pak Tua di hadapannya ini tiba-tiba sudah berada persis di depannya dan menghadiahinya dengan satu bogem mentah yang sumpah mati rasanya kok sekeras aspal!
******
Syailendra yang mendapati anak Sang Presiden sudah terkapar tak berdaya baru saja berpikir untuk menghabisinya sekarang juga sebelum anak ini jadi 'penyakit' di masa depan. Tapi baru saja ia hendak berpikir demikian, terdengar suara operator melalui perangkat arlojinya.
Darurat lima Kolonel Syailendra, Mandala diculik!
Skenario darurat yang diperkirakan Syailendra ada lima :
1. Penyamarannya terbongkar
2. Ada asura muncul mengacau pesta
3. Ada bom yang ditanam di tempat pesta
4. Ada peserta pesta yang pingsan atau mati mendadak
5. Mandala diculik
Dari lima skenario, jujur saja Syailendra sama sekali tidak sempat mempersiapkan rencana penanganan skenario kelima. Dia pikir sebagai penerawang masa depan, Mandala bisa saja lolos dengan mudah dari kejaran siapapun, apalagi setelah dibekali sedikit pengetahuan mengenai senjata api dan perlengkapan meloloskan diri. Tapi siapa sangka anak itu akhirnya kena culik juga?
Syailendra langsung tak membuang waktu lagi. Ia mengecilkan seruling logamnya menjadi mata kalung kembali lalu mencabut pistolnya dan berlari menuju arah yang ditunjukkan peta GPS yang terlihat melalui layar lensa kacamatanya. Syailendra melintasi lorong-lorong yang biasanya hanya digunakan pegawai-pegawai hotel, ia melompati sebuah kereta makan dan mendorong kasar seorang pelayan hotel tak berdosa ke dinding dengan tenaga di luar nalar manusia hingga pelayan itu tak sadarkan diri.
Ketika ia sampai di tempat parkir bawah tanah, ia langsung mendapati sekelompok orang yang berpakaian selayaknya petugas keamanan.
"Stop!" Syailendra berteriak ketika matanya menatap salah seorang dari mereka membawa buntelan karung yang tampak berisi seseorang yang menggeliat-geliat, "Lepaskan anak itu dan kita bisa akhiri semua ini tanpa pertumpahan darah!"
Reaksi mereka? Kokangan enam senapan laras panjang yang langsung dilanjutkan dengan berondongan peluru kepada Syailendra.
Syailendra berlindung di balik sebuah tiang penyangga bangunan tapi segera saja satu-dua peluru mulai menembus tiang beton tersebut. Beberapa lubang bahkan sudah berada sangat dekat dengan titik vital Syailendra semisal kepala, leher dan dada kiri tempat jantungnya berada. Syailendra pun berusaha membalas tembakan namun pistol otomatis miliknya hanya punya 12 selongsong peluru sementara lawannya masing-masing punya satu magasin isi 60 peluru yang bisa diisi ulang dengan cepat.
Merasa terdesak, akhirnya Syailendra melemparkan sebuah benda mirip korek api kepada para penyerangnya. Rentetan peluru terhenti sesaat sebelum ada dari mereka yang berseru, "Menghindar!"
Asap putih tebal menyembur keluar dari pemantik api tersebut, sementara Syailendra langsung saja menggunakan pemindai panas di lensa kacamatanya untuk memecahkan satu demi satu kepala komplotan penculik Mandala.
Begitu semua pengganggu sudah berhasil ia bereskan, langsung saja menghampiri onggokan karung yang menggeliat-geliat tersebut lalu membuka isinya dan hasilnya ... bukan Mandala melainkan sesosok petugas keamanan yang tak sadarkan diri dengan luka pukul di bagian pelipisnya.
"Jebakan! Sial!" Syailendra mengumpat lalu melepaskan tali yang menjerat tangan serta kaki petugas itu kemudian cepat-cepat meninggalkannya dalam keadaan tak sadarkan diri untuk mencari Mandala.
Syailendra berlari keluar mengarah ke sebuah alun-alun di mana sopirnya tadi katanya memarkir mobil mereka namun ketika ia tiba di sana didapatinya sang sopir telah tertidur. Dengan gusar ia mengetuk-ngetuk kaca mobil namun si sopir tetap terlelap. Syailendra pun mulai curiga bahwa si sopir sebenarnya tidak tidur tapi sudah menjadi korban pembunuhan. Ia memencet arlojinya dan penunjuk waktu itu mengeluarkan semacam kait yang Syailendra tarik keluar lalu ia gunakan untuk membuka kunci pintu mobil. Tak berapa lama kemudian pintu itu terbuka dan benar saja dugaan Syailendra, ketika ia memeriksa denyut nadi si sopir, ia dapati si sopir sudah tak bernyawa.
"Dumogi amor ring Acintya (Semoga arwahnya bersatu dengan Keberadaan Yang Maha Tinggi)!" Syailendra mengatupkan kedua tangannya di hadapan jenazah itu kemudian memindahkan jenazah tersebut ke kursi penumpang dan memacu mobil itu pergi dari daerah tersebut.
******
Syailendra segera meminta semua bagian pemantau jaringan lalu-lintas di Bali untuk memantau pergerakan kendaraan di Tangerang. Selagi menunggu adanya kabar, Syailendra memilih untuk berputar-putar di sekeliling areal hotel sambil berharap-harap cemas tentang keselamatan Mandala.
Lalu sekonyong-konyong jenazah di sampingnya tiba-tiba bangun dan menoleh ke arahnya, "Om Swastyastu Gus!"
Syailendra langsung mendelik, agak kaget dengan peristiwa 'bangkit dari kematian' yang baru saja terjadi di sampingnya itu tapi juga tak terlalu panik karena dia sudah tahu siapa yang berada dalam raga si mati itu.
"Om Swastyastu, rahajeng wengi Pukulun Batara Yama!" Syailendra menyapa balik Sang Hakim Jiwa Yang Telah Mati tersebut.
=====
Rahajeng wengi – selamat malam
======
"Mandala ada di sisi timur. Sebaiknya kau cepat-cepat ke sana!"
"Kalau tidak mereka akan membunuhnya kan?"
"Tidak, kali ini Batara Indra sudah habis kesabarannya sehingga ia hampir memutuskan untuk turun sendiri kemari, meninggalkan medan perang yang tengah berkecamuk di Swargaloka. Jika Batara Indra turun kemari maka pertahanan Swargaloka akan melemah, Asura-Asura yang sudah menggempur kahyangan sejak lama itu bisa saja mendobrak masuk!"
"Pukulun Batara tidak ikut ke kahyangan?"
"Ulun masih punya urusan di Naraka! Aswatama dan sekutunya itu bukan sekali-dua kali saja menerobos masuk ke sana lalu mengambil atma Asura yang sebenarnya belum boleh dibebaskan untuk jadi bala tentara mereka!"
"Duh Pukulun, apa Pukulun tak merasa aneh dengan semua ini? Bagaimana bisa Aswatama tiba-tiba jadi punya nyali seperti itu?"
"Kau mencurigai sesuatu yang sama dengan ulun?"
Syailendra mengangguk sambil terus memacu mobilnya.
"Kalau 'dia' ikut campur dalam urusan ini, berarti kau harus awasi semua anak-anak Pandawa!"
"Tentu Pukulun, tapi sebelum itu ...," Syailendra tak sempat menyelesaikan perkataannya karena tiba-tiba saja ada pilar guntur turun dari langit dan menghantam satu titik berjarak beberapa kilometer dari titik Syailendra berada sekarang.
"Jemput Mandala dulu? Baiklah! Sampai bertemu lagi Sobat Lama!" lalu tanda kehidupan pun kembali meninggalkan jenazah tersebut.
Syailendra menginjak pedal gas lebih dalam lagi, bermanuver menyalip sekaligus menghindar dari ancaman bertabrakan dengan kendaraan-kendaraan lain. Setelah sekian lama mendengar klakson, cacian dan umpatan para pengemudi yang menjadi olahraga jantung akibat aksinya tadi, Syailendra akhirnya tiba di titik nol kejadian. Di sana ia dapati sejumlah besar kendaraan sudah terguling dari tempatnya semula, beberapa terbalik dan ada pula yang terbakar lalu meledak.
Orang-orang panik dan berlarian. Beberapa mencoba menghubungi nomor darurat 110 dan 119 namun tampaknya perangkat komunikasi mereka mengalami gangguan. Syailendra maju menyeruak ke tengah kekacauan di mana di tengah-tengah itu semua ia melihat siluet seorang anak lelaki yang memegang tongkat tampak menghajar sekumpulan orang dewasa.
Syailendra mematerialisasi seruling logamnya kembali, memainkan sebuah melodi dan angin dingin yang kencang membekukan yang kemudian memadamkan api yang berkobar di sana. Asap tebal membumbung dari bekas api yang padam, namun Syailendra kini bisa melihat lebih jelas bahwa semua orang yang mengelilingi sosok anak lelaki itu sudah tak ada sama sekali. Syailendra berjalan makin mendekat dan mendapati bahwa di sekitarnya banyak teronggok mayat-mayat manusia yang hangus terbakar.
Ketika Syailendra sudah berada cukup dekat dengan anak itu, anak itu mengacungkan tongkat logam di tangannya dengan posisi mengancam, matanya berkilat-kilat biru seolah-olah ada kilat dan petir tertanam di matanya.
"Tenang Mandala! Ini saya!" Syailendra mengangkat tangannya sebagai isyarat damai.
Anak lelaki itu, Mandala, tampak menurunkan tongkatnya dengan takut-takut, campuran antara ekspresi panik dan curiga. Syailendra paham apa yang ditakutkan anak itu, bisa jadi ia takut kalau-kalau Syailendra adalah semacam Asura yang menyamar dan bisa saja mengancam membunuhnya setiap saat.
"Simpan Sakra-Silambam punyamu itu Mandala! Kita tidak mau menarik perhatian lebih banyak di sini. Tolong?"
=====
Sakra-Silambam = tongkat Sakra
Sakra = nama lain Batara Indra (dewa petir dan raja kahyangan) dalam kosmologi Buddhisme, Mandala menyebut Indra sebagai Sakra karena ia seorang Buddhist.
=====
Mandala menurunkan tongkatnya dengan sedikit ragu kemudian tongkat itu sirna menjadi serpihan kecil dan kumpulan serpihan itu kemudian mewujudkan diri kembali sebagai cincin bermata lazuardi biru yang terpasang di jari manis tangan kanan Mandala.
"Ayo!" Syailendra mengajak Mandala pergi dan anak lelaki itu pun menurut lalu mengikuti Syailendra menjauh dari tempat itu.
Mahawira = pahlawan agung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top