BAB IV : TUGAS BARU
"Pancawala?" dahi Markus mengernyit, "tapi bukannya Pancawala harusnya ada lima orang?"
"Yah, seharusnya saya memang lima," jawab Kadek yang volume suaranya sekarang satu oktaf lebih rendah daripada saat dia bicara dengan Syailendra.
"Tapi karena masalah kehamilan dan jatah makan serta jalinan karma yang rumit," suaranya sekarang berubah setengah oktaf lebih tinggi daripada sebelumnya.
"Jadinya kami berlima sekarang ada dalam satu tubuh," lagi-lagi nada suaranya turun, kali ini seperempat oktaf.
Baik Markus maupun Janggala hanya bisa bengong mendengar suara tiga orang dari satu mulut itu. Tiga suara itu jelas-jelas berbeda satu sama lainnya, dan tidak, kesan yang mereka dapatkan kali ini bukan suara yang dihasilkan ahli suara perut macam Ria Enes dan boneka Suzan, ini sudah seperti ada tiga orang berbeda berbagi satu tubuh yang sama.
"Jadi sekarang tugas apa lagi yang harus kami lakukan, Kolonel Syailendra?"tanya Ali.
"Gus Ali, saya butuh Gus di sini," kata Kadek, kali ini menggunakan suara normalnya namun dengan irama bicara yang amat cepat, "Oh maaf, saya lupa, sebentar!"
"Jangan terlalu paksa Kadek keluarkan kepribadiannya yang lain, nanti bisa jadi masalah besar," kata Syailendra.
"Oke ... jadi kita harus apa setelah ini Kolonel?"
"Sebenarnya ada tiga tugas yang harus kita lakukan. Yang pertama kita harus menyusup ke markas Satyawati Corp dan memasang bug pada server mereka untuk memantau tingkah laku Wapres yang sekarang jadi Presiden kita. Yang kedua kita harus ke Macau, dan bunuh satu tokoh penggerak Laskar Pralaya di sana. Yang ketiga kita harus ke Gunung Biru dan selamatkan Panglima TNI dari sana sebelum Laskar Pralaya atau lebih tepatnya Presiden membunuhnya," ujar Syailendra.
"Presiden kita itu aslinya Duryodhana, sulung dari Seratus Perkasa Wangsa Kuru, kalau kalian masih bingung," sambung Kadek.
"Kolonel?" Janggala menggeleng-gelengkan kepalanya karena kesal dan lelah dengan segala aksi ini, "Kalau Kolonel sudah tahu kalau dia Duryodhana kenapa kita tidak bunuh saja dia dari kemarin-kemarin?"
"Bodohnya saya, saya juga tidak tahu kalau dia Duryodhana. Selama ini saya dan ayah-ayah kalian dahulu sudah membunuhi 14 Kurawa tapi tak satupun dari mereka itu Duryodhana. Kami pernah bentrok dengan satu Kurawa yang amat kuat yang kami duga itu Duryodhana tapi ternyata dugaan kami salah. Aku sendiri baru tahu kalau Wapres sialan kita itu Duryodhana setelah Gempar berhasil meretas email pribadi Wapres kita dan ada tulisan ini," Syailendra lantas menampilkan layar holografik dari arlojinya yang isinya antara lain :
KEPADA K-KA-G PR--U D-RY-D-ANA.
KE-AL- BIN SUDAH –BE—SK--. DAKARA ----- D-INFILTRA-I. P--BERSIHAN TE-G-H ME-UJU TA--P AK-IR.
"Emailnya korup," komentar Markus.
"Ya, enkripsinya 2x512 bit, enkripsi rumit yang butuh supercomputer untuk memecahkan seluruhnya. Ada sekitar 500 email di kotak masuk email tersebut dan Gempar berusaha sebaik yang dia bisa untuk mendeskripsi sebanyak mungkin email di sana. Tapi jelas bahwa Duryodhana tengah mengincar kita, dia tahu kita ada, dia tahu BIN curiga padanya. Dan satu orang lagi yang tidak suka dengan dia adalah Panglima TNI kita. Anehnya, Panglima TNI kita malah dia kirimkan ke Gunung Biru, Tamanjeka, Poso. Katanya untuk menumpas Laskar Pralaya. Tapi kenapa harus Panglima TNI langsung? Jelas itu jebakan dan Panglima TNI kita sudah tahu itu jebakan, maka dia minta saya untuk menjemputnya dari sana. Karena itu prioritas kita adalah selamatkan Jendral Mandatjan dari Gunung Biru."
"Dan yang lainnya? Itu jadi tugas Bayu dan Mahesa?"
"Untuk urusan Satyawati Corp. aku akan kirim Mandala dan saya sendiri."
"EH?" Markus terperanjat ketika mengetahui Kolonel Syailendra akan turun tangan sendiri.
"Untuk urusan Macau saya akan kirim kamu Markus dan Kadek. Untuk urusan selamatkan Mandatjan saya akan utus Janggala dibantu si dokter kembar."
"Bayu dan Mahesa?" tanya Janggala.
"Mereka masih berlatih mencapai Triwikrama."
"Saya?" tanya Ali yang heran namanya tidak disebut.
"Ali berjaga di sini. Saya butuh peran kamu sebagai Mangku. Sekarang Ali tinggal di sini, yang lain silakan keluar dari sini."
Markus, Janggala, dan Kadek pun segera keluar, menyisakan hanya Syailendra dan Ali saja yang tinggal di ruangan itu.
"Tubuhmu, tidak apa-apa?" tanya Syailendra sembari menunjuk tangan kanan Ali.
"Tidak, kenapa Kolonel?"
"Jangan bohong. Kau pakai Triwikrama sebelum tapamu benar-benar selesai. Kau pakai Triwikrama setelah terseok-seok akibat digigit seribu ular laut berbisa. Kamu pura-pura tegar padahal sekarang kamu memaksa diri kan?"
Syailendra benar. Untuk mencapai tempat ini sebenarnya Ali harus bersusah payah melawan pusing hebat yang mendera kepalanya. Masih mending dia tidak muntah di jalan.
"Sepertinya saya memang butuh istirahat, Kolonel," akhirnya Ali mengakui kondisinya.
"Harus! Dan lagipula saya membutuhkan kamu untuk satu hal."
"Apa itu?"
"Agni Hotra."
Dahi Ali mengernyit, ia tahu apa itu Agni Hotra, yakni upacara penyucian api untuk berbagai keperluan mulai dari upacara perkawinan atau upacara pembakaran mayat yang lazim dilakukan di India walau di Indonesia sendiri upacara ini sudah lama dilupakan meski tidak betul-betul hilang. Pembakaran tiga dupa tiap kali berdoa itu konon merupakan salah satu warisan Agni Hotra yang masih tersisa.
"Kita mau menyucikan api untuk apa?"
"Kita tidak hendak menyucikan api. Kita hendak memanggil Batara Agni ke Arcapada."
"Untuk apa?" Ali masih belum paham benar dengan maksud Syailendra.
"Membantu Janggala mencapai Triwikrama. Tapi itu nanti biar dijelaskan oleh Bunga, kamu mandi dan tidurlah untuk saat ini."
******
"Aaah! Gunung Biru, ini bakal sulit," keluh Janggala ketika mereka sampai di kamar yang disediakan Kadek untuk dirinya, Ali, dan Markus.
"Tidak terlalu sulit juga kok. Kan kamu bisa terbang? Jadi nggak bakal jatuh ke dalam jurang," ujar Kadek.
"Gimana dengan senjata anti serangan udara?" jawab Janggala.
"Yah kalau itu sih walahualam deh. Paling juga jatuh, patah leher, mati. Simpel kan?" sahut Markus.
"Oy! Kamu tuh tega bener yah, Pak Polisi!"
"Setidaknya ini bukan Setan Laut Larantuka lagi. Kalau hanya sekedar manusia biasa, kamu bisa bunuh mereka kan?"
"Semoga itu memang benar, cuma manusia biasa," ujar Kadek.
"Memangnya apa lagi?"
"Di Pontianak tempo hari, Bayu, Mahesa, dan dokter kembar bertemu wetala. Wetala adalah Asura yang merasuki jasad-jasad, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Di sana wetala mengambilalih tubuh para Marinir dan membuat mereka berbalik menjadi musuh kita. Celakanya raga yang dirasuki Wetala tidak bisa dibunuh dengan senjata konvensional macam pisau atau senapan, kita harus pakai astra."
"Tunggu, ha ha ha," Janggala sudah mulai merinding, "kamu bilang tadi mereka tidak bisa dibunuh peluru ... harus astra?"
"Ya," Kadek mengangguk, "kalau tiyang jadi kamu, tiyang akan makan banyak sekali selagi dapat karena Gunung Biru bukanlah medan tempur yang mudah ditaklukkan bahkan untuk prajurit terlatih sekalipun."
*****
Bukit Kelam, Kalimantan Barat, 22.00 WITA
Bayu merasa perutnya pedih dan melilit-lilit ketika ia bangun malam itu. Tubuhnya menggeliat pelan sembari mencoba sekedar berguling keluar dari selimut yang menyelimuti tubuhnya. Alas tidurnya adalah sebuah pohon tua yang telah menjulang tinggi dan tentu saja karena kontur batangnya tidak rata, punggung Bayu jadi sakit sekarang.
Bayu mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba menyusaikan diri dengan kegelapan di mana hanya sinar bulan purnama semata yang menjadi penerang di tempat itu. Jagawana sinting bernama Palgunadi itu tidak tampak. Bayu meringis, ketika menyadari lecet di lehernya akibat irisan mandau Palgunadi tak sengaja ia garuk akibat gigitan nyamuk, ia mengalihkan pandangannya pada luka sayat akibat mandau Palgunadi tadi, luka itu sudah kering namun masih terasa perih. Bayu pun memutuskan ini kesempatan untuk cari makan, jika ia bisa menemukan jalan aspal tadi, ia pasti bisa mencapai pemukiman penduduk. Syukur-syukur kalau ada warung buka.
Bayu pun berjalan pelan menyusuri lantai hutan sebelum sebuah suara berbisik terdengar di sampingnya, "Amati sekitarmu!"
Bayu langsung balik badan ke arah sumber suara, tapi tak ada siapapun di sana, "A .... i-itu tadi apa ya?"
Tak ada jawaban, tak ada sahutan, maka Bayu berpikir itu hanya sekedar halusinasi semata akibat perutnya yang belum makan apapun dari pagi. Maka kembali ia mencoba mencari jalan aspal tersebut dan ketika menemukannya, bukan main girangnya hati remaja itu karena jalur menuju peradaban telah ia temukan. Saking girangnya Bayu bahkan tak berpikir harus belok kanan atau kiri, apa nama daerah yang ada di hadapannya, ke mana Palgunadi, Bayu sama sekali tidak memikirkan itu. Ia memilih belok ke arah kiri tanpa memikirkan alasannya dan terus melangkah dengan penuh semangat sampai akhirnya ia melihat sebentuk bayangan mirip atap rumah.
"Yay!" Bayu semakin mempercepat langkahnya dan mendekati daerah itu sebelum akhirnya tersadar bahwa daerah yang ia datangi memang pemukiman. Tapi pemukiman itu tidak diterangi satu pelita pun, gelap gulita, hanya bermandikan cahaya rembulan. Dan di antara kegelapan itu hanya tampak sebentuk nyala api korek yang menyulut lilin dan sosok yang tengah menyalakan lilin itu ternyata tak lain adalah Palgunadi.
"Kampung ini sudah ditinggalkan," kata Palgunadi sembari berdiri mengangkat lilin tadi dan mendekat ke arah Bayu, "Sudah lama, sejak 2 tahun yang lalu."
"Jadi ... tidak ada lagi yang tinggal di sini? Tidak ada yang jual makanan di sini?" keluh Bayu.
"Kalaupun ada yang buka warung di sini," kata Palgunadi, "Kamu mau bayar pakai apa? Memangnya kamu bawa uang tunai?"
Tiba-tiba Bayu menyadari kebodohannya barusan. Dia ke Mandor tidak bawa uang tunai, ke Pontianak jelas tidak bawa dan sekarang dia dijatuhkan di rimba antah berantah seperti ini juga jelas-jelas tanpa uang tunai. Andaikan dia punya uang tunai sekalipun, jelas tidak ada yang bisa dibeli di sini.
"Cukup!" Bayu mematerialisasi Taksaka miliknya menjadi busur panah dan mengarahkannya kepada Palgunadi, "Aku sudah lapar, haus, lelah, dan muak dengan semua ini! Pulangkan aku Pak Jagawana atau aku tembus kepala Bapak pakai ini!"
"Memangnya kamu ...," Palgunadi dalam sekejap saja tampak lenyap dari posisinya semula, "... bisa?" dan secara mengejutkan muncul di hadapan Bayu persis dan mengunci tangan kanan remaja itu.
Taksaka terjatuh berklontangan dan Bayu berusaha keras melepaskan diri dari kuncian Palgunadi dengan menggunakan tangannya yang masih bebas untuk memukul wajah Palgunadi. Wajahnya Jagawana itu kena pukulan Bayu telak tapi ia bergeming. Lalu setelah itu Bayu merasakan hawa menakutkan. Sebuah sensasi aneh yang membuat seluruh bulu romanya berdiri. Wajah Palgunadi tampak merah padam, penuh amarah dan segera sesudah itu ia memukul dada Bayu kuat-kuat dan membuat Bayu terhempas lalu jatuh berguling-guling. Remaja itu mengerang kesakitan tapi Palgunadi tidak menghentikan serangannya. Ia langsung menendang Bayu kuat-kuat di bagian leher sehingga remaja itu kembali terguling dan kini batuk-batuk keras.
"Stop Pak! Stop! Tolong jangan ...!" kata-kata Bayu belum selesai tapi Palgunadi sudah menerjang ke arahnya dengan berlari dengan posisi badan merunduk dan kedua tangannya terentang setengah terangkat ke atas.
Tangan kiri Palgunadi langsung saja menjerat leher Bayu dan kembali menjatuhkan remaja itu ke jalan tanah yang penuh batu.
"Tolong! Ah! Pak! Saya sa ... ah ... bisa mati kalau begini terus!" Bayu mengerang setengah memohon agar Palgunadi melepaskannya tapi Palgunadi seperti tak mau dengar.
Sesaat kemudian terdengar suara 'krak' dan Bayu langsung merasakan tangan kanannya layu. Disusul sebuah tendangan sepatu bot tepat di wajahnya sehingga wajahnya memar dan kacamatanya pecah.
Bayu sudah nyaris percaya dia mati ketika Palgunadi kembali melangkah mendekatinya namun ternyata Palgunadi seperti punya rencana lain. Ia hanya sekedar menginjak kepala Bayu dengan satu kakinya lalu berkata pada remaja itu, "Ananda lapar?"
"Y-ya Pak," jawab Bayu gemetaran.
"Kamu mau makan?"
"Y-ya P-Pak," Bayu merasa Palgunadi tidak akan langsung mau memberikan makanan kepadanya. Pasti ada sesuatu yang lain setelah ini.
"Tahu kenapa kau kubeginikan?"
"Ti-tidak P-Pak!"
"Tidak tahu!" Palgunadi mengangkat kedua tangannya ke langit sebelum menutup kedua matanya dengan tangan itu dan membuat gerakan menyapukan telapak tangan dari mata ke dagu, "Sampai tahap ini dia benar-benar tidak tahu! Hei! Kalian dengar itu?!"
Entah Palgunadi bicara dengan siapa tapi kini Bayu merasa semakin takut dengan Palgunadi. Dugaannya Palgunadi mengalami kelainan jiwa atau hal semacam itu yang membuat perangainya berubah-ubah dan bisa jadi sangat-amat kejam serta sadis. Kata 'eksentrik' yang dipakai Kartika tempo hari, mungkin saja adalah semacam penghalusan makna dari sakit jiwa.
"Kau kubeginikan karena aku tidak suka padamu!" Palgunadi memperkuat tekanan injakannya ke kepala Bayu. Bayu sekarang merasa kupingnya yang tertekan ke tanah terasa panas dan perih, mungkin lecet akibat gesekan dengan batu-batu tajam itu, "Kau tahu kenapa aku tidak suka padamu?! Tahu?!"
"Ti-tidak Pak. Su-sungguh! Tidak!"
"Karena kamu anak Arjuna! Arjuna dan Palgunadi! Kalau kamu tidak tahu Palgunadi pakai Arjuna dan Ekalwya! Kamu ingat?!"
"Su-sungguh Pak! Saya tidak tahu saya salah apa! Tolong ampuni saya Pak kalau saya punya salah!"
"Salahmu ada dua, kamu anak Arjuna dan kamu pukul kepalaku. Di Kalimantan sini, pegang kepala orang lain sudah merupakan penghinaan, apalagi memukul! Dulu orang-orang Jepang datang Pontianak dan Singkawang dan pukul kepala kami, kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?"
"Pertempuran Mandor!" tiba-tiba Bayu teringat pada cerita si dokter kembar soal Mandor.
"Orang-orang Jepang itu menghabisi semua orang Cina, guru, cendikiawan, bangsawan, para Sultan di Kalimantan Barat dan keluarga Sultan. Mereka memaksa semua orang itu romusha di tengah hutan sebelum memenggal kepala semua orang itu. Tapi orang-orang Dayak berbalik melawan mereka dan terjadilah Pertempuran Mandor, yang baru usai sehari pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan."
"Kayau! Ya! Kami mengayau kepala orang-orang Nippon! Jadi harusnya kau kukayau juga!"
"Tu-tunggu! Tolong jangan kayau saya! Apapun akan saya lakukan asal jangan kayau saya!"
"Benar begitu?!"
"Be-benar Pak!"
Palgunadi melepaskan injakannya dan menyuruh Bayu berdiri, "Berdiri!"
Bayu pun berdiri sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun baru saja ia berdiri selama beberapa detik, sebuah mandau langsung menembus perutnya dan tak berselang lama, dengan kasar, mandau itu ditarik dari perutnya.
Darah mengucur dari luka di perut itu ditambah dengan kelelahan fisik serta faktor belum makan sama sekali langsung saja Bayu jatuh bersimpuh. Ia mencoba menekan luka itu, berusaha menerapkan pengetahuan dasar soal mengurangi keluarnya darah tapi sia-sia, darahnya tetap mengucur deras dan segera saja Bayu merasa pusing.
"Dengan banyaknya darah yang keluar seperti itu, kamu pasti sudah animea sekarang. Kalau kamu begitu terus, 10 menit lagi kamu pasti mati!"
"Ja-jangan! TOLONG! SAYA TIDAK MAU MATI! SAYA BELUM MAU MATI!!!!" Bayu menjerit sejadi-jadinya memohon pertolongan Palgunadi, satu-satunya manusia yang ada di sini selain dirinya.
"Kenapa kamu tidak mau mati? Bukankah Irawan dulu dengan gagah beraninya menjemput kematian saat menyabung nyawa dengan Asura Srenggi?"
Kilas balik sosok Irawan di masa lalu yang menantang sosok Asura yang sama dengan yang menghancurkan stadion di Vancouver, Kanada beberapa bulan yang lalu langsung terbias di benak Bayu. Ia di masa lalu memang tidak mengindahkan nasehat kakek dan ibunya untuk tidak sembrono maju perang namun ia di masa kini sudah punya sudut pandang berbeda. Ibunya di masa lalu yang kini menjadi ibunya di masa kini telah menceritakan bagaimana Ulupi – ibu Irawana berduka sepanjang sisa hidupnya atas kematian Irawan. Bagaimana sesal dan duka itu terus ia tanggung sampai kematian Kanwa, kakek Irawan, sampai kemudian ajal pun menjemput Ulupi. Ulupi hidup sendirian, terasing, dan tak lagi bisa merasakan nikmatnya hidup pasca kematian anaknya. Ulupi telah menjadi orangtua yang menyaksikan anaknya mati mendahuluinya, anak satu-satunya pula.
"Duka terbesar orangtua, Le, adalah menyaksikan anak-anak mereka mati mendahului mereka. Kenapa? Karena orangtua manapun yang bertanggungjawab akan menyaksikan bagaimana bayi ringkih yang hanya bisa menangis itu perlahan menapaki jalan menuju kedewasaan. Ia tumbuh menjadi balita yang penuh ingin tahu, anak-anak yang bandel tapi menggemaskan, remaja yang mencari jati diri, dan kemudian orang dewasa yang punya jalan hidup sendiri. Bayangkan saja Le, ketika di tengah-tengah proses itu, anak-anak mereka direnggut dari mereka? Apa jadinya arti hidup ini bagi mereka?"
"Itu ...," Bayu merasakan tenggorokannya makin kering dan lidahnya kini terasa kelu, "... masa lalu Bapak. Itu ... keegoisan masa lalu."
"Jadi apa maunya sekarang?"
"Aku sudah janji pada Ibu untuk tetap hidup. Jadi tolong ... bantu saya Pak!" tangan Bayu berusaha menggapai Palgunadi tapi tak sampai.
"Minum ini, seaneh apapun rasanya, telan saja," kata Palgunadi sembari meletakkan sebuah botol kaca berwarna coklat tua di hadapan Bayu yang sudah sekarat itu.
Tanpa ragu pun Bayu menyambar botol itu dan membuka gabus penutupnya dengan tangan gemetaran dan segera menenggak habis isinya. Rasanya memang aneh – kalau tidak boleh disebut mengerikan. Rasanya cairan di dalamnya adalah semacam minyak berbau wangi namun rasanya asam dan anyir. Meski begitu khasiat obat atau minyak apapun itu segera terasa. Bayu kini mulai merasa tenaganya pulih kembali, tangannya yang sakit kini reda sakitnya, matanya yang semula agak rabun jauh kini perlahan mulai terasa normal meski tanpa menggunakan kacamata, hidungnya yang tadi patah akibat tendangan sepatu bot mulai kembali normal. Dan yang tak kalah penting, pendarahan di perutnya kini menutup dan segera saja mengering. Lima belas menit kemudian Bayu sudah kembali berdiri tegak dan segar bugar.
Palgunadi tampak tersenyum tipis ke arah Bayu sebelum akhirnya memungut busur Taksaka yang tadi terjatuh dan menyerahkannya kepada Bayu. Dan tak hanya itu saja, ia juga menyerahkan bungkusan berwarna kuning keperakan bertuliskan 'ransum'.
"Terima kasih Pak," Bayu menerima kembali astra miliknya dan ransum itu sebelum akhirnya menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Maaf atas tingkah saya yang begitu kurang ajar sejak kita pertama kali bertemu."
"Tak apa, Yu. Aku juga melakukan ini karena perintah dua pihak. Pertama Dakara yang tidak ingin kau main terjang sembarangan dan membahayakan jiwamu sendiri dan yang kedua kakekmu."
"Kakek?"
"Kakekmu khawatir kau terlalu semangat buang nyawa dan menyebabkan ia kehilangan lagi cucunya. Karena itu mohon maaf apabila aku berlaku macam iblis saja sejak pertama kali kita bertemu. Walau yah ... masih ada dalam diriku sedikit rasa ingin membunuhmu."
"Mohon maaf Pak, tentang Arjuna dan Palgunadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan Bapak dan ayah saya?"
"Duduk," Palgunadi langsung duduk bersila di hadapan Bayu dan Bayu pun menuruti perintah mentornya itu.
Palgunadi langsung meletakkan kedua kumpang mandaunya di atas tanah kemudian membuat gerakan menelusuri ujung kumpang yang satu hingga ujung kumpang yang lain dengan tangannya. Setelah itu ia menghela nafas dalam-dalam.
"Ayahmu meniduri istriku," Bayu yang baru saja menyendok seiris daging ayam suwir ke mulutnya mau tidak mau tersedak mendengar perkataan Palgunadi.
"Dan dari tindakan tidak senonoh itu mereka punya anak."
Selera makan Bayu langsung hilang mendengar perkataan dia punya 'saudara' haram lain di luar sana.
"Tapi kemudian kupikir, oh itu sudah berlalu. Baiklah aku angkat anak hasil hubungan tidak senonoh itu sebagai anak. Baiklah aku mempertahankan rumah tanggaku. Toh aku sudah punya dua anak sebelum ini. Kupikir itu sudah langkah terbaik. Tapi ternyata aku salah. Begitu Seratus Perkasa Keturunan Wangsa Kuru melancarkan 'kampanye pembersihan' anak-anak Pandawa, mereka membunuh istriku, dua anakku, dan anak angkatku yang itu. Ayahmu bajingan tengik, dulu dia menggoda istriku bahkan nyaris memperkosanya di kehidupan masa lalu, kemudian dengan pertolongan Kresna, dia membunuh aku diam-diam, sekarang dia kembali lagi dan menghancurkan hidupku. Sepuluh tahun yang lalu aku bersumpah tidak akan ikut campur lagi dengan urusan Dakara, sampai kemudian kamu dan Mahesa muncul. Kondisi Dakara rumit, Adipati Karna bersedia mengajari kalian tapi mustahil mengajari kalian berdua di tempat yang sama dalam waktu singkat. Kalian itu saudara tapi juga rival, rival dalam hal mendapat kasih sayang Arjuna. Rival dalam mencari pengakuan sebagai prajurit tangguh. Kalau kalian disatukan pasti kalian akan berantem sendiri. Karena itu saya yang diminta Dakara mengajari satu dari kalian. Tadinya aku mau minta Mahesa yang lebih patuh daripada kamu, tapi Karna mau rekonsiliasi dengan Mahesa untuk urusan masa lalu."
"Jadi .... apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan ayah saya pada Bapak?"
"Kakekmu sudah memberikan kompensasinya."
"Tapi itu dari kakek saya, tapi dari saya belum. Saya, selaku darah-daging orang yang pernah menghancurkan kehidupan Bapak, siap menanggung apapun untuk menebus kesalahan ayah saya!"
"Habisi Seratus Perkasa Keturunan Wangsa Kuru sampai tuntas, jangan sisakan satupun dari mereka. Itu sudah cukup dan sekarang ...," tiba-tiba saja Palgunadi dengan cepat meraih mandaunya dan menyatukannya dan bentuknya berubah menjadi busur panah dan segera saja menembakkan anak-anak panah ke suatu arah.
Jantung Bayu mencelos barusan, ia sempat berpikir kalau Palgunadi tiba-tiba berubah pikiran dan ingin membunuhnya gara-gara kata-kata soknya barusan.
Terdengar suara 'nguik' lemah diikuti suara berdebam di kejauhan. Lalu tak lama kemudian Palgunadi bangkit dan berjalan ke arah sumber suara itu, "Ayo ikut," kata Palgunadi, "malam ini kita bakar babi hutan."
P.S : Pembaca, ada yang bisa bikin dialog Bahasa Jepang yang digunakan pada era PD II nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top