BAB III : BALIDWIPA

Larantuka, Flores, 12.00 WITA

Selagi masyarakat kota Larantuka masih ramai merayakan Semana Santa, Ali mengajak Janggala dan Markus berjalan ke arah barat laut kota, ke sebuah pantai yang sepi dan tak ada seorangpun di sana. Ali kemudian berjalan memasuki air tanpa melepas sepatu botnya sama sekali. Di sana ia bersiul menggunakan dua jari tangan kanan miliknya yang ia masukkan ke dalam mulut dan segera saja ombak laut tampak membuncah. Dari dalam laut terdengar suara seperti suara mamalia paus namun yang keluar dari dalam laut jelas-jelas bukan paus di mata Janggala dan Markus.

Ada tiga hewan berwujud mirip ikan raksasa bersisik kasar warna ungu. Kepala mereka seperti anjing namun memiliki belalai seperti gajah. Sirip punggung mereka horizontal seperti mamalia laut namun mereka punya semacam empat sirip dayung seperti hewan reptil purba Plesiosaurus. Ali benar, hewan ini susah dijelaskan secara ilmu biologi.

"Apa mereka ini, Li?" tanya Janggala takjub.

"Makara," jawab Ali, "hewan tunggangan Batara Baruna dan Batari Gangga. Di masa lalu mereka juga disebut gajahmina – ikan gajah. Nona cantik tiga ini bersedia mengantar kita ke Benoa, tapi dari Benoa kita harus pergi sendiri ke tempat tujuan kita."

"Tunggu! Mereka semua betina?" komentar Markus.

"Apa bedanya jantan dengan betina Mas? Situ mau meneliti Makara atau mau cari tumpangan gratis dan cepat ke Bali?" jawab Ali.

"Yah, oke. Aman tidak naik ini, Li? Maksudku aman tidak bagi kami berdua yang nggak bisa bernafas dalam air?" sahut Markus.

"Oh? Soal itu. Jangan khawatir. Tahan nafas saja selama semenit pertama, setelah itu pasti beres."

Tiga Makara itu kemudian membalikkan badan dan menunggu tiga calon penumpang mereka menaiki punggung mereka. Markus dan Janggala dengan hati-hati menaiki tubuh bersisik keras itu dan mencoba duduk senyaman mungkin di punggung hewan yang kasar itu.

Ali sendiri tampak bicara dengan bahasa yang tidak dipahami manusia kepada Makara yang ia tumpangi. Si Makara itu tampak mengayun-ayunkan belalainya, mungkin sebagai tanda ia mengerti permintaan Ali.

"Yak! Tahan nafas!" ujar Ali pada kedua teman perjalanannya.

Dua yang lain langsung saja menahan nafas dan benar saja, apa yang ditakutkan Markus terjadi. Alih-alih mengambil jalan mengambang di permukaan laut, tiga Makara itu malah mengambil jalur menyelam ke bawah laut. Markus dan Janggala sudah saling pandang dan khawatir mereka bakal mati tenggelam di tempat ini, namun perkataan Ali bahwa mereka hanya perlu tahan nafas selama semenit segera terbukti.

Selubung kuning transparan segera terbentuk mengelilingi mereka dan di selubung ini kering tanpa air, dan ada udara segar sejuk yang terasa cukup banyak – seolah-olah ada pendingin udara di dalam selubung itu.

Para Makara mempercepat laju renang mereka dan ketiga penumpang mereka segera tanggap dengan mempererat pegangan mereka pada punggung hewan itu. Sejenak kemudian mereka terasa terbawa oleh arus laut dalam. Para Makara itu nyaris tak perlu berusaha mendayung ketika mereka berenang mengikuti arus laut dalam itu.

******

Cuma satu jam saja lama perjalanan dari Larantuka sampai ke Benoa itu. Begitu mereka hampir sampai di tujuan, Makara-Makara itu segera naik ke atas laut dan selubung kuning yang menyelimuti ketiga penumpangnya pun segera sirna.

"Terima kasih," kata Ali pada Makara yang ia tumpangi dan dua Makara yang lain sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Sekarang dari sini kita lanjutkan dengan terbang, tapi jangan terlalu mencolok," kata Ali, "Mas Markus, di mana kita harus berkumpul?"

"Puri Madawi Hotel and Resort di Seminyak!" kata Markus.

"Bagaimana kalau kita naik taksi saja?" saran Janggala, "Soalnya Bandara Ngurah Rai kayaknya lagi sibuk banget. Kalau kita terbang saya khawatir kita nanti bisa nabrak pesawat!"

"Saran diterima, kita terbang rendah saja ke pantai lalu cari taksi."

******

Berbeda dengan di Jawa, taksi di Bali masih memiliki sopir manusia, bukan diotomatisasi oleh komputer. Alasannya : untuk memberikan rasa nyaman yang lebih kepada para turis, dan dalam beberapa hal itu memang benar. Sang sopirnya sungguh perhatian, sampai-sampai karena melihat tamu-tamunya memakai baju basah dan lusuh ia langsung menawarkan mereka untuk mampir sejenak ke pasar guna mencari pakaian ganti, tapi Ali dengan ngawurnya langsung berkilah, "Bli, kita tak usah mampir ke pasar. Titiang dan kawan-kawan ini mau langsung saja ke Seminyak. Kalau Bli heran kenapa kita basah dan lusuh begini, itu karena kami habis lelaku di Pelinggih Ratu Gde Mecaling[1]."

"Bli ini dari mana, kok sampai lelaku di sana?" tanya sang sopir.

"Titiang ini Mangku dari Jawa Tengah dan dua kawan Titiang ini orang kaya yang mau melukat – ritual bersih diri – di sini. Kebetulan Guru Titiang ada di Pura Penataran Ped. Oleh Bapa Guru, disuruhlah Titiang ke Benoa, ke pelinggih Ratu Gde Mecaling lalu mandi di laut."

Sungguh alasan ngawur luar biasa yang bagi Orang Bali seperti sang sopir terdengar amat-amat masuk akal. Kalau ada mangku atau pandita dari Jawa lelaku eksentrik di Benoa atau Nusa Penida itu sudah bukan hal aneh di telinga mereka. Apalagi kalau hubungannya dengan segala tetek-bengek ilmu gaib. Walhasil entah segan karena Ali jelas mengaku diri sebagai Mangku atau takut dikutuk macam-macam karena membuat kesal orang yang punya hubungan dengan Ratu Gde Mecaling, sang sopir lebih memilih diam sampai mereka tiba di tujuan. Bahkan mungkin karena saking segannya, si sopir menolak dibayar dan langsung ngeloyor pergi. Katanya, "Biarkan ini jadi karma baik saya mengantar Pak Mangku ke tempat ini. Silakan Pak Mangku bawa saja uangnya."

"Wah parah kamu, Li!" ujar Janggala sampai geleng-geleng kepala, "Si Pak Sopir sampai takut setengah mati waktu kamu sebut-sebut Ratu Gde Mecaling."

"Yah mau gimana lagi? Masih mending begitu kan daripada saya sebut, saya Awatara Antasena, diutus Batara Baruna untuk memerangi angkara murka di sepenjuru Nusantara! Bisa-bisa dia malah kasih kita uang saku tuh!" balas Ali.

"Kamu kurang ajar juga ya untuk hitungan seorang Mangku?" Markus berusaha untuk tidak tertawa ketika mengingat alasan ngawur tadi.

"Yah di Larantuka aku juga ngaku sebagai juru foto, apa salahnya di sini ngaku macam gitu coba?"

*****

"Mereka sudah datang, Kolonel," kata Kadek ketika melihat kedatangan tiga orang berpakaian basah dan lusuh di depan hotel yang ia kelola. Tentu saja satpam hotel segera mencegat mereka dan menanyai tiga orang Agen Dakara itu tentang kepentingan mereka, karena itu Kadek langsung bertindak. Melalui interkom, langsung saja Kadek meminta para satpam hotel membiarkan mereka masuk ke kantornya.

"Cuma tiga orang, Riyadi belum pulih rupanya," komentar Syailendra sambil terus mengetuk-ngetukkan tongkat jalannya ke lantai berlapis karpet merah di kantor kerja Kadek.

Tak lama menunggu masuklah Ali, Janggala dan Markus ke dalam kantor itu dan di sana mereka melihat Syailendra tengah bersama seorang anak muda yang berpakaian necis yang tampak sekali sudah menunggu mereka.

"Biar saya perkenalkan, ini Kadek Mertha Agung Prayoga," kata Syailendra memperkenalkan Kadek, "dan Kadek mereka ini Ali Mahardika alias Antasena, Aji Ranta Janggala alias Wisanggeni, Markus Passaharya alias Gatotkaca."

"Tunggu!" sela Janggala, "Bijakkah kita membocorkan identitas kita padanya?"

"Jangan khawatir, Ji," senggol Ali, "Dia juga sama seperti kita. Ya kan? Bli Pancawala?"

Catatan Pengarang :

Sehubungan dengan makin mendadak dan makin intensnya beban tugas dari kampus saya, update Sang Awatara ke depannya mungkin bisa mencapai satu chapter saja per dua bulan.


[1]Ratu Gde Mecaling : menurut legenda dahulu adalah raja-pendeta Pulau Nusa Penida. Dipuja sebagai 'dewa lokal' oleh masyarakat Bali karena secara de facto Mecaling merupakan barong pertama, atau lebih tepatnya raja para makhluk gaib yang mana baik barong maupun rangda tunduk pada Mecaling. Setiap balian (dukun Bali) biasanya harus minta restu pada Ratu Gde Mecaling sebelum sah menjadi orang sakti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top