BAB XVII : MANDARA GIRI
"Triwikrama ... BARUNA PASA!"
Itu kata yang diucapkan Ali usai ia mendengarkan sesumbar Kalarudra soal betapa hebatnya Asura itu di hadapan para dewa. Mata Kalarudra membeliak, tidak percaya pada apa yang dilihatnya kala itu. Kulit Ali yang semula tampak normal kini diselimuti sisik-sisik merah bak sisik ular sementara cambuk Giri Kedasar yang semula hanya tampak seperti cambuk tali biasa kini perlahan berubah menjadi cambuk yang tersusun oleh bilah-bilah pisau berwarna merah kehitaman yang dihubungkan oleh semacam tali logam yang lentur.
Bukan itu saja, belum sempat Kalarudra bereaksi lebih jauh, tiba-tiba saja Ali sudah melesat terbang dan menyabetkan senjatanya, mengarah ke leher Kalarudra. Kalarudra berhasil berkelit, memiringkan tubuhnya ke samping sembari mengayunkan tangan kanannya untuk menghantam Ali. Ali nyaris saja terkena hantaman tangan makhluk besar itu jika saja ia tidak cepat-cepat menukik ke bawah.
Tapi di bagian bawah, makhluk itu, sulur-sulur seperti gurita milik Kalarudra langsung bereaksi hendak menangkapnya. Ali lantas segera menyabetkan Baruna Pasa miliknya ke sulur-sulur tersebut sebelum kembali melesat ke bagian atas dan menyabetkan Baruna Pasa ke tangan kiri Kalarudra kemudian terbang menjauh.
"Apa-apaan kau ini bocah kecil? Senjatamu kau sebut Baruna Pasa?! Coba lihat apa yang kau buat dengan senjata itu padaku? Sejumput goresan kecil semata! Hahahahaha! Dan kau sebut rupamu itu Triwikrama? Hahahahaha! Kau sungguh pandai melawak bocah! Wujud dan senjata macam itu tak layak kau sebut Triwikrama!" Kalarudra tertawa terbahak-bahak kala mendapati Ali kini menjaga jarak dengannya.
"Apa kau lupa wahai Kalarudra nan perkasa, pada kisah tentang kaummu dan kaum dewata yang bersama-sama memutar Gunung Mandara Giri untuk mendapatkan air keabadian Tirta Amerta dari dasar bumi paling dalam? Pada saat itu kaummu dan kaum dewata berhasil menarik keluar sejumlah besar harta dari dasar lautan. Namun sesaat sebelum kalian mencapai lapisan di mana Tirta Amerta tersimpan, kalian menembus lapisan racun paling mematikan di seluruh semesta. Kalian melepaskan Halahala. Dengan menghirup aromanya semata, baik kaummu dan kaum dewata rubuh lemas tanpa daya. Bagaimana jadinya jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh kalian? Seperti yang sudah kulakukan padamu barusan?"
Sekarang mata kuning Kalarudra tampak membeliak panik, "Kau bohong bocah!"
"Bohong? Sekarang rasakan sendiri olehmu Kalarudra! Apakah sulur-sulurmu terasa kaku seperti membatu? Apakah tangan kirimu terasa panas seperti terbakar oleh api?"
Kalarudra merasakan hal seperti yang dikatakan Ali. Sulur-sulur yang merupakan bagian bawah tubuhnya kini terasa kaku membatu, sementara tangan kirinya terasa lemas dan terbakar. Kalarudra marah luar biasa. Ia merasa baru saja dipermainkan dan diperolok bocah yang baru kemarin sore dilahirkan. Ingatannya kala ia pertama kali bertemu bayi Antasena yang baru lahir kembali ia ingat. Bayi itu tidak jua mati kala meski ia sudah menginjaknya berkali-kali, malah semakin diinjak bayi itu makin membesar dan lama-kelamaan tumbuh menjadi lelaki dewasa yang pada akhirnya mencabut nyawanya. Kalarudra tidak ingin mati seperti itu lagi. Karena itu segera saja ia kerahkan kekuatan pamungkasnya untuk membunuh Ali yang merupakan titisan Antasena itu.
Air laut kembali berombak gera. Awan mendung menggelayut. Suhu udara turun drastis dan sejumlah air laut mulai naik dengan tidak alami ke atas langit, membentuk wujud seperti tiang-tiang air beku yang ujungnya meruncing. Jumlah tiang air beku itu kira-kira 50 buah jumlahnya. Kalarudra mengibaskan tangan kanannya yang masih cukup 'sehat' dan tiang-tiang air itu segera 'tercabut' dari laut kemudian mengarah ke arah Ali.
Tak butuh waktu lama sebelum Ali diserang dua kekuatan laut sekaligus. Gelombang tsunami raksasa yang tiba-tiba muncul sekaligus tiang-tiang air yang mengarah ke arah tubuhnya. Ali, alih-alih menghindar, malah maju menyambut serangan itu. Sambil menghindari terjangan tiang-tiang air beku dan menembus hempasan gelombang besar yang dibuat Kalarudra. Rencana Kalarudra membunuh Ali dengan serangan pamungkasnya ternyata tak berhasil. Ali menembus gelombang besar yang lazimnya menghanyutkan kapal raksasa bak kertas kuno yang diremas oleh tangan perkasa tanpa kesulitan berarti. Tiang-tiang air itu juga tak satupun yang mampu membunuhnya. Sebagian memang sempat bersinggungan dengan tangan dan kaki Ali, tapi sisik-sisik merah yang menutupi seluruh tubuh Ali cukup kuat untuk melindunginya dari serangan itu. Meski begitu, meski aksi Kalarudra tadi gagal membunuh Ali, gelombang raksasa dan tiang air itu kini mengarah ke arah kota Larantuka.
Melihat ancaman gelombang raksasa datang, Markus segera mengajak Janggala untuk mencairkan dan menguapkan ancaman itu sebelum mencapai kota.
"Aku urus tiang-tiangnya, kau urus gelombangnya Janggala! Biar Ali yang urus Setan Laut itu!" perintah Markus.
"Saya coba Pak Polisi, semoga kita bisa hentikan semua ini sebelum bencana mencapai kota!"
Kedua manusia awatara itu langsung melesat ke angkasa. Janggala langsung membentuk tembok api berjarak kira-kira 40 meter di hadapannya sambil berharap tembok itu cukup kuat untuk menahan terjangan gelombang besar itu. Sementara Markus menyambangi satu demi satu tiang air yang meleset mengenai Ali tadi dan menggunakan kekuatan raksasanya untuk menjatuhkan tiang-tiang itu ke dalam laut. Ada sekitar 50 tiang, dan baru menjatuhkan dua tiang saja Markus sudah merasa kepayahan.
Di lain sisi, Ali berhasil mencapai posisi yang dekat sekali dengan kepala Kalarudra. Dengan satu sabetan, cambuk berbilah tajam milik Ali tampak membesar dan memanjang sehingga cukup untuk membelit leher Kalarudra. Kalarudra tak sempat bereaksi lebih jauh terlebih ketika cairan hitam pekat mulai keluar merembes dari bilah-bilah logam Baruna Pasa. Cairan itu merembes masuk ke dalam luka-luka yang dibuat bilah-bilah tersebut pada leher Kalarudra. Cairan hitam itu, yang tak lain adalah Halahala, segera bereaksi. Kalarudra tercekik. Tubuhnya oleng. Dan dengan satu tarikan kuat dari Ali yang tengah mengambang serta menjejakkan kakinya di atas laut, Kalarudra pun roboh.
Raksasa laut itu kini terbaring tak berdaya. Ali segera melompat ke atas kepala raksasa laut itu sambil menuding si raksasa, "Selamat Kalarudra, keangkuhan bangsamu telah menghantarkan kalian pada kekalahan kalian sekali lagi!"
"Kekalahan?" jawab Kalarudra lemah.
"Kami belum kalah Antasena. Kalarudra mungkin kalah dan akan mati. Tapi masih ada Candavata, masih ada Tuan Aswatama, dan masih ada Tuanku Yang Lebih Agung daripada Aswatama!"
"Siapa? Siapa Tuanmu Yang Lebih Agung itu?"
Tapi yang ditanya tak lagi menjawab. Sorot matanya yang kuning menyala kini telah padam. Kalarudra telah mati, dengan meninggalkan tanda tanya besar di benak Ali. Siapa Si Tuan Yang Lebih Agung itu?
*****
Tembok api Janggala sukses mengurangi ketinggian gelombang. Tapi tidak bisa menghentikan laju gelombang seutuhnya. Maka Janggala dengan sedikit memaksa diri mengerahkan segenap kekuatannya yang masih tersisa dengan menyemburkan api ke arah gelombang itu. Segera saja asap putih menguar ke udara, membuat Laut Sawu penuh asap putih hasil pertemuan antara gelombang laut dengan kekuatan api Janggala. Sementara di atas sana, Markus memutuskan kembali menggunakan Triwikrama Aji Narantaka sekali lagi dengan menghantam satu tiang air yang posisinya paling tengah. Hantaman tangan kanan Markus kembali menimbulkan dentum ledakan, namun selain dentum ledakan, gelombang suara yang dihasilkan ternyata cukup untuk membuat laju tiang-tiang air itu oleng dan melenceng bahkan ada yang langsung jatuh ke laut. Sambil terengah-engah, Markus melihat bahwa tiang-tiang air hampir semuanya tidak mencapai Larantuka. Kecuali satu yang mendarat persis di bibir pantai dan merusak satu kapal nelayan.
"Adoowww!!" Markus mengerang sambil terjun bebas ke laut karena kehabisan tenaga pasca melihat hasil kerjanya tidak sia-sia. Tubuhnya terbenam sesaat sebelum kembali mengambang di atas laut. Di sampingnya terlihat Janggala yang juga mengambang dan nafasnya memburu.
"Wew! Nyaris saja aku pikir kita akan gagal Pak Polisi," ujar Janggala.
"Syukurlah! Tidak ada dari kita yang pergi ke akhirat hari ini, Janggala!"
"Kalian tidak apa-apa kan?" tanya Ali yang kini tampak melayang mendekati mereka.
"Yah, tidak terlalu apa-apa sih. Beta cuma lapar! Belum makan seharian," sahut Markus.
"Aku juga. Hei Ali, kamu bawa makanan tidak? Aku nggak kuat nih berenang atau terbang ke pantai sekarang."
"Makanan? Hmmm ...," Ali langsung menceburkan diri ke dalam laut lalu meraup sesuatu dari dalam laut dan menyodorkannya ke arah Janggala, "Silakan!"
Janggala rasanya jadi mual ketika melihat apa yang diraup Ali dari dalam laut. Sekumpulan cacing laut berwarna merah kecoklatan yang menggeliat-geliat di telapak tangan Ali.
"Wah, pone – cacing laut – ya?" komentar Markus yang langsung saja menyodorkan tangannya. Ali langsung memberikan semua cacing laut di tangannya pada kakak lain ibunya itu dan Markus tanpa ragu langsung melahapnya.
"Agak tawar," komentar Markus.
"Jangan disamakan yang sudah dijadikan pepes dan dibumbui ala Pulau Lombok dong Mas!" ujar Ali sambil tertawa.
"Li, kamu nggak bisa kasih aku makan yang lain apa? Ikan begitu? Biar nanti aku panggang sendiri?" tanya Janggala.
"Maaf, Ji!" kata Ali, "Kemunculan Kalarudra menakuti gerombolan ikan di sekitar sini, hanya cacing laut pone ini. Tapi aku jamin cacing ini nggak beracun kok. Gizinya malah tinggi, cukuplah untuk memulihkan tenaga kita bertiga kalau kita makan tiga raupan telapak tangan."
"Ah sudahlah! Jangan pilih-pilih makanan-lah di saat seperti ini!" kata Markus yang langsung saja meraup sendiri gerombolan pone yang ternyata sudah berkeliaran di sekitar mereka bertiga.
Janggala dengan ragu mengulurkan tangannya pada Ali dan menerima segepok hewan laut yang menggeliat-geliat itu di tangannya. Ia menutup matanya rapat-rapat sebelum menelan segerombolan hewan itu. Tanpa dikunyah, langsung ia telan saja kumpulan cacing laut itu. Janggala merinding, membayangkan jika ada sebagian dari hewan itu yang cukup kuat untuk menahan kekuatan asam lambungnya, sudah dipastikan ia akan menderita cacingan kronis. Tapi untuk saat ini, dia bisa pilih makanan apa?[1]
[1]Fun fact : makan pone (atau di Lombok disebut nyale) mentah sejauh ini belum terbukti menyebabkan cacingan kronis. Sama halnya seperti kita mengkonsumsi cacing tanah mentah, kita juga tidak mungkin kena cacingan kronis.>.<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top