BAB XIII : KABARESSI
Larantuka, Flores, NTT, 06.30 WITA
Markus praktis tidak tidur semalaman. Pasca meledaknya kamar hotel mereka, beserta barang-barang bawaan mereka, ia dan Janggala langsung melapor pada markas TNI AL di Larantuka dan mereka langsung menindaklanjuti permintaan Markus. Sepasukan penyelam sudah diterjunkan di daerah yang dimaksud Markus dan mereka juga meminjamkan akomodasi berupa sebuah kamar dan sejumlah pakaian bersih – berlogo TNI AL tentunya, pada Markus dan Janggala.
Tapi meski pihak AL sudah menyatakan akan mengurus urusan 'ranjau laut' itu, Markus tidak bisa tentram tinggal di asrama. Ia memutuskan untuk pergi, melapisi kaus biru berlogo jangkarnya dengan sebuah jaket training biru polos dan mengenakan sebuah topi hitam berlogo jangkar, Markus kemudian terbang melayang di langit Larantuka sementara Janggala, yang biasanya ogah-ogahan mengikuti dia, akhirnya ikut juga.
"Katanya kau mau tidur?"
"Tak bisa Pak Polisi. Biar bagaimanapun juga saya tidak enak membiarkan anda kerja sendiri."
"Kalau aku perlu kau, nanti kau juga kupanggil."
"Kolonel Syailendra meminta saya jadi staf penghubung. Memantau informasi dan komunikasi dari Jakarta dan Bali kemari."
"Yah, kalau begitu," Markus memasang tc-earphone di telinganya, yang mana sudah Janggala lakukan dari tadi, "Tolong awasi pelabuhan. Aku akan ke daerah perbukitan sebelah barat."
"Siap!" Janggala tidak membantah atau berdebat seperti biasanya dan langsung melayang ke arah sisi timur kota.
Markus sendiri terbang ke sisi barat kota, daerah dengan perbukitan hijau dengan sebuah kapel berdiri di puncak salah satu bukit. Hari masih pagi, tapi sinar matahari sudah panas menyengat. Markus memutuskan untuk turun ke areal perbukitan dan berpatroli via darat saja, sebab silau sekali berada di atas sini.
Saat tiba di darat dan berjalan di antara pepohonan, Markus berpikir bahwa mungkin para dalang terlalu berlebihan saat menceritakan bahwa Gatotkaca punya penglihatan setajam elang atau burung hantu. Buktinya baik saat patroli malam ataupun pagi ia masih harus bawa binokular atau minimal kacamata google dengan fungsi pemindai. Tapi jika dipikir-pikir lagi mungkin Gatotkaca yang dulu memang benar seperti itu karena dia terbiasa hidup dalam hutan. Ia mungkin menyadari keberadaan musuh dan ketidakberesan lainnya karena di masa lalu masih banyak hutan. Gatotkaca di masa lalu tahu mana dahan pohon yang bergemerisik karena angin atau karena gangguan dari manusia namun metode itu tidak berlaku lagi untuk zaman sekarang sebab daerah berhutan telah menjadi hutan beton bernama pemukiman. Tak ada yang bergemerisik di hutan beton selain kabel listrik dan sedikit pohon peneduh, itupun hanya bergoyang kencang saat benar-benar ada angin kencang.
Saat tengah merenungi soal itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran sosok pria cebol yang memakai kaus hitam dan celana pendek putih kusam. Ada sarung kain poleng yang ia sampirkan di bahu kirinya dan sarung itu tampak ia gunakan membungkus sesuatu.
"Inspektur Markus Passaharya?" tanya pria itu.
"Ya?"
"Maafkan saya," pria berkepala plontos itu menunduk hormat sebelum menurunkan buntelannya dan tahu-tahu saja sudah mengeluarkan tiga bilah pisau dan melemparkannya ke arah Markus.
"Hei!" refleks Markus hanyalah mengangkat tangannya untuk melindungi dirinya dari hujaman pisau itu. Pisau itu gagal membuat lubang di wajahnya namun sebagai akibatnya tangan kiri Markus yang kini berlubang. Ada darah merembes dari tiga liang luka yang dibuat pisau itu ketika Markus mencabutnya.
"Siapa kau? Apa-apaan kau ini? Kau Laskar Pralaya?"
"Nama saya Merdah, Bendoro Tetuka. Dan saya diperintahkan kemari untuk membuat anda kembali jadi Gatotkaca."
Tetuka, adalah nama asli Gatotkaca saat lahir. Ia adalah Gatotkaca yang belum matang, yang belum memiliki kekuatan apapun selain kekuatan fisik di luar batas kewajaran bayi normal. Narada membawanya dari pangkuan Arimbi, ibunya, ke kahyangan karena diramalkan akan anda Asura yang menyerang kahyangan dan hanya bisa dikalahkan olehnya.
Percobaan pertama para dewa dengan menempatkannya langsung di hadapan sang Asura gagal total. Alih-alih mengalahkan sang raksasa, si bayi Tetuka malah dihajar habis-habisan oleh si raksasa. Kemudian, menyadari bahwa Tetuka harus diperkuat dahulu, para dewa membawanya ke sebuah kawah bernama Candradimuka. Menggunakan metode yang sama dengan metode yang mereka gunakan untuk memberi kekuatan pada Dewi Durga, para dewa menceburkan sejumlah astra ke kawah tersebut, meleburkan astra-astra itu ke tubuh sang jabang Tetuka dan ketika Tetuka keluar dari kawah itu ia telah menjadi sosok lain. Sosok kesatria dewasa bernama Gatotkaca.
"Hei Bung! Dengar ya! Kakek Mas Riyadi, Eyang Antaboga, bilang aku sudah jadi Gatotkaca, Bung!" ujar Markus sembari menahan gempuran pukulan tangan kosong Merdah. Di luar dugaan Markus, meski tubuhnya pendek, kekuatan pukulannya lumayan.
"Anda masih Tetuka, Bendoro. Dan kalau ucapan saya kurang jelas, Ndoro. Anda jadi kabaressi saja belum!"
Kabaressi, kata itu mengingatkan Markus pada masa kecilnya. Masa di mana sang ayah masih hidup dan mengajak Markus kecil yang masih 6 tahun berkunjung ke Ambon. Ke tempat kakeknya dari pihak ayah.
Julius Passaharya, itu nama kakeknya. Ia seorang dosen teknik mesin di Universitas Pattimura, namun memiliki ketertarikan besar terhadap yang namanya budaya Maluku. Kakeknya itu pandai menarikan cakalele, pandai meniup seruling bambu bahkan untuk memainkan lagu modern sekalipun, tapi yang membuat Markus dan Riyadi paling ingat dari sosok kakek mereka adalah begitu bersemangatnya si kakek menceritakan konsep kabaressi.
Kabaressi menurut sang kakek adalah konsep kesatria masyarakat Maluku. Kabaressi adalah konsep kedinamisan, semangat untuk selalu mau berubah serta percaya pada kemampuan sendiri. Dahulu gelar kabaressi tidak sembarang diberikan. Hanya beberapa orang yang bisa mendapatkannya salah satu kabaressi paling terkenal dari sejarah Maluku adalah Thomas Matulessy[1] alias Kapitan Pattimura.
"Kenapa Pattimura dijunjung sebagai kabaressi?" tanya Riyadi saat itu.
"Kamong dua – kalian berdua – harus tahu, Pattimura tidak kenal sama yang namanya rasa takut. Saat raja-raja ragu memerangi Belanda, Pattimura yang maju dan mengatakan bahwa meski dia sendirian, dia akan maju lawan Belanda. Waktu pasukannya kalah terus dan Belanda menawarkan perundingan, ia tak mau menyerah. Waktu Belanda kemudian menyuap beberapa raja patih[2] dan panglima perang lainnya untuk mengadu domba mereka, dan hari demi hari Pattimura makin kehabisan pasukan sampai akhirnya tertangkap, Pattimura tak gentar. Malah di hari eksekusinya ia berseru lantang : 'Nunu oli, Nunu seli, Nunu karipatu, Patue karinunu!' yang artinya : 'Saya katakan pada kamu sekalian bahwa saya adalah beringin besar, dan setiap beringin besar akan tumbang, tapi beringin lain akan menggantikannya. Saya katakan juga pada kamu sekalian bahwa saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya.' Pattimura tidak pernah takut mati karena ia selalu yakin bahwa suatu saat akan ada orang lain yang menggantikannya."
"Coba lihat diri anda Ndoro, punya jabatan berseragam, punya hak menggunakan senjata api, punya kemampuan memakai astra, punya otot kekar dan kekuatan di luar batas manusia, tapi tetap takut saat kakak Ndoro terluka. Takut berjuang sendirian, takut nanti kehilangan nyawa dan batal kawin sama tunangan Ndoro. Kelakuan macam apa itu?" ledek Merdah lagi dengan ekspresi wajah datar.
"Jangan sok tahu kamu orang cebol!" bentak Markus saat Merdah kembali melaju menyerangnya dengan mengeluarkan dua bilah pisau.
"Kalau Ndoro punya pikiran seperti itu terus, Ndoro takkan bisa mengalahkan orang cebol ini. Sungguh!"
Markus mengkonsentrasikan kekuatan Ambus miliknya ke tangan kanannya dan melayangkan pukulan tangan kanannnya ke arah leher Merdah. Merdah berkelit, kemudian melompat menghindar. Sesaat kemudian sosok Merdah perlahan berubah, bukan lagi sosok pria cebol dengan celana pendek putih dan kaus hitam melainkan sosok pria setinggi 160 cm dengan model ikat kepala Sunda, baju kain hitam yang mirip dengan yang dikenakan suku Badui, sarung coklat, dan sebuah topeng merah dengan menunjukkan sosok pria berwajah merah dengan mulut yang hanya punya satu gigi geraham atas dan tonggos pula.
Markus sepertinya kenal dengan pola topeng itu, "Astrajingga?"
"Astrajingga, Cepot, Bagong, atau Merdah. Itu semua cuma sekedar nama, Juragan," kata Merdah yang menyerang Markus sekali lagi. Sabetan pisaunya nyaris saja mengenai mata Markus kalau Markus tak cepat menghindar dan melayang ke belakang.
Markus kembali memasang kuda-kuda namun sosok Merdah – yang kini bertopeng Cepot alias Astrajingga – kembali menyerang dengan ganas. Sabetan-sabetan pisaunya sesekali terpaksa Markus tangkis dengan tangannya, sehingga tangannya mengalami luka gores. Markus sadar bahwa meski kelihatan seperti pisau biasa, pisau di tangan Merdah adalah semacam astra juga.
"Dan nama tidak penting bagi saya, tidak penting juga bagi bapak saya. Orang bebas menyebut kami dengan nama apa saja, bahkan tidak menyebut kami pun tak mengapa pula, Agan Gatotkaca. Sebab kisah para bendoro atau juragan atau gusti[3] kami lebih penting. Lebih layak disorot dan diceritakan daripada kisah para kawula seperti kami," Merdah kini mengeluarkan sesuatu dari buntelan miliknya, sebuah bola logam berdiameter sekitar 7 cm yang ia lemparkan ke arah Markus.
Markus refleks menghindar karena menduga benda itu bom. Namun yang ia lihat kemudian nyaris tidak bisa ia percayai. Di tempat bola tadi mendarat kini telah berdiri seorang pria botak yang Markus harap tidak akan pernah ia temui lagi.
"Halo Gatot! Kangenkah kau dengan aku?" Dursala melambaikan tangan pada Markus sambil tersenyum meledek.
Markus hanya bisa mengertakkan gigi.
*****
Perairan Laut Sawu, di saat yang sama
Tahap kedua telah mulai Ali jalani. Ai Maseng telah menggigitnya lehernya, memasukkan sejumlah racun kaum naga yang terkenal mematikan dan nyaris tak memiliki penawar selain Tirta Amerta milik para dewa atau anti racun milik para naga di Sapta Pratala, kediaman Antaboga. Sensasi besi cair yang mengaliri setiap ruas otot dan pembuluh darah kembali Ali rasakan namun kali ini sensasi itu semakin terasa hebat.
Berkali-kali Ali merutuk dalam hati atas ketidakmampuannya menahan rasa sakit ini. Berulang kali ia katakan dalam hati, "Ayolah Ali Mahardika, kamu bisa lalui ini! Ayolah tubuhku! Toleransilah racun ini!"
Tapi itu semua hanya membuat segalanya jadi tambah buruk. Rasa sakitnya makin menjadi-jadi. Ingatan akan janjinya pada Janggala saja sekarang tidak cukup untuk mengalihkan rasa sakitnya itu. Ali mencoba menggali ingatannya tentang segala memori baik yang ada di pikirannya tapi itupun gagal.
Kamu tidak bisa menaklukkan racun naga dengan amarah, Ali Mahardika. Tiba-tiba sebuah suara menggema di benaknya. Apalagi racun halahala.
*****
Larantuka Timur, di saat yang sama
Janggala tengah mengawasi kondisi di sekitar pantai Larantuka di atas menara syahbandar pelabuhan ketika ia melihat para petugas mengomentari soal kapal yacht mewah yang melintas di perairan Laut Sawu.
"Mama sayange! Siapa itu punya kapal yacht semewah itu?" komentar salah satu petugas berambut ikal panjang sebahu
"Tauk-lah. Cek saja," jawab temannya.
"Syahbandar kepada kapal yacht Hiu Todak. Tolong laporkan status kapal dan tujuan pelayaran, ganti."
Jawaban diterima beberapa detik kemudian, "Diterima Syahbandar. Kapal kami dinahkodai Kapten Imran Syafa'at dan membawa penumpang enam orang tim ahli yang diminta oleh Marinir untuk koordinat ...," operator kapal menyebutkan sejumlah koordinat yang membuat Janggala mengernyit karena setelah dicocokkan dengan peta perairan yang ada di tembok Syahbandar, koordinat itu ada di perairan tanpa ikan, tempat bom-bom bola itu berada.
"Asal instansi?" sang petugas berambut panjang ikal itu bertanya sekali lagi.
"Hastinaputra Corporation."
*****
"Operator, kita punya masalah," kata Janggala melalui tc-earphonenya, "Hastinaputra Corporation tengah menuju kemari dan sepertinya mereka hendak melenyapkan barang bukti."
"Kami tahu itu Agen Janggala. Tapi kami juga tidak bisa berbuat banyak."
"Kenapa?"
"Karena mereka bergerak dengan surat perintah dari Presiden."
"SP Presiden? Asli?"
"Asli. SP itu disebar ke seluruh pangkalan AL dan markas AD di Larantuka dan sekitarnya. Satu-satunya cara kita hentikan mereka tinggal satu."
"Sabotase?"
"Ya. Temui Sersan Moti di pelabuhan Agen Janggala. Ia akan mendampingi anda melakukan sabotase."
"Ipda Markus juga?"
"Ipda Markus masih ada misi khusus dari Kolonel. Kami tidak tahu benar apa misinya tapi Kolonel beri peringatan pada kami supaya Ipda Markus jangan diganggu dahulu."
Sekarang Janggala benar-benar frustasi karena ia merasa para orang-orang Hastinaputra Corp itu punya maksud yang tidak baik dan ia merasa harus segera menghentikannya. Namun di sisi lain ia dibuat penasaran setengah mati dengan ketidakhadiran Markus kali ini. "Tugas khusus macam apa?" batin Janggala penasaran.
Namun untuk saat ini ia memilih untuk menyimpan rasa penasarannya dahulu. Sersan Moti menunggunya.
[1]Sampai sekarang masih ada perdebatan sengit antara beberapa pakar tentang nama Pattimura yang sebenarnya apakah seorang Kristen bernama Thomas Matulessy (versi pemerintah) atau seorang Islam dengan nama Ahmad Lussy (versi Ahmad Mansyur Suryanegara). Penulis sendiri memilih mengikuti versi resmi pemerintah.
[2]Di Maluku masa itu, raja bukanlah pemimpin sebuah pulau, melainkan pemimpin kampung. Kedudukan mereka kira-kira setara lurah atau camat dan mereka kebanyakan berada di bawah kuasa seorang resident (pejabat pemerintah Belanda)
[3] Di wayang golek punakawan memanggil tuan mereka "juragan", atau sering disingkat"agan" atau "gan". Di Bali punakawannya memanggil mereka "ratu titiyang" atau "gusti". Di Jawa Tengah dan Jawa Timur mereka memanggil tuan mereka "bendoro" atau "ndoro" atau "raden" atau "den".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top