BAB XII : KRISIS
Pontianak, Kalimantan Barat, 02.30 WIB
Di atas puncak menara pemancar, Nakula diminta oleh saudaranya mengawasi keadaan sementara Sadewa membongkar isi tasnya dan mengeluarkan sebuah pisau sepanjang 15 cm dengan gagang terbuat dari kayu coklat kehitaman dan berhias tatahan batu berlian serta safir. Saat sarung pisau itu dibuka tampaklah bilah pisaunya yang berukir dengan sedikit tatahan emas di sisi bawahnya.
"Berapa jarak patroli terdekat?" tanya Sadewa sembari mengeluarkan sejumlah lempeng tembaga tebal dari tasnya.
"Satu kilometer dari sini," jawab Nakula.
"Status tim penyerang?"
"Sudah menyeberangi Sungai Kapuas dan tengah menuju kantor Departemen Pertahanan."
"Ada Asura?"
"Duh! Kita tidak bawa alat pendeteksi Asura."
"Dikira-kira saja."
"Haloo??? Siapa yang punya indera keenam pendeteksi makhluk halus di sini? Kamu kan?"
"Aku sedang sibuk tahu! Kalau kau bisa tulis rerajahan dalam waktu kurang dari 10 menit pakai pisau ini, silakan kau ambil alih tugas pendeteksian."
"Dedek! Kalau kamu lebih telaten kerjain administrasi Dakara, silakan ambil alih tugas administrasinya! Jangan cuma awasi monitor dan lempar kerjaan administrasi ke aku doang!"
"Hei kita kembar! Jangan panggil aku 'dedek'!"
"Tidak, aku lahir 30 menit lebih awal dari kamu, jadi harusnya kamu panggil aku bli[1]!"
"Ya sudahlah!" Sadewa kembali meneruskan kegiatannya menorehkan guratan-guratan pada lempeng tembaga. Sebagian guratan itu ia bentuk sebagai tulisan, dan sebagian lagi berupa gambar dewa-dewi ala Bali. Gambar para dewa-dewi dengan wahananya seperti Batara Rudra yang berwahanakan sapi dan Batara Ganesha yang menunggangi tikus.
Sadewa mengerjakannya cepat-cepat sementara Nakula terus mengawasi kondisi sekitar dengan was-was. Degup jantung mereka berdua sama-sama meningkat sebelum nyaris berhenti gara-gara ringkikan seekor kuda yang mereka dengar di dekat mereka.
Keduanya menoleh ke arah ringkikan dan mendapati Uccaihsrawa sudah ada di dekat mereka. Kuda itu tampak menatap kedua anggota Dakara itu dengan tatapan mata menanti perintah sementara Nakula dan Sadewa saling berpandangan penuh arti.
"Uccaihsrawa hanya bisa ditunggangi beberapa orang saja kan?" tanya Sadewa.
Nakula menyahut, "Iya, Abang Arjuna dan keturunannya lalu ... ."
"Kita!" ujar mereka berdua bersamaan.
"Siapa yang mau turun naik kuda ini?" tanya Sadewa.
"Aku saja!" kata Nakula, "Segera setelah kau selesaikan rerajah itu!"
*****
Di tempat lain, Mahesa dan Bayu serta tim Marinir yang menyertai mereka mendapat kejutan tidak menyenangkan. Kantor Departemen Pertahanan Cabang Pontianak sudah dikuasai oleh para Laskar Pralaya. Mahesa dan Bayu saling pandang ketika mendapati bahwa pintu depan dijaga oleh setidaknya 20 orang prajurit. Akan sulit menyusup ke dalam gedung tanpa membuat kegaduhan dan keduanya tahu bahwa kegaduhan akan mengundang lebih banyak musuh.
"Serahkan pada kami, bocah-bocah!" kata sang komandan Marinir sambil menarik turun balaclava[2]-nya. Marinir yang lain turut melakukan hal serupa.
"Kami akan melumpuhkan penjaga-penjaga itu. Tapi kalau kondisi jadi semakin buruk maka kami minta kalian berdua yang pergi ke ruang bawah tanah dan aktifkan mekanisme pertahanan serta generator cadangan. Oke?"
Mahesa dan Bayu sama-sama berharap kondisi yang lebih buruk itu tidak terjadi namun mereka mengangguk. Sang komandan Marinir mengirimkan sejumlah file berisi instruksi pengaktifan sistem pertahanan kota dan pengaktifan generator cadangan ke arloji mereka berdua sebelum ia dan anak buahnya bergerak dengan perlahan ke berbagai arah.
Tinggal Mahesa dan Bayu ditinggal sendirian di tempat pengintaian ini. Keduanya kini kembali berpandangan, bertukar pandangan harap-harap cemas. Boleh saja mereka punya astra, senjata tempaan para dewa yang maha dahsyat, yang bisa meluluhlantakkan satu peleton pasukan infanteri sekalipun dalam sekejap mata tapi mereka sadar bahwa mereka punya masalah. Masalah pertama : Laskar Pralaya punya senjata artileri berdaya jangkau lebih dari 10 kilometer yang entah sekarang posisinya ada di mana. Masalah kedua : mereka tidak tahu kapan energi mereka habis dan tidak bisa memanggil astra lagi, batasan penggunaan astra mereka belum sempat dipelajari lebih lanjut oleh Dakara. Masalah ketiga : siapa yang tahu jika Laskar Pralaya punya senjata rudal jarak jauh dan bisa menghabisi mereka jika posisi mereka sampai ketahuan. Masalah keempat : selalu ada kemungkinan ada musuh tangguh seperti Asura Kalasrenggi atau Naga Candavata yang mereka temui di Vancouver muncul di sini begitu tahu mereka memakai astra.
"Tiba-tiba aku jadi merasa para dalang dan tukang cerita terlalu melebih-lebihkan soal keberanian kita di Padang Kuruksetra dulu," ujar Mahesa.
"Mungkin dulu kita memang seberani itu, tapi itu kan masa di mana para kesatria masih adu tanding satu lawan satu, masa di mana belum ada artileri dan rudal balistik jarak jauh, masa di mana para wanita tawanan sedikit banyak masih diperlakukan dengan hormat, dan masa di mana ibu-ibu kita belum mendominasi hidup kita seperti sekarang," ujar Bayu.
Mendengar kata 'ibu' disebut-sebut, tiba-tiba Mahesa teringat pada ibunya. Wanita itu masih terbaring koma, tak sadarkan diri. Dokter memang sudah menyatakan bahwa masih ada kesempatan bagi ibunya untuk siuman kembali jika dilakukan operasi. Operasi itu sendiri masih menunggu kondisi ibunya stabil namun dokter-dokter di Dakara sudah meyakinkannya bahwa ibunya punya peluang besar untuk selamat tapi tetap saja Mahesa merasa sedih dan bersalah atas kondisi ibunya yang seperti itu.
"Kalau saja aku tidak ngeyel pergi ke Vancouver," kata Mahesa lesu.
Sadar bahwa dirinya telah mengungkit hal yang tidak mengenakkan bagi Mahesa, Bayu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, "Heh! Jangan suram begitu. Sekarang kita kan harus fokus dulu di sini. Kita harus pulang hidup-hidup ya! Oke? Kalau kita dapat libur nanti aku ajak kamu ke rumahku di Bandung."
"Rumahmu kan Semarang?"
"Tapi keluargaku juga punya rumah di Bandung, di Bogor, di Kuta Bali dan di ... ."
"Stop! Berapa rumah sih yang keluargamu punya?"
"Sekitar 10 deh."
"Banyak amat?"
"Untuk investasi dong!"
Perbincangan mereka terhenti oleh jeritan sang komandan Marinir yang mereka dengar di tc-earphone mereka. "Dakara! Lanjutkan misi kami!"
Lalu sambungan terputus.
"Oke, Mas Bayu, sekarang rencana kita apa?"
"Err ... karena kita nggak diajari soal teknik menyusup militer dan sebagainya, sebaiknya kita masuk dengan cara yang sudah kita kenal saja."
"Hantam kromo – terjang langsung?"
"Memangnya kita punya cara apalagi?"
"Oke!" Mahesa mengaktifkan astranya dan Bayu juga mengaktifkan astra Taksaka miliknya dalam wujud busur panah.
O Sang Hyang Batara Indra, berilah kami kekuatan untuk melampaui ujian ini. Dalam batin masing-masing Bayu dan Mahesa mengucapkan doa yang serupa.
*****
Markas Dakara, Pejaten Timur, 03.00 WIB
Syailendra menatap sebuah citra peta Kalimantan Barat dengan harap-harap cemas. Di citra tersebut ditampilkan status jumlah banyaknya pasukan musuh dan pasukan TNI yang tengah bertempur di Pontianak. Peta itu juga menunjukkan situasi kota Singkawang, sebuah kotamadya[3] yang berjarak sekitar 145 km di utara Pontianak. Sama seperti Pontianak, ada serangan juga ke Singkawang namun skala serangannya tidak terlalu besar meski cukup membuat Dakara terkejut juga sebab dengan diserangnya Singkawang Dakara terpaksa mengirim Srikandi ke Singkawang untuk memastikan situasi bisa terkendali.
"Kolonel Syailendra," tiba-tiba terdengar suara seseorang masuk ruang kontrol Dakara.
Syailendra menoleh dan mendapati seorang yang sudah tak asing lagi di sana. Sang Panglima TNI, Robertus "Lodewijk" Manjatan. Nama "Lodewijk" sendiri adalah nama julukan. Memang sedikit berbau Belanda namun karena Sang Panglima punya nama fam – nama marga – yang sama dengan pejuang kemerdekaan asal Papua, Mayor (Tituler) Lodewijk Manjatan[4], jadilah nama Lodewijk akrab sebagai julukannya.
"Singkawang sudah beres?" tanya Manjatan.
"Beres Jendral."
"Apa yang Dakara simpan di Singkawang sampai kau sebegitu paniknya Kolonel?"
"Senjata rahasia."
"Senjata rahasia?"
"Kombatan utama Dakara untuk wilayah Kalimantan. Kami menyebut dia Palgunadi."
"Aaa, pengetahuan wayang saya masih jelek tapi kalau tidak salah kok namanya mirip-mirip seorang tokoh wayang begitu?"
"Betul sekali Jendral. Jika ada Palgunadi, meski separuh resimen TNI membelot ke pihak musuh sekalipun, kita masih punya harapan memukul mundur musuh."
*****
Pontianak, Kalimantan Barat, 03.00 WIB
Nakula dan Sadewa, kisah-kisah kuno menceritakan bahwa mereka berdua adalah putra Batara Aswin, dewa pengobatan yang juga merupakan salah satu kusir kuda paling cakap di antara para dewa. Di antara para Pandawa meski jarang disorot, Nakula dan Sadewa punya kemampuan istimewa soal mengendarai hewan tunggangan yang satu itu. Berkat Nakula lah, Yudhistira alias Puntadewa berhasil lolos hidup-hidup saat melawan Salya dan saat dikepung oleh pasukan Drona. Berkat Sadewa pulalah, Patih Hastina, Sengkuni berhasil dibekuk dan tidak dibiarkan lolos hidup-hidup oleh Sadewa.
Mengendarai kuda adalah spesialisasi keduanya dan ketika terlahir di masa ini, mereka tetap mewarisi keahlian itu. Tak hanya kuda hidup melainkan juga kuda besi seperti sepeda motor dan mobil dapat mereka kuasai dengan cepat. Tapi mengendari Uccaihsrawa adalah perkara lain. Kuda itu hanya pernah jinak pada satu orang : Arjuna. Dengan Nakula dan Sadewa ia liar dan buas meski mengendalikannya bagi si kembar bukan sesuatu yang mustahil juga sih.
Nakula perhalan mendekati Uccaihsrawa, kali ini Uccaihsrawa tidak langsung meringkik dan mengangkat kedua kakinya seperti yang ia lakukan di masa lalu. Saat Nakula menaiki punggungnya pun, raja dari segala bangsa kuda itupun juga tak banyak berontak.
"Jadi ada berapa banyak rerajahan yang harus kusebar?" tanya Nakula setelah berhasil menaiki Uccaihsrawa.
"35 rerajahan. Sebar ke seluruh kota, bentuk lingkaran sebisa mungkin lalu tancapkan astra kita di tengah-tengah titik pusat lingkaran," kata Sadewa sembari menyerahkan pisau miliknya.
"Kau gila ya? Bagaimana kalau ada Asura yang memburumu jika kamu tidak pakai Astra?"
"Tanpa astra kita berdua yang disatukan, mantra dan rerajahan itu tak akan aktif."
"Kamu sebaiknya sembunyi."
"Tidak perlu."
"Kenapa kamu begitu PD?"
"Bintang-bintang di atas sana," Sadewa menunjuk ke arah langit, "bicara padaku bahwa bala bantuan akan segera datang."
*****
Jika Sadewa baru saja 'diberitahu' bintang-bintang bahwa bala bantuan akan segera datang, Bayu dan Mahesa tidak merasa seperti itu. Seperti dugaan Bayu, jika pasukan Marinir yang notabene dikenal sebagai pasukan tangguh itu sampai gagal melumpuhkan Laskar Pralaya dalam jumlah seperti ini maka sudah pasti Asura terlibat.
Dugaan itu memang benar, raga para Laskar Pralaya tampaknya memang dirasuki entitas Asura seperti yang mereka lihat di Monumen Mandor tadi. Tiba-tiba saja mereka jadi semacam manusia super yang tak mampu dirobohkan dengan tembakan peluru meski peluru itu sudah mengenai kepala mereka.
Jadi Bayu dan Mahesa nekat menggunakan astra meski resiko kena serbu musuh kuat jadi makin besar jika menggunakan senjata ini. Anak-anak panah cahaya berwarna keperakan meluncur terus dari busur panah kedua remaja itu, membuat para prajurit Laskar Pralaya itu roboh ke lantai diiringi keluarnya gumpalan asap hitam tipis berbau busuk dari jasad mereka.
Para prajurit yang berjaga di gedung itu ternyata banyak sekali. Bayu menghitung setidaknya mereka sudah merobohkan 16 orang bersenjata lengkap itupun sulit karena ketika musuh-musuh mereka menyadari bahwa lawannya menggunakan astra langsung menerapkan taktik penyergapan militer, ada yang memberi tembakan perlindungan, ada yang diam-diam menyusup ke tempat persembunyian Bayu dan Mahesa. Bayu terpaksa merubah astranya menjadi bentuk sundang untuk mengatasi serangan dadakan jarak dekat musuh mereka dan menyerahkan serangan jarak jauh kepada Mahesa.
Menyadari bahwa panah agak kurang efektif melawan senapan mesin, Mahesa kemudian menggunakan anak panah Ayatana, anak panah dengan hulu ledak di ujungnya. Begitu anak panah itu lepas dan menyentuh pos persembunyian musuh langsung saja terjadi kehebohan. Anak panah itu meledak dan membuyarkan tubuh musuh menjadi potongan-potongan kecil.
"Sudah semua?" tanya Bayu yang melindungi wajahnya dari serpihan cat dan kayu yang beterbangan dengan tangan kirinya.
"Sudah. Kayaknya sih."
"Kok kayaknya? Kalau mereka masih hidup dan punya peluru high-velocity atau senjata plasma, seragam pelindung kita juga bakal tembus lho!"
"Potongan tangan cukup untuk jadi bukti?" Mahesa menunjuk ke arah sebuah potongan tangan berlumuran darah yang tergeletak di sudut ruangan.
"Oh, oke. Kayaknya itu cukup. Ayo!" Bayu beranjak berdiri, mengubah astranya kembali menjadi busur panah.
Perjalanan kedua remaja itu menuju ke ruang basement kali ini relatif tidak menemui hambatan. Namun saat sampai di basement ternyata ada satu musuh menanti di sana. Mahesa dan Bayu langsung melepas anak-anak panah mereka tanpa pikir panjang lagi, namun musuh mereka kali ini ternyata berbeda. Meski memakai seragam yang sama dengan prajurit lainnya, musuh mereka kali ini ternyata bisa menangkap anak-anak panah mereka tanpa kesulitan sama sekali.
Mahesa berniat memakai anak panah Ayatana sekali lagi tapi Bayu mencegahnya dengan cara mencengkeram bahu kirinya, "Jangan! Nanti generatornya bisa rusak!"
"Jadi gimana dong?" keluh Mahesa.
"Aku akan serang dia dari jarak dekat, kamu tembaki terus dia."
"Nanti kamu kena!"
"Itu resiko," tanpa ba-bi-bu lagi Bayu kembali mengubah Taksaka menjadi bentuk senjata berbilah dan mengayunkannya ke arah musuh. Musuh mereka sendiri ternyata membawa sebuah parang militer yang ia panggul di punggung. Begitu melihat Bayu hendak menyerangnya dengan sundang, musuh mereka langsung mencabut parang itu dan menangkis serangan Bayu.
Tekanan yang dikerahkan serangan Bayu membuat lutut sang lawan sempat tertekuk dan memaksanya mundur satu langkah. Namun dengan segera lututnya kembali tegak dan kembali memberikan tekanan perlawanan pada Bayu.
Lalu satu anak panah berwarna keperakan melesat, mengarah kepada kepala si prajurit namun refleksnya yang di luar batas kewajaran membuat ia lagi-lagi dapat menangkap anak panah itu.
"Buset!" hanya itu komentar Mahesa ketika ia melihat lagi-lagi lawan mereka bisa menangkap anak panahnya. Ia membidik lagi, kali ini ia mengkonsentrasikan diri untuk membuat anak panah ganda. Satu anak panah terbentuk, ia lepaskan, dan segera setelah lepas anak panah itu membelah menjadi dua, kemudian empat, delapan dan akhirnya enam belas. Enam belas anak panah itu mengarah semuanya ke kepala si lawan, namun lawan mereka tiba-tiba menendang tubuh Bayu kemudian menindihnya. Ia lolos dari enam belas anak panah itu sekaligus melumpuhkan satu musuhnya. Bayu sendiri merasa ia baru saja ketiban truk. Orang yang menindihnya ini berat sekali.
Satu bogem mentah hendak melayang ke kepala Bayu namun Mahesa sekarang agak nekat. Ia lepaskan anak panah Ayatana ke arah tangan si prajurit dan sebuah ledakan timbul. Sang prajurit Laskar Pralaya itu terhempas ke dinding sementara Bayu sendiri selamat, dengan sedikit luka bakar di pipi bagian kirinya.
"Kamu nggak apa-apa?" Mahesa mendekat ke arah Bayu dan membantu saudaranya itu berdiri.
"Aku nggak apa-apa," lalu pandangannya beralih ke arah si musuh, "Belit dia dengan panah rantai. Aku akan aktifkan generator serta sistem pertahanan sisi selatan."
Tanpa perlu disuruh dua kali, Mahesa membentuk kembali sebuah anak panah dengan sebentuk ulir rantai di batangnya lalu ia lepaskan ke arah lawan mereka. Rantai logam muncul dari anak panah itu dan secara otomatis membelit tubuh yang entah pingsan atau sudah tak bernyawa itu.
Bayu sendiri dengan sedikit tertatih menuju panel kontrol sisi barat basement. Ia dekatkan sebuah layar holografik berisi kode verifikasi ke sebuah pemindai di layar dan sistem pun mengizinkan ia masuk. Kemudian dengan sejumlah kata perintah serta pengisian sejumlah kode akhirnya generator cadangan pun aktif. Seluruh gedung Departemen Pertahanan kini terang benderang dan di saat bersamaan pula di sepenjuru sisi selatan Sungai Kapuas, sejumlah lubang palka tampak terbuka.
"Pasukan Drone Tempur KOSTRAD Detasemen Enggau 41, diaktifkan! Perintah primer: eliminasi seluruh prajurit Laskar Pralaya dan prajurit pembangkang di sisi selatan kota. Perintah sekunder : evakuasi seluruh prajurit TNI dan Dakara yang tersisa," begitu kata AI yang tertanam dalam panel kontrol yang tengah dihadapi Bayu.
"Bujug! KOSTRAD punya prajurit robot sekarang?" celetuk Mahesa, kaget.
"Aku juga baru tahu," kata Bayu dengan ekspresi wajah tak kalah herannya.
******
Di sisi lain kota, Nakula yang baru saja mengitari sepenjuru kota Pontianak dengan menaiki Uccaihsrawa sembari menjatuhkan satu demi satu rerajahan buatan saudaranya di tempat-tempat yang telah ditentukan kini beranjak menuju ke titik pusat yang letaknya di tengah kota, sedikit ke tenggara kantor Departemen Pertahanan. Ia sempat melihat tank-tank artileri bergerak menuju titik yang sama dengan dirinya dan ia sempat khawatir akan terkena imbas ledakan jika ia harus melakukan ritual akhir di titik pusat sana.
Tapi sesuatu membuat senyumannya mengembang. Di berbagai sudut kota kini telah muncul suara meriam EMP yang aktif serta derap langkah kaki prajurit-prajurit mesin.
"Mahesa dan Bayu sudah berhasil membangunkan mainannya KOSTRAD," begitu kata Sadewa di tc-earphonenya.
"Tinggal selesaikan ritual ini dan tunggu Palgunadi datang. Kamu benar, Wa. Bantuan memang datang."
"Aku bilang apa coba? Bintang-bintang tidak pernah bohong padaku."
Catatan Pengarang :
Maaf, maunya sih update minggu kemarin, tapi author masih tepar karena kena typhus. >.<
[1]Kakak (Bahasa Bali)
[2]Topeng ski
[3]Sampai tulisan ini dibuat, Singkawang sepengetahuan penulis masih berstatus kota kabupaten.
[4]Lodewijk (dibaca Lodwig atau Lodwij) Manjatan adalah seorang kepala pasukan pemberontak perlawanan terhadap Dai Nippon (dan kemudian Belanda) yang bermarkas di Manokwari. Bersama saudaranya Barend Manjatan, Lodewijk mengikat ikatan kerjasama antara kepala-kepala suku di Manokwari untuk bersatu melawan Dai Nippon dan Belanda. Lodewijk juga merupakan salah satu orang Papua pertama yang menjalin kontak dengan perwakilan RI dan menyatakan akan bekerjasama dengan pemerintah RI. Hidup sezaman dengan Silas Papare namun tidak pernah mendapat gelar pahlawan nasional karena sempat memberontak pada pemerintah RI akibat ketidakpuasannya pada pemerintah RI. Dalam tulisan ini, penulis beranggapan bahwa pemerintah RI di masa depan akan menganugerahinya gelar pahlawan nasional.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top