BAB XI : BOM
Chapter ini didekasikan untuk FauzanRhomadi. (Karena sekarang fitur dedikasi tidak ada, jadi didekasikan manual saja ya?) >.<
Perairan Laut Sawu, NTT, 02.00 WITA
Ali merasakan seolah ada besi cair panas mengaliri setiap pembuluh darahnya saat ini. Gigitan satu ekor ular laut saja sudah sangat menyakitkan, tapi gigitan 200 ekor ular laut dari berbagai spesies itu bukan sakit lagi. Rasanya seperti mengikuti lomba tarik tambang dengan dewa maut sebagai kompetitornya. Paru-paru Ali terasa terbakar dan sejumlah cairan kehitaman – darah yang mengandung racun – mulai mengalir keluar dari hidung dan mulutnya.
"Sudah lewat satu malam, Tuanku. Jika Tuanku masih saja kesulitan menoleransi racun 200 ekor ular laut ini maka bagaimana Tuan bisa menoleransi gigitan 1000 ekor ular laut? Jika terus seperti ini jelas Tuanku takkan sanggup melawan racun para naga dan sudah pasti tidak akan sanggup melawan racun Halahala," kata Ai Maseng.
Ali berusaha berkali-kali mengosongkan pikirannya, berusaha tidak menghiraukan rasa sakit itu, tapi hal ini lebih mudah diimajinasikan serta dikatakan daripada dilakukan. Kisah para yogi – pertapa – Hindu dan para bhikku Buddha yang melakukan atraksi kekebalan terhadap senjata tajam serta kebal terhadap air panas sudah lazim ia dengar, tapi jelas melihat dan mendengar saja tidak bisa jadi bekal yang cukup untuk melakukannya.
Aku nanti mau beli tanah di desamu. Tiba-tiba kata-kata Janggala terngiang di benak Ali.
Buat apa? Tanya Ali saat itu.
Aku mau tinggal di sini, barangkali sambil cari jodoh gadis desa yang geulis jelita dan yang pasti cari penghidupan yang lebih halal.
Duit tabunganmu itu uang darah kan?Bisa datangkan perkara kalau beli tanah pakai uang itu.
Tapi duit dari Dakara bukan uang darah. Duit darahku akan aku serahkan pada orang lain.
Terus kau mau kerja apa?
Entah ya? Kau jadikan aku buruh di kebun salakmu pun aku rela.
Kau mau coba ternak lele atau mujaer atau gurami? Nanti aku ajari caranya.
Sungguh? Kamu janji?
Kapan aku pernah bohong padamu, Ji?
Kalau begitu kita semua harus janji, harus pulang hidup-hidup begitu urusan kita dengan Dakara selesai.
Setuju.
Mengingat pembicaraan itu, pelan tapi pasti Ali sudah tidak merasakan rasa sakit lagi. Segera sesudah itu, Ai Maseng langsung mengeluarkan desisan kencang dan memanggil 200 ular lainnya untuk mengigit Ali. Tapi tapa Ali kini tak terusik. Ia tetap diam, bergeming di tempatnya.
******
Satyawati Corp. Tower, Jakarta, 01.00 WIB
Sekumpulan orang tampak sudah berkumpul di ruang rapat. Meski hari sudah menunjukkan pukul satu pagi, semua yang hadir di sana tak satupun yang tampak mengantuk. Malah sebaliknya, mereka semua tampak awas dan waspada.
Seorang pria berkacamata yang berpenampilan agak ringkih dan berkulit pucat tampak menerangkan pada para hadirin dengan bantuan tiga buah layar holografik yang masing-masing menunjukkan peta NTT, peta Larantuka dan Timor Barat serta sejumlah data tabel berisi angka-angka – kebanyakan angka desimal.
"Saudara-saudari, sensor yang kita pasang di Larantuka tampaknya diusik oleh orang yang bukan dari Satyawati Corp.," kata pria itu membuka pembicaraan.
"Citraksi, di Larantuka ada banyak nelayan," kata pria berjas biru yang biasa dipanggil Dursasana itu, "mungkin salah satu kapal motor nelayan mengusik sensor kita mengingat sensor yang hilang data ping[1]-nya hanya sejumlah ... 10 sensor?"
"Saya curiga ini bukan nelayan Kakang Dursasana. Saya dan Citrangada curiga ini adalah ulah orang yang mengambil sampel. Bisa peneliti oseanografi dari LIPI yang kebetulan menemukan tempat kita memasang sensor atau bisa jadi ... ."
Citraksi belum sempat melanjutkan perkataannya ketika mereka semua di sana menerima panggilan video. Dursasana segera berujar, "Terima!" dan sejumlah layar holografik muncul di hadapan semua hadirin.
"Saudara-saudariku, Kaum Seratus Perkasa Keturunan Wangsa Kuru," kata pria yang melakukan panggilan video tersebut, "Saya sudah menerima laporan kecurigaan Citraksi beberapa waktu yang lalu dan saya menemukan bahwa kecurigaan Citraksi beralasan."
"Beralasan? Apa alasannya Kakang Prabu Duryodhana?" tanya Dursasana.
"Paman Sengkuni berhasil menghubungi orang dalam di jajaran Mabes TNI, ada sejumlah Marinir Denjaka yang ditugaskan ke Larantuka. Dalam keterangan operasi itu mereka ditugaskan mengamankan Larantuka. Tapi Marinir mampu menyelam sampai kedalaman di mana sensor kita tertanam. Kalau AL sampai tahu kita buat macam-macam di sana pasti kita akan jadi repot."
"Lalu apa saran anda Kakang Prabu?" tanya seorang peserta rapat yang lain.
"Begitu Semana Santa selesai, tembak jatuh pesawat para Marinir itu. Sementara itu usahakan mengisolasi komunikasi para Marinir dengan Mabes TNI maupun Pangkalan AL di Surabaya."
"Saya rasa kita tidak perlu memusnahkan para Marinir itu Kakang Prabu," kata Citrangada, kembaran Citraksa yang tiba-tiba memasuki ruang pertemuan.
"Kenapa?" tanya Duryodhana.
"Karena yang melakukan penyelaman di Larantuka itu sepertinya adalah orang-orang Dakara," kata Citrangada lagi.
*****
Larantuka, Flores, NTT, 01.30 WITA
Sepertinya Janggala tidak bisa sendirian saja selama ada di Dakara. Jika di markas Dakara ada sejumlah kamera pengawas yang selalu mengawasi gerak-geriknya, maka di sini ada kamera pengawas portabel berupa seorang polisi yang bisa mengikutinya ke manapun ia pergi termasuk ke udara. Siapa lagi kalau bukan kakak tiri Ali dari kops wereng coklat itu?
"Oh ayolah!" Janggala yang sedari tadi terbang terus akhirnya menoleh ke arah Markus yang sedari tadi mengikutinya, "Pak Polisi, tak bisakah anda biarkan aku sendirian barang setengah jam saja?"
"Terus biarkan kamu kabur begitu? Tanpa Ali sebagai penjamin kamu tidak kabur, sekarang aku yang jadi penjaminmu pada kapten kita, Mas Riyadi," jawab Markus, "Lagipula ... memangnya apa asyiknya sendiri?"
"Asyiknya? Asyiknya adalah karena aku ingin sendirian saja Pak Polisi. Masa selama 24 jam sehari tujuh hari seminggu, saya harus terus ketemu anda, Riyadi, Kolonel Syailendra, Mahesa, kemudian Bayu? Bosan tahu!"
"Bosan? Kalau begitu silakan jalan-jalan, tapi saya akan mengawasi anda dari atas sini."
"Demi semua ... ."
"Bibik cerewet penjaga warung kopi yang ada di negeri ini?" tebak Markus.
"Demi semua mama-mama penjaja nasi kuning dan nasi jagung di Larantuka! Kenapa sulit sekali bernegosiasi dengan anda?"
"Selamat! Anda sudah bertemu seorang dari korps kesatuan wereng coklat yang nyaris 100% karirnya tercatat berdedikasi penuh pada tugas!" ujar Markus sarkastik sembari tersenyum lebar dan mengambil satu batang rokok dari saku bajunya.
Namun baru saja hendak menyulut batang rokok itu tiba-tiba terdengar suara ledakan. Baik Markus dan Janggala sama-sama menoleh ke arah sumber ledakan dan sumber ledakan itu ternyata adalah hotel tempat mereka menginap. Lebih tepatnya lagi sumber ledakannya adalah kamar tempat mereka menginap.
"Eh Anjing! Bapak Tentara kakakmu itu masih ada di sana kan?" ujar Janggala.
"Diamput!" Markus langsung membuang puntung rokoknya dan terbang melesat ke arah hotel itu, Janggala tidak mau ketinggalan menyusul, meski kecepatan terbangnya tidak secepat Markus.
Mereka berdua turun di daerah sepi di dekat hotel lalu langsung berlari ke arah hotel dan mendapati banyak tamu hotel yang sudah dievakuasi keluar hotel. Ada sejumlah ekspatriat di sana dan beberapa dari mereka mulai berujar panik, "Jesus! Is that terrorist act?", "Where is my husband?", "Where is my honey?" "Fuck!" dan sejumah ungkapan kepanikan lainnya.
Janggala juga merasa panik. Meski dia tidak terlalu suka pada Riyadi dan Markus, tapi bagaimanapun juga mereka berdua adalah saudara satu ayah sahabatnya, Ali, dan Ali sudah berusaha mendekatkan diri dengan mereka untuk sampai pada kesimpulan bahwa : "Mereka berdua bukan orang jahat kok, Ji. Hanya tempat kerja mereka mengharuskan mereka bersikap begitu."
"Riyadi!" panggil Janggala di tengah keramaian.
"Mas Riyadi!" Markus juga turut berseru di antara keramaian.
"Oh ya ampun. Apa menurutmu dia tidak selamat, Pak Polisi?"
Mata Markus langsung melotot ke arah Janggala, "Dia pasti selamat!"
"Tunggu!" Janggala tiba-tiba teringat sesuatu.
"Kenapa?"
"Kalau Letnan Riyadi bisa meloloskan diri dari sini maka ...," Janggala menghentak-hentakkan sebelah kakinya ke tanah, "Dia pasti lewat 'sini'."
"Oh iya!" Markus kini memperhatikan tanah di sekitar mereka. Namun karena nyaris semua halaman hotel ini telah dipaving dan sedikit tanah terbuka yang tersisa telah ditanami pepohonan serta perdu maka Markus langsung mencari tanah lapang di sekitar hotel.
Dari pemantauan peta satelit di arlojinya, tanah lapang terdekat dan cukup sepi ada sekitar 100 meter dari sana. Mengajak Janggala ikut serta ke sana, Markus akhirnya mendapati Sersan Moti dan Riyadi memang benar ada di sana. Tubuh keduanya tertutup debu tanah yang lumayan tebal. Sepertinya Sersan Moti cukup beruntung karena ia masih bisa berdiri tegak ketika mereka berdua menemukannya, tapi Riyadi tidak terlalu beruntung.
"Kau nggak apa-apa, Mas?" Markus langsung membungkuk dan memeriksa Riyadi. Ada darah merembes di balik baju Riyadi dan Markus langsung membuka baju kakaknya itu. Terdapat luka seperti hantaman benda tumpul berdiameter 15 cm di perut kakaknya itu.
"Aku tidak cukup cepat untuk sadar benda apa itu," kata Riyadi dengan nafas memburu.
"Aku akan panggil ambulans!" kata Janggala.
"Tidak! Jangan! Tetap di sini!" seru Riyadi.
"Lukamu parah Letnan, anda harus dibawa ke RS. Pertolongan medis darurat takkan mampu menangani luka separah ini!" kata Sersan Moti.
"Markus, Janggala, Sersan Moti. Aku tahu cara merawat luka ini, tapi untuk itu kau harus pergi selama setidaknya dua malam. Aku tak mau dirawat di RS. Musuh-musuh kita bisa saja menyusup ke sistem jaringan informasi Rumah Sakit Se-Indonesia untuk menemukan namaku di sana. Dan Sersan Moti benar, aku tidak bisa mengandalkan pertolongan medis darurat untuk luka semacam ini."
"Kau tidak bisa pergi ke mana-mana dengan luka seperti itu," kata Markus.
"Bisa, Kus, aku naik itu," Riyadi menunjuk ke suatu titik dan di sana tampak seekor ular seperti pyton raksasa dengan sisik kasar sewarna tanah dan kepala berdiameter 60 cm tampak menyembulkan kepalanya dari dalam tanah.
"Aku harus ke Sapta Pratala. Di sana aku akan menyembuhkan diri. Urusan di permukaan ini aku serahkan padamu, Dik," Riyadi menepuk bahu Markus sebelum mengalihkan pandangannya ke Sersan Moti, "Dan kau Sersan, tolong hubungi teman-teman Marinirmu. Suruh mereka sambangi daerah tanpa ikan itu dan cabut seluruh bola-bola logam yang mereka temui dengan standar operasi penjinakan bom. Bola itu bom!"
"Ya Mas. Saya akan segera laporkan itu pada atasan kita," kata Markus.
"Siap Letnan, saya akan segera melapor pada komandan saya!" ujar Sersan Moti.
"Kalau begitu aku pamit," Riyadi kemudian bangkit berdiri dengan susah payah dan ular raksasa itu menyelam ke dalam tanah kemudian muncul dengan memposisikan tubuhnya di bawah Riyadi. Setelah memastikan Riyadi duduk dengan benar di atas tubuhnya, ular itu menyelam ke dalam tanah bersama Riyadi dan tak muncul kembali.
"Ali sedang tidak ada dan sekarang Letnan Riyadi juga tidak ada," kata Janggala, "Dan dilihat dari kondisi seperti ini aku mulai merasakan sesuatu yang tidak enak Pak Polisi."
"Firasatmu itu mengatakan bahwa musuh kita akan segera menyerang begitu tahu kondisi kita?"
"Ya."
"Kalau begitu firasat kita sama."
[1]Data Ping : data sinyal yang dikirimkan oleh suatu perangkat sebagai bukti bahwa perangkat itu bekerja, jika data ping dari suatu perangkat tidak diterima, bisa diduga bahwa perangkat itu tengah mengalami gangguan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top