BAB X : UCCAIHSRAWA

Saat berjalan kembali ke pusat Kota Landak, Bayu tiba-tiba teringat akan suatu kisah kuno. Tentang keberadaan sebuah lautan yang airnya seputih susu. Kshira Sagar atau Ksirarnawa namanya. Lautan ini menyimpan berbagai harta dan sebuah benda pemberi kehidupan abadi bernama Tirta Amerta, namun tak satu makhluk pun yang berhasil mendapatkannya karena benda-benda itu berada di dasar lautan yang paling dalam.

Sampai suatu ketika para dewa dan para asura yang berperang tiba-tiba melakukan gencatan senjata atas prakarsa para Trimurti terutama Batara Brahma dan Batara Wisnu. Guna mengeluarkan harta berharga yang ada di dasar lautan tersebut, kedua Trimurti meminta para dewa dan asura bekerjasama memutar Gunung Mandara Giri sebagai mata bor untuk mengoyak dan menembus lapisan terdalam dari Kshira Sagar.

Dengan menggunakan salah satu dari raja kaum naga yakni Basuki sebagai tali pengikat gunung, para dewa dan asura mulai memutar bor dari puncak gunung itu selama beberapa waktu hingga akhirnya keluarlah sejumlah harta dan makhluk-makhluk suci. Apsara, Batari Laksmi, dan sebagian besar harta para dewa asalnya adalah dari Kshira Sagar. Termasuk seekor kuda legendaris ... Uccaihsrawa.

Bayu sendiri tidak tahu bagaimana ceritanya ia bisa ingat soal legenda itu. Ia tiba-tiba saja teringat soal itu kala ia dan rombongannya sudah tiba di pusat kota. Dua prajurit yang terluka itu langsung dibawa ke rumah sakit bersama dua kantong jenazah yang berisi para prajurit yang tewas di sana. Kapten Sarwadi sendiri tidak memberi ia dan Mahesa tugas apa-apa jadi ia dan Mahesa akhirnya duduk saja di sebuah bangku taman.

Lalu tanpa disangka dan diduga ia melihat dua sosok mendekat. Sosok yang agak tampak ganjil di matanya karena dua orang ini tingginya tak lebih dari 140 cm. Yang satu sudah tampak beruban dan giginya tinggal dua pasang dan yang satu lagi tampak seperti versi muda dari si bapak tua kontet itu. Keduanya punya kulit amat sawo matang dan mengenakan atasan baju hitam serta sarung kain poleng[1] sebagai bawahannya.

Mahesa tampaknya kenal dengan dua orang itu. Ini bisa dilihat dari lambaian tangan Mahesa pada dua orang itu, "Ki Tualen! Merdah!" begitu Mahesa memanggil mereka.

Dua orang itu mendekat, sambil membawa dua travel bag yang mereka tarik sepanjang jalan. Wajah mereka berdua menyunggingkan senyum lebar namun Bayu merasa senyuman mereka berdua agak dipaksakan, terutama senyuman Merdah, yang paling muda di antara mereka berdua.

Belum sempat berpikir soal itu, tiba-tiba saja Kartika menghampiri mereka berdua, "Mas Bayu, Mas Mahesa. Kita punya masalah."

"Ada apa Mbak?" Bayu sempat khawatir dengan ekspresi Kartika yang tampak resah. Butir-butir keringat muncul dan mengalir di dahinya dan makin menegaskan bahwa pikiran wanita itu tidak tenteram.

"Serangan di Pontianak terhambat. Pasukan kita tiba-tiba balik menyerang teman sendiri. Dokter Nakula dan Sadewa terjebak di sana, tak bisa keluar, dan Kolonel Syailendra minta kita untuk menyelamatkan mereka. Tapi ... ."

"Tapi apa Mbak?" kali ini Mahesa yang bertanya.

"Pilot pesawat yang harusnya membawa kita keluar dari sini tidak bisa mendarat. Ada angin kencang dan kerusakan mesin yang tiba-tiba pada pesawat itu. Laporan dari pilot itu, mesin pesawat rusak setelah dihantam sekumpulan asap hitam."

"Oooo ... itu sebabnya kami ada di sini, Ladrangmungkung," tiba-tiba saja Tualen angkat bicara dan kembali tersenyum lebar, kali ini senyumannya diarahkan pada Kartika.

Kartika tampak memandangi Tualen sejenak sebelum berkata, "Saya tahu siapa anda berdua. Tapi apa yang bisa Ki Semar dan Arya Bagong berikan selain nasehat dan petuah?"

"Bagaimana kalau ... pinjaman moda transportasi?" celetuk Merdah.

Bayu sendiri dibuat tersentak soal dua nama tadi. Semar dan Bagong, Tualen dan Merdah. Dua orang ini adalah orang-orang yang disebut punakawan dalam pentas-pentas wayang.

"Moda transportasi apa? Kereta cepat?" ujar Mahesa.

"Kuda," ujar Tualen dan Merdah bersamaan sambil menunjuk ke satu arah di mana seekor kuda putih berpelana merah tampak terikat di sebuah pohon beringin.

"Kuda?" Mahesa tampak bingung.

"Bukan kuda biasa, Ndoro. Tapi kuda yang bisa membawa dua orang dari Ndoro sekalian ke Pontianak secepat mungkin. Nama kuda ini ...," belum sempat Tualen menyelesaikan kata-katanya, pikiran Bayu kembali menerawang pada kisah kuno.

Para dewa dan asura terus memutar Mandara Giri. Terus dan terus, seolah tanpa hasil. Namun setelah memakan waktu cukup lama keluarlah dari dalam Kshira Sagar berpeti-peti harta dari emas dan permata serta seekor kuda. Kuda ini berwarna putih, kakinya mampu memijak air maupun tanah. Ringkikannya menggetarkan dunia. Para dewa dan asura takjub pada kuda itu namun tak terkecuali Indra, sang raja dewa. Diulurkannya tangannya untuk memanggil makhluk itu dan kuda itu pun mendekat pada Indra. Nama kuda itu adalah ...

 

"UCCAIHSRAWA!" sahut Bayu tiba-tiba.

"Ah, jadi Ndoro Bayu sudah tahu siapa kuda itu. Kalau begitu adalah tugas bagi Ndoro Bayu untuk mengendalikan kuda itu."

"Eh?" Bayu terperanjat, "Kenapa saya? Kenapa bukan Mbak Kartika atau Kapten Sarwadi?"

"Kuda itu hanya mematuhi keturunan Batara Indra dan dari para keturunan Batara Indra itu sendiri hanya Ndoro Arjuna seorang yang pernah diakui layak oleh Uccaihsrawa. Sekarang dengan tidak adanya Ndoro Arjuna maka Uccaihsrawa memilih Ndoro Bayu."

Perasaannya memberitahu Bayu bahwa berurusan dengan tunggangan dewa bukanlah perkara gampang. Wahana para dewa sendiri terkenal dengan kemampuan mereka yang di luar batas kewajaran. Uccaihsrawa pun pasti demikian.

"Kuda itu hanya bisa ditunggangi dua orang," kata Mahesa.

"Kalau begitu kau ikut aku, Mahesa," kata Bayu.

"Sebentar!" Kartika tampak keberatan, "Saya harus ikut anda Mas Bayu, jika tidak saya takkan bisa menjamin keselamatan Mas Bayu!"

"Mahesa dan saya bisa jaga diri Mbak Kartika."

"Tidak. Sekali lagi saya bilang T-I-D-A-K! Anda mungkin boleh merasa percaya diri karena sudah menghabisi satu-dua musuh Mas Bayu! Tapi percayalah Mas Bayu, anda dan Mahesa belum siap untuk bertarung sendiri."

Kartika kemudian maju selangkah guna mencegah Bayu pergi namun sepatunya tiba-tiba menginjak sesuatu yang sangat lengket dan membuat kedua kakinya tidak bisa digerakkan barang satu senti sekalipun.

"Sekarang Ndoro! Gunakan Uccaihsrawa untuk berangkat ke Pontianak!" seru Merdah.

Tanpa perlu dikomando dua kali Mahesa dan Bayu langsung berlari ke arah kuda putih itu ditambatkan sementara Kartika berteriak-teriak panik memanggil sejumlah orang untuk menghentikan Mahesa dan Bayu. Namun begitu Bayu memegang tali kekang dan Mahesa sudah duduk di belakang Bayu dan berpegangan pada pinggang Bayu, Uccaihsrawa secara ajaib langsung melepaskan diri secara otomatis dari tali tambatannya dan berlari kencang ke arah barat.

******

Bayu tidak tahu persis berapa kecepatan lari Uccaihsrawa, tapi yang jelas lebih cepat daripada 100 kilometer per jam. Pohon-pohon di kiri dan kanan mereka berdua melintas dengan sangat cepat, tak sampai sedetik tiap pohonnya. Terpaan angin kuat Bayu rasakan menghantam dirinya sedari tadi, membuat ia harus mencengkeram tali kekang yang terbuat dari emas itu erat-erat sementara di belakangnya Mahesa mengerang dan makin merapatkan cengkeramannya ke pinggang kakak tirinya itu.

Tak sampai 10 menit kemudian, mereka sudah tiba di sebuah tempat yang dipenuhi dengan dentuman meriam dan tembakan senjata. Belum sempat Bayu mengenali suasana sekitarnya, Uccaihsrawa sudah melompat dan kembali berlari. Tiga detik kemudian di tempat mereka tadi berdiri terdengar sebuah ledakan mortir.

"Wew! Itu tadi ... nyaris saja!" Mahesa tak bisa menyembunyikan rasa leganya ketika melihat mereka nyaris saja tertimpa peluru mortir.

"Terima kasih, Uccaihsrawa," Bayu membelai-belai kepala kuda putih itu dan kuda putih itu hanya mendengus sebelum akhirnya kembali berlari ke arah barat laut.

"Kita mau dibawa ke mana Yu?" tanya Mahesa.

"Entahlah, tapi kok rasanya Uccaihsrawa hendak membawa kita ke arah Tugu Khatulistiwa."

Tak sampai lima menit kemudian mereka sudah melewati monumen Tugu Khatulistiwa, sebuah monumen berupa empat buah tonggak hitam yang menyangga sebuah lingkaran bercat perak yang di dalamnya terdapat sebuah anak panah penanda garis ekuator.

Dari Tugu Khatulistiwa, kuda itu terus berlari hingga akhirnya tiba di sebuah area klenteng bernama Dharma Bakti. Di sana Uccaihsrawa tiba-tiba berhenti. Bayu dan Mahesa yang tidak mengerti alasan kuda itu berhenti hanya bisa bertatapan satu sama lain tanpa melakukan apa-apa. Uccaihsrawa sendiri, merasa tidak dipahami maksudnya langsung menghentak-hentakkan kaki depannya ke aspal jalanan. Karena dua remaja itu masih belum paham kalau mereka disuruh turun, Uccaihsrawa langsung menggoyang-goyangkan punggungnya, setelah itu barulah Bayu dan Mahesa paham kalau mereka disuruh turun.

"Sekarang apa?" tanya Mahesa.

"Entah ya?" jawab Bayu.

Dua remaja itu sama sekali tidak paham dengan makna isyarat Uccaihsrawa yang dari tadi menghentak-hentakkan kaki kanannya.

"Sebenarnya dia mau bilang apa sih?" tanya Mahesa lagi.

"Kau mau kami masuk ke klenteng itu?"

Uccaihsrawa meringkik sebelum akhirnya memberi isyarat sebuah anggukan.

Bayu kemudian mematerialisasi astranya dalam wujud busur panah, Mahesa pun melakukan hal serupa. Senapan mereka, mereka tinggal di Kabupaten Landak dan senapan mereka juga tidak efektif dipakai jika lawannya adalah makhluk astral.

Mahesa dan Bayu melangkah masuk ke dalam klenteng yang tampak sepi itu. Sebuah bejana di depan klenteng itu tampak berisi pasir dan ditancapi sejumlah hio yang seluruhnya sudah mati. Seluruh pintu klenteng tertutup rapat dan tak ada satupun makhluk hidup, bahkan kucing sekalipun yang tampak di sana.

Bayu sudah hendak berjalan keluar dari area itu ketika mendapati seluruh pintu terkunci namun Mahesa segera menepuk bahunya dan berbisik pelan, "Dengar?"

"Apa?"

"Suara langkah kaki."

"Dari mana?"

Mahesa menunjuk ke arah pintu utama bangunan klenteng. Bayu memejamkan matanya, mencoba berkonsentrasi dan mendapati bahwa samar-samar ia bisa mendengar suara kaki yang diseret. Bayu pun memberi isyarat pada Mahesa untuk mendekat dan Mahesa pun mengangguk menyetujui. Keduanya kemudian mendekati pintu itu dari dua arah yang berlawanan. Saat mereka berdua sudah di depan pintu, Bayu kembali memberi isyarat pada Mahesa untuk melindunginya. Mahesa pun mengambil sebuah granat asap yang ada pada sabuknya dan bersiap untuk melemparkannya jika Bayu sudah bisa membuka pintunya.

Bayu mencoba menendang pintu itu tapi pintu dari bahan kayu itu ternyata kuat dan kokoh. Namun akibat tindakannya itu langsung terdengar suara kasak-kusuk dari balik pintu.

"Kita hancurkan pakai astra?" usul Mahesa.

"Errr ... aku tidak suka menghancurkan bangunan bersejarah tapi sepertinya ini terpaksa," Bayu langsung menarik tali busurnya dan membentuk sebuah anak panah berwarna jingga dan berhulu ledak, Ayatana.

Tapi belum sempat anak panah itu ia lepaskan sepucuk moncong senapan langsung muncul melalui sebuah jendela geser yang ada di pintu klenteng dan langsung menghadiahi Bayu dengan tembakan sebanyak tiga kali.

Bayu pun langsung menghindar, sementara Mahesa melemparkan bom asap melalui celah jendela itu. Letupan kecil pun terdengar disusul dengan suara sejumlah orang yang batuk-batuk. Semenit kemudian pintu klenteng pun terbuka dan sejumlah orang berpakaian sipil keluar dengan diiringi dua orang berwajah serupa dalam balutan seragam hitam-hitam dengan tanda Dakara.

"Kalian?" dua orang itu, Nakula dan Sadewa terkejut ketika melihat Bayu dan Mahesa ada di sana, "Bagaimana kalian bisa ada di sini?"

"Uccaihsrawa membawa kami kemari dan entah kenapa tampaknya ia meminta kami mencari Om berdua," ujar Bayu.

"Uccaihsrawa? Uccaihsrawa kuda Batara Indra maksudmu?" tanya Nakula.

"Ya," Bayu mengangguk.

"Wow! Ini hebat!" mata Sadewa berbinar, "Sekarang kita bisa menyerang balik!"

"Menyerang balik? Apa yang terjadi di sini Om?" tanya Bayu.

"Waktu kami mendarat di sini, dengan bantuan sejumlah peleton artileri dan kavaleri kami berhasil memukul mundur musuh. Pasukan infanteri dan kavaleri merangsek sampai

Tugu Digulis, Bundaran Universitas Tanjungpura sebelum akhirnya segumpal asap hitam dari arah timur laut datang! Kami pikir itu asap bom atau senjata kimia namun sejenak kemudian asap itu membelah diri menjadi asap-asap kecil dan masuk ke dalam tank serta artileri. Setelah itu tiba-tiba pihak kavaleri dan artileri menembaki kami dari belakang. 60% pasukan infanteri kita musnah akibat serangan dari kawan sendiri itu. Sisanya berlindung bersama penduduk sipil. Kami di sini berlindung bersama dua orang prajurit Marinir sementara tak jauh dari sini tampaknya ada satu enam kompi yang berlindung di Masjid Baitul Gufron," kata Sadewa.

"Apa yang menahan mereka selama ini? Jika mereka sekarang punya artileri dan tank harusnya mereka tak kesulitan mencapai tempat ini kan?" tanya Mahesa.

"Apapun yang merasuki para prajurit di dalam tank dan artileri itu pastilah sebangsa asura. Dan mereka tidak kemari karena mereka harus menyeberangi sungai. Di sisi sungai yang ini kami berhasil menyalakan sistem pertahanan meriam ototatis dan meriam EMP[2]," ujar Sadewa lagi.

"Selain itu Sadewa juga sempat mencelupkan sesuatu ke Sungai Kapuas," kata Nakula.

"Hanya sejumlah rajah dan genitri sebagai tolak bala," kata Sadewa, "Tapi jelas tidak akan efektif karena cepat atau lambat benda- benda itu pasti terseret arus Sungai Kapuas."

"Kita harus cepat melakukan sesuatu," kata Nakula, "kita tidak tahu kapan Laskar Pralaya mencapai pusat kendali listrik dan mematikan listrik seluruh kota serta membuat meriam-meriam di sisi utara sungai ini tidak berfungsi."

Sadewa tampak menghubungi seseorang dengan arlojinya lalu berkata, "Para prajurit yang ada di Masjid Baitul Gufron sudah siap turun kembali. Aku punya rencana."

"Apa itu?" tanya Nakula.

*****

Markas Dakara, Jakarta, 03.00 WIB

 

"Berapa banyak lagi gerbang yang harus kalian tutup, Srikandi?" tanya Syailendra pada sosok Bunga Hanum Sari yang tampak di depan layar.

"Para anggota kita di Singkawang sudah menetralisir setidaknya 10 tempat yang potensial menjadi gerbang masuknya makhluk-makhluk dari dunia lain kemari."

"Bagus, kita tak bisa membiarkan ada gerbang seperti di Mandor yang terlanjur terbuka. Berapa banyak lagi gerbang yang masih tersisa?"

"Tim kita baru saja menutup gerbang ke-11 dan ini gerbang yang terakhir Pak."

"Kalau sudah selesai segeralah ke Pontianak. Nakula dan Sadewa butuh bantuan kalian."

"Siap Pak."

"Bawa serta juga Lahan ke sana!"

"Siap Pak."

Pasca menonaktifkan layar holografik di hadapannya, Syailendra berjalan keluar dari ruang kendali menuju sebuah kamar di mana terdapat sebuah area yang ditutupi selambu putih. Syailendra kemudian berjalan mendekati selambu itu dan duduk bersila sambil memejamkan mata di hadapannya. Saat menit demi menit mulai berlalu di balik selambu itu kemudian tampak sesosok manusia yang memancarkan cahaya.

Ruangan yang tadinya hanya diterangi sebuah lampu itu kini terang benderang. Menyadari bahwa kini ada kehadiran sosok lain di ruangan itu, Syailendra, tanpa membuka matanya, mulai berujar, "Sembah hamba Pukulun."

"Ada perkembangan apa Syailendra?"

"Para asura yang telah lama terkurung sudah menembus masuk ke Marcapada[3]. Kami gagal melindungi titik terpenting yang seharusnya kami beri perhatian lebih dan saat ini Nakula dan Sadewa pun dalam posisi terdesak. Mengirim Lahan dan Srikandi ke sana juga belum tentu menyelesaikan masalah. Jika Pukulun berkenan saya ingin ... ."

"Stop! Belum saatnya untuk itu Syailendra. Selain itu jangan khawatir pada keputusanmu. Keputusanmu itu sudah tepat."

"Kenapa Pukulun begitu yakin?"

"Karena aku percaya padamu dan kau percayalah juga pada para bawahanmu."

******

Rencana Nakula dan Sadewa ini boleh dikata agak membingungkan para prajurit Marinir yang tersisa. Nakula dan Sadewa hanya meminta pengawalan 3 orang Marinir sementara Mahesa dan Bayu disuruh menyeberang Sungai Kapuas melalui Terminal Bus di sisi utara sungai, 7 km dari Tugu Khatulistiwa dan menuju kantor Departemen Pertahanan di sisi selatan sungai. Di sana para Marinir harus mengaktifkan mekanisme jaringan listrik darurat bawah tanah serta mengaktifkan kembali sistem pertahanan otomatis pelindung sisi selatan sungai.

Tadinya Nakula dan Sadewa bermaksud berangkat berdua saja dengan menaiki Uccaihsrawa namun tiba-tiba saja kuda itu sudah tidak ada di posisinya. Entah ke mana perginya kuda itu yang jelas dengan tidak adanya Uccaihsrawa Nakula dan Sadewa kembali berpikir bahwa mereka butuh pengawalan.

Acara menyeberang melintasi sungai mungkin terdengar menyenangkan dalam kondisi normal, tapi tidak dalam kondisi seperti ini. Guna mengurangi kecurigaan para Laskar Pralaya, Bayu dan Mahesa diharuskan melepas seragam anti peluru mereka dan menyerahkannya pada para Marinir yang akan menyusup lewat jalan bawah air. Karena mereka sendiri tidak terbiasa menyelam, maka mereka diminta naik perahu motor dengan menyaru sebagai mahasiswa yang tengah meneliti biota sungai.

"Kalau kami tertangkap bagaimana?" tanya Mahesa pada komandan para prajurit itu.

"Kami akan pastikan kalian berdua tidak tertangkap, tapi kalau sampai tertangkap maka itu sudah nasib kalian. Kami akan tetap selesaikan misi meski kalian tertangkap."

Jawaban yang tidak menyenangkan sama sekali. Mahesa jelas tidak mau tertangkap karena jika ia tertangkap sudah pasti ia akan disakiti lagi seperti yang sudah Jayadratha lakukan padanya beberapa waktu yang lalu.

"Jangan khawatir Hes," kata Bayu, "Kita nggak bakal tertangkap."

"Kok kamu yakin benar?"

"Kalaupun kita tertangkap kita berdua bisa lawan mereka pakai astra."

*****

Dari Tugu Khatulistiwa, Nakula dan Sadewa bergerak dengan menyelam ke dalam Sungai Kapuas langsung menuju ke arah selatan dan tiba di sebuah kompleks pusat perbelanjaan. Di sana Nakula dan Sadewa kembali bergerak perlahan-lahan, bersembunyi setiap kali ada drone patroli atau prajurit patroli Laskar Pralaya yang tampak. Menghindari drone menjadi sangat merepotkan karena mereka tidak membawa pengacau sinyal. Benda berbentuk seperti pesawat jet mini dengan ujung berbentuk bola bulat itu banyak berseliweran di atas kepala mereka dan melakukan pemindaian pada area-area tertentu.

Nakula dan Sadewa harus bergerak cepat sambil terus berusaha menghindari pemindaian drone tersebut. Setelah berjalan sekitar 10 kilometer mereka akhirnya mendekati tujuan mereka. Sebuah menara pemancar siaran televisi milik stasiun TV "PK".

Mereka kemudian berlari ke arah stasiun televisi tersebut, membuka pintu samping bangunan itu dengan peretas kata sandi yang dipasangkan pada pendeteksi identitas kemudian masuk ke dalam bangunan tersebut dan menaiki anak-anak tangga menuju lantai teratas.

*****

Di sisi lain Mahesa dan Bayu sudah semakin dekat dengan tempat penambatan perahu motor yang berada di sisi seberang sungai. Sekumpulan prajurit berpakaian serba hitam dan mengenakan balaclava sudah tampak berada di tempat yang mereka tuju. "Stop!" ujar salah seorang dari mereka diiringi bunyi sejumlah senapan yang telah dilepas pengamannya dan siap menembakkan peluru.

"Woa-woa!" Bayu yang berada di bagian depan perahu motor itu langsung angkat tangan sementara Mahesa yang mengoperasikan mesin perahu langsung mematikan mesin perahu motor tersebut.

"Siapa kalian?" tanya sang prajurit dari Laskar Pralaya.

"Maaf Bapak-Bapak, kami cuma mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura. Kami di sini hendak mengambil sampel ganggang mikro yang hidup di Sungai Kapuas."

"Gah! Bohong! Kalian pasti mata-mata TNI."

"Demi Tuhan Bapak, kami bukan mata-mata TNI. Kami memang benar-benar mahasiswa Universitas Tanjungpura," Bayu kemudian memperlihatkan sebuah kartu tanda mahasiswa holografik dari arlojinya yang menampilkan foto dirinya dan foto Mahesa. Mahesa sendiri jadi bertanya-tanya, kapan Bayu sempat mengedit kartu nama holografik itu?

"Kami sedang ada kontak senjata dengan TNI! Kenapa kalian tidak kembali saja ke universitas jika kontak senjata sudah usai?"

"Maaf Bapak-Bapak. Kami berdua ini peneliti. Peneliti tidak akan terlalu ambil pusing soal kontak senjata jika sampel langka kami ada dalam bahaya. Seperti yang Bapak-Bapak bisa lihat," Bayu mengangkat sebuah toples kaca yang penuh berisi air sungai Kapuas, "dari pengamatan awal kami, kami menemukan spesies ganggang diatom[4] langka yang mampu digunakan untuk mengobati penyakit busuk daun tembakau serta bahan ransum protein bagi mereka yang terkena gizi buruk. Saya yakin siapapun yang menang nanti, apakah anda atau para TNI sialan itu, akan membutuhkan hasil penelitian kami untuk membangun perekonomian masyarakat. Percayalah Bapak-Bapak, anda semua takkan menyesal."

Para prajurit Laskar Pralaya itu saling pandang untuk sesaat sebelum akhirnya mempersilakan perahu motor itu untuk merapat, "Kalian merapat! Tapi dua dari kami akan mengantar kalian ke universitas."

"Oh, terima kasih Bapak-Bapak," Bayu membungkukkan badan lalu dengan sengaja menceburkan toples berisi air sungai itu ke dalam sungai.

Itulah isyaratnya. Begitu toples itu tenggelam, sekumpulan Marinir secara serempak naik ke permukaan dan dengan senapan yang telah dipasangi peredam suara menembak jatuh tujuh prajurit Laskar Pralaya itu.

"Sandiwara yang bagus Mas," puji sang komandan Marinir.

"Terima kasih," jawab Bayu sambil menoleh ke arah Mahesa, "Hes, rapatkan perahunya."

Sambil merapatkan perahu motor itu ke dermaga, Mahesa bertanya pada Bayu, "Aktingmu tadi bagus sekali lho Yu. Apalagi soal alga ... diatom ya?"

"Ah itu sih sudah makanan sehari-hari Hes."

"Maksudnya?"

"Aku kan anak IPA. Kamu belum tahu ya?"

Mahesa menggeleng.


[1]Kain motif kota-kotak hitam putih seperti papan catur

[2]Electro magnetic pulse, senjata ini akan menembakkan energi yang dapat menonaktifkan perangkat elektronik baik untuk beberapa saat ataupun permanen.

[3]Dunia manusia

[4]Diatom atau ganggang kersik adalah organisme sel tunggal yang dinding selnya bening, mengkilat dan transparan karena terbentuk dari silikon dioksida dan sedikit air, susunan dinding selnya mirip bahan penyusun kaca atau mineral opal. Diatom rata-rata hidup terpisah namun kadang bisa juga membentuk koloni.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top