BAB VIII : BARUNA
Saat mereka kembali ke penginapan, Riyadi langsung disibukkan dengan kegiatan mengutak-atik benda aneh yang ia angkat dari dasar laut itu. Dengan hati-hati prajurit TNI itu mencopot satu-demi-satu komponen penyusun sebuah bola logam dengan menggunakan pinset, obeng, dan tang berbagai ukuran. Sebelum ia melakukan aksi utak-atik ini ia mewanti-wanti Janggala dan Markus untuk keluar jika ingin merokok, "Aku tidak mau jika nantinya rokok kalian memicu ledakan seandainya ada bahan peledak di dalam benda ini!"
Jadi Janggala dan Markus bersumpah untuk tidak menyentuh lintingan tembakau 9 centimeter itu selama mereka ada di kamar. Ali sendiri sudah keluar dari tadi. Biasa tinggal di gunung membuat ia kegerahan begitu ada di daerah pantai seperti ini. Apalagi di dalam kamar hotel, Riyadi menolak menyalakan AC dengan alasan hawa dingin mungkin saja memicu mekanisme dalam benda ini untuk membuat sesuatu yang tidak diinginkan. Ia akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan ke pantai, sendirian. Tadinya ia mau mengajak Janggala tapi entah kenapa Janggala malah jadi penasaran sendiri pada benda logam bulat itu dan menolak ajakan Ali.
Di pantai meski hari mulai gelap, beberapa perahu nelayan ada yang tampak pergi melaut. Pantainya sendiri cukup sepi malam ini, Ali berjalan menuju sebuah kios dan memesan es teh dalam cangkir kertas lalu melanjutkan jalan-jalannya menyusuri tepi pantai Larantuka. Setelah berjalan selama beberapa menit ia melihat Sersan Moti tampak asyik mengobrol dengan sekelompok pemuda sambil membakar ikan.
"Hai Kakak Ali, mari sini!" Moti melambaikan tangannya pada Ali dan Ali pun berjalan mendekat ke arah kerumunan itu. Pada para pemuda lokal itu Moti memperkenalkan Ali sebagai 'juru kamera', "Kakak satu ini namanya Ali. Ia jadi kameramen kita di sini!"
"Wah! Berarti Kakak ini orang yang suka ambil foto nona-nona cantik yang ada di majalah-majalah itu kan?" tanya seorang pemuda.
"Bukan," jawab Ali sambil tertawa, "yang saya foto itu makhluk-makhluk penghuni lautan macam Sersan Moti ini!" Ali memang sudah diberi briefing dari Syailendra bahwa jika penduduk lokal tanya apa keperluan mereka di sana bilang saja buat film dokumenter. Jika mereka tanya apa tugasnya Ali jawab saja kameramen. Tapi diduga sebagai kameramen yang sehari-harinya memfoto para model cantik yang biasa muncul di majalah jadi membuat Ali geli sendiri.
"Kakak ini bisa menyelam tanpa bantuan alat lho!" ujar Sersan Moti lagi.
"Wah! Kakak hebat!" sahut seorang pemuda lagi, "Kalau Kakak ketemu ipar saya di Maluku sana Kakak harus adu menyelam untuk ambil akar bahar!"
Ali langsung berbisik pada Moti, "Menyelam untuk ambil akar bahar? Apa maksudnya?"
Moti langsung balas berbisik, "Ada satu daerah di Kepulauan Maluku di mana ada tradisi bagi para pemuda untuk unjuk kebolehan menyelam untuk mengambil anemon laut tertentu. Anemon itu hidup di kedalaman 500 meter dan setelah diambil biasanya dikeringkan dan diproses jadi gelang akar bahar. Siapa yang bisa ambil akar bahar tanpa alat bantu selam dianggap sebagai pria pemberani."
"Jadi ... jam berapa kalian melaut?" Moti kemudian kembali berbicara kepada para pemuda itu.
"Dua jam lagi Kakak. Tapi kali ini kami melaut cuma sebentar. Seminggu lagi ada hari baik. Kami harus kembali sebelum masa itu."
Perbincangan kembali berlanjut dengan diiringi sedikit minum tuak dan makan ikan bakar sebelum para pemuda itu dipanggil seorang kapten kapal nelayan untuk segera naik kapal melaut.
Ketika mereka tinggal berdua, Sersan Moti kemudian bangkit berdiri dan mengibas-ngibaskan pasir yang menempel di celananya, "Kakak Ali, ada orang di sini yang mau bicara dengan Kakak."
"Siapa?" tanya Ali.
"Kami biasa sebut itu orang Opa. Kami tak tahu rumahnya di mana tapi Opa sering datang ke pulau ini beberapa kali dalam setahun pakai perahu dayung. Siang ini Opa datang pada saya dan minta saya beritahu seorang yang bernama Ali Mahardika bahwa dia ingin ketemu Kakak."
Ali tertegun, ia sama sekali belum berkenalan pada penduduk lokal. Ia juga bukan selebritis yang namanya dikenal seantero Nusantara. Kenalannya hanya terbatas pada penduduk desa tempatnya mengajar serta beberapa orang akademisi yang pernah ia temui, tapi di sini, di pulau ini tiba-tiba ada orang yang tahu nama lengkapnya dan ingin bertemu dengannya. Namun Ali tiba-tiba teringat sesuatu, "Apa Opa ini juga agen Dakara?"
"Tidak, bukan. Kalau Opa ini juga agen Dakara, saya pasti diberitahu oleh Pak Kadek, pengawas saya di Dakara. Tapi Pak Kadek tidak mengetahui perihal Opa ini. Mungkin Opa ini juga orang-orang macam kita, tahu dunia supranatural, makanya dia tahu soal Kakak Ali."
"Di mana Opa ini sekarang?"
"Itu, itu dia!" Sersan Moti menunjuk ke arah selatan dan di sana tampak seorang pria yang wajahnya seperti kebanyakan penduduk lokal – coklat sangat gelap – dengan rambut dan jagung keriting yang sudah memutih sebagian. Pakaiannya sederhana sekali, celana pendek warna biru yang sudah pudar dan sebuah kemeja putih bergaris-garis hitam yang sudah tampak lusuh. Di tangan kanannya tergenggam tongkat kayu yang pria paruh baya itu pakai sebagai alat bantu jalan, meski Ali boleh bilang sebenarnya pria itu tidak perlu tongkat bantu jalan. Langkahnya masih cepat bagaikan anak muda.
"Selamat malam Adik Moti. Terima kasih sudah membawa Adik Ali ini pada saya," kata Si Opa pada Sersan Moti, "kalau Adik tak keberatan, bisakah Adik tinggalkan kami berdua saja?"
Seolah-olah kena hipnotis, Sersan Moti langsung pamit dan berbalik badan tanpa berkata apa-apa lagi. Ali langsung merasa bahwa Si Opa ini bukan orang biasa. Ada aura aneh yang Ali rasakan sejak tadi dan aura itu makin kuat seiring dengan mendekatnya Si Opa ke arahnya. Aura ini kalau Ali mendeskripsikannya seperti deburan ombak yang makin lama makin keras dan makin lama makin berusaha menyeretnya ke dasar laut.
"Ali Mahardika," Si Opa itu duduk di atas pasir berhadapan dengan Ali dan menatap Ali lekat-lekat. Matanya sekilas tampak seperti kebanyakan orang Indonesia, berpupil coklat, namun untuk sesaat Ali bisa melihat bahwa matanya seperti berubah warna menjadi biru laut kemudian hitam kemudian hijau lumut dan kembali lagi menjadi coklat.
Ali meletakkan kedua tangannya di atas pasir, bersiap memanggil Giri Kedasar kalau-kalau Si Opa di hadapannya ini adalah musuh.
"Kamu tidak usah takut Ali, dan tak usah sebegitu waspadanya sampai-sampai mau memanggil Giri Kedasar."
"Siapa anda, mengapa anda mencari saya?"
"Saya sekutumu, Ali. Tidak, malah lebih dari itu. Saya keluargamu. Saya ayah dari wanita yang melahirkanmu ke dunia ini."
Ali tidak begitu saja percaya pada kata-kata Si Opa. Orang ini bisa saja musuh yang berbohong dan mencoba menarik simpati Ali dengan cara mengaku sebagai keluarganya. "Mana buktinya?"
Tiba-tiba saja tongkat di tangan Si Opa berubah wujud menjadi semacam cambuk tali yang agak mirip dengan Giri Kedasar hanya saja memancarkan warna keemasan yang sangat cerah dan punya ornamen yang lebih rumit daripada Giri Kedasar di bagian genggamannya. Ali dibuat terpana dengan aura cambul tali itu namun belum habis kekaguman Ali, Si Opa itu melecutkan cambuk talinya ke arah lautan dan segera saja lautan yang tadinya tenang tiba-tiba bergelora. Cambuk itu kembali Opa itu lecutkan ke arah lautan dan lautan perlahan-lahan mulai kembali tenang.
"Kau seorang Mangku, Ali. Kau pasti juga pernah diberitahu soal siapa dirimu sebenarnya. Kau pasti tahu siapa aku bukan, Antasena?" tanya Si Opa sambil tersenyum ke arah Ali.
"O Eyang Sang Hyang Batara Baruna!" Ali cepat-cepat bersimpuh di hadapan Si Opa.
"Tak perlu bersujud seperti itu. Aku kemari bukan untuk disembah seperti itu. Aku kemari untuk berbagi cerita. Terutama soal musuh kalian."
"Musuh?"
"Makhluk yang disebut penduduk setempat sebagai penghuni daerah tanpa ikan itu. Nama makhluk itu Kalarudra."
"Kenapa kok sepertinya ... aku pernah mendengarnya?"
"Beberapa dalang masa kini mementaskannya dalam lakon kelahiranmu. Makhluk bernama Kalarudra sendiri adalah Daitya, generasi pertama dari para Asura. Setelah raja-raja Asura bertumbangan satu demi satu, Kalarudra yang menghabiskan seluruh hidupnya selama ini untuk melakukan laku tapa dalam lautan muncul dan menyerbu kahyangan. Karena lautan menyimpan kekuatan yang sulit diimbangi oleh para dewa kebanyakan, guna mencegahnya mencapai kahyangan, Batara Indra menugaskan aku untuk menahannya meski saat itu aku sedang merayakan kelahiranmu. Aku bahkan belum sempat memberimu nama saat itu. Kami pun bertarung selama berhari-hari tanpa ada yang menang maupun kalah. Sampai suatu ketika para abdi Batara Wisnu dan Batara Siwa menahan serangan Kalarudra menggantikan aku dan Batara Wisnu menyuruhku mengambil dirimu yang masih jabang bayi. Tahu apa yang Batara Wisnu minta aku lakukan kemudian? Membuangmu ke hadapan Kalarudra dan membiarkanmu diinjak-injak oleh Daitya itu.
"Ibumu saat itu histeris bukan kepalang tapi para Trimurti kemudian menganugerahkan kepadamu anugerah 'percepatan pertambahan usia'. Sama seperti kakakmu, Gatotkaca, dan sepupumu, Wisanggeni, kau tumbuh dewasa dalam waktu setengah ,hari saja. Begitu kau cukup kuat untuk melawan Kalarudra, Batara Siwa meminta padaku sebuah astra cambuk tali yang belum sempurna benar. Batara Siwa kemudian memuntahkan sedikit racun Halahala yang selam ini mengendap di leher beliau, dan menjadikan astra itu lebih beracun daripada astra dewa manapun. Astra itu adalah Giri Kedasar yang kau miliki saat ini. Kalarudra sekalipun takkan mampu menetralisir racun Halahala dan akhirnya ia tewas di tanganmu."
"Lalu? Apa Asura yang sudah tewas itu hidup kembali?"
"Ya. Secara hukum alam, itu sebenarnya tidak dibenarkan meski tidak sepenuhnya mustahil. Sekelompok Asura kuat baru-baru ini menyerbu Neraka, tempat Batara Yama bersemayam, dan menarik keluar beberapa Asura kuat dari masa lalu. Salah satunya Kalarudra."
"Bagaimana saya bisa melawannya sekarang Eyang? Jujur saja saya tidak punya ingatan apa-apa soal pertarungan itu. Putra-putra Arjuna katanya mengalami hal itu tapi jujur saja saya tidak."
"Kalian Putra-Putra Bima memang punya masalah dengan ingatan masa lalu. Tapi ingatan itu sendiri tidak terlalu penting. Yang penting sekarang adalah kau harus bisa melakukan Triwikrama."
"Triwikrama?"
"Manifestasi kekuatan para kesatria yang berjalan di jalan dharma. Triwikrama adalah penyatuan antara kekuatan jiwa dan kekuatan fisik. Biasanya dicapai melalui tapa yang umumnya butuh waktu tahunan."
"Maaf Eyang, waktu kami sedikit," Ali jelas tidak punya waktu sebanyak itu.
"Aku paham, itu sebabnya aku menawarimu jalan pintas."
"Jalan pintas?"
"Berjalanlah ke tengah laut, 30 kilometer dari garis pantai lalu bersemedilah di sana. Lakukan itu selama tiga hari tiga malam tanpa makan tanpa minum dan tanpa keluar dari air. Kemudian ...," kata-kata Baruna terpotong oleh keluarnya sebuah cahaya dari dalam air diikuti dengan guntur yang menggelegar di angkasa. Hawa dingin dan panas tiba-tiba dirasakan Ali secara bersamaan.
"Ada apa ini, Eyang?"
"Segerombolan Asura mencoba menembus kahyangan lagi. Batara Indra memanggilku, tapi jangan khawatir soal janjiku, Antasena. Lakukan saja sesuai instruksi yang aku berikan tadi dan sebelum kota ini merayakan 'hari baik' aku jamin kau sudah bisa menaklukkan Kalarudra.
Lalu sosok Opa itu menghilang. Ali kini sendirian di tepi pantai.
******
Menjelang tengah malam baru Ali kembali ke kamar hotel. Saat masuk ke dalam dan merasakan AC kamar menyala ia langsung berkomentar, "Mas Riyadi sudah selesai 'main-mainnya'?"
"Sudah," jawab Markus sembari bangkit berdiri dan menunjuk ke arah meja yang tadi dipakai Riyadi, "tapi jujur kami tidak tahu benda ini sebenarnya buatan siapa. Mas Riyadi menduga ini semacam sensor untuk mengawasi sesuatu. Tapi tidak ada yang tahu siapa yang buat peralatan ini. Saya sudah foto peralatan ini dan besok pagi Timotius akan bawa sampel ini ke laboratorium kita di Bali untuk diperiksa di sana."
Beberapa menit kemudian Riyadi tampak keluar dari kamar mandi dan Ali langsung mendekati Riyadi, "Mas, saya minta izin untuk memisahkan diri selama tiga hari dari tim ini."
"Lho? Kenapa?" tanya Riyadi.
"Ada seseorang yang memberitahu kita soal musuh kita dan satu-satunya cara kita mengalahkannya adalah dengan cara mengembalikan kembali kemampuan saya yang hilang."
"Kau mau melakukan tapa?"
"Ya."
"Kau tidak ajak Janggala?"
"Tapa saya ini akan saya lakukan di bawah air, Janggala itu Wisanggeni, air akan menyakitinya."
"Baiklah. Tapi maksimal empat hari dari sekarang kau harus kembali kemari. Kalau kami tidak ada di hotel ini, cari Timotius, kalau Timoti tidak ada lapor ke markas Marinir. Jelas?"
"Jelas sekali Mas!" Ali mengangguk.
******
Koordinat yang ditunjukkan oleh Baruna pada Ali adalah 30 kilometer ke arah timur laut dari bibir pantai Larantuka. Dengan hanya bermodalkan celana pendek hitam Ali berenang melintasi lautan namun baru berenang sejauh beberapa ratus meter, sebuah gelombang arus membantunya berenang lebih cepat ke arah yang dituju.
Ali terus berenang dan berenang. Anehnya meski tampaknya sudah melalui jarak perjalanan yang panjang, Ali sama sekali tidak merasa lelah. Begitu sampai di tempat yang dituju, Ali melihat sesosok makhluk mirip ular raksasa bersisik hitam tampak menunggu di tempat itu. Ular itu mendesis ketika melihat Ali namun dengan segera desisan itu berubah menjadi suara manusia.
"Salam Tuan Antasena, Sang Hyang Batara Baruna mengutus kami untuk menjaga daerah ini dan menunggu kedatangan anda," kata ular itu.
"Kami? Kau tidak sendirian ... Tuan Ular?"
"Namaku Ae Masing[1], Tuan. Dan ya, saya tidak sendiri di sini. Satu lagi Tuan, kami bukan ular. Kami kaum naga."
"Seperti ... Candavata yang muncul di Kanada beberapa waktu yang lalu?" Ali kembali mengingat video pertarungan Markus di Kanada tempo hari.
"Candavata memihak adharma, sementara kami ada di pihak Batara Baruna. Tapi itu tak terlalu penting Tuan. Sekarang yang Tuan harus lakukan adalah menyelam bersama saya," Ae Masing kemudian menyelam, Ali pun turut menyelam.
Dua makhluk itu menembus gelapnya air laut dan terus menyelam semakin ke dalam hingga akhirnya Ali sama sekali tak bisa melihat apa-apa. Ia bergerak hanya karena panduan dari Ae Masing yang sesekali berkata, "Terus Tuan. Masih belum."
Sampai akhirnya ia benar-benar tiba di dasar lautan yang Ali rasakan tersusun atas pasir-pasir halus. "Tuan, bersemedilah di sini dan jangan bergerak sebelum saya mengizinkan."
Ali samar-samar bisa melihat kondisi di sekitarnya meski masih tampak samar-samar. Ia kemudian menyilangkan kakinya dalam posisi bersila dan menyatukan tangannya dalam posisi saling bertangkup di depan dada kemudian mulai memejamkan matanya.
Baru dalam posisi itu selama beberapa menit, Ali merasakan ada sesuatu yang menggeliat dan menempel di bagian-bagian tubuhnya. Mula-mula di bagian punggung, kemudian makhluk hidup itu bergerak ke arah leher disusul dengan menempelnya makhluk hidup lain yang turut menempel di kakinya dan bergerak ke arah kepalanya. Karena penasaran, Ali membuka sebelah matanya dan betapa terkejutnya dia ketika melihat di sekeliling tempatya bersemedi sudah dipenuhi oleh siluet makhluk-makhluk melata yang ia kenali sebagai ular.
"Apa-apaan ini?" Ali berusaha berdiri dan kabur tapi ia tiba-tiba merasakan kaki dan tangannya menjadi amat berat.
"Tenang Tuan, biar saya menjelaskan," sosok Ae Masing kembali muncul di hadapan Ali, "Kemampuan utama dari Giri Kedasar, Tuan, adalah astra itu terus menerus menghasilkan racun dari berbagai jenis makhluk laut. Selama ini Tuan sudah menggunakan racun ikan buntal, racun ikan batu, dan racun ikan sembilang untuk mengatasi musuh-musuh Tuan. Tapi hanya sebatas itu saja kemampuan yang diwariskan ibunda Tuan, Dewi Urangayu untuk menghasilkan racun."
"Lalu apa hubungannya dengan ular-ular ini?" Ali sedikit banyak mulai panik. Ia bukannya benci atau phobia terhadap ular tapi ia tahu bahwa ular yang hidup di laut kebanyakan punya kandungan bisa yang jauh lebih kuat daripada ular darat. Bahkan racun ular kobra yang katanya sangat berbahaya saja jadi seperti guyonan jika harus disandingkan dengan efek racun dari spesies-spesies ular laut.
Seolah bisa membaca pikiran Ali, Ae Masing melanjutkan penjelasannya, "Ular laut adalah jenis ular dengan racun bisa paling berbahaya di dunia. Untuk bisa mengalahkan Kalarudra, Tuan harus bisa menggunakan Giri Kedasar yang mengeluarkan racun Halahala. Masalahnya tubuh Tuan jelas tidak kuat untuk menahan racun itu saat ini, karena itulah kami diperintahkan untuk kembali mengajari Tuan soal Triwikrama. Di hari pertama, Tuan harus bisa menahan efek bisa dari ular-ular ini. Tubuh Tuan akan dialiri bisa dari 1000 ular laut dan jika Tuan bisa menaklukkan tantangan ini maka di hari kedua, kami para naga akan menyemburkan racun kami pada Tuan sampai Tuan bisa mentoleransi keberadaan racun para naga. Jika Tuan sudah berhasil menaklukkan racun para naga maka Tuan harus menelan setetes Halahala. Jika Tuan berhasil bertahan hidup maka Tuan akan bisa mengalahkan Kalarudra."
"Kalau aku gagal?"
"Maka kisah Tuan di masa lalu akan terulang. Bharatayudha akan pecah kembali dan sekali lagi Tuan tidak akan hadir sebagai petarungnya."
[1]Air laut (bahasa Lamaholot)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top