BAB VII : TIM B
Markas Dakara, 18.30 WIB
Syailendra memasuki ruang rapat di mana ia mendapati semua anggota tim B : Markus, Riyadi, Janggala, dan satu tambahan anggota baru Ali, sudah siap sedia di ruangan tersebut. Semuanya, kecuali Janggala, mengenakan setelan kemeja hitam polos dengan logo Dakara di bagian lengan kirinya, khusus untuk Janggala ia hanya mengenakan kaus abu-abu. Syailendra membiarkan Janggala. Janggala tidak berbuat ulah sampai sejauh ini saja dia sudah bersyukur.
"Yak selamat sore, Saudara-Saudara sekalian. Kali ini kita akan membicarakan soal misi kita," Syailendra menekan beberapa tombol di layar holografik yang terpampang di hadapannya dan sebuah peta Indonesia tampil di layar yang tertanam di meja tempat keempat orang dari Tim B itu duduk.
Syailendra kemudian memperbesar tampilan suatu pulau. Pulau Flores dan memperbesar peta Flores sehingga mengarah ke satu kota di pesisir utaranya : Larantuka.
"Sebentar lagi Paskah. Benar kan Markus, Riyadi?" tanya Syailendra.
Kedua orang itu mengangguk, mengiyakan. Syailendra kemudian mengalihkan pandangannya pada Janggala dan Ali. "Bagi anda berdua, perlukah saya beritahu soal Paskah?"
"Perayaan yang diadakan dua hari pasca hari raya Jumat Agung alias Wafatnya Yesus Kristus dan selalu jatuh di hari Minggu kan?" jawab Ali.
"Oh, bagus kalau anda sudah tahu. Nah, khusus untuk Paskah di Larantuka, setiap tahunnya ada festival khusus," Syailendra menekan titik merah yang menunjukkan lokasi pusat kota Larantuka dan sejumlah foto dari dinas pariwisata Indonesia melayang ke sepenjuru ruangan, mendekat ke arah Markus dan tiga orang lainnya.
"Semana Santa," kata Markus.
"Ya, tampaknya anda sudah familiar dengan tempat ini, Saudara Markus?"
"Ibu saya lahir di sana, beliau selalu cerita soal Semana Santa. Tapi kami berdua," Markus menunjuk dirinya dan Riyadi, "belum pernah ke sana."
"Larantuka itu kota kecil. Untuk apa kita ke sana?" tanya Janggala, "Bukankah target Laskar Pralaya selalu masif?"
"Kecil iya, tapi jangan dipikir kota ini tidak punya posisi tawar bagi Laskar Pralaya," kata Syailendra sembari mendorong sebuah layar holografik ke layar utama. Keempat orang lainnya langsung bisa melihat detail layar itu di panel meja mereka masing-masing. Layar itu berisikan daftar detail turis asing yang keluar masuk Larantuka saban tahunnya.
"Tahun lalu Larantuka dikunjungi 100.000 turis asing pada saat Semana Santa dan di transmisi yang tim pengumpul data sadap beberapa bulan yang lalu, Larantuka mungkin saja akan menjadi target potensial. Kalian tahu kan apa yang terjadi kalau sampai terjadi insiden di Larantuka?"
"Kalau ada turis asing sampai celaka di Indonesia, reputasi Indonesia akan jadi jelek di mata internasional," kata Riyadi.
"Investor akan pergi, laju turis berkurang, beberapa negara yang tak suka pada Indonesia akan memberlakukan boikot pada produk-produk ekspor, barang impor dibatasi, pendapatan negara dari ekspor dan pariwisata potensial menjadi nol," sambung Markus.
"Negara yang pendapatannya nol takkan berdaya menghadapi kudeta. Jika kudeta sukses, hanya Tuhan yang tahu siapa yang akan Laskar Pralaya angkat untuk menggantikan presiden sialan kita itu. Kalau lebih bagus, Alhamdullilah. Kalau lebih jelek, Naudzubillah," sambung Janggala.
"Dua orang anggota Laskar Pralaya sudah terpergok mondar-mandir di sekitar Larantuka sejak sebulan ini. Cari tahu apa tujuan mereka dan hentikan mereka. Asumsikan akan ada petarung tangguh macam Dursala, atau raksasa denawa, atau ... semoga saja ini tidak terjadi ... naga."
"Sebentar Pak?" Ali mengangkat tangannya, "Saya sudah dengar soal para manusia awatara atau raksasa atau denawa. Tapi apa maksud Bapak dengan ... naga?"
Syailendra menutup layar-layar di panel mejanya dan menampilkan foto siluet seekor naga, Candavata, yang mengamuk di Toronto. "Misi terakhir Markus adalah membawa pulang Mahesa dan Bayu dari Toronto. Tapi di sana dia malah bertemu dengan lawan seperti ini."
"Errr ... kalau Bang Markus bisa kembali hidup-hidup, artinya naga itu tidak terlalu hebat kan?" kata Ali.
"Saya bisa kembali hidup-hidup karena bantuan Eyang Antaboga, yang notabene juga naga. Naga ini meremukkan seperempat kota Toronto dengan tanah lalu menghilang tanpa jejak. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak naga seperti ini ada di pihak Laskar Pralaya," Markus menoleh ke arah Ali yang duduk di deretan belakang.
"Hei, jangan khawatir. Kita berempat ini kan katanya petarung-petarung paling menakutkan di era Mahabharata. Naga seperti itu bukan masalah kan?" kata Janggala.
"Percaya diri itu baik, Saudara Janggala. Tapi terlalu percaya diri itu namanya tinggi hati," kata Syailendra, "Dan orang tinggi hati sering harus mati konyol karena sebab-sebab yang kadang sepele. Anda belum mau nama anda terpahat di batu nisan kan?"
******
"Jadi ... kenapa Tim C baru diberangkatkan ke Pontianak besok sementara kita harus berangkat hari ini?" mata Ali melotot marah ke arah Markus dan Riyadi pasca pertemuan itu selesai. Dia masih capek dan badannya masih sakit habis dihajar oleh Riyadi tempo hari. Tapi di sini dia jadi jarang tidur karena Kolonel Syailendra memaksanya 'mengejar ketertinggalannya' dari saudara-saudaranya.
"Woa, woa. Santai Mas! Ritmenya tempat ini mungkin agak terlalu cepat buat sampean, tapi percayalah. Jauh lebih baik kita berangkat malam ini daripada berangkat besok," kata Markus.
"Besok ada angin topan daerah pantai utara Australia, hujan badai bakal terjadi di daerah Nusa Tenggara. Keberangkatan kita bisa tertunda. Kalau tertunda akan jatuh korban. Kalau jatuh korban yang sengsara orang banyak." tambah Riyadi.
"Santai, Li," Janggala melingkarkan lengannya pada leher Ali, "Lama-lama juga terbiasa kok."
Markus berbelok ke sebuah ruangan dan pintu ruangan itu bergeser membuka, menampilkan sebuah ruangan senjata di mana aneka senjata dari berbagai jenis tampak berjejer di rak-rak putih berhiaskan label digital. Seorang wanita berjilbab hijau dan mengenakan jas laboratorium coklat tampak sibuk membongkar sebuah senapan laras panjang.
"Mutia, kami butuh alat pernafasan bawah air ... ," Markus menoleh ke arah Ali, "delapan. Lalu pistol kaliber 9mm dengan sensor sidik jari empat, dan kalau ada drone bawah air."
Wanita berjilbab itu langsung menghampiri sebuah rak yang di dalamnya tersusun sejumlah peralatan yang bukan senjata seperti drone berbentuk serangga atau alat pemurni air, dan perlengkapan militer non-senjata lainnya. "Alat pernafasan di bawah air, delapan," wanita itu memasukkan delapan alat snorkeling ke dalam sebuah kotak logam, pistol kaliber 9mm empat," ia mengambil empat buah pistol beserta empat kotak amunisi dan menyerahkannya pada masing-masing anggota Tim B lalu menarik sebuah kotak logam lain dari rak bawah dan menyerahkannya pada Markus, "Drone bawah air satu. Drone ini habis rusak diterjang speedboat di Pantai Rupat, Riau. Mungkin agak error tapi saat ini stok drone memang sedang habis."
Markus melirik ke arah Riyadi lalu kepada Ali lalu kembali lagi pada Riyadi. Mereka berkomunikasi tanpa bahasa, sesuatu yang lazim mereka lakukan sejak mereka jadi taruna di institusi masing-masing. Pertanyaan dan jawaban mereka isyaratkan dalam gerak tangan dan mata. Jawaban Riyadi hanya sebuah gerakan angkat bahu sebelum melirik ke arah Ali dan membuat gerakan isyarat tangan seperti tengah menampar sesuatu.
"Hei Li, kau bisa menyelam kah?" tanya Markus kemudian.
"Nggak," jawab Ali, "Kenapa?"
"Janggala?" kembali Markus bertanya.
"Nggak juga," Janggala menggeleng, "Kenapa?"
"Karena lengan drone ini agak rusak, seandainya drone ini menemukan sesuatu," kata Riyadi sembari mengangkat kotak penyimpanan drone berwarna keperakan tersebut, "kita harus menyelam dan ambil sendiri benda yang drone ini temukan. Tapi karena kalian berdua tidak bisa menyelam, maka aku dan Markus yang akan menyelam."
*****
Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, 21.00 WIB
Saat Markus dan tiga rekannya turun dari mobil anti gravitasi yang membawa mereka ke bandara, sejumlah prajurit TNI sudah tampak menunggu di depan sebuah pesawat angkut berbaling-baling yang pintu palkanya tampak terbuka.
"Apa kalian yang dari BIN?" tanya seorang prajurit berseragam hitam dan berbaret ungu.
"Ya," jawab Riyadi sembari menunjukkan layar holografik berisikan identitas dirinya dan identitas timnya kepada sang prajurit.
"Kalau begitu ayo cepat! Cepat masuk!" kata prajurit berbaret ungu tersebut.
Riyadi dan tiga rekannya bergegas masuk. Di dalam pesawat itu, ada dua deret bangku penumpang yang saling berhadapan di sisi kanan dan kiri pesawat. Semua bangku sudah tampak terisi kecuali empat bangku di deret sebelah kiri dan dekat dengan pintu palka.
Riyadi dan tiga rekannya bergegas menduduki kursi itu, memasang sabuk pengaman, sebelum akhirnya pintu palka pesawat tertutup. Pesawat itu kemudian terasa terangkat secara vertikal sebelum melaju dengan kecepatan sedang ke arah timur.
"Dengarkan!" prajurit yang tadi menyambut Riyadi di landasan tampak berdiri di antara dua deret bangku, "Kalian di sini dalam rangka tugas menjaga keamanan festival Semana Santa di Larantuka, Flores. Kita akan diterjunkan di Bukit Maria Fatima[1], Kota Larantuka, dan Laut Sawu. Waspadai kedatangan Laskar Pralaya! Mereka bisa menyaru jadi siapa saja termasuk turis atau nelayan sekalipun!"
Prajurit itu kemudian beralih kepada Riyadi, Markus, Janggala, dan Ali, "Dan kalian, tamu-tamu kami dari BIN! Tolong sebutkan nama lengkap dan asal kalian : sipil atau militer!"
"Ipda Markus Alfaris Passaharya, POLRI," jawab Markus.
"Letda Matias Hariyadi Daksa Passaharya, TNI AD," kata Riyadi.
Ali tampak diam sejenak sebelum berujar, "Ali Mahardika, Sipil."
Janggala tampak menoleh pada Markus yang duduk di sebelahnya, "Saya harus jawab apa?"
"Kau jawab sipil saja."
"Tak boleh jawab buronan polisi?"
"Saya sarankan jangan."
"Anda? Siapa anda?" tanya prajurit itu lagi.
Akhirnya Janggala berujar, "Aji Ranta Janggala, Sipil."
"Prajurit!" perwira komando yang berdiri di tengah barisan itu berseru sekali lagi, "Ingat-ingat wajah empat orang ini! Jangan tembak mereka meski ada dalam kerusuhan sekalipun!"
"Siap Kapten!" semua prajurit berbaret ungu lainnya menjawab kompak.
"Oh syukurlah," Markus menengadahkan tangannya ke atas, "berkurang sudahlah jumlah senapan yang akan tertodong ke kepala kita kalau ada konflik pecah nantinya."
"Apa itu sesuatu yang patut disyukuri?" Janggala balik bertanya.
"Syukuri saja, kau takkan pernah mau jadi sasaran tembak Marinir. Mereka lebih berbahaya daripada Brimob-Brimob yang kau lawan di Surabaya. Brimob masih ngomong dulu sebelum menembak, tapi mereka ini tembak dulu, ngomong belakangan."
*****
Larantuka, Flores, NTT, 04.45 WITA
Perjalanan menuju Larantuka memakan waktu beberapa jam. Markus melihat bahwa Ali yang duduk di samping kanannya sudah ngorok, sementara Janggala yang duduk di samping kirinya juga sudah berlayar ke alam mimpi. Ia dan Riyadi sendiri bergantian berjaga untuk tetap terbangun, sebab Kolonel Syailendra mengirim memo khusus di arloji mereka : Usahakan satu orang tetap terjaga meski di dalam pesawat pengangkut Marinir sekalipun. Para Penerawang melihat potensi pengkhianatan di tubuh semua Angkatan Bersenjata dari tiap lapisan.
Karena Riyadi dan Markus sudah biasa begadang bermalam-malam tanpa tidur, maka keduanya membuat kesepakatan untuk tidur bergantian. Dan bagi yang bertugas jaga, harus selalu menyiagakan senjatanya, baik Astra maupun senjata apinya.
Sekarang giliran Markus yang berjaga, tapi karena sang kapten Marinir sudah memberitahu bahwa tujuan mereka sudah dekat, Riyadi memilih tetap terjaga.
Pesawat itu mendarat di landasan bandara dengan mulus. Riyadi dan Markus membangunkan Ali dan Janggala untuk turun bersama-sama para Marinir itu. Kemudian seorang marinir memisahkan diri dari kelompoknya lalu mendekati Markus dan Riyadi. "Dakara?" kata prajurit itu sambil berbisik.
"Sepanjang masa!" jawab Markus dan Riyadi serempak.
"Ah, jadi benar kalian yang diberitahukan atasan saya. Perkenalkan," prajurit itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman, "Nama saya Timotius Koli Baran. Agen Dakara."
"Anda Agen Dakara tapi juga ... Marinir?" Markus agak kebingungan.
"Saya sleeper – agen tidur[2]. Tapi surat dari Dakara membuat saya diperbantukan pada anda semua," wajah pria Flores yang kulitnya lebih gelap daripada Markus sekalipun itu tampak menyunggingkan senyum lebar, memamerkan gigi-giginya yang putih, agak kontras dengan warna kulitnya.
"Sebentar, kalau anda Agen Dakara, apa spesialisasi anda?" tanya Riyadi.
"Sama seperti adik anda ini Letnan. Ilmu Ambus ditambah beberapa ilmu terlarang lainnya dari gugusan Nusa Nipa ini. Ah, tapi ini sudah pagi. Marilah kita cari makan dulu."
"Anda tahu di mana tempat makan yang tidak menguras kantong, Mas Timoti?" tanya Riyadi.
"Panggil saja saya Moti," lagi-lagi prajurit Marinir itu tersenyum.
*****
Setelah dijamu dengan sepiring besar jagung titi – semacam jagung yang digoreng tanpa minyak kemudian dipukul sampai pipih – dan sup ikan kuah asam, kelima orang itu bergegas menuju pelabuhan di mana seorang kapal motor milik penduduk lokal telah siap mengantar mereka ke tempat tujuan mereka, sebuah titik di Laut Sawu, 2 km dari bibir pantai Larantuka. Riyadi mengambil alih kemudi perahu motor itu sementara Markus mulai mempersiapkan drone yang mereka bawa.
Sesampainya di sana, Timotius langsung mengambilalih pengendalian drone bawah laut yang dibawa Riyadi. Drone berbentuk ubur-ubur dengan ukuran diameter 20 cm itu ia letakkan ke atas air lalu dengan sebuah remote kontrol ia lajukan drone itu masuk ke dalam air. Sementara itu Riyadi dan Markus mengamati gambar yang diambil drone itu melalui layar yang tertanam di koper pengangkut drone tersebut.
"Kelihatannya kok normal-normal saja ya?" komentar Markus ketika menyaksikan bahwa di perairan itu mereka hanya menemukan ganggang, karang, dan ikan lalu ganggang, ganggang, karang, ikan, ikan, ganggang, lalu ikan lagi. Tak ada yang mencurigakan di mata Markus sama sekali.
"Sebentar!" tiba-tiba Ali menyergah, "Itu apa? Kok sepertinya bukan ganggang?" tunjuknya ke sebuah jalinan bola-bola berwarna keperakan yang terjalin dengan kabel-kabel.
"Aneh," raut wajah Timotius kini tampak serius, "Ini bukan sensor untuk mendeteksi tsunami. Ini juga bukan alat pemantau biota laut. Angkatan Laut tidak pernah diberitahu soal keberadaan benda ini."
"Oke, Markus," Riyadi melemparkan tabung oksigen dan baju selam kepada Markus, "Waktunya kita menyelam."
"Hei, Letnan. Biar saya saja yang menyelam," kata Moti.
"Tidak, Moti. Kamu jaga di sini dan ... kenapa Janggala?" ujar Riyadi.
Janggala yang sedari tadi menatapi langit tampak menunjuk ke arah gunung Ile Mandiri yang menjulang di sebelah barat kota, "BMKG hari ini bilang tidak bilang kalau di Larantuka akan ada badai tapi itu apa?"
Awan gelap tampak bergulung-gulung mendekat dan tak sampai satu menit, hujan deras sudah mengguyur mereka.
"Kalian mau tetap menyelam?" tanya Ali.
"Ya!" jawab Riyadi.
"Ombaknya besar!" kata Janggala.
"Tapi kita harus tahu sebenarnya benda-benda itu apa," kata Markus.
"Sudahlah! Nyalakan saja mesinnya, biar kita bisa cepat keluar dari sini kalau cuaca makin buruk," kata Riyadi.
*****
Riyadi dan Markus pun mulai menyelam dan melintasi sekumpulan gugusan bunga karang berwarna merah-jingga-putih-hijau, sekumpulan ikan tuna berwarna biru keperakan, sekumpulan ikan yang mereka tak tahu apa namanya, sekumpulan ganggang, sekumpulan bunga karang lagi, sekumpulan ikan lagi, dan akhirnya mereka sampai di tempat yang mereka tuju. Riyadi memberi isyarat pada Markus dengan mengarahkan telapak tangan kanannya pada Markus. Sebuah tanda untuk menyuruh Markus tetap di posisinya dan berjaga.
Markus pun diam berjaga sementara Riyadi berenang ke arah deretan kabel-kabel itu. Riyadi mengamati bahwa kabel-kabel ini ternyata semacam senar dari bahan yang halus dan kuat. Skemanya yang aneh membuat Riyadi penasaran. Ia mencoba mengutak-atik satu lajur senar yang menopang tiga bola logam aneh itu dan berhasil melepaskannya dari tautan senar lainnya. Merasa sudah mendapat sampel, Riyadi memberi isyarat dengan mengacungkan jempolnya ke atas, tanda mereka harus naik ke atas.
Sayangnya perjalanan mereka kembali mendapat gangguan. Baru naik sampai kedalaman 50 meter Markus dan Riyadi ditabrak sesuatu sebesar truk yang berenang dalam air. Tanpa perlu diberitahu Markus dan Riyadi langsung tahu itu tadi musuh. Jelas tidak mungkin ada ikan atau biota laut dengan ukuran sebesar itu serta punya kecepatan renang secepat itu. Markus dan Riyadi kemudian saling memberi isyarat tanda bahaya dengan menyilangkan tangan di dada masing-masing kemudian Markus memberi isyarat jempol ke atas pada Riyadi karena ia merasa Riyadi agak dirugikan jika harus bertarung di bawah air. Riyadi sendiri tampaknya setuju dengan Markus. Selain tidak unggul dalam pertarungan bawah air, ia juga sedang membawa sampel benda yang harus ia teliti. Akhirnya Riyadi berenang sekuat tenaga untuk sampai ke atas sementara Markus tetap tinggal dalam air guna memancing perhatian si penyerang.
Sosok bayangan kehitaman itu muncul lagi, kali ini berenang-renang di sekitar Markus. Markus menyiagakan astra di tangan kirinya dan saat sosok itu berenang cepat ke arahnya, ia hantamkan Brajamusti ke kepala si sosok itu. Sosok itu terpental sesaat sebelum mengambil posisi tegak kembali. Sosok itu kemudian menyemburkan semacam tinta ke arah Markus sehingga lautan di sekitarnya menjadi gelap dan membuat Markus tidak bisa memperkirakan di mana musuhnya berada.
Sepuluh detik kemudian tanpa diduga-duga sosok misterius itu muncul dari bawah dan menarik Markus ke dalam. Markus secara refleks melepaskan kembali pukulan Brajamusti ke arah musuhnya namun karena ini di dalam air, pukulan Brajamusti yang dilepaskan Markus sedikit banyak berefek ke dirinya. Ia bisa merasakan kaki dan tangannya tersengat aliran listrik yang cukup membuatnya kesakitan. Anehnya sosok misterius ini tampak tak terpengaruh dengan Brajamusti. Markus pun terseret makin dalam ke lautan dan meski ia sudah mencoba meronta atau bergerak turun serta memukuli sosok itu ia hanya seperti memukuli jeli lunak yang sangat kenyal dan sulit robek.
Kepanikan mulai melanda Markus. Ia berpikir harusnya tadi ikut saja Riyadi ke atas. Sekarang dia malah akan mati konyol dengan ditarik makhluk tak jelas ini ke dalam lautan. Namun di saat keputusasaan mulai melanda dirinya, sekonyong-konyong ada sosok lain yang datang dari permukaan dan menusuk makhluk misterius itu dengan senjata tajam mirip pedang anggar. Sosok yang baru datang ini tidak mengenakan pakaian selam. Hanya celana pendek hitam semata. Begitu makhluk itu melepaskan Markus, sosok itu segera mencabut senjatanya dari tubuh makhluk itu dan berenang ke arah Markus lalu mendorongnya naik ke atas.
******
Sampai di permukaan Markus segera diangkat naik oleh Riyadi dan Janggala ke dalam perahu sementara penolongnya yang ternyata adalah Ali langsung naik sendiri ke atas kapal dan mengambil handuk untuk mengeringkan tubuhnya.
"Makhluk macam apa itu tadi?" kata Markus sambil terbatuk-batuk.
"Entah, yang jelas bukan makhluk baik-baik dan bukan biota laut alami juga," kata Ali, "Bang Moti tahu soal ini?"
Moti malah balik bertanya pada Markus dan Riyadi, "Apa Letnan berdua tadi melihat di area itu ada ikan?"
"Sama sekali tidak ada ikan di situ," jawab Riyadi.
"Ah, berarti kisah itu benar," kata Moti.
"Kisah apa Bang?" tanya Ali.
"Sejak tiga tahun yang lalu di area ini ada desas-desus kemunculan monster laut. Tidak ada yang tahu bentuk mereka seperti apa, tapi anak-anak dan nelayan yang berenang di area yang tak ada ikannya biasanya tenggelam tanpa jejak. Para peneliti dipanggil kemari tapi mereka cuma menyimpulkan bahwa para korban ditarik oleh suatu pusaran air yang belum diketahui persis letaknya. Tapi kami dan bapa-bapa kami tidak percaya. Lima tahun yang lalu belum ada kejadian seperti ini. Kami duga pasti ada sesuatu yang menarik mereka dan peristiwa hari ini membuktikan bahwa ini bukan peristiwa pusaran."
"Apa sebenarnya makhluk itu?" tanya Janggala.
"Dugaanku," kata Ali kemudian, "Asura bawah air."
"Maksudmu? Bukankah seluruh makhluk air tunduk pada dewa laut, Batara Baruna?" kata Riyadi lagi.
"Ya, memang. Tapi waktu aku masih di universitas, seorang temanku menceritakan soal dokumen abad ke 9. Sebuah prasasti yang menceritakan sebuah pakem wayang yang sudah punah. Di situ diceritakan bahwa ada sekelompok Asura yang memang pernah mengacau lautan. Pimpinan mereka bernama Kalarudra."
"Oh bagus. Kita dapat banyak musuh di darat dan sekarang kita dapat musuh di laut. Asyik!" Janggala berkomentar sarkastik, "Tinggal tunggu saja ada Asura bersayap yang bisa terbang dan menyerang kita dari angkasa maka koleksi musuh kita komplet!"
[1]Dulu bernama Bukit Sandominggo
[2]Sleeper atau agen tidur, adalah agen rahasia yang disusupkan / direkrut dalam suatu instansi tapi tidak melakukan tindakan intelijen sama sekali sebelum ada perintah untuk 'bangun'
P.S. Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa kok bab ini munculnya lama? Sebenarnya bab ini sudah selesai separuh sejak tiga bulan yang lalu. Tapi author kemudian disibukkan dengan kegiatan me-reboot naskah Contra Mundi - Putra Bumi untuk suatu keperluan dan di bab ini serta bab selanjutnya author akan membahas cukup banyak elemen Larantuka. Riset di bab ini dan bab berikutnya yang lumayan makan waktu adalah riset soal bahasa isyarat para penyelam serta mencari analogi tentang kemunculan Kalarudra. Perlu teman-teman ketahui bahwa pakem wayang di Jawa saja ada sampai 20 versi. Dan nama Kalarudra yang adalah musuh utama Antasena muncul dalam berbagai lakon dan banyak versi asal-usul. Ada yang mengatakan Kalarudra adalah jelmaan Batara Kamajaya yang mencobai Arjuna saat hendak meminang Sembadra / Subadra (ibunya Abimanyu) dan ada pula yang mengatakan bahwa Kalarudra adalah lawan utama Dewa Baruna yang karena selalu seimbang tiap kali bertarung dengan Baruna maka Baruna mengutus Antasena untuk melawannya.
Jadi maaf kalau bab-bab selanjutnya mungkin munculnya lama. Huehuehue >.< .
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top