BAB IX : MANDOR
Markas Dakara, Pejaten Timur, 22.00 WIB
"Perubahan rencana," kata Syailendra ketika masuk ke ruang kontrol di mana Nakula dan Sadewa masih berada di depan sebuah layar simulasi operasi.
"Ada apa Pak?" Nakula mengalihkan pandangan matanya dari layar simulasi yang menampilkan citra medan kota Pontianak lengkap dengan gedung-gedung dan fasilitas umum yang ada di kota itu.
"Para Penerawang menemukan sesuatu yang lain," kata Syailendra, "Target mereka bukan hanya Pontianak tapi juga Mandor."
"Mandor?" dahi Sadewa mengernyit, "Kota itu tidak punya infrastruktur apa-apa! Markas militer tidak ada, tambang juga tidak ada, pengolahan kayu juga sudah tutup. Mau apa mereka ke sana?"
"Kau tahu 'Pembantaian Mandor' Sadewa?"
"Nah," Nakula dan Sadewa sama-sama mengangkat kedua tangan mereka, "Kami lahir di Kutai, besar di Kutai dan Denpasar, lalu kerja di Lombok serta Pekanbaru, Bapak, kami sama sekali tidak tahu soal sejarah di Kalimantan Barat."
"Pada akhir tahun 1941, Jepang menginvasi Kalimantan Barat. Mendarat di Miri yang sekarang jadi wilayah Malaysia lalu menerobos masuk sampai Pontianak. Mulai tahun 1942 Kalimantan Barat diduduki Jepang. Tapi ... pada periode tahun 1943-1944, entah siapa yang memulainya, sekelompok perwira Tokkeitai – polisi militer angkatan laut Jepang – yang ingin dapat promosi pangkat mulai menyebarkan rumor tidak benar. Mereka menuduh ada persekongkolan di kalangan masyarakat pribumi Kalimantan Barat yang hendak memberontak pada Jepang. Setelah itu mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan. Tiap daerah diberi kuota jumlah orang yang harus ditangkap dan dihukum mati. Para korban kebanyakan tak bersalah, namun akhirnya ditangkap juga. Mereka dibawa dengan truk atau kapal dengan kepala disungkup kain apa saja, kemudian dibawa ke Mandor, Sungai Durian, atau Ketapang lalu dipaksa kerja jadi romusha."
"Maaf Pak? Apa istimewanya? Di Pulau Jawa dan Sumatra juga banyak orang yang dipaksa jadi romusha dan mati di medan kerja paksa?" tanya Nakula.
"Di Mandor, romusha yang sudah dianggap tidak kuat bekerja atau dianggap terlalu intelek akan dibantai dengan ditusuk bayonet atau dipenggal pakai katana. Dan jumlah korbannya, Nakula, 50.000 orang, hanya dalam waktu setahun saja."
Wajah Nakula dan Sadewa langsung mengeras.
"Kalian itu balian[1], kalian tahu kan apa jadinya jika di suatu tempat terlalu banyak terjadi pembantaian massal?"
******
Mahesa yang sebenarnya masih terlelap langsung terbangun akibat guncangan kasar dari bodyguard kakaknya yang bernama Kartika itu. "Ayo bangun Mas Mahesa, kalian berdua sudah ditunggu. Ada perubahan rencana. Kita berangkat secepat mungkin."
Mata Mahesa mengerjap-ngerjap karena dirinya masih mengantuk. Namun beberapa saat kemudian ia akhirnya berhasil bangun juga. Baru saja ia bangkit berdiri, ia merasakan sesuatu sudah dilempar ke arahnya.
"Itu tas perbekalanmu, Hes!" kata Bayu dengan suara tergesa lalu ia lemparkan juga satu setel seragam militer dan sebuah rompi anti peluru kepada Mahesa, "Pakai itu juga!"
"Uuuu ... jam berapa sekarang?" tanya Mahesa.
"Jam 12 malam," jawab Bayu.
Mahesa langsung mengganti pakaiannya dengan seragam hitam-hitam yang dilemparkan Bayu tadi. Ia juga kenakan rompi anti pelurunya kemudian ia konsentrasikan kekuatannya pada gelang di tangannya dan busur Sarotama pun terbentuk sempurna, seolah tak pernah patah ataupun rusak. Setelah yakin bahwa busurnya baik-baik saja, Mahesa mengembalikan bentuk busur itu ke bentuknya semula, sebuah gelang logam.
"Ayo!" Bayu berseru dari balik pintu memanggil Mahesa dan Mahesa dengan agak malas memanggul tas perbekalannya dan berjalan keluar kamar.
Mahesa pikir mereka akan dibriefing dulu di ruang kontrol, tapi ternyata Mahesa salah. Mereka langsung dibawa ke sebuah mobil van anti peluru dan di dalam mobil itu hanya ada dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mahesa, Bayu, dan Kartika duduk di bangku sebelah kanan sementara Nakula, Sadewa, dan Kapten Sarwadi sudah duduk di bangku sebelah kiri.
"Maaf untuk perubahan rencananya, tapi kalian harus segera sampai di Mandor, wilayah kota kecamatan yang letaknya 80 km dari kota Pontianak. Sementara kami berdua yang akan mengurus soal Laskar Pralaya di Pontianak. Kapten Sarwadi akan bertindak sebagai komandan kalian bertiga," kata Nakula dengan nada cepat dan terburu-buru.
"Maaf Pak, tidakkah ini terlalu cepat bagi Mas Bayu dan Mas Mahesa untuk terjun langsung ke medan tempur?"
"Maaf Non Kartika, tapi situasinya jadi amat mendesak sekarang. Di Mandor, ada monumen peringatan 50.000 korban tewas yang dibantai Toketai – polisi militer AL Jepang – dan Kampetei – polisi militer AD Jepang – saat perang kemerdekaan dahulu. Dunia kita ini, kalian tahu, punya akses ke dunia lain yang orang sebut alam astral, dimensi astral, atau kita orang Hindu biasa sebut Asuraloka, tempat kediaman para Asura."
"Sebentar Pak Nakula," tiba-tiba Kartika menyela, "jadi di Mandor ada gerbang menuju Asuraloka?"
"Sayangnya ya," kata Sadewa, "dengan jumlah korban Pembantaian Mandor yang saat itu mencapai 50.000 jiwa hanya dalam setahun saja, akan sangat mudah membuka gerbang antar dua dunia hanya dengan sedikit ritual sederhana."
"Apa jadinya jika itu terjadi Pak Nakula dan Sadewa? Maaf, jujur saya tidak terlalu paham soal ini."
"Mudahnya Kapten Sarwadi, bayangkan saja jika segenap iblis dari Jahannam sampai Al-Haawiyah yang tugas awalnya adalah menyiksa manusia yang tak taat pada Tuhan, tiba-tiba memutuskan untuk 'berwisata' ke dunia manusia."
"Kedengarannya ti-dak ba-ik," ujar Sarwadi.
"Memang," kata Sadewa.
"Oke!Kita sama sekali tidak tahu apa yang mampu dilakukan oleh para Asura dari dunia lain ini. Asura yang tinggal di dunia kita saja sudah cukup buruk dan susah dilawan, apalagi dengan kedatangan teman-teman mereka ini. Karena itu kalian diizinkan menembak mati siapapun yang kalian anggap berbahaya. Paham? Tembak mati!" kata Nakula.
"Paham Komandan," jawab semua yang ada di sana serempak.
Menembak mati orang? Kalau menembak mati Asura tentu Mahesa masih tega tapi jika menembak mati orang? Dia sama sekali belum pernah membunuh orang dan dia tidak tahu apakah ia akan tega melakukannya.
Ibunya adalah orang yang mempraktekkan ahimsa, salah satu prinsip Hindu yang artinya 'tanpa kekerasan'. Suatu ajaran yang dipopulerkan Mahatma Gandhi. Ibunya pantang menyakiti apalagi membunuh hewan, ibunya pantang bergosip atau membicarakan kejelekan orang lain, ibunya juga pernah marah besar pada Mahesa kecil ketika Mahesa saat itu mengetapel tiga burung pipit yang tengah bertengger di dahan pohon mangga di rumah kakeknya. "Burung itu juga punya kehidupan, Hes! Memangnya kamu mau diketapel seperti itu juga andaikan burung-burung itu bisa membalas kamu?" Dan sebagai hukumannya, Mahesa dilarang main video game atau nonton siaran televisi selama dua hari.
Meski Mahesa menganggap paham ibunya itu sulit diterapkan tapi sejak itu Mahesa tidak pernah lagi main ketapel. Sebagai gantinya, ayahnya mengajarinya soal panahan sampai panahan menjadi kegemarannya sampai sekarang.
"Kita akan segera tiba di Bandara Halim," kata sopir van tersebut.
Kata-kata sang sopir membuat Mahesa kembali tersadar dari lamunannya.
"Ini, makan," Bayu menyodorkan sebungkus roti pada Mahesa, "Roti tinggi kalori[2] sebagai ganti sarapan. Kalau mau kopi, ini juga ada."
"Makasih," Mahesa langsung menyantap roti itu. Roti itu sendiri sangat padat, agak keras, namun isinya melimpah. Ada daging ayam, telur, keju, wortel, kentang, daun seledri dalam jumlah yang tidak lazim, tidak seperti roti isi yang dijual di kebanyakan toko.
"Kopi, Hes?" Kapten Sarwadi menyodorkan secangkir kopi panas pada Mahesa dan Mahesa langsung menerimanya.
"Terima kasih Kapten," kata Mahesa.
"Kalau kurang, masih ada lagi. Satu roti ini beri daya sekitar 4200 Kalori, tapi pengguna astra seperti kalian mungkin butuh lebih banyak lagi," kata Sadewa.
"Aku tambah," kata Bayu lagi.
"Ini," Sadewa menyodorkan sebungkus lagi pada Bayu, "Hes! Baiknya kau juga tambah. Kali ini kejadian 'kehabisan tenaga' tidak bisa ditoleransi."
"Ya Om," dengan patuh Mahesa mengambil sebungkus roti lagi dan cepat-cepat menghabiskan roti pertamanya.
*****
Setibanya di Bandara Halim, Mahesa dan kelompoknya langsung diarahkan menuju sebuah pesawat angkut militer berwarna hijau tua yang di dalamnya sendiri sudah dipenuhi sejumlah personel militer. Nakula dan Sadewa mengarahkan Mahesa dan tiga orang rekannya untuk duduk dan pasang sabuk pengaman sementara kedua dokter kembar itu berbicara serius dengan orang yang tampak seperti komandan para personel itu.
Sesaat kemudian Nakula mengeluarkan citra holografik kota Pontianak dan kecamatan Mandor dan kembali bicara serius dengan sang komandan yang dari ucapan serta gerak tubuhnya tampak tidak terlalu suka dengan permintaan Nakula. Meski pada akhirnya sang komandan akhirnya menangguk setuju setelah pesawat diumumkan akan berangkat.
"Sang komandan, hanya mau mengalokasikan 2 peleton untuk Mandor," kata Nakula saat ia dan Sadewa mengambil tempat duduk di samping Kartika dan Sarwadi.
"Dua peleton lebih dari cukup, Komandan," kata Kartika.
"Mari berharap saja pasukan di Mandor sana tidak cukup kuat pertahanannya," kata Sadewa.
Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, 03.00 WITA
Perjalanan mereka memakan waktu dua jam sebelum akhirnya sang komandan pasukan itu bangkit dari kursinya dan memanggil nama 16 personel, "Enam belas orang ini akan terjun di Mandor, membantu misi Tim C dari BIN. Mulai saat ini komandan kalian adalah Kapten Sarwadi. Paham?"
"Paham Kapten!" jawab enam belas orang itu serempak.
"Kalian turun di sini, pasang parasutnya," kata Sadewa.
Mahesa dan Bayu langsung mengaktifkan modul parasut di tas perbekalan mereka. Seorang prajurit kemudian berdiri di dekat pintu palka dan berseru, "MANDOR!" sambil menekan sebuah tombol untuk membuka pintu palka.
Mahesa, Bayu, Kartika, dan Sarwadi pun langsung berdiri dan mendekat ke arah pintu palka. Sesaat kemudian petugas itu menyerukan, "Kapten Sarwadi, Agen Kartika, GO!" dan Sarwadi serta Kartika langsung melompat turun.
"Kopral Wongso, Kopral Wijayanto, GO!" seru petugas itu beberapa detik setelah Sarwadi dan Kartika melompat.
Selang beberapa detik kemudian petugas itu memanggil lagi, "Mahesa dan Bayu! GO!" Mahesa dan Bayu pun langsung melompat turun.
Dalam perjalanan turun, Mahesa bersumpah ia mendengar dua orang yang terjun setelah mereka terdengar menyanyikan sebuah lagu yang kedengarannya seperti mars prajurit tapi dengan lirik diplesetkan. Mahesa hanya mendengar sedikit petikannya tapi itu nyaris saja membuatnya tertawa di udara.
Lihat sekeliling
Hindarkan tabrakan antar teman
Awasi komandan
Jangan sampai kau mendarat dengan mengangkanginya
Nanti bisa dihukum
Kalau modul parasut gagal
Aktifkan modul cadangan
Kalau gagal juga
Tarik parasut manual cadangan
Kalau gagal juga
Serahkan nyawamu pada Tuhan
Dan istri atau pacarmu pada orang lain
Dan kalau kau jomblo
Ya sudah nasibmu!
Di luar dugaan Bayu malah tertawa keras-keras mendegar lagu itu. "Lagu apaan itu Bapak Tentara?"
"Mars Persiapan Terjun Payung yang kami ubah jadi Balada Prajurit Jomblo Bermasa Depan Suram!" kata prajurit di atas sana sambil tergelak.
Pembicaraan di udara tadi tak bisa berlangsung lebih lama lagi, modul parasut Mahesa dan Bayu mulai aktif dan payung terjun pun mengembang dari tas perbekalan mereka. Sesaat kemudian modul itu mulai memperketat tarikan gesper di seragam mereka berdua sehingga posisi kaki mereka dipaksa membentuk posisi yang sedemikian rupa agar dapat mendarat di atas tanah dengan selamat.
Pendaratan mereka sendiri berlangsung sangat mulus untuk orang yang tidak pernah melakukan terjun payung. Terima kasih atas kecanggihan teknologi pada modul parasut dan seragam ini.
Sesaat kemudian pendaratan mereka disusul dua prajurit yang menyanyikan lagu pelesetan tadi. Kemudian disusul 12 prajurit lainnya. "Cek senjata!" perintah Sarwadi.
Mahesa dan Bayu langsung turut mengeluarkan senjata api mereka. Mahesa dengan sebuah pistol mitraleur dan Bayu dengan sebuah senapan laras panjang. Prajurit lainnya juga mengaktifkan dan memeriksa senjata mereka.
"Yak, misi kita kali ini adalah masuk ke kota kecamatan Mandor dan menyisir daerah sekitarnya untuk melihat apakah Laskar Pralaya melakukan tindakan mencurigakan di sini. Karena operasi ini mendadak, kita harus pinjam milik warga setempat. Kemudian ... saya ucapkan selamat pada anda semua karena untuk sementara tidak ada yang harus serahkan pacar atau istrinya ke orang lain."
Semuanya tergelak dan Sarwadi membiarkan mereka tertawa selama beberapa saat sebelum melanjutkan lagi, "Yang tidak punya istri atau pacar silakan terima nasib anda dulu dan berusaha kembali hidup-hidup supaya dapat istri atau pacar. Yang punya istri juga harus berusaha kembali hidup-hidup biar bisa ngeloni istrinya waktu pulang nanti. Yang punya pacar jelas wajib kembali supaya nggak jadi arwah penasaran waktu ceweknya direbut orang lain. Oke?"
"Oke Pak!" jawab mereka semua serempak.
"Oke, sekarang kita ke arah barat, cari kendaraan!"
Rombongan itu segera berjalan ke arah barat dan setelah berjalan agak lama, di sana mereka bertemu dengan sejumlah penduduk sipil yang beberapa di antaranya memegang senjata api dan senjata tajam. Beberapa personel militer juga tampak di sana.
Sarwadi kemudian maju mendekati seorang personel militer, "Ada apa ini, Sersan?"
Prajurit itu tampak menjawab dengan terbata-bata, wajahnya banjir peluh, dan giginya gemeletuk tak teratur, "Kami dikirim dari Kodam Mulawarman, Banjarmasin, untuk membantu situasi di Pontianak, tapi tim kami diminta oleh Mabes TNI untuk memeriksa daerah Kabupaten Landak, Pak."
"Kapan kalian datang?"
"Tiga jam yang lalu Pak, lalu terjadilah ... terjadilah ... peristiwa itu."
"Peristiwa apa?"
Seorang warga, seorang pria berperawakan kukuh dan berkumis tebal, mendekat, "Tim mereka dipecah dua Pak, satu tim berjaga di Mandor, satu lagi mengintai di sekitar monumen korban Pembantaian Mandor. Setengah jam kemudian tim pengintai tiba-tiba kembali kemari sambil menembaki warga sipil dan teman mereka sendiri. Para anggota yang berjaga di sini terpaksa menembak mati teman mereka namun saat para militer itu tewas sosok-sosok Ponti Beranak muncul dari dalam jasad-jasad mereka dan merasuki anggota tim penjaga yang ada di sini. Adu tembak terjadi lagi, dan sersan ini jadi satu dari 10 korban yang selamat."
"Ponti Beranaknya?"
"Ada seorang barian – dukun Dayak – yang kebetulan ada di sini dan berhasil mengusir mereka. Tapi barian itu bilang jumlah Ponti Beranaknya semakin banyak di monumen sana."
"Apa tak ada tim pengintai yang selamat?"
"Sayangnya tidak ada, Pak."
"Kapten Sarwadi," ujar Kartika, "Dokter Nakula tadi sempat menitipkan sesuatu pada saya untuk mengatasi kejadian semacam ini."
"Apa itu?" tanya Sarwadi.
"Rajah Kalacakra dan sejumlah gelang genitri. Bolehkah saya bagikan itu pada para prajurit?"
"Bagikan!"
Mahesa dan Bayu masing-masing langsung menerima sebuah gelang japamala dari bahan biji genitri[3] dan selembar lempengan logam bergambar bentuk bintang segidelapan.dengan tulisan aksara Jawa di sekelilingnya. Kartika juga membagikan lempeng serupa namun sebagian tulisannya berupa aksara Arab, kepada para prajurit yang mengawal mereka.
"Ini ...," Bayu membolak-balik lempengan itu, "Tulisannya apa ya?"
"Yamaraja – Jaramaya, Yamarani – Niramaya, Yasilapa – Palasiya, Yamiroda – Daromiya, Yamidosa – Sadomiya, Yadayuda – Dayudaya, Yaciyaca – Cayaciya, Yasihama – Mahasiya," ucap Mahesa.
"He?" Bayu dan beberapa prajurit mendelik ke arah Mahesa.
"Artinya apa tuh Mas?" tanya seorang prajurit.
Kartika langsung menjawab pertanyaan itu, "Yamaraja – Jaramaya artinya 'Semoga Yang Menyerang Jadi Pengasih'. Yamarani – Niramaya artinya 'Semoga Keburukan Menjauh'. Yasilapa – Palasiya artinya 'Semoga Rasa Lapar Terpuaskan'. Yamidosa – Sadomiya artinya Semoga Yang Berdosa Menjadi Berjasa, Yadayuda – Dayudaya artinya Semoga Yang Berperang Menjadi Damai, Yaciyaca – Cayaciya artinya Semoga Yang Celaka Menjadi Sehat Sejahtera, dan Yasihama – Mahasiya artinya Yang Merusak Menjadi Membangun."
"Apa yang ada di tangan Saudara-Saudara sekalian adalah Rajah Kalacakra. Rajah perlindungan yang dipakai kakek dan nenek moyang kita dahulu untuk menetralisir kekuatan negatif yang tidak menguntungkan," sambung Sarwadi.
"Maaf Komandan, tapi bukankah ini syirik?" celetuk seorang prajurit.
"Yang beranggapan bahwa memakai benda ini syirik saya harap kuat mental untuk baca ayat kursi sambil terus bergerak dan menembak musuh. Bisa?"
"Komandan, kita kemari hanya untuk memusnahkan Laskar Pralaya kan? Bukan untuk melawan kuntilanak," jawab prajurit itu tadi.
"Bagaimana kalau kuntilanak itu berteman dengan Laskar Pralaya?"
"Ah, Komandan ini suka bercanda rupanya," jawab prajurit itu namun jelas dirinya mulai merasakan aura Sarwadi menunjukkan ekspresi tidak senang.
Lalu sekonyong-konyong ada suara tawa mengikik 'hihihihi' yang membuat bulu kuduk berdiri terdengar dari kejauhan. Mendengar suara tawa itu, Bayu dan Mahesa langsung mengaktifkan astra mereka dan keduanya secara bersamaan langsung menodong prajurit yang menolak memakai Rajah Kalacakra tadi dan berseru secara serempak, "Pak Tentara, merunduk!"
Dua anak panah bercahaya melesat dari busur mereka dan menghantam sesuatu yang tak kasat mata. Sebentar kemudian mulai tampak sosok wanita berbaju putih yang melayang dan tidak memijak tanah tengah memekik pilu. Rambut hitam panjangnya yang berkibar kesana-kemari menampakkan sosok wajah yang kulitnya telah keriput dan kelabu seutuhnya.
"A-apa itu?" para prajurit itu pun serentak melangkah mundur, menjaga jarak.
Empat detik kemudian kuntilanak itupun hancur menjadi serpihan partikel kelabu.
"Dari mana kalian tahu kalau Ponti Beranak itu sudah dekat?" tanya Sarwadi.
"Aturan dasar ketika berhadapan dengan kuntilanak, Kapten," kata Bayu sambil membetulkan letak kacamatanya, "kalau suara kuntilanak terdengar jauh sudah pasti kuntilanaknya ada tidak jauh di belakang kita, sementara kalau suaranya terdengar dekat sekali, kuntilanaknya masih jauh."
"Bagus," Sarwadi bertepuk tangan, "Prajurit, kalian dengar apa anak itu tadi? Camkan baik-baik! Karena jika tidak kalian bakal ditembak mati oleh teman sendiri. Di medan laga nanti tidak ada rohaniwan atau paranormal yang bisa tolong kalian. Paham?"
"Ya Komandan!"
*****
Dengan menggunakan sebuah van dan dua buah jip milik peleton yang mendahului mereka tiba di sini tadi, rombongan itu bergegas ke arah monumen peringatan Peristiwa Mandor. Monumen itu sendiri berada di daerah pusat kecamatan Mandor, di tengah sebuah lapangan rumput dalam rupa sebuah tugu marmer putih dengan patung burung garuda emas di puncaknya dan sejumlah relief yang menggambarkan peristiwa romusha serta eksekusi masyarakat di mana dasarnya dicat warna hitam pekat dan sosok-sosok manusianya dicat warna keemasan.
Di tengah lapangan itu sendiri tampak setidaknya sepuluh orang prajurit berpakaian seragam loreng hitam-coklat tua dengan lencana bersimbol aneka senjata yang mengelilingi sebuah lingkaran merah, simbol Laskar Pralaya, tersemat di dada kiri mereka.
Begitu melihat rombongan besar datang, mereka langsung melepaskan tembakan. Sarwadi yang memimpin rombongan langsung berseru di tc-earphonenya, "Merunduk, berlindung!"
Dan semua anggota rombongan, tak terkecuali Mahesa dan Bayu langsung keluar dari sisi kendaraan yang tidak dihujani tembakan sambil sesekali membalas tembakan sembari berlindung di balik kendaraan mereka.
Dan di tengah-tengah adu tembak itu suara derai tawa menyeramkan nan menyebalkan dari makhluk bernama Ponti Beranak alias kuntilanak itu kembali terdengar.
"Bayu, Mahesa, musnahkan cewek-cewek ganjen dari kuburan itu!" perintah Sarwadi.
Sebetulnya kalau Mahesa pikir lagi, Sarwadi harusnya ikut tampil di panggung Stand Up Comedy Indonesia, daripada pimpin pasukan. Orang itu punya istilah aneh-aneh untuk tiap hal yang mereka temui di sini, tapi karena suara kuntilanak itu makin samar maka Mahesa tahu waktunya sudah tak banyak.
"Astra ... Sarotama!" Mahesa mengaktifkan busur astranya dan langsung mencari-cari keberadaan sosok wanita berjubah putih itu. Ia melihat satu di sebelah kiri dan ia langsung lepaskan anak panahnya ke arah sosok itu. Sosok itu musnah setelah sebelumnya mengeluarkan jeritan pilu nan mengerikan.
Di sisi lain, Bayu dengan busur Taksakanya juga tengah menembaki kerumunan kuntilanak yang tiba-tiba datang dari angkasa. Jumlahnya benar-benar banyak, mungkin ada sekitar 20 sosok.
Lalu peristiwa yang tak diinginkan pun terjadi, sosok tentara yang tadi menolak memakai rajah tiba-tiba didekati sesosok kuntilanak dan dalam sekejap saja sosok kuntilanak itu berubah rupa menjadi sosok asap dan merasuk ke dalam sosok tentara itu.
"Irwan kerasukan!" seorang prajurit lain berteriak tapi belum sempat seruannya ditanggapi oleh rekan-rekannya tiba-tiba saja sosok Irwan bangkit dan menembak rekannya yang berteriak tadi.
Namun dengan segera Kartika mengarahkan senapannya ke arah prajurit Irwan dan membuat dua lubang di dahinya. Sosok Irwan pun rubuh tanpa daya ke jalanan beraspal dan sosok kuntilanak itupun keluar dari raga Irwan.
Mahesa langsung menghancurkan sosok kuntilanak yang baru keluar itu lalu kembali fokus pada gelombang kuntilanak yang seolah tiada habisnya itu.
Lain lagi dengan Bayu, remaja itu merasa aneh dengan aksi tembak-tembakan antara para prajurit itu dengan Laskar Pralaya di tengah monumen tersebut. Untuk aksi pertempuran 18 orang melawan 10 orang, aksi tembak-menembak ini terlalu lama.
"Mbak Kartika! Apa ada lawan yang sudah rubuh?" tanya Bayu sambil terus mencoba mengatasi gelombang serangan kuntilanak yang datang dari arah selatan.
"Baru satu, tapi teman-teman yang lain mereka berdatangan," jawab Kartika.
"Ini aneh," kata Sarwadi sembari mengutak-atik mata kanan bioniknya, "prajurit yang dibawa mundur ke garis belakang oleh teman-temannya tiba-tiba detak jantungnya muncul lagi. Panas tubuhnya juga naik. Apa mereka pakai obat doping untuk merangsang para prajuritnya bertempur lebih efektif?"
Raut wajah Kartika langsung mengeras ketika menyuruh Sarwadi menunduk, "Kapten, kita harus menyerang secara lebih frontal. Pakai senjata eksplosif seperti granat kalau perlu."
"Kau gila ya? Kita bisa merusak monumen kalau pakai senjata eksplosif di sini!"
"Monumen hancur dan protes sejarawan atau budayawan itu urusan nanti. Yang penting sekarang kita harus hancurkan raga orang-orang ini."
"Kenapa?"
Kartika belum sempat menjawab ketika seorang penembak jitu dari grup mereka berseru, "Komandan, ada yang aneh dari para prajurit lawan!"
"Apa?" tanya Sarwadi.
"Saya baru saja menghancurkan kepalanya, tapi demi Tuhan Pak, saya melihat orang itu sekarang berjalan tanpa kepala!"
"Apa?" Sarwadi dan Kartika sama-sama terhenyak. Untuk sesaat Mahesa dan Bayu juga sempat kaget dan menoleh sebelum mereka kembali pada tugas mereka menahan para kuntilanak itu.
"Kita tidak perlu pakai senjata eksplosif. Kita perlu pakai astra," kata Sarwadi pada Kartika yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh wanita tersebut.
"Prajurit!" kata Sarwadi kemudian, "Lindungi kami!" Sarwadi kemudian menarik kalung logam berliontin ukiran pedang sundang yang melingkar di lehernya lalu mengubahnya menjadi sebuah pedang sundang yang memancarkan aura merah sementara Kartika mengubah kalung emas bermata batu jingganya menjadi busur panah keemasan.
"Astra ...," Sarwadi melemparkan sundang miliknya ke tangan kanannya lalu menggores telapak tangan kirinya dengan sundang tersebut, "Raktabija!" kemudian ia cipratkan tetesan darahnya ke tanah berumput di depannya. Dari setiap percikan darah itu muncul sosok-sosok 'Sarwadi' baru berjumlah 10 orang.
Para prajurit itu pun terpana selama beberapa saat sebelum Sarwadi berseru, "Sekarang!" dan ia beserta 10 kembarannya serta Kartika maju menyerang para Laskar Pralaya yang sedari tadi tidak juga tumbang itu.
Di sisi lain Mahesa dan Bayu mendapat masalah baru. Para kuntilanak itu tampak mundur ke balik kompleks rumah penduduk namun Bayu dan Mahesa merasa enggan mengejar mereka.
"Kita kejar?" tanya Bayu.
"Firasatku nggak enak. Mending jangan."
"Sama. Aku juga merasa nggak enak."
Baru saja mereka selesai bicara soal perasaan tidak enak itu, muncullah satu sosok yang selama ini tidak mereka sangka-sangka.
"Dewa Ratu! Mereka ini makhluk apaan?" komentar Bayu ketika melihat ada sosok-sosok berwujud tengkorak hidup yang keluar dari dalam tanah. Ada aura gelap pekat menyelimuti leher dan dada mereka yang tak lagi berdaging. Mereka semua mengenakan pakaian seragam coklat keabu-abuan khas Tentara Kekaisaran Jepang masa lalu. Di tangan mereka semua tergenggam senapan bayonet atau pedang katana.
"Oke ... jadi ceritanya sekarang bakal ada pertempuran antara prajurit Kekaisaran Jepang lawan prajurit Indonesia masa modern nih?" celetuk Mahesa.
Seorang dari mayat hidup yang tampaknya adalah komandan mereka meneriakkan perintah dalam bahasa asing yang sepertinya adalah 'tembak', namun karena senapan mereka kosong maka tak ada prajurit yang menembak. Setelah marah-marah sejenak dengan umpatan "Bakka!" dan "Bagero!" sang komandan menarik katana miliknya dari sarungnya lalu berseru, "BANZAAAII!!!"
Mahesa dan Bayu langsung mencabut granat tangan yang tergantung di sabuk mereka dan melemparkannya ke arah kerumunan mayat hidup itu. Dua granat itu meledak dengan sukses dan menghancurkan setidaknya enam dari 11 mayat hidup itu.
Mahesa langsung melepaskan Ayatana, anak panah berhulu ledak, ke arah satu mayat hidup dan mayat itu meledak menjadi serpihan. Sementara Bayu mengubah astranya menjadi bentuk senjata serang jarak dekat, sebuah sundang keperakan.
Bayu menerjang ke arah sang komandan dan dua bilah pedang itu pun beradu. Percikan api terbentuk ketika bilah senjata Bayu dan bilah katana sang komandan mayat hidup itu bergesekan untuk waktu yang cukup lama.
Aroma mulut mayat hidup itu sangat tidak enak. Cacing dan kumbang tanah telah bersarang di mulut dan matanya, membuat penampilannya cukup menjijikkan, tapi Bayu harus akui tenaga si komandan mayat hidup ini kuat meski tingginya agak lebih pendek sedikit daripada Bayu.
Komandan itu lalu menyentakkan katananya, melakukan gerakan mengayunkan pedang setengah lingkaran dan hal itu nyaris saja membuat Bayu kehilangan keseimbangan akibat efek kejut dari sentakan pedang tadi. Namun dengan segera kembali memijakkan kakinya yang sempat oleng tadi, Bayu berhasil menahan serangan katana sang komandan.
Di sisi lain, Mahesa dibuat kerepotan oleh sosok hantu yang juga memegang katana. Mahesa tidak seperti Bayu, ia tidak punya senjata serang jarak dekat. Memang ada pisau belati di sabuknya namun ia biasanya menggunakannya sebagai senjata lempar, lagipula pisau melawan katana jelas sulit menang karena ia memang tidak terlatih dalam pertarungan jarak dekat.
Satu-satunya senjatanya adalah busur panahnya. Busur ini cukup keras dan padat untuk menangkis serangan pedang seperti milik sang prajurit mayat hidup namun si prajurit ini gesit menghindari sabetan busur Mahesa. Meski begitu prajurit itu tampaknya cukup sadar untuk menjaga jarak agar Mahesa tidak punya kesempatan menarik tali busurnya sehingga Mahesa terpaksa terus-terusan menangkis serangan si mayat hidup. Namun pada akhirnya si mayat hidup itu membuat kesalahan dengan melompat menghindar lebih jauh daripada lompatannya semula. Melihat kesempatan ini Mahesa langsung melepaskan Ayatana dan sosok mayat hidup itu pun meledak menjadi serpihan.
Di sisi lain Bayu akhirnya berhasil mematahkan katana sang komandan Jepang itu dan menusukkan senjatanya ke bagian yang seharusnya menjadi rongga dada tempat jantung bersemayam. Komandan Jepang itu pun hancur setelah sebelumnya meneriakkan kata 'banzai' tiga kali.
Sementara itu Sarwadi dan sepuluh klonnya tampak tengah menebasi satu-demi-satu kepala prajurit Laskar Pralaya yang menghadang jalannya. Peluru yang dilontarkan musuh tak dapat mengenainya karena di tangan kanannya tertanam sebuah modul perisai kinetik yang memungkinkan tangan kanan Sarwadi membuat selubung medan energi yang mampu menangkis serangan peluru. Setiap kali pihak lawan memberondong mereka dengan tembakan, Sarwadi mengaktifkan modul itu dan Kartika akan berlindung di balik Sarwadi sebelum kembali memanah musuh. Klon Sarwadi sendiri ada yang beberapa luka parah namun klon-klon itu sangat tangguh, mereka tampaknya sama sekali tidak merasakan rasa sakit dan sulit sekali untuk tumbang.
Saat musuh-musuh mereka mulai berguguran dan menyisakan satu musuh saja yang sedari tadi tampak berdiri menghadap tugu peringatan tiba-tiba saja suasana menjadi mencekam.
Angin tiba-tiba bertiup amat kencang dan terjadi gempa bumi selama beberapa waktu, membuat 14 prajurit TNI yang tersisa itu mulai panik. Lalu dari tengah-tengah monumen itu tiba-tiba saja terdengar suara keras. Seperti klakson kapal namun dengan rentang frekuensi lebih tinggi dan memekakkan telinga. Para prajurit, Sarwadi, Kartika, dan tak terkecuali Mahesa dan Bayu terpaksa menutup telinga mereka karena tak tahan dengan suara mendengung itu.
Lalu terdengarlah suara raungan dari sekumpulan orang yang bukan lagi berjumlah 10 atau 20 orang melainkan ribuan. Suara raungan itu terdengar bersahut-sahutan dari lantai dasar monumen sebelum akhirnya tugu monumen itu meledak dan keluarlah sejumlah besar asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa.
"Kalian terlambat, Dakara!" kata sosok pria yang sedari tadi berdiri menghadap monumen dan memunggungi Sarwadi serta Kartika, "Dengan ini kami selangkah lebih dekat dengan tujuan kami," pria itu kemudian membalikkan badannya dan berdiri menghadap ke arah musuh-musuhnya.
Apa yang dilihat oleh 18 pasang mata itu nyaris tidak mereka percayai. Mereka melihat seorang pria yang seluruh tubuhnya dipenuhi sisik kasar berwarna kelabu yang kadang-kadang dihiasi bintik putih mirip kudis. Seluruh kulitnya dari telapak tangan hingga kepala dalam kondisi seperti itu. Usianya sulit diterka, namun Sarwadi memperkirakan usia orang ini sekitar 30 sampai 40 tahunan.
"Jadi Drestadyumna," pria itu tersenyum kepada Sarwadi, "Kau kembali lagi? Untuk apa? Menghentikanku?"
Sarwadi sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh pria itu. Ia sedikit banyak beranggapan pria ini sedikit mengalami gangguan kejiwaan.
"Aku tidak kenal kamu, pemberontak! Dan aku juga tidak kenal Drestadyumna ini! Namaku Sarwadi Ambo Dalle!"
"Tapi senjata di tanganmu itu adalah astra milik Drestadyumna. Ah dewa-dewa di atas sana pasti berpikir sekumpulan pahlawan akan cukup menghentikan aku dan tuanku ya? Sayangnya tidak," pria itu kemudian tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam mulutnya ke arah 18 musuhnya itu.
Suara yang melengking ini tidak saja membuat kuping Sarwadi dan timnya sakit melainkan juga mencabut beberapa batang pohon bahkan menggulingkan mobil-mobil yang mereka tumpangi tadi. Suara melengking itu berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya berhenti dan sosok pria tadi menyelimuti dirinya dengan asap hitam dan merubah dirinya menjadi sosok garuda hitam raksasa yang terbang ke angkasa.
Sarwadi dan Kartika masih termangu menatap angkasa ketika mereka disadarkan oleh seruan Bayu dan Mahesa, "Kapten! Mbak Kartika! Tolong! Ada prajurit yang tertindih kendaraan kita!"
"Ah!" Sarwadi segera bangkit dan berlari ke arah kendaraan yang terguling dan melihat di sana ada seorang prajurit yang kakinya terjepit kendaraan van dan seorang lagi tertindih seluruh tubuhnya di bawah van.
"Ayo semua ke sini!" seru Sarwadi, "Bantu kami angkat van ini!"
Dengan bantuan seluruh anggota rombongan, mobil van itu berhasil diangkat namun kondisi kedua prajurit itu sangat buruk. Prajurit yang kakinya tertindih itu tampaknya mengalami patah atau retak tulang sementara yang tertindih seluruh tubuhnya tadi mengalami syok dan tak sadarkan diri.
"Bagaimana ini, Kapten?" tanya seorang prajurit pada Sarwadi.
"Kita kembali ke Landak, lalu minta diekstrasi dari sini."
"Bagaimana dengan misi kita?"
"Misi kita adalah untuk melihat apa yang Laskar Pralaya rencanakan di sini, tapi entah bagaimana aku harus menjelaskan hal yang aku lihat barusan!"
[1]Orang dengan kemampuan supranatural dari kalangan masyarakat Bali
[2]Normalnya mengandung 4200 Kalori, standar jumlah kalori untuk para tentara garis depan. Kebutuhan kalori harian penduduk sipil sendiri sekitar 2000 Kalori.
[3]Genitri, Jenitri, atau Rudraksha adalah biji tanaman Elaeocarpus ganitrus yang biasa digunakan oleh umat Hindu untuk membuat japamala (tasbih). Genitri juga dipercaya memiliki kekuatan untuk menetralisir kekuatan jahat serta memiliki daya penyembuh. Indonesia adalah produsen genitri nomor satu di dunia. 70% kebutuhan genitri dunia dipasok dari Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top