BAB IV : KROMOSOM Y

Markas Dakara, 04.30 WIB

Markus baru saja bangun tidur dan hendak minum kopi di ruang makan ketika dia melihat Kolonel Syailendra dan kakaknya Riyadi menggotong seorang pria muda berpakaian atasan putih dan celana panjang hitam yang tengah tak sadarkan diri ke ruang rekreasi.

"Mana Janggala, Kus?" tanya Syailendra.

"Errr, kalau nggak salah dia masih tidur, Kolonel."

"Bangunkan dia," kata Syailendra.

Setelah air panas tertuang di gelasnya, Markus segera meletakkan gelas kopinya dan berjalan memasuki kamar yang ia tempati bersama Janggala dan Riyadi.

"Oi! Janggala! Oi!" Markus menggoyang-goyang tubuh Janggala yang masih meringkuk di dalam selimut.

"Oh Bu Annisa ... nanti sajalah Bu. Sekarang kan masih hari Minggu."

"Ibu Annisa matamu!" tiba-tiba Markus menarik selimut Janggala, "Nglindur kamu!"

"Bujug buset!" Janggala terkejut ketika melihat sosok Markus di hadapannya, "Demi semua bibik cerewet penjaga warung kopi yang ada di negeri ini, ngapain situ bangunin saya jam segini Pak Polisi?"

"Kolonel panggil kamu, dia ada di ruang rekreasi."

"Aduh," Janggala mengusap-usap rambutnya yang berantakan lalu berjalan ke arah wastafel, cuci muka, kemudian berjalan ke arah ruang rekreasi. Di sana Sang Kolonel dan Riyadi tampak berdiri di depan pintu dan Sang Kolonel mendekati Janggala sambil menyerahkan sebuah pad tablet dan sebuah arloji komunikator kepada Janggala, "Tugasmu satu : bujuk orang yang ada di dalam sana untuk bergabung dengan kita."

"Siapa memangnya yang ada di dalam sana?" tanya Jangala.

"Nanti kamu juga tahu sendiri," Riyadi menyunggingkan senyum tipis.

Janggala tidak banyak bertanya lagi, ia meraih pad dan arloji komunikator yang Syailendra sodorkan dan masuk ke dalam ruang rekreasi untuk mendapatkan sebuah kejutan.

"Ali?" Janggala terkejut melihat temannya duduk di meja panjang ruang rekreasi dengan kondisi tangan diborgol dengan borgol laser rangkap dua, satu di pergelangan tangan dan borgol satunya lagi dipasang sekitar 10 cm dari borgol pertama.

"Janggala! Dewa Ratu! Jadi kamu yang suruh mereka culik aku?"

"Culik? Demi bibiku yang aku tidak pernah tahu namanya, apa maksudmu dengan penculikan?"

"Dua temanmu itu menyaru jadi polisi, menyerang aku, aku balas serang pakai Giri Kedasar, tak tahunya salah satunya bisa melapisi diri dengan sisik metal dan punya cambuk rantai lalu berantem sama aku sampai aku timbul-tenggelam di sungai. Yang satu lagi nembak aku pakai peluru bius pas aku lagi terbang untuk meloloskan diri. Lalu aku jatuh, lumpuh, lalu pingsan. Bangun-bangun aku sudah ada di Bandara Halim Perdanakusumah, dibawa pakai mobil ke tempat ini. Apa sih maksudmu?"

"Aku nggak tahu. Aku saja dipaksa kok berada di sini."

"Terus mereka siapa?"

"Intel," jawab Janggala lirih sembari mengaktifkan pad yang ia bawa dan menatapi sejumlah informasi yang terhampar di layar pad tersebut.

"Dan errrr ... uuumm ... aduh," Janggala menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sebelum menatap Ali sekali lagi.

"Kenapa?"

"Gimana ngomongnya ya?"

"Eh, kamu ya. Sudah teman lama dibiarin diborgol kayak gini, malah pakai ngomong nggak jelas lagi?" mata Ali melotot.

"Intinya," Janggala menarik keluar satu layar holografik dari pad tersebut dan menyodorkannya ke arah Ali, "mereka akan lepaskan borgol ini kalau kamu mau kerjasama dengan mereka."

"Apa? TIDAK, T-I-D-A-K! Jawaban saya TIDAK! Kamu gila ya? Dulu kamu sendiri yang bilang kalau aparat macam gini nggak bisa dipercaya sekarang kamu malah kerja sama mereka. Tidak, meski aku dijebloskan dalam penjara 20 tahun sekalipun aku ogah kerja pada intel. Titik!"

"Meski kamu disiksa?"

"Tidak."

"Meski hartamu dirampas?"

"Tidak."

"Alamak, aku ini berhadapan dengan Ali Mahardika atau Pramoedya Ananta Toer sih?"

Ali diam.

Janggala mendesah kemudian berdiri dan melepaskan kaus abu-abunya lalu menunjukkan luka-luka bekas terjangan peluru yang ia dapat beberapa waktu yang lalu. "Kamu lihat ini, Li? Komplotan perusahaanku itu mengkhianati aku, menembaki aku, menceburkan aku ke Kali Mas sehingga aku nyaris tenggelam. Lalu tiba-tiba saja mereka datang menolong aku, memulihkan aku, terus paksa aku kerja di sini. Tapi Li, aku bisa jamin satu hal. Mungkin mereka tak bisa dipercaya tapi menurutku kompensasi yang mereka tawarkan untukmu lumayan bagus."

"Oh ya? Bebas dari penjara asal aku tutup mulut?"

"Bukan, mereka menjanjikan akan membuat perusahaan pengembang dan perusahaan tambang yang mengincar desamu tutup selamanya asal kau mau bantu mereka."

"Eh?" Ali memiringkan kepalanya, merasa salah dengar dengan ucapan Janggala barusan.

"Nggak percaya?" Janggala menyodorkan sebuah diagram dan skema kepada Ali. Ali membacanya selama beberapa saat dan menemukan bahwa diagram itu membentuk jaring-jaring kerjasama antara pihak perusahaan tambang dan pihak pengembang villa yang mengincar tanah-tanah penduduk di desanya kepada satu perusahaan besar yang sangat populer di negeri ini : Satyawati Corporation.

"Mereka ... minta aku bekerjasama menghancurkan Satyawati Corporation?" tanya Ali ragu-ragu.

"Mereka punya tujuan yang sama dengan kita. Aku, mau balas dendam pada induk perusahaan yang sudah suruh aku ikut dalam serangan umum Laskar Pralaya ke kota Surabaya. Kau mau selamatkan desamu. Sementara mereka ingin perusahaan penyokong dana ke Laskar Pralaya ini dihancurkan. Aku rasa ini bukan tawaran yang buruk."

"Wow, wow, bentar. Kamu ikut bergabung dalam Laskar Pralaya?"

"Terpaksa. Perintah atasan."

"Temen baik saya selama ini bergabung dalam Laskar Pralaya?"

"Biasa aja napa?"

"Terus sekarang kamu gabung sama intel karena merasa dikhianati Laskar Pralaya? Sejak kapan seorang Janggala jadi begitu pragmatis?" tanya Ali, "Kau ... tidak habis dicuci otak kan?"

"Sama sekali tidak."

"Apa buktinya?"

"Kau," Janggala mendekat ke arah Ali dan menunjuk matanya dengan dua jari tangan kanannya, "coba lihat ke dalam mata saya. Apa amarah saya itu masih ada di mata saya atau sudah sirna?"

Ali menatap kedua mata Janggala dan ia menemukan bahwa sorot mata penuh kemarahan khas seorang Janggala masih ada di sana.

"Baiklah. Tampaknya aku tidak punya pilihan kan?" akhirnya Ali mengalah, "Aku akan kerjasama dengan organisasi yang namanya ...," Ali melirik ke arah layar holografik yang disodorkan Janggala tadi, "Dakara ini, tapi aku ingatkan ya, aku mau karena kau yang minta dan sarankan bukan karena aku yang mau."

"Oke, itu kabar bagus."

"Sekarang bisa tolong lepaskan borgolku?"

"Kamu harus tanda tangan form itu dulu," kata Janggala.

"Aish!" Ali mendekatkan dirinya ke layar itu, lalu menekan tombol berbentuk pena dan dengan sebuah proyeksi pena di tangan kanannya ia menandatangani surat persetujuan menjadi anggota Dakara.

"Satu lagi," Janggala kembali mengenakan kausnya sambil memijit-mijit dagunya, "Kamu paham kan soal kromosom Y."

"Kromosom Y adalah yang membuat kita jadi manusia laki-laki," jawab Ali.

"Dan kromosom Y unik karena diturunkan langsung dari ayah ke anak, dari anak ke anaknya, dan dari si anaknya ke generasi berikutnya."

"Kenapa kita tiba-tiba jadi ngomongin kromosom Y?" tanya Ali.

Janggala memandangi layar padnya sambil "Errr yah, begini ... kalau semisal ada orang yang punya kromosom Y identik dengan dirimu kamu panggil orang itu apa?"

"Sebentar, jangan bilang kalau .... mereka tahu keberadaan ayah kandungku?"

Janggala mendesah, "Mereka tahu, tapi cuma keberadaan ayahmu dan mohon maaf. Beliau sudah mangkat beberapa tahun yang lalu. Tapi ... saudara-saudaramu ada di sini."

"Oh ya?" mata Ali berbinar.

"Lalu saya punya kabar baik dan kabar buruk."

"Apa itu?"

"Kabar buruknya, ya. Salah satu saudaramu adalah orang yang sama dengan orang yang menghajarmu di desa. Orang yang punya sisik ular logam dan cambuk rantai itu. Kabar baiknya, saudaramu yang satu lagi orangnya cukup menyenangkan meski kamu mungkin akan bertanya-tanya ... apa miripnya dia dengan kamu."

******

"Halo, adikku sayang," sapa Riyadi pada Markus yang masing mengaduk-aduk gelas kopinya dengan mata yang terkantuk-kantuk.

"Hmm? Ada apa Mas?" tanya Markus sembari mendekatkan gelas kopi ke mulutnya. Kesadarannya belum terkumpul sampai 100%.

"Kau lihat pemuda yang aku bawa tadi?" tanya Riyadi.

"Hum? Iya. Siapa dia? Laskar Pralaya?"

"Ohohohoh, bukan adikku sayang. O Demi Tuhan, kalau Papa masih hidup dan lihat aku bawa pemuda itu kemari aku jamin beliau bakal histeris."

"Hmmmm," Markus masih menjawab sekenanya.

"Eh kamu dengarkan aku dong!"

"Aku dengarkan, tapi nyawaku belum terkumpul 100% nih. Mana sampeyan pakai kalimat yang berbelit-belit lagi."

"Oke, jadi begini ya Adikku Sayang. Manusia lelaki memiliki kromosom X dan kromosom Y. Aku, kamu, dan Papa kita berbagi kromosom Y yang sama – atau setidaknya nyaris samalah. Lalu ... pemuda yang aku bawa tadi juga punya kromosom Y yang sama dengan kita."

"Hmmmm," Markus masih saja belum paham apa maksud Riyadi.

"Itu artinya dia, aku, dan kamu punya papa yang sama."

Seteguk kopi baru saja melintas melewati kerongkongan Markus, tapi belum sampai tegukan itu masuk ke lambung Markus, seteguk kopi itu berubah lintasan masuk ke dalam paru-paru dan hidung Markus, membuat Markus tersedak.

Markus berlari ke wastafel, batuk-batuk selama beberapa menit, sebelum menatap Riyadi dengan tatapan tidak percaya.

"Kamu mau bilang kalau dia itu Antasena, Mas?"

"Bisa bernafas dalam air, punya astra namanya Giri Kedasar yang bisa menghasilkan racun hewan laut macam ikan buntal, dan tinjunya lumayan keras meski nggak sekeras Brajamusti ... aku rasa ya. Dia Antasena."

******

Pagi-pagi begini Bayu sudah bangun karena ada sedikit keributan di ruang rekreasi yang letaknya ada di atas kamar yang ia tempati bersama Mahesa. Mahesa sendiri masih terlelap, mungkin kelelahan, karena Mahesa sendiri baru masuk kamar pukul 10 malam.

Bayu berusaha mencari tahu apa yang terjadi namun baru saja ia membuka pintu kamar, dilihatnya Janggala, berjalan tergesa ke arah kamarnya.

"Ada apa Bang? Kok di atas rame?" tanya Bayu.

"Ada insiden pertemuan saudara tiri yang ... agak dramatis," kata Janggala.

"Sedramatis apa?"

"Lebih dramatis daripada pertemuan kita bertiga. Oke?" jawab Janggala ketus.

Bayu pun diam. Ya, berdasarkan hasil tes DNA, Bayu tahu kalau dia ternyata masih punya saudara satu ayah lagi yakni Janggala. Tapi berbeda dengan Mahesa, Bayu agak takut dengan Janggala. Janggala sering bersikap ketus dan cuek pada dirinya dan Mahesa. Itu sebabnya Bayu berusaha menjaga jarak dengan Janggala. Mahesa pun demikian. Sementara Mandala, meskipun dari hasil uji DNA ternyata bukan putra ayah kandung mereka di masa kini, kedekatan emosional mereka di kehidupan masa lalu masih terbawa sampai sekarang. Alhasil Bayu dan Mahesa jadi lebih dekat pada Mandala daripada dengan Janggala. Lucunya, Mandala malah sering mendekati Janggala dan khusus untuk Mandala, entah kenapa Janggala tidak pernah bersikap kasar.

"Ehm sori ... tapi Kolonel menyuruh aku pindah kamar kemari," kata Janggala.

O-ow. Bayu sudah merasakan firasat yang tidak baik.

"Karena Bang Markus dan Bang Riyadi lagi reuni dengan adik bungsu mereka," sambung Janggala lagi.

Bayu masih diam. Dipandanginya satu dipan yang tersusun di atas dipan Mahesa. Ia merasa sekarang lebih baik dia pindah ke atas dipan Mahesa saja daripada ambil resiko harus tidur berdekatan dengan Janggala.

"Si-silakan Bang," Bayu mempersilakan Janggala masuk, "Silakan tidur di sana, bi-biar saya naik ke atas saja."

"Makasih," kata Janggala dengan nada halus, "Makasih banyak."

******

Setengah jam yang lalu Ali Mahardika adalah orang asing di tempat ini. Tapi sekarang ia tiba-tiba ditempatkan satu kamar dengan dua orang asing yang ternyata saudara tirinya sendiri. Yang satu adalah seorang opsir polisi gadungan yang ternyata adalah letnan TNI AD bernama Riyadi dan yang satu lagi adalah opsir polisi sungguhan bernama Markus. Mereka berdua berbagi fam – nama keluarga – Maluku yang sama Passaharya. Sekarang Ali mengerti maksud Janggala dengan 'mempertanyakan di mana kemiripannya dengan kedua saudaranya.'

Riyadi lebih mirip orang Jawa, sementara Markus kentara sekali kalau dia keturunan orang Indonesia Timur. Campuran Maluku dan Flores katanya. Kombinasi yang sempurna untuk menghasilkan sosok petugas polisi berkulit hitam dan bertampang seram yang menurut Ali bakal membuat preman manapun berpikir dua kali kalau mau macam-macam dengannya.

"Demi Tuhan, kenapa sekarang saya berasa seperti anak pungut?" ujar Markus dengan logat Indonesia Timur, "Dua saudara saya tidak ada yang mirip saya."

Riyadi tertawa, "Kita berdua mirip kok, Kus. Sama-sama aparat, sama-sama berambut cepak, kulitnya sama-sama hitam cuma saya putihan sedikit. Nah kalau Ali ini lho beda jauh. Culun sendiri."

"Culun eh? Tapi orang culun ini bisa bikin sampeyan kesulitan sampai misuh-misuh segala lho!" balas Ali.

Markus terpana, "Mas Riyadi sampai misuh? Selamat Li, anda telah membuat keajaiban dunia yang ke-12!"

"Apa kakak sulung saya ini adalah seorang penindas waktu masih remajanya?" tanya Ali sinis.

"Penindas sih bukan, tapi tukang palak sih iya," kata Markus sambil tertawa.

"Sembarangan saja kau ini!" Riyadi pura-pura marah.

"Tukang palak?" dahi Ali mengernyit.

"Tukang palak cinta, hahahaha. Rekor! Sepanjang SMA dia sudah 39 kali nembak cewek, 38 kali ditolak," kata Markus.

"Yang satu?" tanya Ali.

"Diterima," jawab Riyadi, "tapi sebulan kemudian diputus."

"Kenapa?" tanya Ali.

"Entahlah, habis ganti kacamata, itu cewek putusin saya begitu saja."

"Rabun dekatnya sudah sembuh, Mas," lagi-lagi Markus terbahak sendiri. Tapi kali ini Ali pun ikut tertawa.

Dia tidak terlalu suka dengan aparat tapi dua saudaranya ternyata aparat. Yah ... tampaknya dia harus belajar menyesuaikan diri dengan kesintingan dua aparat teman sekamarnya sekaligus saudaranya ini, seperti halnya Janggala belajar menyesuaikan diri dengan Dakara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top