BAB III: SARWADI AMBO DALLE
Markas Dakara, Pejaten Timur, 11.30 WIB
"Coba gerakkan tangan kirimu ke kanan, menyentuh pundak kanan," perintah seorang wanita berkacamata dan berpakaian jas laboratorium putih kepada Mahesa. Mahesa melakukan perintah wanita itu dan menyentuh pundak kanannya dengan tangan palsunya bioniknya.
"Sekarang coba angkat gelas itu," kata wanita itu lagi sambil menunjuk sebuah gelas berwarna putih transparan yang ada di atas meja kerjanya.
Mahesa berusaha mengangkat gelas itu tapi lengan kirinya gemetaran, pegangannya tidak kuat dan akhirnya gelas itu terjatuh dari genggaman tangan kirinya dan menggelinding di lantai.
"Maaf Dok," kata Mahesa ketika sadar genggamannya terlepas.
Dokter wanita itu hanya tersenyum, "Nggak apa-apa. Jadi masalahnya cuma pada kegiatan menggenggam benda ya?"
Mahesa mengangguk, "Iya Dokter Indah."
"Oke itu bisa dilatih lagi nanti, lalu sambungan antara bahu kiri dengan lengan prostetikmu bagaimana? Ada keluhan seperti rasa gatal atau apa?"
"Sedikit Dok."
Dokter Indah menghela nafas sejenak sebelum berdiri dan berjalan ke lemari obat lalu memberi Mahesa sebotol obat, "Ini obat anti alergi, minum ini kalau terasa gatal atau nyeri saja. Lalu," dokter itu melirik ke arah jam yang ada di ruangannya, "temui Kapten Sarwadi di gelanggang latihan."
"Baik Dok, terima kasih," kata Mahesa sembari meraih botol obat itu dengan tangan kanannya lalu berjalan ke pintu keluar setelah sebelumnya menyambar jaket merah miliknya yang tergantung di gantungan jaket ruangan itu.
Di luar, Mahesa mengenakan kembali jaket merahnya sembari terus menyusuri lorong menuju gelanggang latihan. Ia melewati sebuah musala yang tampak sepi dan hanya diisi satu orang yang tengah shalat. Orang itu adalah seorang pria berusia 40-tahunan dalam balutan kaus tanpa lengan dan celana pendek warna hijau serta tampak sangat mencolok karena kaki dan tangan bagian kanannya telah diganti lengan prostetik.
Saat tiba di gelanggang latihan, ia menyaksikan Bayu tengah membimbing Mandala menggenggam sebuah pistol kaliber 9mm. Remaja SMP itu tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan pistol sebesar itu dan Mahesa merasa agak keterlaluan kalau sampai Mandala disuruh menembak dengan pistol kaliber sebesar itu.
"Kok Mandala nembak pakai kaliber 9mm sih? Kenapa nggak pakai yang 6 atau 7mm saja?" tanya Mahesa pada Bayu.
"Di sini nggak ada kaliber yang lebih rendah. Semuanya 9mm," kata Bayu, "dan Mandala memang disuruh latihan nembak pasca pemasangan implan tempo hari."
"Implan? Buat apa?" tanya Mahesa.
Bola logam yang selalu melayang di seputaran Mandala, produk yang biasa dijuluki NIB – Neuro Interpreter Ball – atau untuk mudahnya Interpreter saja, tampak melayang ke arah Mahesa dan memancarkan sebuah layar holografik bertuliskan : Masalah Pembekuan Darah Pembuluh Darah Otak.
Bayu menambahkan, "Jadi waktu kamu kolaps tak sadarkan diri pasca dihajar Jayadratha kemarin, Mandala juga ikut kolaps pasca dapat visi soal nasibmu. CT Scan menunjukkan bahwa dia punya masalah pembekuan darah di salah satu pembuluhnya. Karena itu dia dioperasi bareng dengan kamu. Waktu dioperasi itu, para dokter menambahkan implan untuk mengontrol Interpreter biar dia bisa 'ngomong' lewat tulisan."
"Terus kenapa dia latihan nembak juga?" tanya Mahesa lagi. Setahunya cuma Bayu dan dirinya saja yang disuruh latihan menembak hari ini.
Aku ingin ikut. Interpreter Mandala menjelaskan pada Mahesa.
"Dia ingin ikut dan Om Nakula izinkan saja," kata Bayu.
Mandala menembak sasaran sekali lagi, bahunya agak tersentak ke belakang meski pistol itu sudah ia genggam dengan kedua tangannya. Tembakannya agak meleset, alih-alih mengenai jantung sasaran yang berbentuk mirip manusia itu, Mandala cuma menyerempet perut sasarannya saja. Tapi Mandala terus mencoba lagi dan lagi.
"Oke! Oke! Ayo kita mulai latihannya!" tiba-tiba terdengar suara keras seorang pria. Bayu dan Mahesa langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Frekuensi suaranya nyaris sama keras dengan mantan pelatih mereka, Robert Adipapa, hanya saja tanpa logat Indonesia Timur. Mahesa melihat bahwa pria yang masuk itu adalah pria yang sama dengan yang shalat di musala tadi.
"Perkenalkan, saya Sarwadi Ambo Dalle dan saya diminta Dokter Nakula dan Sadewa untuk memperluas wawasan anda berdua soal senjata api secara umum sekaligus ... ," kata-katanya sempat terhenti saat melihat Mandala yang masih bermain-main dengan pistol kaliber 9mm itu.
"Adek!" katanya dengan suara menggelegar keras. Cukup keras untuk membuat Mahesa dan Bayu tertegun dan Mandala menatap ketakutan ke arah Sarwadi.
"Kamu dicari Nakula di kantornya," kata Sarwadi lagi, "Tolong letakkan pistolnya ya?"
Sebenarnya itu hanya kalimat pemberitahuan, tapi volume suara Sarwadi yang keras tampaknya membuat Mandala syok sehingga remaja itu cepat-cepat keluar dari ruangan itu tanpa berkata sepatah kata pun lagi.
"Maaf kalau, ehem, suara saya macam macan jantan yang daerahnya dimasuki macan jantan lain," kata Sarwadi, "Sekarang ...," Sarwadi berjalan ke arah sebuah panel dan membuka sebuah layar holografik yang menambilkan deretan skor yang di atasnya bertuliskan nama Mahesa dan Bayu, "skor menembak kalian cukup bagus. Tapi kali ini saya minta anda melakukan sesuatu yang beda."
Sarwadi kembali ke hadapan Mahesa dan Bayu lalu menyerahkan dua pucuk pistol kaliber 9mm pada keduanya, "Kalian tembak sasaran itu dengan tangan kiri kalian. Target kalian adalah 20 sasaran kena tepat di jantung dalam waktu 60 detik. Jika gagal, ulangi terus sampai waktu istirahat makan siang!"
*****
Satu hal yang Mahesa sukai dari Sarwadi adalah orang itu tidak pernah menerapkan hukuman push-up atau lari meski target yang ia tetapkan belum tercapai. Barangkali inilah bedanya Robert Adipapa yang cuma prajurit biasa, dengan Sarwadi yang katanya sudah kapten, lebih tahu batas dan 'lebih santun' meski volume suara keduanya tidak jauh beda.
Meski begitu karena belum terbiasa dengan tangan prostetiknya, tembakan Mahesa selalu meleset bahkan sampai istirahat makan siang, ia cuma bisa menembak 5 dari target 20 sasaran. Pasca makan siang, betapapun kerasnya Mahesa mencoba tetap saja ia belum memenuhi target. Sementara itu Bayu sudah menyelesaikan targetnya hanya setengah jam setelah latihan tahap dua setelah jam makan siang dilakukan. Meski Bayu tetap tinggal di sana sampai sore bersama Mahesa dengan terus menembaki sasaran, tapi Mahesa sekarang jadi dongkol bukan main pada Bayu.
Ia iri pada Bayu yang cepat belajar dan cepat menguasai teknik baru. Bayu bahkan sudah melampaui target Sarwadi sore ini dengan menembak 35 sasaran dalam satu menit dengan menggunakan tangan kirinya. Menjelang Maghrib, Bayu bahkan sudah bisa mengenai 60 sasaran dalam satu menit.
"Bravo!" Sarwadi tampak bertepuk tangan dan tersenyum puas kepada Bayu. Kerja bagus Bayu, dan untuk Mahesa, masih ada hari esok. Oke, ini sudah menjelang malam, silakan kalian mandi dan makan lalu istirahat."
"Boleh saya tinggal di sini lebih lama lagi?" Mahesa meminta izin pada Sarwadi.
Sarwadi terdiam sesaat sebelum mengangguk, "Silakan, tapi saat bel jam makan malam dimulai saya tidak mau kau hilang lagi seperti tempo hari. Mengerti?"
"Ya Pak."
Bayu melambaikan tangannya pada Mahesa, "Duluan ya, Hes," lalu pergi meninggalkan Mahesa.
Sementara itu Mahesa kembali menghadapi sejumlah sasaran lalu mulai melepaskan tembakan ke sasaran itu satu demi satu. Setelah satu menit berlalu Mahesa mendapati bahwa dia belum mencapai target. Kesal dan capek, Mahesa meletakkan pistol latihannya dengan kasar ke tempatnya sebelum beranjak pergi.
Namun tiba-tiba di hadapannya muncul Sarwadi. Kapten senior itu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Mahesa yang kaget dengan kehadiran Sarwadi tiba-tiba saja menjadi takut dimarahi karena ia sudah memperlakukan peralatan milik Dakara dengan kasar.
"Mahesa," ujar Sarwadi dengan nada perlahan.
Mulut Mahesa terkunci, kakinya gemetaran, tengkuk dan punggungnya berkeringat.
"Saya tahu masalahmu," kata Sarwadi sembari menyodorkan sebuah kursi kepada Mahesa, "Duduk."
Mahesa duduk dengan ragu lalu menatap Sarwadi lekat-lekat. Sarwadi kembali berdehem, lalu mulai berujar, "Kamu tahu Hes, saya dulu juga seperti kamu," ia terdiam sesaat sebelum melanjutkan, "Saya dulu punya teman satu peleton di Batalion Raider. Namanya Letnan Andi Aziz. Hubungan dia dan saya seperti kamu dan Bayu. Teman tapi penuh rivalitas. Aziz jauh lebih kuat, lebih pintar, lebih cekatan dari saya. Karena itulah dia yang dipilih jadi komandan peleton saya sementara saya jadi anak buahnya semata. Saya iri hati luar biasa waktu itu dan pada sebuah pertempuran dengan Laskar Pralaya, saya, yang ingin dapat nama dan membuktikan bahwa saya bisa melampaui Aziz akhirnya nekat memimpin tim dua yang saya pimpin menyerang markas musuh mendahului tim satu yang dipimpin Aziz. Tapi ... saya tak memperhitungkan perlawanan yang diberikan oleh Laskar Pralaya itu. Laskar Pralaya menyebar menjadi enam pasukan kecil dan empat pasukan tiba-tiba mengepung tim yang dipimpin Aziz sementara dua pasukan mengepung tim saya. Jika kami mengikuti rencana dan bertemu di titik perjanjian maka ada kemungkinan kami bisa bertahan dan memukul mundur mereka. Tapi karena saya ceroboh dan tak bertanggungjawab akhirnya tim Aziz gugur tanpa sisa sementara tim saya dihujani granat sampai salah satu granat meledak tepat di samping saya."
"Allahu Akbar, Tuhan Maha Besar dan Dia masih sayang pada saya. Saya jadi satu-satunya orang yang selamat dalam pertempuran itu. Walau karena peristiwa itu saya terpaksa kehilangan kaki kanan," Sarwadi menepuk-nepuk kaki kanannya, "tangan kanan," Sarwadi mengangkat tangan kanan prostetiknya, "dan wajah kanan," Sarwadi memukul-mukulkan tangan kanannya ke dahi kanannya dan terdengar suara seperti metal beradu dengan metal.
"Dengan tubuh yang sudah cacat begini, saya diberhentikan dari TNI AD. Waktu saya kembali ke rumah, saya tidak tahu saya harus ngomong apa pada istri saya. Istri saya hanya diam dan menangis melihat kondisi saya yang seperti itu. Saya katakan pada istri saya bahwa saya minta maaf karena sudah jadi suami yang tidak berguna dan delapan bulan setelah itu saya habiskan dengan terus merutuki diri. Saya bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri saja."
"Tapi kemudian datang tawaran dari BIN, dari senior saya, Jafar Hamadi, yang saat itu masih berpangkat Kolonel. Saya ditawari menjadi agen lapangan BIN untuk wilayah Eropa Barat dengan pos utama di Brussel, Belgia. Karena merasa tak ada tawaran lain akhirnya saya bersedia 'dilatih ulang' oleh BIN."
"BIN memberi saya tangan, kaki, dan mata prostetik dan mengikutkan saya pada pelatihan agen mereka di level pemula. Dalam proses pelatihan itu saya ketemu Aziz-Aziz lain yang lebih muda dari saya dan lebih berkompeten. Mereka juga ada yang poligot, bisa bicara lebih dari 5 bahasa asing. Sementara saya cuma bisa bahasa Inggris, Indonesia, dan Makassar. Saya nyaris putus asa tapi instruktur saya saat itu, orang yang sekarang jadi kepala Dakara, Kolonel Syailendra, menyadarkan saya bahwa tak masalah kalau kita 'lebih payah' dari yang lain asalkan kita memberikan yang terbaik dan terus mau belajar."
Mahesa masih terpaku, ia merasa tengah disindir oleh Kapten Sarwadi dan tiba-tiba ia merasa malu karena ia sebegitu irinya pada Bayu. Bayu memang lebih hebat darinya, itu benar. Tapi Bayu juga yang menolong dirinya di Stadion Vancouver sebulan yang lalu, Bayu juga yang membimbingnya keluar dari Vancouver. Bayu juga yang menandatangani surat persetujuan tindakan operasi untuk dirinya meski Bayu mengaku sempat tidak bersedia karena terus memikirkan masa depan Mahesa tanpa tangan asli. Bayu telah melakukan banyak hal untuk dirinya, kenapa dia harus marah pada Bayu? Lagipula ia dan Bayu sejatinya kan saudara satu ayah? Ah, Mahesa kini mendesahkan nafas panjang.
"Kamu kehilangan tangan kirimu, kamu juga nyaris kehilangan ibumu, kamu syok. Kamu kaget dan kecewa, tapi jangan sampai kekecewaanmu itu membuat kamu jadi lebih kalah lagi Mahesa. Dari pengalaman saya tadi, saya berharap kamu tidak membenci rivalmu itu. Jangan seperti saya yang cuma bisa minta maaf tiap tahunnya di makam Aziz dan teman-teman saya yang lain karena keegoisan saya. Jangan!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top