BAB I : MANGKU ALI
Bandara Adi Sumarmo, Surakarta, 05.00 WIB
Riyadi dan Syailendra baru saja turun dari pesawat yang membawa mereka ke Surakarta. Dari briefing singkat yang diterimanya sebelum berangkat tadi, Riyadi mendapati bahwa untuk misi kali ini tugasnya adalah 'membawa paksa' seorang tersangka pembunuhan di sebuah desa di kaki Gunung Slamet ke markas Dakara di Semarang. Tapi sebelum beranjak ke sana, Kolonel Syailendra menyatakan bahwa mereka harus memeriksa sesuatu dahulu di kota ini.
Seorang petugas polisi dari Kepolisian Surakarta tampak berdiri menunggu mereka. Petugas itu menyerahkan kunci sebuah kendaraan perintis bertipe jip lapis baja dan berwarna kelabu milik kepolisian kepada Syailendra sebelum akhirnya beranjak pergi tanpa banyak kata-kata.
"Kau yang setir, Di," Syailendra melempar kuncinya kepada Riyadi, "kita ke Daerah Pakel sekarang!"
Riyadi berjalan ke arah pintu pengemudi, mengaktifkan GPS, dan menyerukan kata 'Pakel' di depan GPS itu.
"Rusun Pakel!" tambah Syailendra.
Layar GPS mengaktifkan layar holografik tipis di kaca depan mobil. Memberi kesempatan bagi Riyadi untuk tahu arah mana yang harus ia ambil untuk sampai tujuan.
"Oke," Riyadi menyentuh kaca depan mobilnya dan menonaktifkan layar GPS itu. Ia kemudian mulai mengemudikan mobil itu ke tujuan.
*****
Rusun Pakel, Surakarta
Rusun Pakel adalah komplek rumah susun alias apartemen sederhana yang berjejer di sepanjang Jalan Pakel, 9 kilometer arah tenggara Bandara Adi Sumarmo. Rusun ini terdiri dari 9 unit yang diberi kode Pakel 1 hingga Pakel 9. Syailendra mengarahkan mobil mereka ke arah Rusun Pakel 3 yang terlihat agak mencolok dibandingkan unit lainnya karena warnanya hijau sendiri sementara unit lainnya berwarna kuning atau putih.
Riyadi memarkir mobilnya di area parkir lalu ia dan Syailendra turun. Syailendra kemudian memberi isyarat bagi Riyadi untuk menyiagakan pistolnya. Riyadi menepuk pinggang kanannya di mana holster pistolnya terpasang kemudian mengikuti Syailendra memasuki kompleks rusun itu.
Langkah mereka sempat dihentikan seorang satpam yang mendeteksi adanya logam di balik pakaian mereka berdua. "Stop!" kata satpam itu, "Siapa anda?"
"Polisi," kata Syailendra sembari menyodorkan sebuah layar tipis bertanda pengenal dari kepolisian kepada satpam itu.
"Oh maaf, silakan Pak," satpam itu menunduk lalu kembali duduk dan mengabaikan Syailendra serta Riyadi.
"Ayo, Di," ajak Syailendra sembari berjalan menuju lift dan memencet tombol menuju lantai 5.
"Bapak asalnya dari kepolisian ya?" tanya Riyadi
"Tidak. Tapi saya punya kartu identitas kepolisian, TNI AD, BIN, TNI AU, dan TNI AL. Buat jaga-jaga kalau diperlukan," Syailendra mengulum senyum, "Ngomong-ngomong pangkat kolonel saya itu dari AD. Ah, kita sudah sampai."
Syailendra dan Riyadi pun keluar dari lift dan Syailendra memberi isyarat pada Riyadi untuk memperhatikan belakangnya sementara Syailendra menarik sepucuk pistol dari balik jaket hitamnya. Mereka berdua berjalan mengendap-endap di lorong sempit itu menuju sebuah kamar yang dari kejauhan pintunya tampak sedikit terbuka.
Syailendra memberi isyarat 3 ... 2... 1, dengan jari-jarinya dan pada saat jari terakhirnya mengepal, ia dan Riyadi segera menyerbu masuk, "Angkat tangan!" seru Syailendra.
Benar saja, ruang yang mereka masuki sudah tampak berantakan di sana-sini. Meja-meja terbalik, isi lemari dapur dan lemari peralatan rumah tangga berhamburan di lantai, beberapa sofa tampak robek, dan ada orang asing berseragam polisi yang kepergok tengah menuang isi laci di lantai.
"Stop! Gila kamu! Ngapain kamu berantakin rumah target?" bentak Syailendra.
Pria berwajah klimis dan berambut cepak ala kesatuan militer itu diam saja. Ia malah memandang Riyadi dan Syailendra dengan tatapan aneh.
Lalu tiba-tiba saja Kolonel Syailendra menembak pria itu tepat di dahinya. Pria itu mundur beberapa langkah lalu kembali berdiri tegak.
"Riyadi, bunuh dia! Dia Asura!" seru Syailendra.
Riyadi segera menempatkan pistolnya ke holsternya kembali lalu melayangkan pukulan tangan kiri ke kepala si polisi gadungan itu. Saat tangannya menghantam pipi sang polisi gadungan, saat itu juga sosok pria itu berubah menjadi sosok Cakil bermuka merah dan berbaju putih kusam. Taringnya meneteskan liur yang menimbulkan asap saat bersentuhan dengan karpet apartemen itu. Cakil itu menarik sebilah keris dari balik sarung polengnya lalu menghujamkannya ke arah Riyadi. Riyadi berkelit lalu bergerak ke belakang si Cakil dan mencengkeram lehernya lalu membenturkan kepala makhluk itu ke dinding apartemen.
Si Cakil berontak dan menyikut keras perut Riyadi. Riyadi terhuyung sesaat sebelum kembali menerkam Si Cakil dan kembali mengunci gerakannya dengan menindih tubuh Si Cakil ke lantai. Tapi sebelum kunciannya benar-benar sempurna, Cakil itu tiba-tiba merubah dirinya menjadi gumpalan asap dan keluar dari ruangan itu melalui jendela yang terbuka . Riyadi berusaha menyergapnya namun ia tak bisa menyentuh asap sementara peluru yang ia tembakkan pada asap itu tidak bereaksi apa-apa.
"Jilat jejaknya, Antareja," kata Syailendra kemudian.
Riyadi menatap jejak-jejak tipis yang tercetak di lantai kamar itu. Jejak-jejak sepatu dan tapak kaki si Cakil. Riyadi kemudian mengusap mulutnya dengan tangan kanannya, mengucap sebait mantra, dan sekejap saja lidahnya berubah menjadi lidah ular yang bercabang dua. Riyadi kemudian menunduk dan menjilat bekas tapak kaki si Cakil. Bekas tapak kaki itu kemudian tampak membara dan kemudian lantai tempat bekas tapak kaki itu berada tiba-tiba tampak hangus terbakar tanpa adanya api di sana. Di saat yang sama gumpalan asap penjelmaan Cakil yang kabur tadi kini mengeluarkan suara melengking dan akhirnya hancur menjadi serpihan debu.
Syailendra berjalan memungut sebuah frame foto yang menunjukkan wajah Mahesa dan ibunya. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang tampaknya dulu ditempati Mahesa dilihat dari tumpukan pakaian anak remaja lelaki di lantainya. Di sana ia membuka lemari pakaian Mahesa dan sesosok mayat keluar dari lemari itu lalu jatuh berdebum di lantai.
Syailendra menghela nafas dalam-dalam melihat kondisi mayat polisi yang wajahnya ditiru oleh si Cakil tadi. Ia merogoh ke dalam saku celana mayat polisi tadi dan mengeluarkan sebuah lencana berbentuk dua matahari bersisi delapan yang saling bertumpuk. Simbol anggota Dakara.
Syailendra kemudian bangkit berdiri dan memakai komunikatornya untuk menghubungi wakilnya di Jakarta. "Nakula dan Sadewa," panggil Syailendra.
"Ya Kolonel. Ini Sadewa," terdengar jawaban dari seberang sana.
"Iptu Sarwono, agen lapangan kita di Surakarta tewas di tangan Cakil. Kirim kabar pada semua agen bahwa kalau mereka ketemu Iptu Sarwono gadungan, langsung bunuh dia!"
"Siap Pak. Lalu ...," suara Sadewa terdengar ragu-ragu.
"Kenapa?"
Nakula terdengar menghela nafas, "Keberadaan Ibu Mahesa tidak berhasil kami ketahui sampai saat ini. Tidak ada laporan polisi soal kehilangan Ibu Mahesa meski sekitar satu jam yang lalu kepala sekolah tempat Ibu Mahesa mengajar kembali melaporkan kehilangan salah satu anak buahnya. Tapi entah kenapa tanggapan kepolisian dingin."
"Mari kita perkirakan skenario terburuk bahwa kepolisian Surakarta dan mungkin kepolisian kota lainnya sudah disusupi para Asura. Mulai sekarang kita harus jaga jarak dengan kepolisian."
"Ya Pak."
"Tolong urus sisanya, Sadewa."
"Siap Pak."
Sambungan terputus dan Syailendra keluar dari kamar itu menuju ke arah Riyadi yang tampak berjongkok memeriksa tumpukan barang yang berserakan di lantai.
"Ayo kita ke tempat tujuan utama kita sekarang. Sebelum tersangka kita dihabisi oleh orang lain selain kita," kata Syailendra.
*****
Desa Guci, Jawa Tengah. 18.15 WIB [1]
Saat Riyadi dan Syailendra mencapai Desa Guci, hari sudah beranjak malam. Azan maghrib sudah berkumandang sekitar 20 menit yang lalu namun mereka masih harus melewati satu pedukuhan lagi untuk mencapai dukuh tempat target mereka tinggal.
Jalanannya lumayan mulus untuk desa yang terletak di kaki gunung, dan hal ini membuat Riyadi merasa membawa jip kendaraan perintis yang dilengkap dengan ban khusus untuk melewati jalan rusak dan berlumpur, bodi kendaraan yang dilapisi baja, gergaji otomatis di bemper depan untuk menyibak hutan, serta mode anti-gravitasi yang mampu mengatasi hantaman angin ribut, jadi agak mubazir.
Sepuluh menit menempuh jalan desa yang lumayan mulus namun sempit dan gelap itu akhirnya mereka tiba di sebuah rumah bercat kuning kusam dengan kusen daun jendela yang dibuat dari kayu jati, beratap joglo, dengan genteng merah bata yang sudah mulai menghitam. Sebuah rumah khas Jawa Tengah yang keberadaannya sudah langka. Tapi rumah itu tampak gelap ditinggal penghuninya.
Riyadi dan Syailendra turun dari mobil dan berjalan ke arah rumah itu sebelum suara seorang ibu pedagang kopi yang ada di depan rumah itu menghentikan langkah mereka, "Tiyangne[2] pigi, Pak! (Orangnya pergi, Pak)"
Menghadapi orang berbahasa Jawa, Riyadi lantas balas bertanya, "Niki leres dalemipun Pak Ali Mahardika to, Bu? Tindak pundi tiyange Bu? (Ini benarnya rumahnya Pak Ali Mahardika kan, Bu? Orangnya ke mana Bu?)"[3]
"Yen ga salah, badhe mangajengi upacara ing pura (Kalau tidak salah, katanya mau pimpin upacara di pura)."
"Pura? Purane ning pundi Bu (Pura? Puranya di mana Bu?)?"
"Radi ngilen terus, limang atus meter lah, Pak (Agak ke barat sana, sekitar lima ratus meter lah, Pak)."
"Ooo nggih, matur nuwun nggih Bu, (Terima kasih ya Bu.)" balas Riyadi sembari kembali menaiki mobil bersama Syailendra.
"Saya kira kamu tidak bisa bahasa jawa halus," kata Syailendra saat mereka sudah kembali duduk di mobil, "soalnya ayahmu sama sekali nggak bisa."
"Markus juga nggak bisa, Pak," kata Riyadi, "tapi dia kan tugasnya pindah-pindah dari tugas belajar di Ambon, Maluku, tugas di Kupang, NTT, terus baru sekarang balik ke Surabaya. Lha saya kan tugasnya cuma di Semarang dan Surabaya saja, Pak."
"Ya ayolah. Kita ke pura sekarang."
*****
Setibanya di pura, hari sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Beberapa pengunjung pura yang rata-rata pakaian serba putih tampak bersila di pelataran pura dengan beralaskan tikar terpal sementara di ujung sana seorang pemuda tengah berdiri di hadapan sebuah pelinggih, menghaturkan sebuah rangkaian sesaji sederhana disertai tiga batang dupa kemudian menangkupkan tangannya di depan dahinya dan mengucapkan mantra-mantra doa yang sesekali diikuti oleh para hadirin.
"Jadi Pak," Riyadi menoleh ke arah Syailendra, "kali ini kita harus nangkep Pedanda ya?"
"Berita bagusnya kamu nggak harus nangkep Pedanda, karena orang itu bukan pedanda. Berita jeleknya kamu tetap harus nangkep seorang Mangku."
*****
Mangku, jabatan kerohanian yang diberikan suatu kelompok umat Hindu kepada seseorang yang tak harus dari golongan brahmana, guna bertindak sebagai pemimpin upacara. Tidak seperti pedanda yang perlu memenuhi banyak syarat untuk menjadi seorang pedanda, menjadi seorang mangku syaratnya jauh lebih simpel. Dan pada prakteknya sebagian besar upacara sederhana umat memang dipimpin oleh mangku bukan pedanda. Selain karena jumlah pedanda yang terbatas, mangku juga lebih mudah dihubungi daripada pedanda karena mangku rata-rata masih punya profesi lain di luar profesinya sebagai mangku.
Ali ditunjuk menjadi mangku setahun yang lalu oleh mangku desa sebelumnya karena mangku desa sebelumnya harus pindah ke tempat lain. Mangku sebelumnya mengajarinya segala hal yang harus ia ketahui untuk menjadi seorang mangku meski awalnya dia menolak. "Kalau kamu nggak mau jadi mangku, umat di desa ini nggak akan punya mangku!" begitu kata pendahulunya saat ia terus saja menolak menjadi mangku.
Pada akhirnya meski awalnya merasa canggung, Ali akhirnya resmi menjadi mangku desa dengan tugas utama menjaga pura desa dan memimpin upacara-upacara tertentu. Jumlah umatnya memang tidak banyak, hanya 40 kepala keluarga tapi untungnya mereka semua menerima Ali dengan senang hati meski usia Ali boleh dibilang masih muda.
Tapi sekarang Ali merasakan konflik batin. Di satu sisi ia adalah mangku desa yang kadang harus memberikan wejangan soal perlunya menjunjung dharma – kebajikan – di hadapan umatnya, di sisi lain dia sudah mengotori tangannya dengan darah beberapa orang. Meski dari epos-epos masa lalu seperti Ramayana dan Mahabharata dalam kesempatan tertentu seorang brahmana diizinkan untuk membunuh untuk membela diri, tapi Ali merasa tindakannya membunuh orang-orang yang menyerang rumahnya tempo hari masih belum bisa dibenarkan.
Pikiran itu terus mengganggunya sampai-sampai ia salah mengucap mantra dan membuat beberapa umat tertegun. Ia segera memperbaiki kesalahannya dengan mengulang mantra itu lagi lalu berbalik menghadap umat, memberikan sedikit wejangan singkat sebelum mengakhiri upacara malam purnama hari itu.
Ia capek, ia merasa kotor dan dihimpit rasa bersalah, terkoyak di antara kewajibannya untuk menjunjung tinggi prinsip tanpa kekerasan yang diajarkan oleh guru, agama, dan orangtuanya atau melindungi desa ini dengan kekerasan seperti saran pragmatis yang disarankan Janggala. Saran Janggala masuk akal, sangat masuk akal malah. Tapi itu bertentangan dengan nilai-nilai ideal yang harus ia junjung sebagai contoh panutan umatnya. Dan Ali tidak tahu harus berkeluh-kesah pada siapa.
Saat upacara malam ini selesai dan Ali bersiap membersihkan pekarangan pura, matanya tiba-tiba menangkap pemandangan dua sosok pria tegap yang berdiri di gerbang pura. Satu pria rambutnya tampak sudah beruban dan satu lagi tampak masih berusia 20 tahunan akhir. Ali merasakan ada gejolak hebat yang ditimbulkan oleh dua orang itu. Entah karena apa ia merasa sebaiknya menghindari urusan dengan dua orang itu, namun dia terlambat. Dua orang itu sudah berjalan menghampirinya.
"Om Swastyastu, Mangku Ali Mahardika," sapa Syailendra sembari menangkupkan kedua tangannya.
"Om Swastyastu," balas Ali sekenanya.
"Maaf Mangku, apa desa ini punya mangku lain selain Mangku sendiri atau desa ini bisa minta bantuan mangku dari desa lain kalau semisal anda berhalangan?" tanya Syailendra.
"Saya satu-satunya mangku di sini, tapi kalau saya berhalangan saya bisa minta tolong mangku dari desa sebelah. Kenapa ya, Pak?"
"Anda ...," tiba-tiba Riyadi sudah pasang badan di antara Syailendra dan Ali, "ikut kami sekarang! Anda ditahan atas dakwaan pembunuhan dua surveyor dari PT. Trisna Nikel Indonesia!"
Catatan:
- Daftar nama manusia awatara dari buku-buku sebelumnya ada di bab 'Pengantar'
[1]Nama desa Ali saya rubah. Karena 'Mangir' lebih cenderung ke arah Yogya-Solo sementara posisi desa ini didasarkan pada letak desa Jurangmadu, Kabupaten Tegal
[2]Dialek bahasa Jawa Tegal selalu menambahkan imbuhan –ne di akhir kata benda
[3]Riyadi memakai bahasa Jawa standar (wetanan)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top