BAB XXIII : BEGJA (KEBERUNTUNGAN) DAN CILAKA (KEJATUHAN)

“Ironi ya Pak? Beberapa bulan yang lalu kita ini sekutu tapi sekarang kita ketemu lagi sebagai musuh,” kata Janggala sembari berjalan mendekat ke arah Jayadratha dengan kobaran api di tangannya.

“Kau pikir bocah ingusan macam dirimu bisa mengalahkan aku Wisanggeni?” tantang Jayadratha.

“Oh, mengingat reputasiku dahulu sebagai perusak kahyangan, kurasa mengobrak-abrik tubuh seorang Iksa Manggala Jati menjadi tak berwujud bukan hal yang rumit.”

“Parwati sempat histeris ketika tahu bahwa aku diperintahkan untuk menghabisimu. Dia menyukaimu dan pasca mendengar berita kematianmu dia tidak mau bicara padaku selama dua minggu. Bayangkan!”

“Saya bisa membayangkannya,” kata Janggala, “Saya bisa membayangkan betapa menderitanya Ibu Parwati karena telah mendapatkan suami yang macho tapi pengecut dan hobinya main keroyokan, bahkan untuk tugas membunuh seorang remaja tanggung macam Mahesa.”

“Jaga mulutmu Nak!”

“Saya dengar kalau lelaki macho tapi pengecut itu punya masalah ranjang ya?”

“Kuperingatkan kau ...!”

Satu bola api menghantam tubuh Jayadratha, memaksa pria itu mundur empat langkah sebelum bola api itu padam da meninggalkan bekas luka bakar berdiameter 15 cm pada perutnya.

“Kau membuat kesalahan, Nak!” Jayadratha mengayunkan gadanya ke arah Janggala.

Janggala berkelit dan melesat ke belakang Jayadratha lalu menembakkan satu bola api yang langsung membakar punggung Jayadratha.

“Hmm!” Jayadratha tiba-tiba melemparkan gadanya ke arah Janggala. Janggala sendiri berkelit dari lemparan gada itu namun saat ia menoleh kembali ke arah Jayadratha, sosok pria itu sudah tak ada.

“Hei!” Janggala segera menghampiri tempat Jayadratha tadi berada namun tidak mendapati seorang pun di sana. Matanya kemudian menangkap sosok seorang pria tengah digotong oleh sekumpulan makhluk berbentuk seperti asap hitam melayang di angkasa sebelum ditelan oleh sebuah lubang gelap mirip lubang hitam dan menghilang tanpa bekas.

“Janggala!” tiba-tiba seorang dari dokter kembar, Sadewa, menghampirinya, “Kau tak apa-apa? Ke mana Jayadratha?”

“Kabur,” ujar Janggala sembari membalikkan badan menghadap Sadewa, “Digotong oleh sekumpulan makhluk berwujud asap hitam ke atas sana,” jemarinya menunjuk ke arah langit malam.

“Yah sudahlah, mari kita kembali. Ada banyak hal yang harus kita selesaikan.”

“Ya Pak,” jawab Janggala sembari melangkah mengikuti Sadewa keluar dari stasiun.

*****

Markas Dakara, 10.00 WIB, 2 hari kemudian

Mahesa merasakan ada kerumunan orang di sekitarnya yang sedari tadi ribut membicarakan sesuatu. Perlahan dibukanya kedua matanya dan di sana ia mendapati seorang anak remaja keturunan Tionghoa tampak bermain kartu gaplek dengan seorang pemuda berkulit cerah dan berambut kusut.

Remaja Tionghoa itu tampak menunjuk-nunjuk ke arah Mahesa, dan si pemuda – yang tak lain adalah Janggala – segera menoleh dan tersenyum ke arah Mahesa, “Halo Hes, akhirnya kamu sadar juga.”

“Uh? Aku kenapa?” tanya Mahesa.

Belum sempat pertanyaan Mahesa terjawab, Bayu sudah memasuki ruangan dengan menyunggingkan senyum kelegaan. “Akhirnya kamu sadar juga, Hes. Aku sempat khawatir operasinya gagal.”

“Operasi? Operasi apa?” Mahesa kini makin bingung.

“Kamu lupa, Hes? Kamu nekat datang sendiri ke stasiun mati Tenjolaya dan menantang Jayadratha di sana,”  kata Janggala.

“Ibu! Ibuku!” tiba-tiba Mahesa menyibakkan selimutnya dan berusaha untuk turun dari ranjang, tapi ia akhirnya terjatuh dari ranjang karena tak menyadari bahwa kaki kirinya tengah dibalut gips.

Tapi Mahesa mendapati lebih dari sekedar kakinya dibalut gips. Tangan kirinya kini mati rasa meski pada kenyataannya memang ada sebentuk tangan di bagian kiri tubuhnya yang menyangga tubuhnya saat ia terjatuh tadi.

“Apa ini?!” Mahesa terkejut saat mendapati tangan kirinya kini sudah berganti menjadi tangan bionik berwarna hitam.

Semua yang ada di ruangan itu hanya diam. Sekali lagi Mahesa bertanya, “Apa maksudnya ini?!”

“Maaf Hes,” akhirnya Bayu angkat bicara, “tapi waktu kamu dibawa kemari kondisi tangan kirimu sudah sangat parah. Seluruh tulang tangan kirimu hancur menjadi serpihan, jaringan ikatnya terkoyak, dan tulang belikat kirimu juga hancur. Mustahil mempertahankan tanganmu karena itu para dokter melakukan operasi amputasi.”

“Kenapa mereka tidak tunggu aku sadar! Siapa yang tanda tangan surat persetujuan operasiku?”

“Aku Hes,” kata Bayu.

“Kau!” Mahesa langsung bangkit dan mencengkeram kerah baju Bayu, “Kau tahu apa artinya kehilangan tangan kiri bagi seorang atlet kan?”

“Ya!” bentak Bayu, “Aku tahu! Kau tak boleh ikut kompetisi olahraga bagi orang normal lagi. Kau cuma bisa ikut Paralympic – kejuaraan olahraga untuk orang difabel. Tapi kalau aku tidak tanda tangan, nyawamu terancam Hes! Kalau kau mati ibumu pasti sedih sekali!”

“Ibuku?” ekspresi Mahesa kini melunak.

“Dia ada di ruang isolasi, sini, pakai baju dulu, Hes,” Janggala menyodorkan sebuah kemeja biru muda ala rumah sakit. Mahesa langsung mengenakannya. Bayu kemudian mendorong masuk kursi roda untuk Mahesa duduki. Mahesa semula tidak mau pakai kursi roda, tapi setelah diberitahu bahwa mereka tidak bisa menemukan kruk untuk menyangga Mahesa, akhirnya Mahesa mengalah dan mau duduk di kursi roda.

Bayu mendorong kursi roda Mahesa menyusuri koridor sayap fasilitas medis BIN dengan diikuti Janggala dan Mandala dari belakang. Mereka akhirnya berhenti di ruang ICU di mana di sana, dari balik jendela kaca transparan, Mahesa bisa melihat sejumlah peralatan penunjang kehidupan terpasang pada tubuh ibunya.

Sadewa kemudian keluar dari ruangan dan menghampiri Mahesa serta ‘saudara-saudaranya’. Saya mau bicara empat mata dengan Mahesa. Tolong yang lain minggir dulu. Dan Bayu, ibumu mau ngomong di ruang rekreasi.”

“Oke, Om. Dah Mahesa,” Bayu melambaikan tangannya ke arah Mahesa dan Mahesa pun membalas lambaian Bayu dengan canggung.

“Eh iya, ini untuk kamu Mandala,” Sadewa menyerahkan pada Mandala sebuah benda logam berwarna putih dengan garis-garis hitam dan sebuah titik merah di bagian tegahnya yang tampaknya adalah sebuah lampu sekaligus pemancar. Mandala menerima benda itu dengan girang dan saat menyentuh tangannya, benda itu langsung melayang di sekitar Mandala. Sesaat kemudian benda itu mengeluarkan sebuah teks holografik bertuliskan : TES. Dilanjutkan dengan sejumlah teks yang tidak jelas apa maksudnya sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah teks berisi kalimat perkenalan : Halo Kak Mahesa, namaku Mandala Pande Raja Sembiring.

 

“Namaku Mahesa Werdaya,” Mahesa membalas jabat tangan Mandala.

“Saya Aji Ranta Janggala, tapi kita kenalan lebih jauh nanti saja,” ujar Janggala.

“Ayo Mahesa, kita masuk dulu,” Sadewa mengantar Mahesa memasuki sebuah ruangan tunggu dan di sana ia menawari Mahesa minum, “Teh atau jus mangga?”

“Jus mangga,” jawab Mahesa.

“Ini.”

“Terima kasih Pak.”

“Panggil Om saja.”

“Terima kasih Om.”

“Jadi begini ... ibumu tetap hidup, terima kasih atas kecepatan penerbangan ekspress Gatot alias Ipda Markus yang sudah membawa kalian berdua kemari tepat pada waktunya. Tapi ibumu mengalami koma jadi mungkin beliau tidak akan sadar untuk beberapa waktu.”

“Berapa lama Ibu akan koma?” mimik wajah Mahesa menyiratkan kekhawatiran.

“Saya tidak tahu, dokter-dokter lain pun juga tidak tahu.”

“Tapi beliau akan tetap hidup kan?”

“Alat penunjang kehidupan akan menjamin ibumu akan terus hidup tapi ... .”

“Tapi kenapa Om?”

“Seluruh peralatan penunjang kehidupan ibumu, termasuk tangan palsumu itu tidak dijamin oleh asuransi BPJS.”

Wajah Mahesa memucat, “Berapa ... tekornya?”

“Sekitar ... 250 juta rupiah.”

“Ah,” otak Mahesa kini langsung dipenuhi daftar aset berharga yang harus ia dan ibunya jual untuk memenuhi semua biaya ini.

“Tapi ... kami bisa menggratiskannya,” kata Sadewa lagi.

“Benar Om?”

“Tapi ada syaratnya.”

“Apa?”

“Sama seperti Janggala, kamu harus bekerja pada kami. Sampai hutangmu lunas.”

“A-itu ... berapa lama?”

“Sampai hutangmu lunas,” kata Sadewa sambil tersenyum, “lagipula kamu mau tinggal di mana? Di sini kami menyediakan akomodasi tempat tidur dan makan 3 kali sehari. Di sini kamu juga akan aman dari Jayadratha dan di sini pula kamu bisa melatih diri untuk mempersiapkan diri melawan Jayadratha kelak. Coba? Apa kurang murah hati tawaran kita ini?”

 

Mahesa mencium adanya celah bagi Sadewa serta organisasi Dakara ini untuk mengekspolitasi dirinya nanti, tapi lagi-lagi Mahesa tidak punya pilihan. Ia bahkan tidak punya orang yang lebih tua untuk ia tanyai dan mintai pertimbangan. Ia sendirian dan dalam kesendiriannya ini ia harus menjaga ibunya yang kini terbaring tak sadarkan diri.

“Baiklah Om. Saya terima tawaran Om.”

*****

Pasca Sadewa keluar dengan membawa surat persetujuan kesediaan Mahesa bergabung dengan Dakara, Janggala akhirnya memasuki ruangan tunggu di mana Mahesa masih saja menatap ibunya yang terbaring tak berdaya.

“Aku dengar kau sampai bersedia mati dan bertarung habis-habisan untuk membebaskan ibumu ya?” tanya Janggala tanpa basa-basi.

“Iya, tapi aku gagal. Kalau aku lebih kuat aku ... aku ... pasti bisa menyelamatkan ibuku.”

“Apa itu rasanya menjadi seorang anak?”

“Maksud Abang?” Mahesa balik bertanya.

“Apa itu rasanya menjadi seorang anak? Dikasihi oleh orangtua dan berbalik mengasihi orangtua? Rela berjuang demi orangtua meski tahu jalan yang ia tempuh rawan kemustahilan? Apa pepatah cinta anak hanya sepanjang galah itu tidak berlaku untuk beberapa orang ... seperti dirimu?”

“Cinta ibu sepanjang zaman, Bang. Ibuku mencintai aku lebih daripada aku mencintai beliau. Apa yang sudah kuperjuangkan untuk beliau belum ada apa-apanya dengan perjuangan beliau untuk membesarkan aku.”

“Aku iri padamu,” kata Janggala lagi.

“Kenapa?”

“Tidak, tak apa. Lupakan saja perkataanku barusan.”

Lalu kedua pemuda itu kembali ke dalam suasana hening. Masing-masing larut dalam pemikirannya sendiri. Mahesa terus menggumamkan doa memohon agar para dewa bermurah hati memulihkan kesadaran ibunya sementara Janggala larut dalam pikirannya soal ibu. Ia mulai berpikir sepertia apakah sosok ibunya? Apakah galak dan tegas seperti ibu Bayu atau lembut dan penuh pengertian macam ibu Mahesa?

Tampaknya masih butuh waktu lama bagi Janggala untuk menemukan jawabannya.

==Bersambung ke buku 3 – Triwikrama==

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top