BAB XXII : PATAH ARANG
Kereta yang dinaiki Mahesa masih bergejolak dengan kasar dan cepat. Masinisnya pasti mabuk atau kalap karena menjalankan kereta dengan cara seperti ini. Tapi setelah sekitar 10 menit terguncang-guncag akhirnya Mahesa mendapati kereta itu berhenti. Pintu gerbong terbuka dan Mahesa melangkah keluar sebelum mendapati dirinya ada di sebuah stasiun yang gelap gulita. Satu-satunya penerangan yang ada di sana hanya gerbong-gerbong kereta yang lampunya menyala seluruhnya.
Tapi sebelum Mahesa melangkah lebih jauh ia mendengar suara rintihan seseorang. Mahesa diam, dicobanya kembali untuk mendengar suara itu lebih baik.
“Uuuuhh,” suara rintihan lemah itu asalnya dari gerbong masinis. Mahesa segera berlari ke arah gerbong masinis, membuka pintu gerbong dan mendapati sang masinis, seorang pria berkumis berseragam biru gelap – nyaris kelabu – terkapar dengan luka di kepala.
“Pak? Pak?” Mahesa berusaha membangunkan masinis itu dengan menepuk-nepuk pipinya, namun pria itu tidak bereaksi positif. Alih-alih sadar, mata pria itu justru membeliak, tubuhnya mengejang dan segumpal asap hitam keluar dari mulutnya lalu melesat keluar dari gerbong masinis. Mahesa terjengkang ke belakang, dan saat dirinya berhasil bangkit berdiri kembali, ia mendapati bahwa pria itu sudah tak bernyawa.
Tak ada yang bisa Mahesa lakukan selain mengusapkan tangannya pada mata si mati guna menutup kelopak mata yang sedari tadi membelalak itu dan mencoba menghubungi seseorang lewat arojinya untuk meminta bantuan. Tapi tepat saat ia hendak menghubungi nomor 118[1] dan 110[2], ia mendapat pesan lagi dari penculik ibunya.
Siapa yang hendak kau hubungi Mahesa? Kalau sampai ada orang lain datang kemari, kami jamin ibumu akan mati dengan penuh penderitaan.
Mahesa pun gentar. Niatnya untuk menghubungi nomor darurat untuk mengurus jasad sang masinis akhirnya urung ia lakukan. Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah turun dari gerbong masinis ini untuk menyelesaikan urusannya sendiri.
*****
Di sini langit malam terang benderang, bulan purnama bersinar terang, membuat siluet sosok Gunung Salak yang ada di sisi sebelah selatan stasiun mati ini tampak gagah dan angker. Mahesa sendiri menatap bulan purnama itu sesaat. Biasanya di malam-malam seperti ini, jika tidak ada hujan deras, ibunya akan mengajaknya ke pura. Melakukan sembahyang dan upacara malam bulan purnama. Bulan purnama selalu menyediakan rasa aman dan tenteram bagi dirinya, seolah bulan adalah ‘ayah pengganti’ yang selalu mengawasi dirinya di saat ‘ayahnya yang asli’ telah tiada.
Dari dalam kegelapan, terdengar suara dentuman sepatu lars yang beradu dengan lantai stasiun mati. Mahesa mengaktifkan senter di arlojinya dan menyorot ke arah sumber suara. Sorot lampu senternya mengenai sosok pria mirip pria misterius yang tadi menyerang Tualen dan Merdah di gerbong kereta.
Tapi kali ini pria itu tidak sendiri. Ia bersama setidaknya tujuh orang lain yang berpakaian serupa : bermantel hitam, dan mengenakan penutup muka serta topi pet hitam. Sepatu lars mereka membuat Mahesa menduga-duga apakah mereka ini berasal dari kesatuan militer. Kalau memang benar mereka dari kesatuan militer, apa yang mereka mau dari ibunya?
“Mahesa Werdaya,” tiba-tiba seorang pria dengan intonasi bicara yang sama dengan yang menghubunginya tadi keluar sambil menuntun seorang wanita berseragam KORPRI yang mulutnya ditutup oleh karung glangsing[3]. Dilihat sekilas saja, Mahesa langsung tahu bahwa wanita itu adalah ibunya.
“Ibu!” Mahesa hendak menghambur ke arah ibunya namun tujuh orang pengawal sang pria segera mengeluarkan pistol mereka dan menodongkannya ke arah Mahesa. Satu dari antara mereka bahkan menodongkannya ke arah ibu Mahesa.
Pria yang mengancamnya sedari tadi itu membuka topinya, menampakkan sosok pria berjanggut tipis dengan mata memancarkan kebengisan yang luar biasa. Mahesa sendiri merasa hanya dengan berdiri beberapa langkah di hadapannya, ia seperti berhadapan dengan kematian. Rasa takut kini menyergapnya dan mencengkeramnya, membuat perutnya kini terasa seperti diremas-remas, bahkan sebelum pertarungan dimulai.
“Aku sudah datang sesuai perintahmu, Pak! Sekarang bebaskan ibu saya!” Mahesa berusaha sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan kegentarannya dengan cara menggertak.
“Tak semudah itu, Nak,” bibir pria itu tertekuk ke kiri, menampakkan senyuman licik dan penuh arti.
“Apa maksud anda?”
“Ibumu baru akan saya lepaskan kalau kau menang melawan saya.”
“Melawan?”
“Ya, kalau kau menang, ibumu akan kami bebaskan tapi kau harus ikut kami. Kalau kau kalah ...,” pria itu tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan hanya memberi isyarat berupa gerakan tangan membelah leher dari kiri ke kanan.
Mahesa menelan ludah, ia tadinya berharap bisa membawa ibunya kabur jika yang datang cuma orang-orang biasa. Ia bisa melumpuhkan mereka dengan Sarotama lalu kabur dengan membawa ibunya sambil meminta bantuan. Tapi dengan jumlah delapan orang seperti ini, ditambah mereka tampaknya memiliki kemampuan yang tidak biasa, membuat Mahesa harus berpikir ulang dengan strategi itu.
Pria itu melepaskan jaketnya dan melemparnya ke arah satu pengawalnya bersama-sama dengan topinya. Ia lalu memberi satu isyarat dan dalam sedetik, lampu-lampu di stasiun tua itu menyala kembali.
Di tengah guyuran cahaya lampu, Mahesa bisa melihat bahwa lawannya ini memang tidak main-main. Ia adalah seorang pria berotot dengan banyak bekas luka codet terukir di kedua lengannya. Otot-ototnya kekar dan bukan mustahil ia punya kekuatan untuk bisa meremukkan bocah seperti Mahesa hanya dengan beberapa kali pukulan saja.
Di seberang sana, karung penutup kepala ibunya sudah dibuka dan ibunya menatap ngeri ke arah Mahesa. Wanita itu berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya seolah memberi isyarat pada Mahesa untuk segera angkat kaki dari situ, tapi Mahesa bersikeras tinggal. Ia tidak bisa membiarkan ibunya disakiti orang-orang ini.
“Angkat senjatamu, Abimanyu,” pria itu menudingkan jari telunjuk kirinya ke arah Mahesa.
Mahesa terkejut ketika tahu pria itu tahu identitasnya di masa lalu. Siapa dia? Apa dia salah satu dari 100 Kurawa? Benak Mahesa dipenuhi aneka pertanyaan tapi tindakan pria itu mengeluarkan senjatanya menjawab semua pertanyaan Mahesa.
“Astra ... Rujakbeling!” pria itu melemparkan sebuah liontin ke arah udara dan dalam sekejap liontin itu berubah rupa menjadi gada logam yang dipenuhi duri-duri logam.
“Jayadratha!” Mahesa terkesiap ketika mengetahui bahwa orang yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang sama dengan orang yang menghabisi nyawanya di masa lalu.
“Sebaiknya kau bersiap-siap Abimanyu!” Jayadratha mengangkat gadanya tinggi-tinggi sebelum menghantamkannya ke lantai beton di hadapannya. Mahesa langsung bereaksi dengan melompat mundur dan ternyata instingnya benar. Lantai beton tempatnya berdiri tadi langsung mencuatkan patahan berujung tajam yang bisa saja langsung mengakhiri nyawanya kalau dia tak menghindar tadi.
Mahesa pun langsung mengaktifkan astranya, Sarotama. “Astra ... Sarotama!” dan gelang di tangan kanannya berubah menjadi busur panah berwarna kuning tembaga.
“Sarotama!” Jayadratha tampak menyunggingkan senyum liciknya sekali lagi, “Kupikir dia sudah hancur saat kami membunuh Arjuna dulu.”
Jangan hiraukan! Batin Mahesa pada dirinya sendiri. Ia tak ingin konsentrasinya untuk membebaskan ibunya buyar hanya gara-gara provokasi musuhnya semata.
“Arjuna itu bodoh!” kata Jayadratha sambil memutar-mutar gadanya, namun Mahesa langsung melepaskan satu anak panah cahaya ke arah Jayadratha sebelum ia bicara lebih banyak lagi.
Jayadratha menangkis serangan anak panah Mahesa dengan satu kibasan gadanya. Tapi Mahesa tak putus asa, ia kembali melepaskan anak-anak panah ke arah Jayadratha. Jayadratha berhasil menghancurkan beberapa anak panah Mahesa, tapi satu anak panah berhasil melesat masuk ke leher Jayadratha.
“Akh!” Jayadratha langsung mengerang ketika panah Mahesa itu mengenai lehernya. Reaksi pertama yang ia lakukan adalah menutupi luka di lehernya itu dengan tangan kirinya lalu menerjang Mahesa sambil mengayunkan gadanya.
Mahesa refleks menghindar, gada Jayadratha menghantam lantai beton di sampingnya dan membuat lantai beton itu amblas sedalam nyaris satu meter. Mahesa kembali menembakkan anak panahnya, namun kali ini ia mengkonsentrasikan pikirannya untuk membentuk anak panah berhulu ledak, Ayatana.
Jayadratha tidak buang waktu lama untuk kembali menyerang, tapi satu anak panah baru yang tiba-tiba dilepaskan Mahesa membuat ia tak bisa menghindar sempurna. Ia hanya bisa menangkisnya dengan gada dan satu ledakan mendorongnya mundur beberapa langkah.
“Oh, hahahaha,” kaus abu-abu Jayadratha kini koyak dan tampak gosong terbakar di sana-sini, kulit tangan dan wajahnya mengalami luka bakar yang cukup serius, tapi anehnya reaksi Jayadratha hanya tertawa semata. “Kau benar-benar hebat Abimanyu! Benar-benar hebat! Masih sehebat dulu! Maaf, aku sudah meremehkanmu. Sekarang ... saatnya untuk serius!”
Mahesa bersiap untuk berlari melampaui Jayadratha, memanah ketujuh orang pengawalnya lalu membawa ibunya pergi. Rencana itu terpatri sejak tadi di benaknya. Tapi reaksi Jayadratha yang tertawa-tawa seperti orang gila membuat Mahesa sempat berpikir, “Orang ini punya rencana apa lagi?”
Tapi kemudian segera ditepisnya pikiran itu, “Ah, orang ini Cuma menggertak!”
Dengan keyakinan seperti itu, Mahesa langsung melesat meninggalkan Jayadratha. Ia segera membidik satu pria yang berdiri paling dekat dengan ibunya. Tapi ... belum sempat anak panahnya ia lepaskan satu hantaman benda keras mendarat di punggungnya.
“Akh!” Mahesa mendarat dengan keras di lantai beton stasiun dengan merasakan nyeri hebat pada punggungnya.
“Sekarang waktunya untuk serius, Abimanyu!” luka-luka di tubuh Jayadratha kini mulai sembuh sedikit demi sedikit. Ekspresi wajahnya kini memancarkan nafsu membunuh yang sangat kuat dan menggelora.
Gada di tangan Jayadratha kembali berkelebat. Mahesa, yang kini didera rasa sakit di punggungnya tak bisa lincah menghindar seperti tadi. Sabetan gada Jayadratha hanya meleset satu cm dari kepala Mahesa, ketika Mahesa berguling menghindar.
“Lumayan juga!” Jayadratha menyeringai keji sambil menudingkan senjatanya ke arah Mahesa sementara Mahesa mencoba berdiri kembali dengan kaki gemetaran.
*****
Markas Dakara, Pejaten Timur, Megapolitan DKI, 21.30 WIB
Sampai pukul 21.30 ini, Mahesa masih belum ditemukan. Hal ini membuat Bayu – yang mulanya tidak terlalu peduli pada rekan sekaligus saudara tirinya itu – mulai khawatir. Seharusnya dia sudah tidur sekarang, tapi hilangnya Mahesa sejak sore tadi membuatnya jadi seperti orang bingung yang kerjaannya mondar-mandir di kamarnya.
Karena kegundahannya semakin memuncak, ia akhirnya memutuskan keluar kamar dan menuju ruang rekreasi. Di sana ia melihat Markus, Mandala, dan seorang pemuda yang tadi diperkenalkan Nakula sebagai Janggala tengah asyik main gaplek – kartu domino.
“Dewa Ratu!” Bayu berseru dalam hati, “Dalam kondisi seperti ini bisa-bisanya mereka main gaplek!”
“Giliranmu Man!” pemuda bernama Janggala itu melemparkan satu kartunya ke deretan kartu yang sudah terhampar di bagian tengah meja. Mandala sendiri tidak langsung melempar kartu, ia tampak berpikir keras sebelum tiba-tiba ia meletakkan kartunya dan jatuh serta mengerang-ngerang di lantai.
“Ho! Hei! Kamu kenapa?” Markus langsung berusaha meluruskan posisi tubuh Mandala yang kejang dan tergulung membentuk bola itu.
“Gigit! Gigit!” Janggala langsung menyumpalkan sendok makan di mulut Mandala, sebagai antisipasi supaya bocah lelaki itu tidak menggigit lidahnya.
“Hoi! Bocah kacamata! Panggil si dokter kembar!” seru Janggala.
“Ah iya!” Bayu langsung menuju panel komunikasi di ruangan itu dan menekan tombol sambungan ke ruang kontrol, “Om. Kita ada masalah. Mandala kejang!”
“Tunggu di sana!” salah satu dari si dokter kembar menjawab.
Peristiwa kejangnya Mandala itu berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya Mandala tenang kembali. Saat Nakula memasuki ruangan, ia langsung memerintahkan Markus membawa Mandala ke ruang klinik. Tapi Mandala malah mengeluarkan suara erangan yang tidak jelas.
“Dia butuh sesuatu,” kata Janggala sembari mengambilkan tablet dan pen lalu menyodorkan pen itu pada Mandala serta memegang tabletnya di tangannya.
Tapi Mandala menjatuhkan pen itu ke lantai. Nakula langsung memeriksa tangan Mandala, “Tangannya kejang. Dia tidak bisa menulis.”
“Tapi sepertinya dia punya sesuatu yang harus ia katakan,” ujar Markus.
“Aaa uuhh aaah!” Mandala akhirnya berhasil memberi isyarat pada Janggala untuk mendekat. Janggala pun mendekati Mandala dan Mandala menempelkan tiga jari – jari telunjuk, tengah dan jari manis – tangan kanannya ke dahi Janggala. Seketika itu juga benak Janggala dipenuhi aneka gambaran mengenai suatu tempat asing. Dan di tempat asing itu ada Mahesa.
Janggala terjungkal ke belakang pasca menerima gambaran itu. Dahinya basah oleh keringat dan nafasnya memburu.
“Kamu lihat apa?” tanya Nakula dengan mimik khawatir.
“Mahesa!” jawab Janggala.
“Di mana?” tanya Markus.
“Stasiun mati, stasiun yang sudah ditinggalkan. Ada siluet gunung ... Gunung Salak,” kata Janggala, “Ada Bapak Iksa Manggala di sana. Dia menyakiti Mahesa.”
“Jayadratha!” ujar Nakula geram.
“Stasiun mati, dekat dengan Gunung Salak. Di mana letaknya tempat itu?” tanya Markus.
“Daerah kota mati, Tenjolaya, Bogor,” kata Nakula. Mereka pasti di sana,” kata Nakula, “Markus, Janggala, kalian cepat ke sana! Bawa keluar Mahesa dari tempat itu. Aku dan Sadewa akan menyusul.”
“Kita boleh terbang langsung atau kita harus naik kendaraan anti gravitasi?” tanya Markus.
“Terbang langsung saja!” jawab Nakula.
“Oke, ayo Janggala,” Markus melambaikan tangannya, mengajak Janggala untuk segera naik ke permukaan.
*****
Stasiun Tenjolaya, Bogor, 22.00 WIB
Mahesa sudah berusaha menghindari serangan Jayadratha sebaik yang ia bisa, namun pukulan gada Jayadratha tadi jelas-jelas melemahkan dirinya serta memperlambat pergerakannya. Jayadratha pun tak mempan lagi ditembaki dengan anak-anak panahnya. Setiap kali Mahesa melukai Jayadratha, maka ia akan segera meregenerasikan diri, menyembuhkan lukanya, dan kembali melakukan serangan membabi-buta ke arah Mahesa.
Kartika di Toronto kemarin sempat menyinggung teori soal astra yang bisa saja sirna di tengah-tengah pertarungan karena pemakainya kehabisan tenaga. Astra menggunakan energi pemakainya lebih banyak daripada aktivitas fisik biasa sehingga jika pemakainya kelelahan, astra akan musnah dan menghilang di tengah-tengah pertarungan.
Mahesa kini merasakan kepalanya mulai pusing. Tampaknya ia sudah terlalu banyak menggunakan tenaga saat bergelut dengan Jayadratha selama setengah jam terakhir ini.
“Kenapa Abimanyu? Kelelahan?” ejek Jayadratha.
“Siapa bilang?” Mahesa merogoh ke saku belakang celananya. Di sana, pistol Kamandaka yang dibagikan pemerintah kepada para atlet Vancouver masih tersimpan di sana. Mahesa menarik pistolnya kemudian menekan pelatuknya sampai 12 kali, menghabiskan seluruh jatah pelurunya, dan mengarahkan seluruh pelurunya ke arah kepala Jayadratha.
Begitu rentetan tembakan itu selesai, Mahesa pikir ia sudah membunuh Jayadratha. Sayangnya dia lagi-lagi salah. Saat seluruh peluru pistolnya telah habis Mahesa mendapati ada yang berdiri di hadapan Jayadratha. Dua dari tujuh orang pria berpenutup muka tadi telah pasang badan melindungi Jayadratha dan kini jatuh tersungkur dengan tubuh penuh lubang peluru.
“Hei! Itu curang!” protes Mahesa.
“Siapa peduli?” jawab Jayadratha sembari mengayunkan gadanya ke arah Mahesa.
Mahesa langsung menangkisnya dengan busur panahnya. Kini kedua astra itu saling beradu dan gesekan antara keduanya menimbulkan percikan api. Keadaan itu berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya Sarotama patah menjadi dua.
“A-apa?” Mahesa terkejut saat mendapati astra miliknya dipatahkan oleh Jayadratha. Tapi belum sempat ia memulihkan diri dari keterkejutannya, gada Jayadratha sudah mengayun menghantam dirinya. Satu-satunya reaksi yang sempat dilakukan Mahesa adalah dengan mengangkat lengan kirinya untuk menangkis serangan Jayadratha. Meski itu sia-sia.
Hantaman gada Jayadratha membuat Mahesa terlempar ke tengah stasiun, hanya berjarak beberapa langkah saja dari ibunya yang masih dibekap dan diborgol. Ia bisa mendengar ibunya mengerang histeris sebelum Jayadratha menghampirinya kembali dan menginjakkan sepatu larsnya di kepala Mahesa.
“Cuma segini? Perlawanan putra Arjuna yang katanya memegang wahyu keprabon, calon raja Hastina berikutnya, serta pemimpin putra-putra Arjuna ternyata cuma segini? Mengecewakan!” Jayadratha kemudian menendang dada Mahesa sehingga Mahesa terseret sejauh dua meter dari tempatnya semula.
Mulut Mahesa memuntahkan makanan yang sempat ia makan tadi akibat kerasnya tendangan Jayadratha tadi. Ia hendak bangkit berdiri, tapi ia tidak bisa. Gada Jayadratha telah membuat tangan kirinya tak bisa digerakkan serta sebagian sisi tubuh bagian kirinya didera nyeri hebat.
Tapi Mahesa masih ingat syarat tadi, kalau dia kalah maka ibunya bakal dibunuh. Karena itu ia memaksa diri berdiri kembali dengan bertumpu pada tangan kanannya yang masih sehat. Tapi kakinya yang gemetaran tak mampu menopang bobot tubuhnya lagi. Tanpa sadar ia malah jatuh bersimpuh di hadapan Jayadratha. Mata Mahesa kemudian menoleh ke arah rembulan yang masih bersinar terang dan awan-awan yang sesekali berarak menutupi sinar rembulan.
“Apa yang kau pandangi di langit, Abimanyu? Bulan, tempat Bathara Chandra bersemayam? Atau langit tempat awan-awan berarak mengiring langkah Bathara Indra? Dengar Abimanyu! Kau sudah kalah! Bathara-Bathara tidak akan membantumu. Sekarang hanya ada aku dan kamu, Abimanyu,” kata Jayadratha.
Sadar bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan, Mahesa akhirnya melakukan satu-satunya hal yang masih mungkin ia lakukan.
“Tolong ...,” Mahesa merintih di hadapan Jayadratha.
“Apa?” mata Jayadratha mendelik, “Kau tadi bilang apa?”
“Saya mohon,” Mahesa bersimpuh di hadapan Jayadratha dengan menumpukan bobot tubuhnya dengan tangan kanannya yang masih sehat, “anda bisa memperlakukan saya semau anda, tapi tolong bebaskan ibu saya.”
“Kau tadi bilang bersedia melakukan apapun?” tanya Jayadratha sekali lagi.
“Ya,” jawab Mahesa lirih.
“Termasuk menyerahkan nyawamu?”
“Ya,” jawab Mahesa lagi.
“Buka bekapan wanita itu!” perintah Jayadratha.
Seorang pengawal Jayadratha membuka bekap mulut ibu Mahesa dan wanita itu langsung berseru histeris, “Tidak! Jangan Hes! Jangan bodoh! Lari!”
“Tidak Bu,” kata Mahesa, “aku tidak bisa membiarkan mereka menyakiti Ibu.”
“Owh, sebuah drama keluarga yang mengharukan,” Jayadratha bertepuk tangan sejenak sebelum melingkarkan lengan kanannya di leher Mahesa dan memaksa pemuda itu berdiri.
“Sekarang dengar Tari, anakmu rela mati agar dirimu tetap hidup, sementara dirimu rela mati agar anakmu tetap hidup. Mana yang harus aku pilih? Hm?”
“Bebaskan Ibuku,” desis Mahesa.
“Tidak, lepaskan dia! Kau bisa melakukan apapun pada diriku!” jerit Tari.
“Kau!” Jayadratha memberi isyarat pada salah satu pengawalnya untuk melakukan sesuatu. Pengawal itu mendekati ibu Mahesa lalu mengeluarkan sepucuk pistol.
“Hei! Hei! Kalian mau apa? Hei!” Mahesa berseru panik. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan tatapan sayu sambil tersenyum sebelum sebuah peluru terlontar dari pistol si pengawal dan membuat wanita itu tersungkur di lantai stasiun.
“TIDAAK! IBU! BAJINGAN KALIAN! TERKUTUKLAH KALIAN!” Mahesa meronta-ronta di cengkeraman lengan Jayadratha sebelum akhirnya Jayadratha membantingnya ke lantai dan meremas tangan kirinya yang tampaknya mengalami patah tulang itu.
Mahesa meringis, tapi ia terlalu sedih dan marah untuk mengeluh sakit sekarang. Jayadratha pun membisikkan sesuatu di telinganya, “Kau bukan putra Arjuna pertama yang aku habisi. Delapan saudaramu yang lain juga berakhir di tanganmu. Masing-masing tewas tapi tidak semuanya tewas dengan cara yang mengasyikkan. Ada yang tewas dalam sebuah kecelakan, ada yang tewas karena diracun, tapi ada juga yang tewas karena terjangan peluru. Aku pribadi lebih menyukai membunuh mereka dengan membuat mereka menderita lebih dahulu. Jadi untukmu Mahesa,” Jayadratha tidak langsung menyambung kata-katanya melainkan melempar Mahesa ke sebuah tiang penyangga bangunan.
Mahesa mengerang lemah sebelum tangan kanannya mencari-cari sesuatu yang bisa ia jadikan senjata. Ia berhasil meraih satu pecahan beton dan melontarkannya ke arah Jayadratha. Perlawanan yang sebetulnya sia-sia.
“Pantang menyerah, sampai akhir hayat,” Jayadratha kemudian menginjak dada Mahesa lalu menarik tangan kiri Mahesa kuat-kuat sampai terdengar bunyi bergemeretak dari tangan pemuda itu.
Remaja itu langsung melolong kesakitan saat diperlakukan demikian.
“Sekarang saatnya kita berlanjut ke tahap berikutnya ...,” Jayadratha mengeluarkan sepucuk pistol dari saku celana panjangnya dan mengarahkannya ke kaki Mahesa. Pistol itu meletus dan proyektil peluru itu menembus kaki Mahesa. Sekali lagi Mahesa melolong kesakitan.
“Oh ayolah, Abimanyu. Kau melolong bak seekor anjing yang ditendangi anak-anak kampung, tak elok dan tak layak bagi seorang kesatria melolong seperti itu.
“Terkutuklah jiwamu!” umpat Mahesa
“Saat kami semua selesai dengan urusan kami, kahyangan pun akan kami serbu. Dewa-dewa akan tunduk pada kami. Kau, andaikan lahir sebagai jiwa penghuni kahyangan sekalipun, takkan pernah bisa membalas kami. Masa ini adalah masa di mana para Kurawa berjaya. Masa ini bukan lagi masa milik para Pandawa.”
“Ehem!” tiba-tiba Jayadratha dikejutkan oleh suara deheman orang yang bukan bagian dari mereka. Jayadratha langsung menoleh ke arah sumber suara itu dan dia dibuat terkejut dengan kehadiran sosok pemuda bersarung tangan besi yang tak lain adalah Janggala.
“Selamat malam Pak. Malam yang cerah ya?” sapa Janggala basa-basi.
“KAU! HARUSNYA KAU SUDAH MATI!” seru Jayadratha.
“Sayangnya tidak demikian kan?” dari balik pilar yang tidak diterangi cahaya lampu, muncul Markus sambil menenteng dua tubuh pengawal Jayadratha yang sudah tak bernyawa.
“Serang mereka!” Jayadratha memberi perintah pada tiga pengawalnya yang tersisa. Namun saat mereka hendak menyerang Markus, tiga bola api langsung melesat dari tangan Janggala dan membakar habis tubuh mereka.
“Pak Polisi, bawa Mahesa dan ibunya keluar dari sini. Saya perlu berbincang sejenak dengan mantan atasan saya ini,” ujar Janggala.
“Terserah kaulah, asal kau jangan mati saja!” Markus langsung melesat mendapati tubuh Mahesa lalu dengan secepat kilat ia meraih tubuh ibu Mahesa kemudian terbang melesat menembus langit malam.
[1]118 (dan 119) adalah nomor telepon darurat ambulans Indonesia.
[2]110 adalah nomor telepon darurat kepolisian Indonesia.
[3]Karung plastik untuk wadah produk-produk pertanian seperti pupuk atau tepung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top