BAB XXI : TUALEN
Menjelang petang, Mahesa yang sudah diberi arloji komunikasi baru oleh Markus, tiba-tiba mendapati dua pesan baru masuk ke dalam arlojinya. Ketika ia membukanya, dua pesan itu berisi pesan yang sama : Cari tempat sepi dan hubungi nomor ini! –Ibu–
Mahesa bingung, kenapa ibunya mulai pakai rahasia-rahasiaan segala seperti ibunya Bayu? Tapi akhirnya ia kabulkan juga permintaan ibunya itu dengan modus yang sama seperti yang diajarkan Bayu : masuk kamar mandi dan kunci pintunya.
Nomor yang dihubungi Mahesa tidak langsung menjawab pada panggilan pertama, baru pada panggilan kedua ia menerima jawaban. Tapi yang menjawab bukan ibunya, melainkan seorang pria bersuara bariton berat.
“Mahesa Werdaya?” terdengar suara seseorang dari seberang sana.
“Ya. Ini siapa ya?” Mahesa terkejut karena orang itu tahu siapa dirinya, dalam benaknya ia berpikir bahwa mungkin saja pria ini adalah teman ibunya.
“Dengar!” kata pria itu dengan nada tegas dan dingin.
“Hes!” tiba-tiba Mahesa mendengar suara ibunya
“Ibu?” Mahesa terhenyak.
“Hes! Hmppffff!!!” suara ibunya terdengar kembali sebelum mulutnya seperti dibekap.
“Bajingan! Siapa kalian?” Mahesa mulai emosi.
“Dengar anak manis,” suara pria di seberang terdengar mengancam, “Kalau masih ingin melihat ibumu hidup-hidup, datanglah ke Stasiun Tenjolaya malam ini juga. Datanglah sendiri! Jangan beritahu dan ajak siapa-siapa! Kalau sampai lewat tengah malam kami belum juga menjumpai batang hidungmu, maka ... kau tahu sendiri akibatnya.”
Telepon terputus. Mahesa terdiam selama beberapa saat sambil terus menatapi kaca wastafel. Dalam hati ia tidak mempercayai sama sekali kata-kata si penculik. Tapi dengan memberitahu atau mengajak para agen Dakara untuk membantunya sepertinya juga bukan pilihan bagus. Dari keterangan yang ia dapatkan dari ibu Bayu tadi, ia jadi tidak percaya pada Dakara. Baginya Dakara mungkin saja hanya hendak memanfaatkan dan mengeksploitasi kemampuan mereka.
Setelah sekian lama berpikir akhirnya Mahesa mengambil keputusan nekat. Ia akan datang ke Tenjolaya malam ini juga. Meski masih bingung bagaimana ia bisa keluar dari markas Dakara yang dijaga banyak orang ini, ia memutuskan untuk tetap nekat berangkat.
*****
Bayu menghabiskan sore itu hanya dengan menonton tayangan televisi bertemakan sains di kamarnya. Ia memang disuruh beristirahat total setidaknya seminggu oleh dokter yang memeriksanya barusan. Ibunya tadi sempat ingin membawanya pulang, tapi otoritas Dakara menolak permohonan ibunya, sehingga membuat ibunya pulang dengan hati dongkol.
Bayu agak lega dengan kepulangan ibunya. Ia tadi sempat diomeli selama 30 menit non-stop oleh ibunya dan ia tidak ingin menambah penderitaan 30 menit itu menjadi 3 jam non-stop seperti yang pernah ibunya lakukan dahulu saat nilai ulangannya jeblok. Dalam hati ia terus berdoa semoga kemarahan ibunya segera reda sehingga jika besok atau lusa ibunya kembali kemari, ia tak perlu dimarahi.
“Mahesa, Bayu,” terdengar pintu kamarnya diketuk sebelum Markus Passaharya masuk ke dalam.
“Makan malam kalian sudah siap tuh. Ayo makan,” ajak Markus sembari menoleh ke kiri dan ke kanan, “Ngomong-ngomong mana Mahesa?”
Bayu bangkit dari tempat tidurnya, “Nggak tahu, katanya tadi mau jalan-jalan tapi sampai sekarang belum kembali.”
“Hmm ... ya sudahlah. Biar nanti kita panggil dia via pengumuman, ayo Yu. Kita makan dulu,” kata Markus sembari melangkah keluar mendahului Bayu.
Bayu berjalan di belakang Markus, sama sekali tidak khawatir soal keberadaan Mahesa. Ya, sama sekali tak khawatir sampai saat ia tiba di ruang makan dan mendapati si dokter kembar duduk menunggu dengan ekspresi was-was.
“Tolong semuanya segera ambil tempat,” salah satu dari dokter kembar yang mengenakan badge dengan tulisan ‘Nakula’ di dadanya mempersilakan Markus dan Bayu duduk. Di meja makan berkapasitas 10 orang itu sendiri sudah duduk seorang wanita berambut hitam sebahu yang memakai badge nama bertuliskan ‘Srikandi’, seorang pria paruh baya yang rambutnya sudah sedikit memutih dan mata kirinya merupakan mata bionik berlensa biru, serta Mandala, dan Janggala.
“Baiklah, sebelum makan,” dokter kembar yang satu lagi, Sadewa, beranjak mendekati meja makan, “Kami punya pengumuman penting.”
“Seseorang mencoba menembus sistem jaringan intelijen Indonesia sejak pagi tadi. Sekitar 40 % arsip Badan Intelijen Negara dan Lembaga Sandi Negara bakal dibobol kalau terus menerus begini,” kata Sadewa.
“Meski sampai sekarang kami belum mengetahui siapa pembobolnya dan apa tujuan mereka, tapi kita punya masalah baru sekarang,” tambah Nakula.
“Peretas itu berhasil mengambil log kegiatan terakhir Dakara dan BIN dalam 7 hari terakhir ini,” sambung Sadewa.
“Data log 7 hari kita yang dicuri memuat tiga identitas anggota baru kita, jadi ... keselamatan anda, Kapten Sarwadi,” Nakula menunjuk ke arah si pria bermata bionik, “serta anda Bayu dan Mahesa sekarang terancam.”
“Kami meminta kalian semua tidak keluar dari markas selama sekitar tujuh hari sampai agen-agen lapangan lainnya bisa mencaritahu siapa peretasnya dan bagaimana kita bisa meminimalisir efek kebocoran ini.”
“Di Belanda dikejar-kejar, di sinipun masih dikejar-kejar,” gerutu Kapten Sarwadi.
“Lihatlah sisi positifnya Kapten,” kata Nakula, “setidaknya anda aman di sini.”
“Ngomong-ngomong ke mana Mahesa?” tanya Sadewa.
“Saya sudah memberi pengumuman bahwa dia ditunggu di sini, tapi sampai sekarang kok dia belum muncul ya?” kata Markus.
“Biar aku ulangi lagi pengumumannya,” Nakula berjalan ke arah pintu ruang makan dan menekan sebuah panel lalu mendekatkan mulutnya pada panel itu, “Kepada Saudara Mahesa Werdaya, harap menuju ruang makan di lantai B-5.”
******
Mahesa memang mendengar suara Markus dan Nakula yang bergantian mengumumkan bahwa dirinya tengah dicari, tapi dirinya tidak menghiraukannya. Ia sudah keluar dari lantai basement ke lantai dasar, lalu berjalan cepat-cepat dan berharap tidak ada seorangpun menyadari kepergiannya.
Harapannya terkabul. Orang-orang di lantai dasar yang beranjak pulang tak ada yang mempedulikannya. Mereka semua sibuk dalam kegiatan mereka sendiri seperti berbincang dengan rekan mereka atau sibuk berkonsentrasi memikirkan sesuatu tanpa mengindahkan lingkungan sekitar.
Mahesa menaikkan retsleting dan tudung jaket merahnya, bersiap berjalan menembus lapangan rumput yang diguyur hujan gerimis. Tapi langkahnya dihentikan oleh seseorang pria yang ekspresi mukanya dingin dan iris mata berwarna aneh, kuning seperti mata kucing.
“Ikut saya!” pria itu mengulurkan tangannya, dan Mahesa, meski ragu, akhirnya mengulurkan tangan kirinya. Saat menyentuh tangan pria itu, Mahesa merasakan tangannya seperti disentuh es beku sekaligus api membara secara bersamaan. Tangannya mengalami mati rasa akibat rasa dingin dan rasa terbakar akibat panas secara bergantian namun sebelum ia bisa bereaksi melepaskan diri dari tangan pria misterius itu, ia tiba-tiba sudah berada di stasiun Jakarta Kota.
“Tugasku selesai,” ujar pria misterius itu sebelum membalikkan badan dan kemudian perlahan menghilang.
Mahesa terperanjat, “Makhluk apa itu tadi? Hantu atau ... ?” tapi pikirannya soal itu tak bisa ia renungkan lama-lama. Arlojinya kembali berdering dan kali ini memuat sebuah pesan singkat : Sebaiknya kau cepat-cepat kemari!
Mahesa pun langsung berlari ke mesin penjual tiket, memesan sebuah tiket menuju Tenjolaya, Bogor, tapi ia mendapati bahwa tak ada lagi stasiun yang aktif di daerah itu. Wajar saja! Daerah itu pernah diserang Laskar Pralaya menggunakan gas beracun hingga akhirnya ditinggalkan oleh penduduknya sampai sekarang.
Satu-satunya stasiun yang paling dekat dengan Tenjolaya adalah Stasiun Jalan Pahlawan, Bogor. Mahesa segera memesan satu tiket sebelum menyadari bahwa kereta yang akan ia tumpangi sudah akan berangkat. Kontan saja remaja itu segera berlari kesetanan ke arah kereta yang sudah bersiap hendak berangkat itu. Kereta itu nyaris saja berangkat meninggalkan Mahesa sebelum akhirnya Mahesa berhasil masuk dengan nafas yang tidak teratur karena kehabisan nafas.
Kereta tidak terlalu penuh saat itu, hanya ada beberapa penumpang yang duduk sambil terkantuk-kantuk. Mahesa pun segera duduk di salah satu bangku sebelum akhirnya memejamkan mata sejenak. Ia sebenarnya masih capek pasca insiden beruntun yang menimpa dirinya mulai dari Vancouver sampai Toronto. Di penerbangan antara Toronto-Jakarta tadi ia juga tidak bisa tidur nyenyak. Sekarang pikiran untuk tidur barang sejenak menggodanya, namun pikiran yang kalut akibat mengkhawatirkan ibunya membuat ia mengurungkan niatnya untuk tidur. Bagaimana jadinya kalau ia nanti kebablasan dan tidak turun di stasiun Jalan Pahlawan?
Tapi tubuhnya yang penat dan pegal akhirnya tidak bisa diajak kompromi, Mahesa menyetel alarm arlojinya untuk membangunkannya 10 menit lagi sebelum akhirnya memejamkan mata.
******
Mahesa dibangunkan oleh sentuhan berulang-ulang di lengannya disertai suara seorang bapak yang berkali-kali memanggil dirinya, “Nak, Nak. Bangun Nak!”
Mahesa membuka matanya dan ia nyaris melompat karena kaget dibangunkan oleh seorang bapak tua beruban yang giginya tinggal dua – satu gigi geraham atas dan satu gigi geraham bawah – berkulit coklat gelap terbakar matahari, dan yang lebih unik lagi ... mengalami kretinisme alias cebol.
“Hehehehe maaf Nak, Bapak mau minta tolong. Bisa tolong masukkan koper Bapak ke tempat barang di atas sana? Bapak dan anak Bapak kesulitan,” pinta bapak itu.
Mahesa melirik ke bangku seberang. Tampak di sana ada sesosok pria cebol yang punya wajah serupa dengan si bapak buruk rupa yang tadi membangunkannya hanya saja lebih muda, masih berambut hitam, dan deretan giginya lebih lengkap.
“Oh, ya, ya,” Mahesa langsung bangkit berdiri dan mengangkat koper si Bapak yang beratnya ternyata .... naudzubillah ... beratnya minta ampun. Seolah ada sejumlah batu kali yang ditambang langsung dari gunung berapi dijejalkan dalam tas itu.
“Aduh, buset!” Mahesa menghirup nafas dalam-dalam sebelum mengangkat tas itu dengan sekuat tenaganya ke tempat barang yang ada di atas bangku penumpang.
“Oh hehehe, terima kasih lho Nak,” kata Bapak itu.
“Uh ya, sama-sama Pak,” Mahesa kini merasakan seluruh tangannya kram. Dalam hati ia menyerapah kenapa dia harus dimintai tolong pada saat situasi seperti ini? Ia membutuhkan seluruh potensinya pada titik maksimal untuk membebaskan ibunya nanti. Kalau tangannya kram seperti ini, bisa-bisa ia gagal menolong ibunya.
“Kenapa Nak? Kram?” tanya Bapak itu lagi.
“Uh iya. Maaf Pak, tadi tasnya berat sekali,” kata Mahesa.
“Sini Nak,” Bapak bergigi dua itu mengeluarkan sebotol minyak dari saku celananya lalu meminta Mahesa duduk dan melepas jaketnya kemudian mengoleskan minyak itu sambil memijit-mijit lengan Mahesa.
“Sudah enakan Nak?” tanya Bapak itu selagi memijit.
“Wah, terima kasih Pak. Bapak ini tukang pijat ya?” tebak Mahesa
“Tukang obat tradisional sebenarnya Mas,” jawab pria yang tampaknya adalah anak si Bapak itu.
Pasca selesai memijit Mahesa, bapak bergigi dua itu kembali ke tempat duduknya dengan langkah yang agak tertatih-tatih, efek samping akibat kakinya yang pendek dan perutnya yang gemuk. Tapi setelah ia duduk, kembali ia berceloteh, menceritakan Mahesa soal macam-macam hal mulai dari mereka baru tiba di Jakarta pagi ini, setelah sebelumnya mereka dari Lampung, kemudian ia bercerita soal perjalanannya ke Kalimantan, dan lain sebagainya.
“Malam-malam begini mau ke mana, Mas?” tiba-tiba bapak itu bertanya.
“Ah, mau ke Bogor.”
“Ke Tenjolaya ya?” tebak anak si Bapak.
Mahesa terkejut, “Bagaimana mereka tahu tujuannya?”
“Bapak ini bukan tukang obat biasa kan? Siapa sebenarnya Bapak? Darimana putra Bapak tahu saya mau ke Tenjolaya?” tanya Mahesa dengan tatapan curiga.
“Saya? Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya orang biasa yang suka mengembara mengelilingi Nusantara.”
“Bapak, jangan menjawab dengan jawaban berbelit-belit! Saya cuma ingin tahu nama Bapak,” Mahesa mulai gusar.
“Nama saya?” pria cebol itu tersenyum, “Tualen. Dan ini putra saya, Merdah,” ia menunjuk ke seorang si pria cebol yang usianya lebih muda daripada dirinya.
“Kami datang kemari untuk melindungi, Mas. Saran kami, sebaiknya Mas membatalkan niat Mas ke Tenjolaya,” kata Merdah, “Mas takkan sanggup melawan mereka dan membebaskan ibu Mas kalau itu yang Mas pikirkan.”
“Kalian ini siapa? Dan bagaimana mungkin orang cebol macam kalian mau melindungi saya? Jangan mimpi!”
“Oooo, Mas rupanya sudah lupa pada kami?” raut muka Merdah tampak ditekuk, sedih.
“Saya bahkan tidak pernah kenal orang yang namanya Tualen dan Merdah!”
“Nak Mahesa, sebaiknya ...,” Tualen sepertinya hendak mengatakan sesuatu sebelum gerbong kereta tiba-tiba bergoncang hebat hingga membuat Mahesa dan dua orang cebol asing itu terjatuh dari kursi mereka. Beberapa detik berikutnya, Mahesa merasakan laju kereta berjalan semakin cepat.
“Merdah!” Tualen berseru sambil memberi isyarat satu jari telunjuk ke arah Merdah. Merdah langsung melompat meraih tas berat yang tadi Mahesa letakkan di tempat barang lalu merogoh dan menarik keluar dua pisau lempar yang langsung ia lemparkan ke arah pintu gerbong di ujung depan.
Pisau itu tampak menghantam sesuatu yang tak kasat mata, menembus sebuah lapisan mirip lendir transparan yang akhirnya mencair mengotori lantai dan menimbulkan suara mendesis.
“Mas! Anda harus turun dari kereta ini, sekarang juga!” ujar Tualen dengan raut muka serius.
“Ooo dia tak akan ke mana-mana,” tiba-tiba ada suara dari ujung gerbong dan seorang pria bermantel hitam dan mengenakan topi pet hitam tampak di ujung belakang gerbong sambil menenteng sebuah golok yang bilahnya berkilat-kilat ditimpa sinar lampu kereta, “Kau dengar Tualen? Tidak akan ke mana-mana!”
Pria misterius bersenjata itu melesat, melayang ke arah Mahesa. Tapi Merdah segera pasang badan dan menggunakan tas bawaannya untuk memukul pria misterius itu. Pria itu bersalto, kembali ke ujung belakang gerbong lalu bersiul dan segera saja tampak sekumpulan asap hitam pekat masuk melalui sela-sela jendela, lubang AC, dan lubang ventilasi, memenuhi ujung belakang gerbong itu dengan asap hitam pekat yang meliuk-liuk hidup.
“Serang!” pria bermantel hitam itu mengacungkan goloknya ke arah Tualen dan Merdah dan gerombolan asap hitam itu segera menyerbu mereka.
Mahesa turut kena hantaman asap hitam yang ternyata lebih solid daripada yang ia duga dan turut terlempar sampai ujung depan gerbong. Ia tak bisa membuka matanya karena makhluk-makhluk asap hitam itu terus berkerumun di sekitar wajahnya namun beberapa detik kemudian makhluk itu tiba-tiba sirna.
Ketika Mahesa membuka mataya, Tualen dan Merdah sudah tak ada lagi di gerbong itu. Si pria bermantel hitam itu pun tak tampak. Gerbong itu hanya berisikan satu penumpang saja sekarang, Mahesa seorang.
==SPOILER==
Tualen dan Merdah adalah nama Bali untuk Semar dan Bagong :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top