BAB XX : DAKARA

Megapolitan DKI. 19.00 WIB, hari sebelumnya

Dursasana baru saja hendak keluar dari kantornya ketika sosok seorang pria berwajah keriput tiba-tiba sudah hadir di kantornya. “Aswathama? Ada apa?”

Pria berwajah keriput yang dipanggil Aswathama itu hanya menghela nafas pelan sebelum berjalan mendekati meja kerja Dursasana, “Paduka Prabu menyuruh saya mengirimkan sekutu yang lebih kuat untuk menghentikan anak-anak Arjuna di Kanada sana. Akhirnya aku kirimkan Candavata ke sana.”

“Lalu?” Dursasana mulai merasakan gelagat yang tidak baik.

“Tapi Nagaraja Antaboga dan Batara Bayu mengintervensi tugas Candavata. Satu-satunya hasil yang bisa dicapai Candavata hanya meratakan separuh kota Toronto dengan tanah. Tapi kita kehilangan jejak anak-anak Arjuna dari sana.”

“Apa Kakang Prabu sudah tahu soal ini?”

“Sudah,” Aswathama mengangguk.

“Dan? Apa reaksi beliau?”

“Paduka Prabu tengah mengaktifkan sistem SEDNA untuk mencari tahu pergerakan musuh.”

“Beliau marah?”

Aswathama mengangguk, “Ya. Tapi beliau juga memaparkan rencana baru.”

“Rencana baru? Apa itu?”

“Irawan sangat sulit ditangkap karena ia punya barisan pendukung yang amat kuat. Ibunya kenal orang-orang yang berpengaruh di negeri ini, kalau sampai ia terbunuh sekarang, segalanya bisa kacau.”

“Ya,” Dursasana berjalan ke arah jendela, memandangi lalu lintas Jakarta yang masih hidup meski hari sudah beranjak malam, “Pers akan heboh, rakyat akan teragitasi. Saham perusahaan ini akan turun dan rencana kita bakal berantakan.”

“Tapi dari info yang dikirimkan Srenggi, kita berhasil mendapati bahwa Mahesa Werdaya, anak yang kabur bersama Irawan, tak lain adalah Abimanyu.”

“Hoo,” Dursasana membalikkan badannya, kembali menghadap Aswathama, “Aku sudah mulai tahu ke mana arah pembicaraan kita.”

“Ya, Paduka Prabu ingin agar kita dapat menyisihkan aset untuk dipakai untuk mendukung pasukan Jayadratha dalam misinya memancing dan memusnahkan Abimanyu. Abimanyu harus dilenyapkan lebih dahulu.”

Megapolitan DKI, 10.00 WIB

Kembali ke Jakarta, Mahesa merasa cukup senang karena akhirnya ia bisa kembali ke Indonesia. Tapi di sisi lain, Bayu tampak sekali amat gelisah. Sejak berangkat dari bandara sampai dibawa ke daerah Pejaten ini, Bayu tak henti-hentinya mengubah-ubah posisi duduknya, sambil sesekali meniup-niup telapak tangannya, seolah telapak tangannya kedinginan, padahal suhu di luar sana 370C.

Mobil mereka memasuki gerbang bangunan yang dijaga sejumlah orang bersenjata. Di gerbang tadi, Markus sempat menunjukkan sebuah chip-id dan ditanyai selama beberapa saat sebelum diizinkan masuk. “Bangunan ini instalasi militer ya?” tanya Mahesa.

“Bukan, ini markas BIN. Untuk sementara kalian akan ditampung dulu di sini sebelum kami bisa mengambil langkah selanjutnya,” kata Markus.

“Maaf Pak Polisi, tapi sesuai perjanjian, aku akan langsung membawa Bayu pulang,” kata Kartika, “Ibunya sudah menunggu.”

“Maaf Non, bukan saya yang punya kuasa ‘membebaskan’ Bayu dari pemeriksaan BIN.”

“Pemeriksaan?” Mahesa tidak paham dengan isi pembicaraan Markus dan Kartika.

“Ya, pemeriksaan,” jawab Markus pendek.

*****

Mahesa dan Bayu dibimbing memasuki gedung BIN di mana sejumlah pegawai tampak lalu-lalang dengan ekspresi muka datar dan dingin bak patung es. Markus membawa mereka ke sebuah elevator di mana Kartika sekali lagi mengajukan ‘komplain’ atas kebijakan BIN yang tidak mau langsung memulangkan Bayu, tapi Markus mempersilakan Kartika protes ke komandannya saja nanti.

Bayu sendiri merasa sangat lega kalau sampai kepulangannya ditunda. Ia sudah membuat ibunya marah dengan berangkat ke Pelatnas lalu ke Vancouver tanpa izin. Kalau ia bisa menunda hukuman ibunya barang sehari saja, ia mungkin masih punya harapan untuk melunakkan hati ibunya dengan menyusun kata-kata permintaan maaf yang tepat.

Lift itu bergerak turun lalu berhenti di lantai B-3. Markus keluar lebih dahulu, disusul oleh Kartika, Mahesa, lalu Bayu. Di situ, kedua remaja itu menatap takjub pada sebuah instalasi bawah tanah yang ada di bawah gedung BIN. Tempat mereka berdiri sekarang ini mirip dengan lobi hotel bintang lima, dengan sistem penyejuk udara yang mengalirkan aliran udara sepoi-sepoi yang tidak terlalu dingin namun sejuk dan nyaman. Di tengah ruangan itu ada sebuah meja resepsionis dengan seorang agen wanita berbaju batik merah tampak tersenyum ke arah mereka.

Markus mendekati resepsionis itu dan di sana resepsionis itu menyodorkan sebuah layar holografik berisi sederet tulisan dan tabel. Markus mengisi semua kolom yang harus ia isi sebelum menekan tombol ‘Laporkan’.

“Deputi Komandan Nakula dan Sadewa, menunggu anda berempat di ruang kontrol,” kata sang resepsionis.

“Makasih, Neng. Ayo,” Markus mengajak ketiga anggota rombongannya bergerak ke ruangan di balik meja resepsionis itu dan dari sana mereka berempat berjalan lurus melewati sebuah lorong yang berisikan aneka ruangan yang tampak seperti laboratorium di sisi kiri dan kanannya.

Di ujung lorong, ada sebuah pintu geser. Begitu Markus berdiri di hadapan pintu itu, pintu itupun langsung terbuka dan di balik pintu itu tampak sejumlah petugas operator mengamati aneka layar holografik yang melayang di sekeliling mereka. Masing-masing layar menunjukkan info yang berbeda-beda seperti kurs mata uang, peta Kepulauan Nusantara, dan lain-lain. Dan di tengah ruangan itu, berdiri si kembar yang mengenakan kemeja batik coklat yang mereka padukan dengan jas laboratorium warna putih.

“Ini mereka Pak,” Markus menunjuk ke arah Mahesa dan Bayu.

“Bagus,” kata seorang dari si kembar, “Kerja bagus Ipda Markus. Nah anak-anak, selamat datang di Dakara. Lembaga investigasi supranatural Republik Indonesia yang berada di bawah  komando BIN.”

“Supranatural?” tanya Bayu.

“Ya,” si kembar yang mengenakan name-tag bertuliskan ‘Nakula’ itu tersenyum, “Kami mengurusi ... hal-hal yang tidak biasa, seperti kasus-kasus kalian ini.”

Belum sempat Nakula berbicara lebih jauh, pintu ruangan itu terbuka dan masuklah sosok seorang wanita berkacamata yang mengenakan blazer abu-abu dan dipadu dengan kemeja merah serta rok merah pula. Mata wanita itu, bagi Mahesa, memancarkan sesuatu seperti ‘aura jahat’, dan hal ini membuat Mahesa tidak berani kontak mata langsung dengan wanita itu.

Bagi Bayu, kedatangan wanita itu merupakan bencana yang melebihi dahsyatnya banjir bandang atau gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter. “Modyar[1] aku!” kata-kata itu tanpa sadar meluncur dari mulutnya.

“Ah, Mbak Palupi, baru saja kami mau hubungi Mbak,” ujar Nakula.

“Jangan basa-basi lagi! Apa telinga kalian sudah mulai tuli, Nakula dan Sadewa? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku bersedia menyumbangkan apa saja untuk Dakara kecuali anakku?” bentak wanita itu. Suaranya menggelegar dan tampaknya punya kekuatan magis sehingga para operator di ruangan itupun seluruhnya ikut terdiam.

“Tenang Mbak Palupi,” Sadewa tampaknya tidak terpengaruh oleh suara menggelegar wanita yang tak lain adalah ibu Bayu itu, “kami belum menawarkan apa-apa pada mereka.”

“Lalu kenapa kalian hendak mengkarantina mereka?”

“Demi keamanan mereka, Mbak,” kali ini Nakula yang menjawab.

“Mana Kolonel Syailendra?”

“Beliau ada tugas di lapangan.”

“Kapan dia kembali?”

“Entahlah Mbak. Sudahlah Mbak. Tak baik jika kita ribut terus di sini. Bayu juga habis cedera. Bukankah sebaiknya ... ,” kata-kata Nakula langsung dipotong oleh aksi Palupi yang langsung mencengkeram kerah kemeja Nakula.

“Aku tahu siasat kalian. Kalian akan menjanjikan sesuatu yang megah-megah seperti nama baik, bintang jasa Mahaputra, atau aksi kepahlawanan. Tidak, sudah cukup aku kehilangan anakku pada era yang lampau. Perang ini adalah perang antara Pandawa dan Kurawa. Itu artinya antara kalian berdua plus Srikandi melawan apa yang tersisa dari Seratus Perkasa Keturunan Wangsa Kuru. Dengar! Aku tidak mau anakku ikut campur lagi dalam perang ini. Urus saja diri kalian sendiri! Aku tidak akan peduli lagi apakah Kurawa atau Pandawa yang menang kalau sampai kalian hendak memanfaatkan anakku sebagai prajurit!”

“Ibu,” Kartika berjalan mendekati Palupi dan memegang bahu wanita itu, “Maaf Bu, tidak elok rasanya kalau kita bertengkar di hadapan banyak orang seperti ini. Ayo kita keluar sebentar.”

Tapi anjuran Kartika tampaknya tidak didengarkan oleh Palupi. Ia memang tidak berteriak-teriak lagi tapi tangannya masih mencengkeram kerah kemeja Nakula.

“Ayo kita keluar dulu,” Markus langsung berinisiatif mengajak Bayu dan Mahesa keluar selagi Nakula dan Sadewa masih berdebat dengan Palupi.

******

Di luar Mahesa masih merasa tubuhnya gemetaran akibat dahsyatnya suara ibu Bayu tadi. Wajah Bayu pun tampak pucat dan juga gemetaran, tampaknya dia benar-benar ketakutan.

“Ayo ikut saya,” Markus berjalan mendahului kedua remaja itu menuju elevator. Di sana ia memencet tombol panggil dan mempersilakan kedua remaja itu masuk lebih dahulu saat elevator tiba.

Di dalam, Markus memencet tombol B6. Elevator itupun langsung bergerak turun dan mengantar mereka ke sebuah lantai yang dipenuhi banyak ruangan. Markus berjalan ke depan satu pintu ruangan sambil mendekatkan retinanya ke sebuah pemindai.

“Sementara kalian istirahat dulu di sini ya?” Markus mempersilakan kedua remaja itu masuk.

Bayu dan Mahesa pun langsung memasuki ruangan itu tanpa berkata sepatah kata pun dan Markus pun pamit pada mereka untuk mengambil makanan.

Pasca Markus keluar dari kamar mereka, Mahesa menoleh ke arah Bayu dan mencoba membuka pembicaraan, “Di sini dingin ya?”

“Iya,” Bayu menjawab pendek sebelum menghela nafas panjang, terdiam beberapa saat, dan berkata, “Hes, makasih.”

“Soal apa?”

“Soal kamu selamatkan aku di terminal bus di Toronto kemarin.”

“Ah, kamu juga selamatkan aku di stadion Vancouver kan? Jadi kita impas.”

Mereka kembali terdiam lagi sebelum pintu kamar mereka terbuka dan seorang remaja peranakan Tionghoa yang tak lain adalah Mandala membawa sebuah kereta makanan berisi dua piring makanan dan dua gelas minuman di atasnya. Wajah Mandala mengulaskan senyum saat menatap Mahesa dan Bayu sebelum menyusun piring dan gelas yang ia bawa di atas sebuah meja rias.

Tapi kehadiran Mandala membawa baik Bayu dan Mahesa terlempar ke alam ketidaksadaran. Di benak Mahesa, Mahesa merasa dirinya kembali ke era yang sama dengan era yang selalu ia bayangkan dalam mimpinya, era Bharatayudha. Ia tengah duduk di atas sebuah kereta kuda dengan seorang pemuda yang usianya kira-kira sebaya dengan dirinya duduk sebagai sais kereta. Di sampingnya ada juga kereta kuda yang ditunggangi oleh seorang pemuda yang mengenakan zirah kuning tembaga tampak berjalan beriringan dengan kereta kuda yang ia naiki.

 

“Abimanyu! Tembus formasi itu! Kami akan memberi dukungan dari belakang dan memastikan kalian bisa keluar!” seru seorang pria bermahkotakan mahkota emas yang wajahnya tampak kabur.

 

“Baik Paman!” Mahesa tidak tahu sebenarnya ia bicara dengan siapa, karena wajah si pemberi perintah itu juga tidak jelas. Kabur dan buram.

 

“Sumitra, ayo maju!” Mahesa memberi perintah kepada saisnya untuk maju, sementara itu di sisi kiri dan kanannya, sejumlah kereta kuda yang dinaiki seorang atau dua orang kesatria berjalan beriringan dengan kereta kudanya.

 

“Kanda! Ini terlalu beresiko! Menembus formasi Cakravyahu sama saja bunuh diri!” sahut seorang kesatria yang keretanya berjalan beriringan dengan kereta Mahesa.

 

“Tapi ini perintah, Adi Prabakusuma! Kalau kita tidak menembus formasi ini, maka seumur hidup ayah kita akan dijajah oleh Kurawa!”

 

“Itu benar, tapi ... aku punya firasat buruk Kanda. Lebih baik batalkan saja serangan ini!”

 

“Mundurlah kalau kau mau Adi! Kami tidak butuh seorang pengecut untuk ikut menyerang bersama kami!” bentak Mahesa.

 

“Benar Adi!” sais kereta Mahesa yang dipanggil Sumitra itu turut menanggapi, “Mundurlah! Kau mempermalukan nama ayah kita kalau sifatmu sepengecut itu!”

 

“Kita tidak butuh seorang pengecut di jajaran putra-putra Arjuna! Benar kan Saudara-saudaraku?” timpal seorang yang lain.

 

Dipojokkan oleh sejumlah argumen seperti itu, akhirnya kesatria yang dipanggil Prabakusuma itu akhirnya mengalah. Ia tetap turut dalam barisan pemukul yang dipimpin Mahesa.

 

Setelah itu pandangan Mahesa kembali beralih ke masa kini.

 

Lain Mahesa, lain pula dengan Bayu. Menatapi Mandala, sejumlah bayangan segera berkelebat di benak Bayu. Tapi bayangan yang menyerbu benak Bayu agak berbeda dengan bayangan yang dilihat Mahesa.

 

Bayu berdiri di antara kemah-kemah berbahan kain yang berjajar memenuhi sebuah padang rumput yang mulai mengering. Ia tampak berjaga di sebuah kemah sampai seorang pemuda yang wajahnya mirip Mandala mendekatinya.

 

“Salam Kanda Irawan, nama saya Prabakusuma,” sapa Mandala.

 

“Prabakusuma?” nada suara Bayu agak terdengar kurang senang.

 

“Ya, Kanda. Sama seperti Kanda, saya juga putra ayahanda Arjuna.”

 

“Siapa ibumu?”

 

“Ibu saya adalah Supraba, salah satu dari tujuh bidadari yang menjadi mempelai ayahanda Arjuna, pasca ayahanda Arjuna mengalahkan Prabu Niwatakawaca. Kedatangan saya dan saudara-saudara saya kemari adalah untuk membantu memperkuat pasukan ayahanda dan saudara-saudara ayahanda. Saya merasa terhormat bisa bertarung bersama Kakanda Irawan yang kesaktiannya sudah termahsyur.”

 

“Terima kasih,” Bayu masih juga menjawab dengan nada suara kurang mengenakkan, “tapi aku biasa bertarung sendiri, Prabakusuma. Kalau kau mencari rekan bertarung, temui saja anak emas ayahanda, si Abimanyu itu.”

 

Pemandangan yang dilihat Bayu kemudian berubah menjadi sebuah area di mana sekelompok pasukan berkuda tengah bersiap di kanan dan kiri Bayu, sementara itu Mandala tampak berlari-lari memanggil Bayu dengan nama ‘Irawan’.

 

“Kanda! Tolong jangan serbu sayap kanan sekarang! Juga jangan pernah menerima tantangan Prabu Srenggi. Sesuatu yang buruk akan terjadi kalau Kanda tetap nekat!”

 

Tapi Bayu tak mengindahkan peringatan Mandala, ia malah langsung memacu kudanya, diikuti sejumlah pasukan berkuda yang berada di belakangnya. Dari sekian banyak prajurit berkuda itu, ia melihat sosok yang familiar. Sosok yang mirip dengan Kartika.

 

*****

 

Sekarang Bayu merasa dirinya sangat menyesal karena tidak mengindahkan anjuran Prabakusuma alias Mandala tadi. Sayap kanan pasukan Hastina yang dipimpin Srenggi memang sulit ditembus daripada hari-hari yang kemarin. Satu demi satu pasukannya berguguran, menyisakan hanya dirinya dan Kartika seorang.

 

Hukum perang kuno yang berlaku saat itu menyatakan bahwa seorang kesatria berhak menantang kesatria lainnya dan saat kedua kesatria itu bertarung tak ada yang boleh mengintervensi, pasukan, rekan, ataupun dewa sekalipun tidak boleh mengintervensi jalannya pertarungan sampai seorang keluar sebagai alias pemenang dan seorang lagi mati. Aturan ini hanya tidak berlaku jika terompet tanda senja tiba dibunyikan. Pada saat itu seluruh aktivitas pasukan akan dihentikan, dan masing-masing orang akan pulang ke perkemahan mereka masing-masing. Dalam kondisi serba terdesak seperti itu, pilihan bagi Bayu alias Irawan cuma satu : menantang Srenggi bertarung.

 

“Srenggi!” Bayu mengangkat sundang miliknya tinggi-tinggi, “Aku menantangmu bertarung sebagai sesama kesatria!”

 

“Paduka! Jangan gila!” Kartika yang sedari tadi tampak berusaha sebisanya menahan laju musuh yang mendekat ke arah mereka dengan astra busur panahnya memprotes.

 

“Tidak ada pilihan lain, Ladrangmungkung. Cuma ini satu-satunya jalan,” Bayu beranjak maju menyongsong Srenggi yang turut mendekat dengan menggenggam golok raksasa di tangannya. Setelah jarak mereka hanya tinggal dua puluh langkah, Bayu langsung melompat dan menyabetkan sundangnya ke arah Srenggi. Srenggi refleks menangkis serangan Bayu dan melancarkan pukulan tangan kiri ke arah Bayu. Bayu berkelit dengan menjatuhkan diri sebelum menyabetkan senjatanya ke kaki kiri Srenggi sehingga melukai kaki kiri raksasa itu.

 

Srenggi meraung dan balas mengayunkan goloknya ke arah belakang, tempat di mana Bayu alias Irawan berpijak, namun Bayu kembali berkelit dan sekali lagi menggoreskan senjatanya pada tubuh Srenggi. Kali ini ia mengenai leher sang raksasa. Srenggi pun menjadi semakin menggila, ia menyerang dengan semakin membabi-buta, namun Bayu selalu berhasil menghindari serangannya.

 

Tapi lama-kelamaan, Bayu mulai merasa tubuhnya kelelahan. Otot-ototnya mulai kebas, terutama otot kakinya, sehingga pada suatu kesempatan golok Srenggi berhasil mengenai kaki kanannya. Para raksasa bersorak girang melihat dirinya terjatuh dan tersungkur. Srenggi pun meraung girang dan penuh kemenangan. Wajah sang raksasa yang merah, bertaring, dan penuh rambut itu menjadi semakin jelek saja di mata Bayu.

 

Bayu melirik kaki kanannya yang kini dihiasi luka menganga sedalam seruas jari telunjuk orang dewasa. Bayu langsung sadar bahwa Srenggi kini berada di atas angin. Ia tak bisa lagi melakukan manuver menghindar seperti tadi. Satu-satunya jalan yang bisa ia ambil untuk mengalahkan Srenggi adalah dengan bentrok langsung.

 

Saat Srenggi masih terlena oleh kemenangan kecilnya itu, Bayu merubah astra di tangannya menjadi bentuk busur panah lalu melepaskan sejumlah anak panah yang menancap tepat di pipi kanan Srenggi. Srenggi yang baru sadar bahwa lawannya masih bisa melawan langsung murka dan berlari mendapati Bayu. Bayu langsung merubah senjata di tangannya menjadi sebentuk sundang kembali. Srenggi langsung mencengkeram tubuh Bayu, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum mengarahkan mulutnya yang penuh dengan gigi taring itu ke leher Bayu dan mengoyak urat-urat dagingnya. Di saat yang bersamaan, tanpa mempedulikan nyawanya yang makin menipis dari waktu ke waktu, Bayu menancapkan sundangnya di leher sang raksasa. Kembali Srenggi meraung dan berguling dengan tetap menancapkan taringnya di leher Bayu. Bayu sendiri pun bersikeras untuk tidak melepaskan senjatanya hingga akhirnya pertarungan itu berakhir dengan kematian keduanya. Baik Irawan maupun Srenggi tewas hari itu.

*****

“Prabakusuma?” kata Mahesa dan Bayu bersamaan saat kesadaran mereka kembali ke alam nyata.

Mandala tampak bingung, ia hanya memiringkan kepalanya sambil mengerutkan dahi tanda tidak paham apa yang sedang dibicarakan dua remaja yang usianya lebih tua dari dirinya ini.

“Kamu Prabakusuma kan?” tanya Mahesa.

“Kamu putra bidadari kahyangan kan?” tambah Bayu, menimpali pertanyaan Mahesa.

Tentu saja Mandala hanya diam karena dia memang tidak tahu apa yang diomongkan Mahesa dan Bayu serta dia memang tidak bisa ngomong. Akhirnya satu-satunya hal yang Mandala lakukan untuk keluar dari kamar itu hanyalah mengibaskan tangannya, membuat tanda mempersilakan Bayu dan Mahesa untuk menikmati makanan dan minuman yang sudah ia antar sebelum akhirnya cepat-cepat keluar dari kamar itu sambil mendorong kereta makannya.

Bayu dan Mahesa hanya bisa saling berpandangan ketika melihat reaksi Mandala yang seperti itu.

“Dia kenapa sih? Kok diam saja?” celetuk Bayu.

“Entah, mungkin dia ketakutan atau ...,” Mahesa berusaha menyampaikan pendapatnya sebelum terpotong karena masuknya Markus ke dalam kamar mereka.

“Kalian barusan apain si Mandala? Kok dia sampai tergesa-gesa begitu?” tanya Markus.

“Kami tadi nanya apa dia itu reinkarnasi dari Prabakusuma, putra Arjuna dengan bidadari kahyangan Supraba,” kata Bayu.

“Tapi jawaban dia cuma kepala miring, dahi berkerut, dan nol kata,” tambah Mahesa.

“Apa dia terlalu pemalu ya?” tambah Bayu.

“Bukan sekedar pemalu, Adik-adik ” Markus menggeleng-gelengkan kepala, “Dia juga tuna wicara.”


[1]mampus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top