BAB XVI : KESETIAAN
Markas Dakara, Jakarta, 01.00 WIB
Syailendra jadi terpaksa berjaga semalaman untuk terus mengontrol pergerakan Markus-Kartika serta Bayu-Mahesa. Kabar buruk yang ia terima dari Narada – sang utusan kahyangan – benar-benar membuat dirinya harus terus berjaga. Selain itu ia juga mendapati bahwa tim Srikandi – Nakula – Sadewa yang ia kirimkan ke Belanda beberapa hari yang lalu mungkin baru bisa kembali besok pagi. Segala rencananya terlambat dari jadwal yang seharusnya.
Monitor-monitor di ruang kontrol masih terus menampilkan aneka citra mulai dari citra satelit Kanada, Sulawesi, Sumatra, dan banyak tempat lainnya. Semua yang ditampilkan di layar-layar itu mulai membuat kepala Syailendra pening karena Sang Presiden RI membebani Dakara sejumlah target kerja yang agak mustahil untuk mereka selesaikan dalam jangka waktu singkat.
Presiden memberinya tugas bagi Dakara untuk turut membantu melacak keberadaan pemimpin-pemimpin Laskar Pralaya menggunakan segala sumberdaya mereka. Syailendra sudah menggunakan para Penerawang – kelompok anggota Dakara yang memiliki kemampuan lebih dalam hal meramal dan melihat tempat-tempat yang jauh dengan atau tanpa bantuan media-media tertentu. Ia juga menurunkan sejumlah agen lapangan untuk turut serta dalam Operasi BIN. Tapi semua ini membuatnya jadi kekurangan orang untuk mengatasi sebuah ancaman yang lebih besar.
Syailendra menghela nafas sejenak sebelum duduk di sebuah sofa sambil terus menatapi layar-layar monitor. Seorang staff kemudian menghampirinya sambil menggenggam dua layar holografik di tangannya.
“Ini informasi mengenai Junaedi Kartawijaya,” ujar staff tersebut.
“Terima kasih,” kata Syailendra sesaat setelah ia menerima layar itu.
Syailendra membaca sedikit soal Kartawijaya. Dari profil yang ia dapati, Kartawijaya merupakan seorang arsitek istimewa. Ia lulusan terbaik ITB dalam bidang arsitektur, diterima bekerja di sebuah perusahaan konstruksi Jerman, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia dengan semangat menggebu untuk mengabdikan dirinya bagi kemajuan dunia arsitektur Indonesia.
Tapi idealisme tinggallah idealisme. Kartawijaya terjebak dalam situasi sulit. Ia terpaksa bekerja di sebuah perusahaan konstruksi yang dengan licik menempatkannya dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kartawijaya terjebak dalam posisi Manajer tingkat menengah selama 5 tahun tanpa kesempatan promosi meski teman-teman sebayanya rata-rata sudah jadi Kepala Cabang atau direktur.
Sampai ketika Satyawati Corp merekrutnya dan memberinya posisi sebagai direktur di sebuah proyek menara pembersih polusi di Sumatra. Menara pembersih polusi adalah sebuah konstruksi menara setinggi 20 meter yang punya fungsi kurang lebih sama seperti pepohonan. Mereka menyerap CO2 dan menguraikannya menjadi karbon dan oksigen lalu melepaskan oksigen itu kembali ke udara dan mendaur ulang karbonnya menjadi briket untuk bahan bakar. Menara ini banyak dibangun untuk menggantikan fungsi hutan yang sudah banyak dibabat dan proyek menara seperti ini menuntut orang-orang yang benar-benar cakap untuk mengerjakannya. Kartawijaya adalah salah satu di antaranya namun sayang ia bekerja untuk perusahaan yang salah. Karena Satyawati Corp jelas-jelas terindikasi kuat menyokong Laskar Pralaya.
*****
Pekanbaru, Riau, 21.00 WIB
Peresmian kantor PT. Lasaka Wana Lestari siang tadi berlangsung cukup meriah. Perusahaan konstruksi menara pembersih polusi ini akhirnya resmi dibuka. Kartawijaya, selaku direktur utamanya, sudah tak bisa menghitung lagi berapa banyak tamu yang dia terima seharian ini. Ia lelah tapi merasa sangat senang. Dia yang semula hanya terjebak dalam konstruksi gedung-gedung tinggi akhirnya bisa menggapai mimpinya membangun menara-menara pembersih polusi. Kontrak yang sudah ia tanda tangani dengan pihak pemerintah mengharuskannya menyelesaikan 20 menara dalam jangka waktu 5 tahun di Provinsi Riau sampai Lampung. Ini adalah sebuah permulaan yang bagus bagi Kartawijaya karena itu meski sudah didera rasa lelah karena seharian harus menerima tamu ia masih tetap melakukan kebiasaan lamanya. Lembur sampai tengah malam.
Sayangnya acara lemburnya hari ini agak terganggu oleh suara gaduh yang terdengar terus menerus di pekarangan rumah barunya. Tadinya Kartawijaya tidak mempedulikannya dan mengira itu hanya dua kucing yang bertengkar memperebutkan makanan atau mau kawin. Tapi lama kelamaan dia mulai-curiga karena mulai terdengar suara seperti pekikan dan jeritan.
Kartawijaya langsung bangkit dari meja kerjanya dan menggosok cincin batu badar besi di tangan kanannya, membentuk sebuah gada dengan bentuk yang terus membesar dari gagang hingga ujung dan sekelilingnya dipenuhi oleh duri-duri tajam dari logam. Ketika Kartawijaya membuka pintu rumahnya, dia mendapati seseorang yang sudah familiar dengannya tampak berdiri di pekarangan rumahnya.
“Narada? Mau apa lagi kau?”
“Kau,” Narada menunjuk ke arah Kartawijaya dengan nafas tak beraturan, “Harus segera pergi dari tempat ini. Kau juga harus keluar dari pekerjaanmu. Kembali ke Jakarta dan cari seorang kolonel bernama Syailendra.”
“Hei! Apa kau gila? Aku baru saja dapat pekerjaan bagus di sini!”
“Kau bekerja untuk orang-orang yang salah.”
“Maksudmu?” tapi belum sempat Narada menjawab, segumpal asap hitam yang membentuk sebuah kepalan tinju langsung menghantam dirinya dan membuatnya lenyap.
Kartawijaya terkejut dengan kedatangan gumpalan asap hitam itu namun belum sempat keterkejutannya yang satu itu pulih, ia sudah disapa oleh sosok yang sudah ia kenal : Sudrajat alias Dewala.
“Halo Kakang Baladewa,” sapa Sudrajat tiba-tiba.
“Oh halo,” Kartawijaya membalas sapaan Sudrajat dengan mengangkat sebelah tangannya tapi kepalanya segera menoleh kembali ke tempat terakhir kali Narada muncul tadi.
“Kenapa Kakang Baladewa?”
“Barusan aku didatangi orang brengsek bernama Narada itu lagi.”
“Ah dia ya? Tak usah khawatir soal dia Kakang Prabu. Kami akan terus berusaha menjauhkan dia dari Kakang Prabu.”
“Sebenarnya apa sih yang dia inginkan?”
“Kakang Prabu tentu ingat bahwa di masa lalu ada sebuah dewan yang terdiri atas tujuh brahmana sakti. Para Sapta Rsi. Para Sapta Rsi adalah orang-orang idealis, mereka berprinsip bahwa dharma harus ditegakkan setegak-tegaknya tapi mereka selalu banyak teori kurang praktek. Kakang Prabu Duryodhana pernah memberitahu kami bahwa kami semua bisa lahir dan bertemu kembali di zaman ini karena sebuah ‘kesalahan mekanisme’ kahyangan. Karena itu para dewa yang hendak menutup-nutupi kesalahan mereka kemudian mengutus Narada, salah satu dari para Sapta Rsi, menemukan reinkarnasi para Pandawa dan memantik konflik antara kami dan para Pandawa. Meski sekarang Pandawa sudah tak ada, tapi Narada tampaknya masih hendak memantik lagi konflik itu.”
“Kenapa dia tidak cari orang lain saja? Kenapa dia cari aku?”
“Oh Kakang Baladewa, Kakang mungkin lupa tapi Kakang sesungguhnya adalah petarung terkuat kedua setelah Prabu Kresna di era Mahabaratha. Kakang punya senjata Nenggala, senjata yang bisa meruntuhkan satu kota dalam waktu setengah hari saja. Narada mengincar kekuatan Kakang itu untuk memusnahkan kami semua dan mengembalikan kami ke ‘habitat kami yang benar’ menurut pandangan para dewa.”
“Persetan dengan pendapat para dewa,” ujar Kartawijaya sambil mengembalikan gada miliknya menjadi sebentuk cincin bermata badar besi, “Sudrajat! Dengar! Aku berhutang budi pada kalian jadi kujamin aku takkan membiarkan kalian dihancurkan oleh Narada atau kroni-kroninya lagi di masa ini.”
“Kami mengucapkan terima kasih banyak Kakang. Pada masa lampau kami sudah berhutang banyak pada Kakang. Kakang selalu membela kami, bahkan menjelang Bharatayudha sekalipun Kakang sebenarnya berniat membantu kami andai saja Prabu Kresna tidak menghalangi langkah Kakang menuju Padang Kurusethra. Apa yang kami berikan pada masa ini rasanya belum cukup untuk membalas semua kebaikan Kakang pada kami saat itu.”
“Lupakan. Nah, sekarang kau kemari untuk sekedar berbincang atau apa?”
“Ah, ya. Saya kemari hendak membawakan permintaan perubahan rancangan dari sejumlah Pemda tempat kita akan membangun menara-menara itu Kakang.”
“Oh, kalau begitu ayo masuk,” Kartawijaya mempersilakan Sudrajat untuk masuk ke dalam rumahnya, dan pria itupun melangkah masuk ke dalam rumah bertingkat dua itu bersama Kartawijaya.
*****
Markas Dakara, 21.00 WIB
Syailendra tampak tengah duduk sambil terkantuk-kantuk di ruang kerjanya. Sudah semalaman ia tidak tidur karena sejumlah laporan masuk ke kantornya dan mengharuskannya untuk terus pasang mata. Di hadapannya tampak empat cangkir kopi yang sudah ia minum seharian ini tapi tampaknya kafein dalam kopi itu kurang sukses membuat matanya terjaga.
Akhirnya Syailendra tertidur sejenak, setidaknya selama lima menit, sebelum seseorang memasuki ruang kerjanya.
“Selamat malam Komandan,” sapa Nakula.
Syailendra tampak terbangun sambil mengusap-usap matanya lalu menatap Nakula yang kondisinya tampak berantakan. Baju dan celananya tampak agak hangus di sana-sini sehingga meskipun setelan pakaiannya keren, Nakula lebih mirip seperti gelandangan yang baru saja melaksanakan jatah mandi.
“Biar kutebak. Di Belanda kamu ketemu Asura penyembur api?” kata Syailendra.
“Lebih tepatnya astra berelemen api, Pak,” jawab Nakula.
“Dapat paketnya?”
“Paket yang mana Pak? Yang makhluk hidup atau yang bukan makhluk hidup?” tanya Nakula sambil tersenyum-senyum.
“Yang makhluk hidup dulu,” balas Syailendra dengan ekspresi datar.
“Kapten Sarwadi Ambo Dalle dari Divisi I Badan Intelijen Negara berhasil kami selamatkan dengan kondisi 99% utuh. Hanya sedikit mengalami cedera di dahi akibat terserempet peluru.”
“Yang bukan makhluk hidup?”
“Kami mendapatkan astra berwujud pedang bernama Raktabija. Kesimpulan dari misi ini, kita mendapatkan astra beserta pengguna astra yang kompeten. Korban dari pihak kepolisian Belanda 12 orang tewas, dari Laskar Pralaya 8 orang tewas. Selaku pimpinan tim, misi mendapatkan Awatara Drestadyumna, saya nyatakan sukses!”
“Bagus,” Syailendra bangkit berdiri lalu berjalan ke arah Nakula dan menepuk bahunya, “Kau dan kembaranmu pegang kendali tempat ini untuk beberapa hari ke depan. Aku tinggal Wisanggeni dan Mandala di sini tapi aku akan bawa Antareja.”
“Mau ke mana Bapak?”
“Jawa Tengah. Mencari sekutu baru. Kau tolong pastikan Abimanyu dan Irawan sampai dengan selamat di tempat kita.”
“Siap Pak.”
Syailendra berjalan meninggalkan ruangan itu sementara Nakula langsung bergerak dan duduk di belakang meja, membuka sejumlah layar holografik dan mencermatinya satu per satu.
Setibanya di lorong, Syailendra kembali mencari lift, memencet tombol B6 – sektor rekreasi dan setibanya di sana berjalan melalui sederetan meja makan yang telah kosong menuju sebuah ruangan tempat para agen Dakara biasa berkumpul untuk santai sejenak. Pintu ruang itu bergeser terbuka ketika Syailendra berdiri di depannya dan di sana tampak Janggala alias Wisanggeni tidur mendengkur di atas sebuah sofa berwarna biru.
“Hei!” Syailendra menepuk-nepuk lutut Janggala dan Janggala dengan tatapan yang masih setengah sadar terdengar sedikit menggerutu.
“Uuuh ... ada apa sih Bu? Ini kan masih tengah malam?” tampaknya karena masih setengah sadar, Janggala jadi tidak bisa membedakan suara lelaki dan perempuan. Tapi Syailendra tidak mempedulikannya.
“Mana Riyadi?” tanya Syailendra.
Tangan kiri Janggala terangkat ke atas dan jarinya menunjuk ke satu arah, “Ruang reptil.”
“Terima kasih,” Sang Kolonel beranjak pergi dari ruangan itu dan menuju ruang yang dimaksud Janggala tadi.
Ruang reptil adalah ruang yang menampung aneka hewan reptil seperti kadal, tokek, ular berbisa maupun ular tak berbisa untuk keperluan para pegawai Dakara, terutama yang profesi aslinya adalah dukun peracik obat. Selain ruang reptil di sini juga ada rumah kaca untuk menumbuhkan tanaman obat. Untuk keperluan organ tubuh menjangan, burung, dan buaya, Dakara tidak menyediakannya di tempat ini. Para agen Dakara yang butuh bahan-bahan itu harus mencarinya di luar.
Di ruang reptil, Syailendra mendapati Riyadi tengah bertatap-tatapan dengan seekor ular king kobra berwarna hitam. Ular itu menggulung sebagian besar tubuhnya hingga lehernya sehingga posisi kepalanya seolah-olah tengah menunduk di hadapan sosok besar dari kaumnya. Riyadi beberapa kali mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan lidahnya berubah rupa menjadi seperti lidah ular – panjang, merah, dan bercabang.
Syailendra harus mengetuk-ngetukkan tongkatnya di lantai sampai dua kali untuk mendapatkan perhatian Riyadi.
“Oh!” Riyadi langsung ambil posisi sempurna dan memberi hormat pada Sang Kolonel, “Selamat malam Pak!”
Sang Kolonel menunjuk ular kobra itu dengan tongkatnya sambil berkata, “Kamu ada misi bersama saya. Kita berangkat sekarang juga. Tapi sebelum itu tolong kembalikan dulu ular itu ke akuariumnya.”
“Siap Pak,” Riyadi segera mengulurkan tangannya ke arah si ular dan ular itu memanjat lalu melingkarkan tubuhnya dengan tenang di telapak tangan Riyadi. Riyadi kemudian berjalan menuju sebuah akuarium kosong dan memasukkan ular itu ke dalam akuarium itu dan menutup bagian atasnya dengan kain kasa berpemberat.
“Ayo, Letnan,” Syailendra keluar mendahului Riyadi sementara Riyadi cepat-cepat mengikuti sang komandan dari belakang.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top