BAB XV : DUA SAUDARA
Winnipeg, Manitoba, Kanada, 10.30 waktu setempat
Bayu masih terduduk sambil terkantuk-kantuk menatapi peti-peti di hadapannya ketika arlojinya mengeluarkan suara ribut, tanda panggilan masuk. Tidak tampak nomor pemanggil itu di arlojinya, tanda bahwa penelepon itu menggunakan nomor privat.
“Terima! Halo!” Bayu menjawab panggilan itu dengan sedikit terbata-bata karena ia tadi sebenarnya nyaris tidur.
“Saudara Nazib Ali?” terdengar suara berat dari seberang.
“He?” Bayu butuh berpikir cukup lama sebelum mengingat bahwa itu namanya sekarang, “Benar.”
“Di mana posisi Saudara sekarang?”
“Ini siapa?”
“BIN!”
“Oh! Di ... Winnipeg.”
“Lekas turun!” pria di seberang telepon itu memerintah, “Kalian sudah diincar. Turun dan ganti transportasi. Usahakan sampai Toronto dalam waktu 2 x 24 jam. Agen kami akan menemui anda di sana.”
Lalu sambungan itu terputus. Bayu terdiam. Butuh waktu beberapa lama bagi dirinya untuk mengumpulkan kesadarannya dan akhirnya bergerak membangunkan Mahesa yang masih tidur sambil mendengkur.
“Dhan!” Bayu menepuk-nepuk punggung Mahesa yang tidur bersandar di dinding, tapi Mahesa tetap belum bangun.
“Ramadhan!” sekali lagi Bayu mengulangi usahanya dengan mengguncang-guncangkan tubuh Mahesa.
“HEESSSS!!!” di usaha ketiganya Bayu berteriak tepat di telinga kiri Mahesa. Usahanya berhasil. Mahesa membuka matanya dengan gelagapan sebelum Bayu mencengkeram dagu Mahesa dan memaksanya menoleh ke arahnya.
“Kita turun di sini,” kata Bayu.
“Eh?” Mahesa tampak bingung.
“Nanti kujelaskan. Sekarang ambil ranselmu dan kita turun pelan-pelan dari sini. Jangan sampai ketahuan kondektur karena nanti kita dikira mangkir.”
“Memang mangkir kan?” celetuk Mahesa.
“Terus kamu mau nanti kita diinterogasi, lalu diserahkan ke polisi, lalu kena UU Imigrasi dan ditahan sebulan dua bulan gitu? Bisa-bisa kita kembali ke Indonesia tinggal nama dan jasad, Hes! Kawanan raksasa itu pasti masih mengejar kita.”
“Tunggu! Sebenarnya alasan apa sih yang buat mereka ngejar kita? Kenapa raksasa itu manggil aku Abimanyu dan kamu dipanggil Irawan?”
“Nanti kujelaskan.”
“Nanti? Hallo?? Kamu dari kemarin selalu bilang ‘nanti’ tiap kali aku tanya soal itu. Cukup! Aku nggak mau! Jelasin sekarang!”
“Please Hes!! Nanti aku bakal jelasin! Sudahlah! Kalau kita bertengkar terus begini raksasa-raksasa itu pasti bakal nangkap kita duluan. Kamu masih mau hubungi ibumu kan?”
Diingatkan soal ibunya Mahesa pun akhirnya diam dan menurut. Ia turut turun dari gerbong lalu berjalan di belakang Bayu di jalur rel sampai akhirnya mereka keluar dari stasiun Union Station Winnipeg.
“Kita ke mana?” tanya Mahesa.
“Sebentar,” Bayu membuka arlojinya, lalu membuka layar aplikasi peta dan beberapa saat kemudian menunjuk ke arah timur, “Ke sana. Kita naik taksi lalu ganti bus. Tapi kita ke SPBU itu dulu. Kita harus ganti baju.”
Dua remaja itu segera menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah kedai SPBU dan langsung menuju ke toilet untuk berganti pakaian. Selepas berganti pakaian, Bayu langsung memesan dua cangkir kopi susu panas di kasir kedai lalu mengajak Mahesa mencari pangkalan taksi ke arah timur.
Mereka beruntung, hanya berjarak sekitar 20 meter dari SPBU, mereka mendapati sebuah pod taksi berwarna abu-abu yang tampak kosong. Pod ini berbentuk seperti mobil mini dengan dua bangku penumpang dan sedikit spasi untuk menaruh barang di bagian belakang kursi. Bayu segera mendekatkan arlojinya ke mesin pemindai yang ada di dekat pod itu dan mesin itu menampilkan sebuah layar peta. Bayu menekan sebuah ikon di peta itu yang bertuliskan ‘Beaver Bus Lines Ltd’ kemudian mengetikkan sejumlah nominal uang dalam kurs dollar Kanada di layar. Remaja itu menunggu selama beberapa detik sebelum mesin pemindai itu mengeluarkan sebuah kartu operasi taksi. Bayu menarik kartu itu dan berjalan ke arah pod taksi. Mahesa mengikutinya dari belakang.
Pintu taksi terbuka, Bayu dan Mahesa langsung menempatkan ransel mereka di bagasi belakang sementara Bayu memasukkan kartu operasi itu ke sebuah slot yang terletak di dekat mesin pendingin. Mesin kendaraan itupun menyala diiringi suara seorang wanita yang menyampaikan pesan selamat, “Thank you for using Beaver Taxi! Please enjoy our service!”
Dan setelah itu sejumlah besar layar iklan produk komersil. Bayu dan Mahesa langsung menutup semua layar iklan itu dan sesudah itu Bayu mendapati dirinya dipelototi oleh Mahesa.
“Kita punya waktu lima menit untuk sampai di tempat tujuan. Sekarang aku mau dengar penjelasanmu!” kata Mahesa.
Bayu diam sejenak sementara kendaraan itu mulai bergerak ke arah jembatan Red River. “Begini Hes, apa ibumu pernah cerita soal ayahmu?”
“Iya pernah.”
“Di mana beliau sekarang?”
“Sudah meninggal.”
“Penyebabnya?”
“Rumah kami di Bogor dulu sempat diserang teroris yang tidak suka tentang tulisan ayahku. Memangnya kenapa?”
“Apa ayahmu namanya Rakeyan Hariwangsa?” tanya Bayu dengan nada datar.
“Iya,” Mahesa mengangguk.
“Dan profesinya wartawan majalah politik?”
“Iya,” sekali lagi Mahesa mengangguk.
“Dan wajahnya seperti ini?” Bayu memencet arlojinya dan menampilkan sebuah layar holografik yang menampilkan foto seorang pria berambut klimis, berkulit kuning, dan sedikit berkumis tipis tampak melingkarkan tangannya di pinggang seorang wanita muda berambut sebahu yang tengah menggendong seorang bayi. Mahesa terpana. Ia mengenali sosok pria di foto itu sebagai ayahnya tapi ia tidak mengenali sosok wanita yang tengah dipeluk ayahnya itu. Wanita itu jelas-jelas bukan ibunya. Tulang pipi wanita itu tampak lebih menonjol dan sorot matanya tampak lebih garang daripada ibunya.
“Iya,” aneka macam dugaan mulai bersliweran dalam otak Mahesa.
“Lalu kau ingat Mbak Kartika? Sekretaris sekaligus pengawal pribadi ibuku?”
“Iya.”
“Kamu heran kan kenapa dia kenal kamu padahal kamu nggak kenal dia?”
“I-iya.”
“Ini jawabannya,” Bayu menampilkan foto lain di mana di foto itu tampak foto wanita yang tadi dipeluk oleh ayah Mahesa dan ibu Mahesa tengah duduk satu meja yang sama dengan Kartika turut hadir bersama mereka berdua.
“Tahu maksud dua foto tadi Hes?” tanya Bayu dengan tatapan tidak senang.
“Um ... ibu kita itu sahabat dekat?” tebak Mahesa.
“Lebih tepatnya ... ibu-ibu kita menikahi pria yang sama. Ayahmu itu juga ayahku. Kita ini saudara satu ayah lain ibu.”
Mahesa merasa ada palu godam yang menghantam kepalanya berkali-kali. Tiba-tiba saja dia merasa sangat pening. Bayu sendiri melihat Mahesa tampak sangat syok. Pemuda itu bahkan seperti tidak punya tenaga untuk duduk tegak.
“Dewa Ratu!” Mahesa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sebelum menurunkannya pelan-pelan dan mulai menatap Bayu dengan tatapan campur aduk – antara tidak suka, marah, dan sedih.
“Hes, kalau kamu berpikir untuk menonjok wajahku ... aku juga punya pikiran yang sama sejak kita selamat di Vancouver tempo hari. Tapi aku tidak akan menonjok wajahmu jadi sebaiknya kamu juga tidak!”
“Oke,” Mahesa berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam, kentara sekali ia sedang berusaha menenangkan diri.
Lima menit berikutnya mereka lewatkan dalam keheningan yang kaku. Bahkan sesampainya di terminal bus, Bayu dan Mahesa saling menghindari kontak mata saat turun dari taksi. Bayu pun hanya mengajak Mahesa untuk mengikutinya menuju loket bus dengan satu lambaian tangan sementara Mahesa mengikutinya dengan langkah ogah-ogahan.
“Dua tiket, ke Toronto,” kata Bayu pada robot penjual tiket yang ada di loket bus.
“Mohon masukkan nominal senilai seratus dollar Kanada,” jawab robot yang punya mata berupa dua lampu biru itu.
Bayu meletakkan arlojinya di sebuah pemindai yang disodorkan oleh si robot dan robot itu pun menyodorkan dua layar holografik kepada Bayu. Bayu langsung menarik dua layar holografik itu ke dalam arlojinya sebelum akhirnya berjalan menuju tempat pemberangkatan bus.
“Kau mau beli camilan atau ... ?” Bayu menawari Mahesa tapi jawaban Mahesa hanya sebuah gelengan kepala.
“Oke kalau begitu. Kita naik bus sekarang.”
*****
Jalan Raya Ottawa – Toronto, 14.00 waktu setempat
Ada sebuah truk trailer hendak lewat dan Markus langsung mengacungkan jempol kirinya, berharap truk itu mau berhenti untuk memberinya tumpangan. Tapi naas, truk ini terus melaju, seperti halnya 20 kendaraan sebelumnya yang coba dicegat oleh Markus.
“Aku pernah lihat di film-film kalau hitchiking itu gampang, tapi kita sudah satu jam lebih lho mencoba nyegat kendaraan dan tak ada satupun yang mau berhenti,” keluh Markus, “Kenapa kamu nggak mau saya ajak terbang saja sih, Non?”
Kartika mendelik, “Lalu nyaris ditembak oleh drone anti serangan udara seperti tadi? Tidak! Makasih!”
Dua jam yang lalu Kartika menuruti saran Inspektur Polisi itu untuk lewat ‘jalur udara’. Setengah jam pertama, tak ada hambatan yang berarti. Markus terbang melintasi vegetasi yang cukup rapat sehingga kecil kemungkinannya ada pengendara yang melihat ada ‘Superman’ kulit hitam terbang di sepanjang jalan raya Ottawa-Toronto.
Tapi satu jam yang lalu sebuah drone tempur milik angkatan bersenjata Kanada memergoki Markus dan menemkkan dua tembakan peringatan. Hal ini membuat Markus dan Kartika terpaksa merusak drone itu dengan satu hantaman Brajamusti dan sejumlah anak panah. Drone itu rusak berat dan Kartika sudah mencabut hard disk memorinya dan sisanya mereka cuma berharap drone itu tidak sempat mengirim gambar mereka berdua ke markas pusatnya.
Tapi karena insiden ini, Kartika menolak diajak terbang lagi oleh Markus dan memutuskan untuk jadi hitchiker, setidaknya selama satu jam terakhir. Sayangnya para pengendara di jalan raya ini tampaknya tidak mau memberi tumpangan pada dua orang asing yang malang ini. Setidaknya sudah 30 kendaraan yang coba mereka cegat mulai dari truk trailer, mobil pribadi, sampai truk pengangkut ternak.
Kartika sempat berpikir bahwa ini karena tampang Markus yang ‘seram’ sehingga ia menyuruh Markus sembunyi sejenak sementara dirinya mencoba mencari tumpangan. Ternyata hasilnya sama saja!
“Kita coba lagi! Sekali lagi! Kalau mereka tidak mau berhenti juga, kita jalan kaki!” kata Markus yang kali ini mencoba menghentikan sebuah mobil mini-van berwarna biru tua.
Kali ini mereka berhasil! Mobil itu melambatkan lajunya dan berhenti tepat di samping Markus dan Kartika. Seorang wanita Kaukasian berambut pirang yang dikuncir ekor kuda menjulurkan kepalanya, “Butuh tumpangan?”
“Ya,” Kartika tersenyum, “Ke Toronto.”
“Naiklah! Aku dan pacarku juga sedang ke sana.”
“Terima kasih Nona,” ujar Markus.
“Sania,” wanita di kursi kemudi itu memperkenalkan diri pada Markus dan Kartika ketika keduanya sudah masuk ke dalam van, “dan ini pacarku Steven.”
“Markus Passaharya dan Kartika Marta,” Markus balas memperkenalkan dirinya dan rekannya.
Tidak ada kursi untuk Markus dan Kartika tapi keduanya sama sekali tak keberatan. Pesan terbaru dari markas mengatakan bahwa Mahesa dan Bayu akan tiba di Toronto besok pagi. Setidaknya dengan bantuan Sania, mereka akan tiba lebih dulu dari target mereka.
==STOP!! PENGARANG MAU MINTA BANTUAN PEMBACA!!!==
Baru-baru ini pengarang coba kirimkan Sang Awatara : Tinju Petir Brajamusti di situs ini :
http://gwp.co.id/sang-awatara-tinju-petir-brajamusti/
Pengarang minta, kalau pembaca sekalian berkenan (dan sempat) tolong kasih rating ke cerita itu dan sebarkan ke teman-teman pembaca :D .
Pengarang sebelumnya mengucapkan terima kasih banyak pada pembaca yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberi vote di situs gwp :D .
*PS : bila pembaca belum mendapatkan email konfirmasi registrasi sampai 24 jam, silakan klik bantuan lupa password di situs tersebut dan tunggu 12 jam.*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top