BAB XIX : PULANG
Ottawa, Pukul 13.00 waktu setempat
Markus menyesal belum sempat mengucapkan terima kasih pada orang asing yang menolongnya tadi. Teknologi atau sihir apapun yang dipakai orang asing tadi telah berhasil menyelamatkan nyawanya dan 3 orang yang harus ia jaga. Tak sampai satu jam, selubung angin itu telah membawanya kembali ke Ottawa.
Memang naik benda itu agak sedikit tidak nyaman karena lajunya yang sangat cepat dan tidak ada sabuk pengaman yang bisa membuat mereka tetap ada dalam posisi semula. Walhasil, sering sekali kepala mereka berempat berbenturan atau menabrak dinding selubung yang meskipun terbuat dari angin, namun padat. Bayu – yang kondisinya sedang tidak baik – sampai muntah-muntah sementara Mahesa – meskipun tidak muntah – tampak benar kalau kepalanya pusing. Saat tiba di pinggir kota Ottawa, selubung angin itu turun dengan cepat lalu mendarat di sebuah taman yang sepi untuk kemudian terurai menjadi serpihan-serpihan angin.
“Sekarang bagaimana? Langsung ke bandara?” tanya Markus pada Kartika.
“Tidak. Kita harus cari klinik dulu. Bayu tampaknya cedera cukup parah,” kata Kartika.
“Kita juga harus cari baju ganti cadangan kalau-kalau ada ‘insiden’ lagi.”
Kartika tampak berpikir sejenak sebelum bicara lagi, “Oke Markus. Aku akan beli pakaian dan makan siang untuk kita berempat, kau carilah klinik di dekat sini.”
“Oke,” Markus merogoh ranselnya dan mengeluarkan arloji komunikator cadangan miliknya, “Ayo anak-anak,” Markus langsung menggendong Bayu di punggungnya sembari mencari lokasi klinik terdekat di daerah sini. Kartika sendiri langsung beranjak pergi mencari barang-barang yang harus ia beli. Sementara Mahesa mengikuti Markus dari belakang.
Markus sesekali menoleh ke arah Mahesa. Tiba-tiba saja ia punya perasaan pernah bertemu remaja ini di suatu tempat. Tidak, bukan hanya sekedar bertemu. Ia bahkan merasa kenal remaja ini sejak lama. Tapi ia tidak tahu dan tidak ingat kapan ia mengenal remaja ini.
“Kamu seperti bayi besar deh, Yu. Dari tadi digendong melulu,” goda Mahesa.
Yang digoda hanya menoleh sambil pasang ekspresi cemberut. Sementara Markus hanya tertawa saja mendengar perkataan Mahesa.
Mereka berjalan melintasi sekitar dua blok pertokoan sebelum akhirnya memasuki sebuah klinik 24 jam yang tampak cukup sepi. Resepsionis klini segera menyambut ketiga tamunya itu dan Markus langsung menjelaskan kondisi dua tanggungannya, “I think this four-eyed boy got some broken ribs and an sprained ankle. I don’t know with the other one, but I want both of them being examined.”
“Okay, please come in into our examination room. Doctor Scully will examine them.”
*****
Dokter di ruang periksa itu menyambut Bayu dan Mahesa dengan ramah lalu menyuruh mereka melepaskan baju mereka sementara sang dokter mengaktifkan mesin rontgen. Mesin itu berbentuk seperti tiang dengan 3 layar. Satu layar berada di hadapan pasien, satu layar di kiri, dan satu lagi di kanan pasien. Dokter itu menyuruh Bayu merentangkan kedua tangannya selama sekitar 10 detik sebelum mesin itu mulai mencetak hasil rontgen. Mahesa pun ia minta melakukan hal yang sama.
Setelah kedua foto itu keluar dokter itu berpaling kepada Markus yang sedari tadi menunggu di sudut ruangan.
“They got some bruises in their torsos. But Mr. Bayu got more severe injury than Mr. Mahesa. I will bind his foot and bandage his injury in his torso. And ... yes, Mr. Bayu’s ribs has been broken. But Thanks God, it will healed in 3 weeks. I will give Mr. Bayu some calcium and vitamin D supplement that must be consumed in one months. And by the way, I suggest you don’t sneeze in this 3 weeks Mr. Bayu, or your chest will be very hurt.”
Dokter itu membalut bagian dada dan lengan Bayu dengan pembalut serta menempelkan plester di bagian kepala Bayu yang luka juga membebat kaki kiri Bayu yang terkilir. Sementara Mahesa hanya ia beri obat pengurang rasa sakit karena cederanya tak terlalu parah.
“Thank you Doc,” Markus menjabat tangan sang dokter pasca selesai memeriksa dan mengobati kedua pasiennya. Dokter itu balas tersenyum kepada Markus sambil mengucapkan selamat jalan.
“I hope you have a good trip, Mr. Markus.”
“Thank you Doc. Oke Adik-adik, ayo kita keluar.”
*****
Mungkin karena tidak mau digoda lagi sebagai bayi besar, Bayu akhirnya berkeras untuk tidak mau digendong. Tapi karena jalannya pincang, akhirnya Mahesa terpaksa juga memapah jalan Bayu dengan melingkarkan tangan kiri Bayu ke lehernya sementara Markus berjalan di belakang mereka sambil memesan tiket pesawat via internet. Lalu Kartika mengirim pesan bahwa ia sudah selesai membeli pakaian cadangan dan makan siang dan menanyakan di mana posisi mereka sekarang. Markus balas mengirim pesan yang menyatakan sebaiknya mereka bertemu di bandara saja karena pesawat mereka akan berangkat pukul 16.00
Markus kemudian menoleh ke arah bus-bus yang berlalu lalang. Niatnya semula adalah membawa mereka naik bus ke bandara Ottawa, tapi tampaknya hal itu tak bisa ia lakukan akibat salah seorang targetnya kini cedera berat dan membawanya naik ke bus pasti agak repot. Lagipula dia belum paham jalur bus mana yang harus ia naiki.
Lalu matanya beralih ke sebuah pod taksi berkapasitas empat orang. Markus langsung berjalan ke sebuah tiang di mana tersedia panel pemesanan taksi. Ia memasukkan nomor taksi yang ia lihat di seberang jalan dan pod taksi itu segera aktif dan mendekati dirinya.
“Ayo, Hes, Yu. Naik!” Markus membukakan pintu belakang pod taksi itu sementara ia sendiri duduk di depan. Ketiganya langsung naik dan begitu pintu taksi tertutup, pod taksi itu segera berjalan ke arah bandara.
Bandara Internasional Ottawa Macdonald-Cartier, 15.00 waktu setempat
Mahesa kini duduk sambil terkantuk-kantuk di bangku ruang tunggu bandara. Keberangkatan pesawat masih satu jam lagi dan mereka baru boleh memasuki pesawat sekitar 30 menit lagi. Bayu yang duduk di sebelahnya juga terkantuk-kantuk dan tahu-tahu saja tertidur dengan menyenderkan kepalanya di bahu kanan Mahesa.
Mahesa membiarkannya saja. Baik dia maupun Bayu sudah mengalami hari-hari yang berat dan ia merasa mereka berhak tidur sekarang.
Markus sendiri mencoba tetap terjaga meski kantuk mulai mendera. Ia sudah bolak-balik membeli kopi di mesin penjual otomatis karena Kartika, yang katanya mau berjaga ternyata juga terlelap di kursi ruang tunggu. Bagaimanapun juga status Kartika yang ikut dalam misi ini adalah objektif tambahan. Ia tidak seharusnya ikut kemari, tapi Markus diam-diam bersyukur wanita itu mau ikut kemari. Sebab lawan-lawan yang dia hadapi di sini memang tidak enteng. Mulai dari Galiuk, Cakil, sampai si naga raksasa.
Dan bicara soal naga raksasa, ia jadi khawatir dengan nasib Antaboga. Markus menolehkan kepalanya ke arah televisi namun tidak ada berita apa-apa soal kejadian di Toronto. Ia kemudian menjelajah internet dan di sana ia juga tidak mendapati apa-apa soal kemunculan naga di Toronto. Pemerintah Kanada tampaknya berusaha keras menyembunyikan insiden itu dari masyarakat luas.
Lalu terdengarlah panggilan dari petugas bandara bahwa pesawat mereka telah bersiap untuk berangkat. Markus langsung membangunkan Kartika, Mahesa serta Bayu untuk segera masuk ke dalam pesawat.
*****
Di dalam pesawat, Mahesa kembali memikirkan segala yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir ini. Seminggu yang lalu ia masih bercanda dengan teman-temannya sesama atlet kontingen RI, tapi kini mereka semua tidak ada. Satu atlet yang paling Mahesa ingat adalah Hamzah, atlet renang yang datang dari daerah yang sama dengan Bayu. Hamzah sepertinya teman yang menyenangkan, sayang Mahesa belum sempat berteman lebih lama dengannya. Lalu ia ingat juga Putra, sang anak Wapres RI, lalu Felissa yang jatuh sebagai korban pertama dari serangan Srenggi.
Lalu ia kembali terkenang pada ibunya dan kekhawatirannya mulai tumbuh lagi. Ia segera berpaling kepada Markus, “Pak, saya pinjam arlojinya boleh?”
“Untuk apa?”
“Arloji saya rusak dan saya perlu menghubungi orang rumah.”
“Oke, ini,” Markus melepaskan arlojinya namun sebelum menyerahkan arlojinya pada Mahesa, Markus berujar, “Tapi tolong jangan panggil saya Pak lagi. Saya masih muda oi! Jangan buat saya jadi tua sebelum waktunya.”
Mahesa hanya nyengir mendengar ucapan Markus sementara Bayu berusaha menahan diri agar tidak tertawa karena dadanya masih sakit.
Mahesa langsung memencet nomor rumahnya namun tak ada jawaban lalu ia mencoba menghubungi nomor kontak ibunya. Lagi-lagi tak dijawab. Mahesa kemudian menoleh kepada Markus yang duduk selisih satu bangku dengannya, “Bang. Ibu saya di Indonesia baik-baik saja kan?”
“Memangnya kenapa?”
“Sudah 3 hari ini aku tidak bisa menghubungi beliau Bang.”
*****
Markas Dakara, Pejaten Timur, 04.00 WIB
Nakula dan Sadewa tampak berjaga di ruang kontrol. Sejak Kolonel Syailendra pergi kemarin, praktis seluruh urusan Dakara dipegang oleh mereka berdua selaku wakil komandan. Laporan dari agen-agen lapangan mereka di seluruh Indonesia sudah mulai masuk sejak jam 3 pagi tadi namun semuanya hanya melaporkan kondisi normal. Laskar Pralaya belum bergerak secara intens.
Sampai sebuah pesan masuk ke komputer pusat. Nakula membuka pesannya dan mendapati Markus mengirimkan pesan : Mohon informasi soal keberadaan Sri Batari Ningsih. Orangtua dari target nomor dua. Target nomor dua sudah berusaha mengontak keluarganya sejak 3 hari terakhir namun tanpa hasil.
Nakula langsung memberi isyarat pada Sadewa yang duduk di kursi yang paling dekat dengan para operator. Sadewa langsung paham isyarat Nakula dan berjalan ke arah salah satu operator, “Kirim satu agen lapangan ke kediaman Batari Ningsih di Surakarta.”
“Hei, Sad,” Nakula berjalan mendekati Sadewa dengan ekspresi tegang. “Menurutmu bagaimana?”
Sadewa cuma menjawab pelan, “Kurasa kita kecolongan.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top