BAB XIII : CAKIL

KBRI Ottawa, 10.00 waktu setempat

 

Kantor KBRI di Ottawa ini adalah sebuah gedung 20 tingkat yang dindingnya dilapisi marmer putih. Tampak klasik dibandingkan bangunan-bangunan sekitarnya dan kesan klasik makin terpancar dengan adanya miniatur patung Garuda Wisnu Kencana di halaman depannya serta layar-layar holografik yang menayangkan iklan ‘VISIT INDONESIA!’ .

“Antik, klasik, berbudaya,” begitu komentar Kartika ketika melihat patung itu.

“Apanya?” tanya Markus.

“Pesan yang dibawa oleh patung itu,” Kartika menunjuk ke arah patung setinggi 7 meter itu, “Ada lebih dari 30 provinsi di Indonesia dengan segala budayanya tapi tetap saja Bali yang jadi juru bicara Indonesia di mata dunia.”

“Yah mau bagaimana lagi?” Markus terus berjalan ke arah pintu masuk sambil menoleh ke arah patung yang menurut layar informasi yang beredar di sekeliling mereka adalah miniatur dari patung Garuda Wisnu Kencana di Pulau Bali, “Namanya juga sudah jadi trademark.”

Kedutaan tampak penuh hari itu. Banyak orang tampak antri di resepsionis kedutaan. Kebanyakan dari mereka adalah wartawan. Markus dan Kartika tidak menuju meja resepsionis namun langsung naik ke lantai dua lewat tangga. Di lantai dua mereka berdua memasuki sebuah ruangan di mana di sana tampak seorang wanita berbaju blazer merah tengah menatapi sejumlah layar hologram di hadapannya.

“Permisi,” Markus mengetuk-ngetuk pintu ruangan itu dan wanita berbaju merah itupun tersentak sebelum akhirnya menutup semua layar di hadapannya dan melempar senyum ramah ke arah Markus.

“Ah silakan Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita berkacamata itu ramah.

“Saya ingin bertemu Pak Dubes. Masalah keamanan negara,” Markus menunjukkan hologram identitasnya sebagai agen lapangan BIN, “Markus Alfaris Passaharya, agen BIN dan Kartika Marta, tenaga spesialis.”

Wanita itu mengangguk, mengiyakan dan segera mengantar Markus dan Kartika masuk ke ruangan sang dubes.

Sang dubes rupanya sedang tidak ada dan mereka berdua diminta untuk menunggu. Dua orang ini menunggu cukup lama, sekitar 20 menit sebelum sang dubes – seorang pria paruh baya dengan rambut yang dipotong pendek dan sudah memutih seluruhnya – menemui mereka. Wajah sang dubes itu tampak pucat dan tidak sehat. Keringat membanjir di wajahnya dan ada bau anyir menyengat yang menguar dari tubuhnya.

“Pak Benny, kedatangan kami kemari untuk ...,” kata-kata Markus langsung dipotong oleh sang dubes.

“Iya, saya tahu. Menanyakan soal ada atlet yang selamat kan? Cuma ada dua atlet yang selamat. Putra Pak Wapres dan satu atlet tolak peluru. Lainnya tidak. Kalau anda masih perlu wawancara, lain kali saja ya?”

Markus mengerutkan dahinya, “Pak kami kemari bukan untuk itu. Kami tahu banyak yang tewas dan hilang dan baru dua orang yang bisa dikonfirmasikan selamat. Kami dari BIN dan kami mencari dua dari sekian orang yang dinyatakan hilang. Karena itu kami minta Bapak memberikan kami izin untuk beroperasi di negara ini atas nama kedutaan RI supaya kami bisa meluncur ke kota lainnya guna mencari target kami!”

“Oh,” Benny tampak terkejut sebelum menyeka dahinya yang banjir keringat dengan lengan jasnya, “Maaf. Saya agak sakit.”

Markus dan Kartika hanya saling berpandangan sebelum akhirnya sang dubes berjalan gontai ke mejanya dan membuka sejumlah layar holografik. Dahinya kemudian berkerut ketika melihat sesuatu di layar-layar itu.

“Aaa maaf. Tampaknya sistem kami mengalami beberapa masalah. Bisakah anda berdua kembali besok pagi?”

Markus dan Kartika kembali saling pandang, rasanya mereka tidak percaya dubes RI untuk Kanada performanya sangat tidak profesional seperti ini. Target mereka adalah mencapai informan mereka di Thunder Bay hari ini juga, tapi ternyata izin kedutaan mereka harus menunggu sehari.

*****

Markus dan Kartika keluar dari gedung itu dengan perasaan dongkol. Duta besar mereka sama sekali tidak bisa diandalkan karena itu Markus memutuskan mengirimkan pesan kepada pusat.

Big Boss[1] tidak bisa membantu. Minta instruksi!

 

Dua menit kemudian ada pesan baru masuk ke dalam arloji Markus.

Ramadhan Syukur dan Nazib Ali sedang menuju Toronto dengan Rail Canada. Kedatangan di Toronto 6 jam dari sekarang. Dipersilakan bergerak tanpa izin Kedubes.

 

Arloji Markus kembali mengeluarkan nada terima dan saat ia membukanya ia mendapati lembar surat izin operasi dari Kedubes.

“Surat izin palsu?” tanya Kartika sembari menyunggingkan senyum.

“Sepertinya begitu. Tapi tak apalah. Tidak perlu ke Thunder Bay sekarang. Ayo kita segera ke Toronto,” kata Markus.

*****

Sementara itu di kantornya, Sang Dubes RI untuk Kanada tampak menatapi layar komunikasi dengan gugup. Beberapa saat kemudian Srenggi yang masih memakai wujud hobonyamuncul di layar. Mata Sang Dubes tampak menyipit, kakinya gemetaran, dan dahinya banjir keringat.

“Paduka Srenggi, patik baru saja bertemu dengan Gatotkaca,” ujar Sang Dubes

“Ah-ya. Para Pangeran sudah memberi kabar soal kemungkinan kedatangannya kemari. Dia bersama siapa?”

“Seorang wanita, tapi patik tidak tahu siapa wanita itu.”

“Ke mana mereka akan bergerak sekarang?”

Patik baru saja menerima memo dari Kementerian Luar Negeri untuk mengawasi keberangkatan empat orang WNI dari Toronto atau Ottawa dalam 24 jam ke depan. Patik kira di sanalah Gatotkaca hendak menjemput Irawan dan Abimanyu.”

“Gatotkaca akan mempersulit keadaaan. Kerahkan pasukanmu untuk menghalangi Gatot sekarang juga Kalisindu. Pastikan Gatot tidak mencapai Toronto dalam 24 jam ke depan.”

“Tapi Paduka ...,” Sang Dubes tergagap.

“Tapi kenapa? Kau mau membantah?” suara Srenggi meninggi.

“Tidak, tidak Paduka. Patik akan laksanakan perintah Paduka.”

******

Mobil yang dtumpangi Markus dan Kartika sudah hampir mencapai perbatasan kota Ottawa dan bersiap memasuki jalan raya Trans Kanada ketika tiba-tiba saja di atas kepala awan mendung tampak menggumpal tidak lazim.

“Merasakan firasat buruk lagi, Non?” goda Markus ketika menyaksikan Kartika mengamati gumpalan awan itu dengan tatapan tegang.

“Kau bisa ngebut Ipda Markus?”

“Kenapa memangnya? Dengan kecepatan normal kita bisa sampai ke Toronto dalam 2 jam sementara kereta yang membawa target kita baru tiba 5-6 jam dari sekarang.”

“Bahaya mendekat! Tancap gas sekarang!” Kartika memukul lengan Markus keras-keras. Markus terkesiap sesaat namun saat menyaksikan gumpalan awan hitam itu mulai turun menuju ke arah mereka, Markus pun akhirnya tancap gas, menyalip beberapa mobil yang ada di depan mereka, dan terus melaju ke arah jalan antar provinsi.

Gumpalan hitam di belakang mereka pun tak tinggal diam, mereka tampak mempercepat laju terbang mereka. Markus kembali menekan gas kuat-kuat namun mobil-mobil di hadapannya semakin banyak sehingga mau tidak mau sesekali ia harus mengurangi kecepatannya.

“Pakai mode terbang, Ipda Markus!” seru Kartika.

“Tidak bisa! Di sini tidak ada jalur lintas udara! Pakai mode terbang di sini sama saja melanggar hukum!”

“Dewa Ratu! Di saat seperti ini kau masih saja memikirkan soal itu? Lakukan saja!”

“Tapi ... ,” Markus baru saja hendak menyanggah perkataan Kartika namun wanita itu sudah memencet tombol mode terbang lebih dahulu daripada dirinya. Mobil yang mereka tumpangi itupun melayang 30 meter di atas jalan raya.

Gumpalan asap misterius itu masih juga mengejar dan Markus pun terpaksa melaju kencang di udara tanpa jalur lintas udara. Mengendarai mobil terbang di udara tanpa jalur lintas udara itu bukan hal yang mustahil namun sangat sulit karena tidak ada perlindungan atau minimal peringatan jika sewaktu-waktu terjadi angin kencang atau ancaman petir. Dua hal itulah yang Markus khawatirkan, sebab jika sampai mobil ini jatuh maka mereka harus segera mencari cara lain untuk sampai di Toronto.

Sementara itu Kartika tampak menarik dua koper dari bangku belakang. Ketika Markus meliriknya dengan tatapan penuh tanya – Ngapain? – Kartika cuma menjawab, “Menyelamatkan barang-barang penting jika seandainya mobil ini jatuh!”

“Terima kasih atas motivasinya, Non,” gerutu Markus.

“Selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk, Ipda Markus.”

Satu bagian dari gerombolan gumpalan asap itu tiba-tiba menubruk bagian belakang mobil dan membuat salah satu mesin anti gravitasi meledak dan terbakar. Mobil itupun mulai oleng dan Markus berusaha menyeimbangkannya dengan menggunakan mode pilot otomatis. Namun karena kecepatannya kini sudah berkurang, gerombolan asap hitam itu mulai leluasa menghantam mobil itu hingga akhirnya mobil itu jatuh ke jalanan, terguling 360 derajat sebanyak 2 kali sebelum terhempas ke sebuah area hutan kecil.

Dari dalam kendaraan itu, Markus dan Kartika segera keluar dengan terhuyung-huyung sebelum gumpalan asap itu mengitari mereka dengan mengeluarkan suara raungan dan geraman.

“Oke ... jadi kalian ini apa?” Markus mencabut pistolnya dan mengarahkannya ke arah gumpalan-gumpalan asap itu.

“Dugaanku ... para Asura. Apa aku benar?” tidak seperti Markus, Kartika tidak mencabut pistolnya melainkan hanya menatap tajam ke arah gumpalan-gumpalan asap itu.

“Kalian tidak boleh melintas lebih jauh dari sini!” kerumunan asap itu mulai berbicara. Suara mereka serak, rendah, namun kompak.

“Kenapa? Apa hak kalian menghalangi kami?” ujar Markus.

“Kalian tak boleh  menghalangi Paduka mendapatkan buruannya,” jawab mereka lagi.

“Oke cukup! Aku mulai bosan dengan mereka,” Markus menarik pelatuk pistolnya dan satu peluru melesat ke arah gumpalan itu. Namun peluru itu tidak menyakiti mereka.

“Bukan begitu cara menyakiti mereka, Ipda Markus,” ujar Kartika sembari melemparkan sebuah benda mirip kaleng aluminium ke arah gumpalan itu. Kaleng itupun meledak dan terdengar suara jeritan dari arah gumpalan-gumpalan itu.

Selama beberapa saat gumpalan-gumpalan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan mengerikan sebelum akhirnya sosok-sosok itu berubah menjadi sosok-sosok makhluk ganjil berukuran setinggi manusia. Makhluk-makhluk itu terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok makhluk itu berjumlah delapan individu, memiliki muka lebar, bibir tebal, rambut kelabu kusut, dan kulit yang berwarna hijau lumut. Kelompok lainnya lagi berjumlah enam individu, memiliki rahang yang lebih panjang dibandingkan manusia, dengan rahang bawah yang lebih panjang dari rahang atasnya dan memiliki dua taring mencuat.

“Galiuk,” ujar Kartika ketika melihat sekumpulan monster berkulit hijau itu, “dan Cakil,” ujarnya ketika melihat kelompok makhluk berahang panjang, “Bukan Asura kelas atas.”

“Ah, mau kalian itu Asura kelas atas atau kelas bawang, aku akan kasih kalian kesempatan 10 detik untuk pergi sebelum aku sakiti kalian!” ancam Markus.

“Kami tidak takut pada ancamanmu Raja Pringgadani!” seru para Galiuk lantang.

“Kamu cuma sendirian!” tambah para Cakil.

“Sendirian eh? Kalian melupakan aku begitu saja? Jahat sekali,” tukas Kartika sembari meremas-remas jarinya.

“Eeeee, Nona Cantik. Jangan buat kami marah kalau tidak mau wajahmu kami rusak dan tubuhmu kami makan,” ujar seekor Cakil.

Markus dan Kartika pun saling pandang sebelum saling mengedipkan mata dan mulai menyerang para Galiuk dan Cakil itu.

Para Galiuk memakai lengan mereka yang panjang dan berotot untuk bergerak bak kera. Mereka berhasil menghindari sabetan dan pukulan Markus dengan cara itu. Tangan mereka yang kekar itu juga berhasil mengimbangi serangan-serangan Markus. Ditambah dengan jumlah mereka yang lebih dari satu dan gerakan mereka yang cukup lincah, Markus pun cukup kesulitan menangani mereka.

Di sisi lain Kartika telah mencabut kalung emas bermata batu jingga yang selama ini dikenakannya. Kalung itu kini berubah rupa menjadi semacam busur panah logam berwarna keemasan dengan ornamen berbentuk pisau tajam di ujung-ujungnya. Para cakil mulai bersiaga, mereka mencabut keris mereka masing-masing dari sarungnya dan menyerang Kartika, namun wanita itu cukup sigap menghindari serangan para Cakil itu dan melukai para Cakil dengan ujung busur panahnya. Ketika para Cakil mulai mengambil jarak, Kartika merentangkan dawai busurnya dan memunculkan setidaknya tiga anak panah berwarna keemasan. Anak-anak panah itu melesat dan menghantam kaki dua Cakil serta menancap di kepala salah satu Cakil. Satu Cakil tumbang dan yang lainnya kini tampak benar-benar marah.

Di satu sisi para Galiuk mulai tampak kelelahan karena lawan mereka punya stamina melebihi mereka. Mereka berhasil menghindari serangan Markus selama setidaknya 10 menit dan mencoba menyarangkan pukulan atau melukai sosok pria Maluku itu tapi hasilnya nihil. Tubuhnya sekeras baja dan tak mampu ditembus oleh kuku-kuku mereka.

Seekor Cakil tampak menyadari kesulitan kawan-kawannya – para Galiuk – dan memisahkan diri dari kelompoknya, mencoba menyerang Markus. Kartika langsung bereaksi dengan mengarahkan busurnya ke arah Cakil yang memisahkan diri tersebut namun para Cakil lainnya langsung melesat ke arahnya dan seekor dari mereka menggigit lengan kirinya.

“Awas Markus!” begitu pekik Kartika sembari terus berjuang untuk membebaskan diri dari kerumunan Cakil tersebut.

Markus menoleh ke arah Kartika namun ia bereaksi kurang cepat. Keris Si Cakil itu menggores bahu kirinya, menorehkan luka berasap di bahu kiri polisi muda itu.

Tangan kanan Markus langsung refleks mencengkeram leher Si Cakil dan dengan satu cengkeraman disertai aliran energi Ilmu Ambus milik Markus, Cakil itu mati dengan seluruh tubuh seolah tanpa tulang dan lembek berair.

Para Galiuk yang melihat hal itu kini mulai gentar. Mereka mulai mengambil menjauh dan mengambil jarak dengan sesama mereka. Markus melihat itu sebagai kesempatan dan menunggu para Galiuk itu memisahkan diri lebih jauh lagi.

Saat jarak antar para Galiuk itu sudah cukup lebar, Markus langsung menjejakkan kaki kirinya kuat-kuat dan melesat menghantam seekor Galiuk. Tangan kirinya langsung menghantam wajah Galiuk itu berulang-ulang hingga Galiuk itu kehilangan kepalanya. Tujuh Galiuk yang tersisa kemudian kembali berkumpul sebagai kesatuan begitu menyadari bahwa lawan mereka tampaknya mengincar mereka satu per satu. Tapi Markus langsung mengusapkan jemarinya ke cincin batu safir yang terpasang di tangan kirinya, “Astra ... Brajamusti,” lalu melepaskan sebuah kekuatan berupa lintasan petir berwarna biru yang melaju lurus menghantam para Galiuk itu.

Para Galiuk itu terlempar. Dua di antara mereka kini tubuhnya hangus terbakar sementara lima yang lain tampak tidak bisa bangun. Sekali lagi Markus melepaskan kekuatan Brajamusti ke arah kerumunan Galiuk itu dan kali ini para Galiuk itu menjerit pilu dan seluruhnya hangus menjadi abu.

Kartika sendiri akhirnya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mulut para Cakil. Satu Cakil ia tendang sehingga terhempas sejauh tiga meter sementara satu Cakil kehilangan nyawanya akibat tusukan ujung busur Kartika. Satu Cakil melompat menghindar namun lehernya segera tertembus anak panah Kartika. Dua Cakil tampak berusaha melarikan diri namun Markus dengan sigap terbang menangkap dua Cakil itu dan membenturkan kepala keduanya hingga kepala keduanya remuk.

Satu Cakil yang tadi ditendang Kartika tampak bangun dengan susah-payah sebelum mendapati dirinya sudah dikepung oleh Markus dan Kartika.

“Siapa yang menyuruh kalian menyerang kami?” Kartika merentangkan busur panahnya di hadapan Sang Cakil.

Cakil itu diam dan Kartika memberi isyarat pada Markus untuk menginjak kaki si Cakil. Markus melakukannya dan kaki si Cakil langsung remuk terkena hentakan kaki Markus. Cakil itu mengeluarkan jeritan melengking sebelum tangan Markus menutup mulutnya.

“Jawab atau mati, Tuan Cakil!” ancam Kartika sekali lagi.

Cakil itu menatap mereka berdua dengan tatapan penuh benci sebelum tiba-tiba merubah dirinya menjadi gumpalan asap sekali lagi lalu melesat menghantam mobil sewaan Markus dan Kartika. Sosoknya berubah lagi menjadi semacam kobaran api dan meledakkan mobil itu. Membuat Markus dan Kartika refleks melindungi wajah mereka dari serpihan mobil dan panasnya api.

“Aku tak pernah dengar soal ini sebelumnya! Kau bilang mereka cuma Asura kelas rendah kan, Non?”

Kartika menggigit bibirnya, kesal, “Ya, sejauh ingatanku mereka dulu tidak sepandai dan sekuat ini. Mereka seperti ... berevolusi mungkin? Ah sudahlah! Sekarang bagaimana kita mencapai Toronto sekarang?”

“Itu urusan nanti,” Markus menghampiri koper miliknya yang terlihat tergeletak di rerumputan dan tampak masih utuh lalu mengeluarkan sebuah paket pertolongan pertama, “Kita urus dulu lukamu, Non.”

“Toronto lebih penting!”

“Demi Tuhan, Non! Kalau kau jatuh sakit akibat infeksi, aku nanti tambah repot. Dan jangan khawatir soal Toronto. Berapa kilo lagi sih? Paling di bawah 100 kilometer.”

“Cuma? Memangnya kita ke sana mau naik apa?”

Markus tidak langsung menjawab melainkan terbang melayang setinggi lima centimeter di atas tanah sambil menyunggingkan senyum, “Asal kita terbang di bawah ketinggian 100 meter, aku yakin radar AU Kanada takkan mendeteksi kita.”

*****

KBRI Indonesia Ottawa

“Delapan Galiuk dan Enam Cakil yang patik kirim ternyata tidak bisa membunuh mereka, Tuanku. Patik mohon agar Tuanku memberi kami kesempatan sekali lagi,” ujar Sang Dubes pada sosok Srenggi di layar.

“Tak apa. Tugasmu sudah selesai Kalisindu. Aku memang lupa memperhitungkan bahwa teman si Gatot itu juga titisan seorang kesatria. Tak apa. Paduka Jayadratha sudah mempersiapkan rencana B dan C. Biar orang lain yang mengurus Irawan dan Abimanyu sekarang. Kau sendiri, jalankan saja peran barumu sebagai duta besar. Selamat siang dan sampai jumpa lagi Pak Dubes,” Srenggi memberi salam dengan mengayunkan dua jemari tangan kanannya pada Sang Dubes sebelum memutus komunikasi.


[1]Sandi untuk menyebut duta besar RI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top