BAB XI : ANAK REMBULAN
“Debu tanah lebih terhormat daripada manusia.”
– Kahlil Gibran –
Bandara Soekarno-Hatta, Megapolitan DKI Jakarta[1], 16.00 WIB
Ketika Markus tiba di bandara Soekarno Hatta, tampak sudah ada kerumunan wartawan berdiri di seputaran gerbang kedatangan penumpang. Tampaknya seorang pejabat penting akan datang dari luar negeri dan pejabat itu tampaknya berkaitan erat dengan insiden di Vancouver baru-baru ini.
Markus bergegas menuju boarding room – ruang tunggu, membayar airport tax, sebelum petugas mengatakan bahwa ia harus menunggu dua jam lagi sebelum pesawatnya tiba. Mata polisi itu segera mencari-cari tempat makan dan ketika ia sudah menemukannya ia bergegas memasuki salah satunya dan memesan nasi goreng, dua porsi, karena ia betul-betul kelaparan.
Ketika menunggu pesanannya, seorang wanita tanpa diundang tiba-tiba saja sudah duduk di kursi yang ada di hadapannya, tanpa permisi, dan tanpa suara. Markus pun tak menyadari kehadiran wanita itu sampai wanita itu sudah berada di hadapannya.
“Selamat sore Inspektur,” sapa wanita itu.
“Siapa anda?” Markus menekan satu tombol pada arlojinya dan sebuah gelembung digital transparan – yang biasa digunakan untuk membatasi percakapan pribadi sehingga suara orang-orang dalam gelembung itu takkan terdengar oleh orang lain – berdiameter tiga meter terbentuk mengelilingi Markus dan wanita itu, “Setahu saya perwira pengawas[2] saya bukanlah anda.”
“Memang bukan Inspektur, saya hanyalah warga sipil yang merelakan diri untuk membantu Dakara.”
“Membantu Dakara? Mengetahui kami ada saja sudah bukan pengetahuan lazim bagi warga sipil. Siapa anda?”
“Saya bekerja pada seorang informan Dakara dan saya kemari punya tujuan yang sama dengan anda, Inspektur. Putra majikan saya ada di sana dan saya ditugaskan untuk mengawalnya kembali dengan selamat.”
“Itu bisa aku lakukan sendiri.”
“Anggaplah saya sebagai pembantu anda jika anda perlu laksanakan rencana B.”
“Saya tidak mendapat perintah soal rencana B, lagipula ... misi ini sangat berbahaya, Non. Saya tak bisa menjamin keselamatan anda.”
“Anda tak perlu menjamin keselamatan saya, Inspektur. Saya bisa menjaga diri saya sendiri, dan soal kekuatan ... saya rasa saya pun tidak akan kalah dengan anda.”
Dua porsi nasi goreng yang Markus pesan tiba dan mereka berdua pun segera menghentikan perbincangan mereka. Wanita itu lalu memesan segelas es teh lemon untuk dirinya. Markus sendiri sejak kedatangan wanita itu tiba-tiba merasa tidak terlalu lapar. Kata-kata wanita itu yang begitu percaya diri seolah membuatnya teringat sesuatu. Sesuatu dari kehidupannya yang lampau, tapi dia tak dapat mengingat apa itu.
“Anda mau makan ini?” Markus menawarkan satu porsi nasi gorengnya kepada wanita itu.
“Bukankah anda yang memesan ini?”
“Rasanya tidak layak membiarkan seorang Nona kelaparan sementara saya sendiri makan kenyang.”
“Terima kasih banyak, Inspektur.”
Sekarang baru Markus sadar akan satu hal. Wanita ini tahu pangkatnya dan caranya menyebutkan pangkatnya sangat formal, seolah wanita ini adalah atau setidaknya pernah menjadi bagian dari polisi atau TNI. Lagipula wajah wanita ini tampaknya familiar. Markus mencoba mengingat-ingat apakah wajah wanita ini pernah terpampang di antara ribuan eksemplar koran yang pernah ia baca selama ini.
“Apa saya pernah bertemu dengan anda?” tanya Markus sembari menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya.
“Tidak, tapi saya akrab dengan reputasi anda, terutama reputasi anda di masa lalu.”
“Masa lalu yang mana? Rasanya saya tidak pernah sekalipun diliput oleh media massa.”
“Di kehidupan kita yang lalu, Raja Pringgadani.”
“Anda juga ...,” cangkir kopi di tangan Markus nyaris jatuh ketika ia mengatakan hal itu.
“Ya,” wanita itu mengangguk, “Saya juga manusia awatara. Sama seperti anda.”
“Haha,” Markus hanya tertawa getir, “Tapi sepertinya saya pernah bertemu anda sekali. Di mana ya?”
“Barangkali enam tahun yang lalu, Inspektur. Saat anda yang masih bintara datang ke Polda Semarang dan diterima oleh saya di meja resepsionis.”
“Anda .... Brigadir Kartika?”
“Mantan Polwan,” Kartika menyeruput es teh lemonnya yang baru saja tiba, “sekarang profesi saya adalah pengawal pribadi bagi seorang bernama Endang Widya Palupi.”
“Redaktur Majalah TEMPO,” dahi Markus mengernyit, memang lazim bagi seorang mantan polisi atau tentara menjadi pengawal pribadi pasca mereka keluar dari kesatuan. Tapi yang membuat Markus waspara adalah nama yang disebut oleh Kartika barusan : ‘Palupi’.
“Ah,” akhirnya Markus paham juga apa maksud dari semua perkataan Kartika ini, “saya tahu siapa anda sekarang Nona Kartika. Anda adalah Ladramungkung – prajurit wanita yang mengabdi kepada Rsi Kanwa – ayah Dewi Palupi, sekaligus menjadi guru bagi Irawan. Jadi kesimpulan saya : satu dari dua anak yang harus saya selamatkan adalah Irawan bukan?”
“Anda keberatan saya ikut Tuan Gatotkaca?” tanya Kartika lagi, masih dengan nada formal.
“Tidak. Sama sekali tidak.”
*****
Vancouver, Kanada.
Agen Badan Intelejen bernama Intan itu masih saja menyetir dengan gila di jalanan kota Vancouver, menyalip sekerumunan mobil yang tengah berjalan santai, melanggar lampu merah sampai-sampai seorang polisi lalu lintas mengejar mereka, serta menghancurkan beberapa mesin tarif parkir ketika wanita itu menghindari arus lalu lintas dengan mengarahkan mobil ke trotoar. Bayu dan Mahesa baru saja hendak memprotes aksi pamer kehebatan pengemudi Indonesia yang dilakukan wanita itu ketika wanita itu bertanya, “Apa ada sesuatu yang mengejar kita?”
Mahesa menoleh lebih dahulu ke belakang tapi melihat apa yang mengejar mereka mulutnya jadi terkatup rapat, yang bisa ia lakukan adalah mencolek bahu Bayu yang duduk di sampingnya dan menunjuk-nunjuk ke arah belakang.
“Apa yang ...?” Bayu nyaris tidak bisa berkata-kata saking kagetnya menyaksikan apa yang ada di belakang mereka. Siapa juga yang tidak kaget jika melihat ada seekor harimau Sumatera yang ukurannya setara dengan truk trailer tengah berlarian di jalanan kota Vancouver dan menciptakan kehebohan massal. Beberapa mobil ringsek ketika harimau itu melompat ke atas mobil-mobil malang itu, beberapa lagi tersentak keluar dari jalan raya akibat disenggol hewan berukuran tidak lazim itu.
“Ada harimau Sumatera dengan ukuran tak lazim tengah mengejar kita, Bu,” ujar Bayu.
“Kalian bisa tembak dia?” tanya Intan yang masih sibuk menghindari kerumunan kendaraan di hadapannya.
“Mahesa, siapkan astramu!”
“Astra ... apaan?” Mahesa tampak kebingungan.
“Oh ayolah,” Bayu mematerialisasi gelang perak di tangannya, kali ini menjadi sebuah busur panah berwarna perak berhias motif-motif berbentuk seperti ular– bukan sebilah pedang lagi, “kamu pasti punya senjata semacam ini kan?”
“Tidak,” Mahesa menggeleng.
“Gelangmu ini apa?”
“Hanya gelang bisa milik ayahku.”
“Ah sial, kalau begitu tembaki saja dia dengan Kamandaka!” Bayu menekan satu tombol di dekat kaca belakang dan segera saja kaca belakang mobil itu pun turun[3]. Lalu diarahkannya busur panah peraknya ke searah dengan harimau Sumatera itu. Ditariknya tali busurnya dan sebuah anak panah berwarna perak segera terbentuk di tangannya. Anak panah itupun ia lepaskan dan melesatlah anak panah itu ke arah kaki depan si harimau.
Tapi alih-alih menancap, anak panah itu malah melenting dan jatuh di jalanan beraspal dan segera remuk dilindas kendaraan lain.
“Kok kamu bengong? Tembak dong!” tegur Bayu yang menyaksikan Mahesa masih saja belum menembakkan satu peluru pun dari laras pistolnya.
“Kalau kita nanti bunuh harimau itu ... kita nggak bakal dipidanakan karena membunuh hewan yang terancam punah kan?” tanya Mahesa.
“Oh ayolah, mana ada harimau sebesar itu coba? Itu sudah jelas bukan harimau. Itu pasti Asura yang sedang berubah rupa!” sahut Bayu ketus.
“Iya deh,” Mahesa kemudian membidik dengan hati-hati ke arah kepala harimau itu namun mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba saja bermanuver tajam sehingga pistol Mahesa meletus namun pelurunya menyasar tempat lain.
“Duh!” Mahesa mengelus-elus kepalanya yang sempat terantuk atap mobil sebelum mencoba membidik lagi namun kali ini yang dibidik tiba-tiba saja sudah lenyap dari hadapannya.
“Ke mana dia?” tanya Mahesa kebingungan sementara Bayu langsung menatap waspada ke segala arah.
“Pegangan!” tiba-tiba Intan berteriak nyaring sebelum mobil yang mereka bertiga tumpangi dihantam oleh sebuah tangan hitam raksasa dan berputar 120 derajat di udara dan jatuh dalam posisi miring.
*****
Mahesa merasa kepalanya dan lehernya sakit bukan kepalang. Kepalanya kini tengah terjepit di antara kursi belakang dengan kursi penumpang sementara kakinya tampak terjepit oleh bodi mobil yang ringsek. Pecahan kaca mobil berbentuk butiran-butiran bulat kecil berhamburan di sekelilingnya.
“Kalian ... larilah!” terdengar suara parau Intan dari kursi kemudi. Bayu yang tadi terlempar keluar dari mobil sesaat setelah mobil terbalik langsung melongok ke arah kursi pengemudi dan menyaksikan sebuah lembing telah menembus perut wanita itu, “Larilah sampai Kamloops. Dari sana naiklah Rail Canada ke Toronto. Cepat pergi!”
“Bayu tolong! Aku terjepit!” seru Mahesa.
Bayu langsung melongok ke arah Mahesa yang tengah berusaha membebaskan kepalanya dari jepitan kursi pengemudi. Bayu hendak membantunya keluar namun sesosok makhluk setinggi tiga meter dan mengenakan zirah yang terbuat dari tulang belulang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya, hanya dengan jarak beberapa meter saja.
“Irawaaaan!” makhluk itu menudingkan jari-jemarinya yang penuh dengan kuku panjang dan tajam ke arah Bayu. Mata bulatnya melotot, menambah kesan jelek dari wajahnya yang hitam bertaring serta dihiasi rambut panjang awut-awutan, “Paduka Srenggi menginginkanmu! Menyerahlah dan serahkan dirimu kepada kami dan teman-temanmu takkan disakiti!”
Bayu menoleh sesaat ke arah Mahesa yang sudah berhasil melepaskan kepalanya dari himpitan kursi. Dahinya mengalami sedikit luka sayat tapi selain itu tampaknya ia baik-baik saja.
“Maaf, Hes. Aku tidak bisa bantu kamu keluar, ada raksasa yang minta pantatnya aku tendang,” ucapnya sebelum mematerialisasi gelang di tangannya menjadi sebilah sundang dan langsung berlari menerjang ke arah raksasa berkulit hitam itu.
Raksasa itu tampak tak terlalu terkejut dengan reaksi perlawanan yang diberikan Bayu. Kaki kirinya ia hentakkan kuat-kuat ke jalanan sehingga mobil-mobil dan kendaraan di sekitarnya bergetar hebat. Orang-orang di dalam kendaraan itupun langsung berhamburan keluar dari kendaraan mereka sementara raksasa itu menyemburkan sejumlah lidah api ke arah Bayu. Bayu langsung menekuk kaki kanannya dan menggunakan kaki kirinya sebagai tumpuan untuk melompat ke samping. Dengan Taksaka di tangannya ia kini merasakan bobot tubuhnya lebih ringan dan gravitasi menjadi lebih mudah ia lawan. Ketika lawannya hendak mengubah arah semburan apinya, Bayu langsung mengubah Taksaka menjadi bentuk busur panah perak dan menembakkan dua anak panah secara simultan ke arah raksasa itu. Hasilnya masih sama, anak-anak panah itu masih saja terpental, tak mampu menembus kulitnya.
“Duh!” Bayu mulai merasa kesempatannya untuk mengalahkan raksasa ini menjadi semakin kecil karena serangan jarak jauhnya tidak mempan. Agen BIN yang diutus untuk melindungi mereka pun saat ini tergolek tak berdaya sementara Mahesa masih tampak kerepotan membebaskan kakinya yang terjepit bodi mobil.
Raksasa itu kembali menyerang Bayu, kali ini dengan sapuan tangannya. Bayu kembali menghindari serangan itu namun serangan lainnya beruntun datang kepadanya. Sejauh ini ia masih bisa menghindari serangan itu dengan melompat kesana-kemari namun Bayu tahu ia tak bisa bertahan terus-menerus.
Di sisi lain Mahesa yang sudah berhasil menarik kakinya keluar dari jepitan bodi mobil yang ringsek itu tiba-tiba merasakan adanya perubahan cuaca di tempatnya berada sekarang. Butir-butir salju mulai turun diiringi hembusan angin kencang lumayan ganas. Mahesa melongok ke arah langit malam di mana ada sebuah awan berbentuk pusaran tengah terbentuk di atas sana. Sementara di sisi lain bulan purnama tampak muncul dengan benderang di langit malam – sesuatu yang tak lazim karena ini bukanlah waktu kemunculan bulan purnama.
Melihat bulan dan halilintar datang dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba saja Mahesa teringat akan perkataan ibunya di waktu yang lampau. Saat nyawamu di ujung tanduk, bulan dan halilintar muncul bersamaan, saat itu serukanlah permohonanmu pada Bathara Indra dan Chandra, dan kau akan tertolong.
Dan itulah yang dilakukan Mahesa, ia tadahkan tangannya ke angkasa dan berujar, “Wahai Bathara Indra dan Bathara Chandra. Limpahkanlah kekuatan pada hamba untuk mengalahkan makhluk ini, makhluk yang telah beratus abad menjadi musuh manusia dan dewata, makhluk yang telah menyatakan diri akan menghancurkan dewata dan menentang kedudukan dewata. Izinkanlah hamba dan kawan hamba untuk mengalahkan makhluk ini.”
Satu lintasan halilintar menyambar ke arah Mahesa. Segera saja Mahesa merasakan tubuhnya tengah dialiri ribuan volt listrik tapi aliran listrik itu tak membuatnya hilang kesadaran, melainkan justru memberinya ledakan energi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Aliran energi itu mengalir ke gelang hadiah dari ayahnya dahulu dan kini gelang itu berpijar terang.
“Astra ... Sarotama!” Mahesa menggenggam gelang itu dengan tangan kirinya dan segera saja gelang itu berubah wujud menjadi sebuah busur panah bermotifkan adegan kesatria-kesatria pemanah yang sedang beradu-tanding. Mahesa menarik tali busurnya dan mengkonsentrasikan pikirannya kepada sebentuk anak panah yang pernah muncul di mimpinya. Sebuah anak panah berhulu ledak di ujungnya.
“Ayatana!” Mahesa kembali berseru lantang dan sebuah anak panah dengan ujung yang berbentuk tidak lancip melainkan berbentuk seperti tabung dengan tubuh anak panah berselimutkan sebentuk kobaran api terbentuk di tangan kanannya yang tengah menarik tali busur. Anak panah itupun ia lepaskan ke arah raksasa yang tengah menyerang Bayu secara beruntun.
Anak panah itu meledak tepat ketika ujungnya bersentuhan dengan wajah raksasa itu. Skala ledakannya pun lumayan. Kepala raksasa itu tersentak beberapa senti dan kini ada luka gores menganga terbentuk di pipinya yang hitam. Darah merah mengucur dari luka itu.
Menyadari ada pengganggu, mata raksasa itupun berpaling dari Bayu ke arah Mahesa. Dalam kondisi biasa, Mahesa sudah pasti gentar ketakutan menyaksikan sosok semengerikan ini, namun entah kenapa Mahesa tak lagi merasa takut ataupun gentar berhadapan dengan sosok ini.
“Abimanyu!” ujar raksasa itu parau lalu beralih menyerang Mahesa.
“Mahesa awas!” Bayu berseru memperingatkan Mahesa untuk menghindar namun Mahesa bergeming saja di tempatnya. Raksasa itu menyapukan tangannya yang berkuku panjang ke arah Mahesa dan tepat sesaat sebelum kukunya itu mengoyak Mahesa, remaja itu sudah menyentakkan kakinya kuat-kuat dan melenting tinggi melampaui kepala raksasa itu dan mendarat tepat di hadapan Bayu. Mahesa segera menoleh ke belakang dan ia menyaksikan bahwa aspal yang bersentuhan dengan kuku-kuku raksasa itu tadi kini tampak berasap dan mengeluarkan suara mendesis sebelum akhirnya lumer – menghasilkan sebuah jalur retak sepanjang sapuan tangan raksasa itu.
“Kok kamu bisa lompat setinggi itu?” mata Bayu melotot ketika melihat Mahesa mampu melompat lebih tinggi daripada dirinya.
“Nggak tahulah!” jawab Mahesa cuek dan langsung menarik kembali busur panahnya. Ayatana – anak panah berhulu ledak – kembali terbentuk di tangannya dan segera ia lepaskan ke arah raksasa itu. Kali ini anak panah itu meledak di leher sang raksasa dan kontan saja raksasa itu kembali meraung dan menghentak-hentakkan kakinya seperti orang gila akibat serangan tadi.
“Hes! Kau bisa bawa aku ke kepala raksasa sialan itu?” tanya Bayu yang sudah bangkit berdiri.
“Hmm, entah, untuk apa sih?”
“Aku mau penggal kepalanya.”
“Aku nggak bisa jamin bisa melompat setinggi itu sambil bawa orang, Yu. Kita buat raksasa ini roboh saja bagaimana?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Makanya kita coba!” Mahesa sudah meninggalkan Bayu sendirian lagi dengan melesat dengan kecepatan di luar kecepatan lari manusia normal dan melompat ke arah sebuah jembatan layang lalu menembakkan Ayatana sekali lagi ke arah kaki Sang Raksasa. Ledakan yang timbul kali ini lebih hebat daripada yang sudah-sudah sehingga membuat sebelah kaki raksasa itu putus dan rubuhlah raksasa itu ke tanah, menimpa deretan mobil yang telah ditinggalkan pemiliknya.
“Mahesa!” Bayu kembali menembakkan anak-anak panahnya ke arah raksasa itu, meski anak-anak panahnya tidak seefektif anak-anak panah Mahesa yang berhulu ledak, raksasa itu kini tampak menutupi wajahnya yang sedari tadi jadi sasaran anak-anak panah Bayu. Mahesa sendiri kembali melompat turun dari jembatan itu dan berdiri di samping Bayu lalu menembakkan kembali satu Ayatana ke arah tangan raksasa itu. Ledakan kembali terjadi namun tangan raksasa itu hanya lecet. Lapisan keras yang menutupi tangannya rupanya lebih tebal daripada di wajah maupun lehernya.
Begitu kobaran api sisa ledakan Ayatana Mahesa menghilang, raksasa itu menyingkirkan telapak tangannya dari hadapan wajahnya lalu kembali menyemburkan api. Tapi kali ini ganti Bayu yang melepaskan satu anak panahnya ke arah semburan api raksasa itu. Anak panah itu langsung berubah wujud menjadi angin puyuh berbentuk silinder yang berputar menghalau kobaran api itu kembali ke arah si raksasa. Raksasa itupun meraung ketika kobaran api yang ia semburkan tadi malah digunakan menyerang balik dirinya.
Bayu kembali melepaskan satu anak panah lagi dan panah itu berubah menjadi sebentuk pusaran air yang langsung memadamkan kobaran api yang menyelimuti tubuh raksasa itu. Begitu Bayu selesai dengan aksinya, ganti Mahesa yang melepaskan anak panahnya ke arah raksasa itu dan anak panah itupun segera berubah menjadi belitan rantai yang menjerat tubuh raksasa itu hingga ia tak mampu bergerak ke mana-mana lagi selain berguling putus asa di jalanan.
“Waktunya menghabisi monster ini,” Bayu kembali mengubah Taksaka menjadi bentuk sundangnya namun ia langsung menoleh ke belakang begitu menyadari bahwa di belakang mereka sudah terdengar raungan sirene serta suara baling-baling helikopter.
“Pihak berwajib dari Kanada, kita harus sembunyi!” ujar Bayu.
“Tapi kita belum atasi makhluk ini!”
“Mereka pasti bawa bom atau semacamnya, aku yakin mereka bisa mengatasi raksasa ini. Tapi sekarang kita harus lari! Lekas ambil tas kita di mobil, Hes!”
Busur Mahesa kembali berubah menjadi gelang perunggu dan segera saja remaja itu mengikuti langkah Bayu ke arah mobil mereka yang sudah terbalik itu. Tampak di sana Bayu menarik keluar dua tas milik mereka berdua sembari memeriksa kondisi wanita bernama Intan itu.
“Bagaimana?” Mahesa menanyakan kondisi Intan.
Bayu hanya menggeleng lalu menepuk bahu Mahesa, “Ayo kita pergi dari sini.”
“Mau ke mana kita?”
“Ottawa, ke Kedubes RI di sana. Tapi untuk malam ini kita harus Kamloops dahulu.”
“Kenapa kita tidak lapor saja ke prajurit-prajurit di sana?”
“Dan mengambil resiko bahwa salah satu dari mereka adalah Asura yang menyamar? Oh tidak, tidak. Ayolah! Lekas!” Bayu melemparkan satu tas ke arah Mahesa lalu cepat-cepat berlari melintasi ladang rumput dengan diikuti Mahesa di belakangnya. Ketika mereka sudah cukup jauh, mereka mendengar sebuah suara ledakan di kejauhan, di tempat mereka meninggalkan raksasa hitam tadi dalam kondisi terikat. Sesaat kemudian dua buah jet tempur melintas di atas kepala mereka, terbang sesaat ke arah timur sebelum berbalik arah menuju barat.
*****
Setengah jam kemudian, setelah berjalan melintasi ladang rumput dan kompleks perumahan yang tampak hancur lebur serta ditinggalkan, Bayu dan Mahesa tiba kembali di daerah perkotaan Vancouver yang kini tampak dipenuhi kepanikan. Di mana-mana tampak polisi dan tentara berpatroli. Drone-drone – robot terbang berbentuk bulat – berwarna perak dengan simbol bendera Kanada di sisi kanan dan kirinya tampak bersliweran memenuhi udara. Seorang petugas polisi berseru-seru mengumumkan bahwa kota dalam kondisi darurat. Tidak boleh ada penduduk ataupun turis yang boleh keluar dari Vancouver sampai polisi dan pihak militer menangkap para teroris yang baru saja meluluhlantakkan Stadion British Columbia. Mereka yang memaksa keluar akan dianggap sebagai teroris dan akan ditangkap oleh pihak yang berwajib. Kondisi darurat ini akan diberlakukan sampai waktu yang belum ditentukan.
“Ah sial!” Bayu geram sekali mendengar pengumuman itu sebelum akhirnya teringat pada folder ketiga yang ada di arlojinya itu. Ia tidak terlalu suka dengan ide minta bantuan ibunya, tapi di saat-saat seperti ini ia tak tahu lagi harus minta tolong pada siapa.
“Tolong pegangi tasku, Hes,” Bayu berjalan dan duduk di sebuah bangku taman di sebelah sebuah restoran makanan cepat saji sembari mengutak-atik arlojinya. Sesaat kemudian Bayu mengaktifkan sebuah selubung digital dan mulai bercakap-cakap dengan seorang wanita yang tak lain adalah ibunya. Mahesa sendiri tidak bisa mendengar apa yang Bayu percakapkan dalam selubung itu, sebab selubung itu menghalangi segala suara keluar dari ataupun masuk ke selubung tersebut.
“Bu,” Bayu mulai bicara pada ibunya yang tampak di layar, “stadion tempat kami mengadakan upacara baru saja diserang segerombolan teroris. Seorang gelandangan tiba-tiba saja berubah rupa menjadi raksasa yang mengaku diri namanya Srenggi, dan tadi kami baru saja diserang raksasa yang bisa merubah diri menjadi harimau raksasa.”
“Posisi kalian sekarang di mana?” tanya Endang.
“Masih di Vancouver, Bu. Gerbang kota ditutup dan Bu Intan yang bertugas melindungi kami juga tewas. Kami tak bisa melanjutkan perjalanan ke Kamloops.”
“Apa Bu Intan memasukkan sesuatu ke tas kalian?” tanya Endang lagi dan Bayu pun memeriksa tasnya. Di sana ada sebuah arloji dengan kartu paspor serta kartu identitas atas nama Nazib bin Syarif.
“Ada identitas atas nama Nazib bin Syarif, Bu.”
“Bagus. Sampai kalian tiba di Ottawa, pakai identitas itu.”
“Kenapa kami harus jadi orang lain?”
“Karena tidak ada orang yang bisa kalian percayai sepanjang perjalanan kalian. Asura bisa berubah menjadi siapa saja, mereka bisa menjadi apa saja, dan di zaman modern seperti ini bukan mustahil jika mereka mulai mempelajari yang namanya teknologi. Setiap kali kalian melintasi bandara, toko, stasiun, nama kalian akan tercantum di sana. Menyamarkan nama kalian adalah satu-satunya jalan supaya mereka tak bisa mendeteksi kalian sampai Ottawa.”
“Lalu setelah kami tiba di sana, kami harus ke mana?”
“Akan ada orang yang menjemput kalian untuk pulang ke Indonesia. Sudah dulu ya, Le. Aku masih ... .”
“Eh Bu,” Bayu menyela perkataan ibunya.
“Kenapa Le?”
“Tolong Ibu jawab dengan jujur ... Mahesa itu sebenarnya siapa, kenapa Mbak Kartika mengaku mengenal Mahesa, kenapa Mahesa mengaku dirinya bermimpi menjadi Abimanyu, dan kenapa raksasa yang menyerang kami tadi juga memanggilnya dengan sebutan Abimanyu?”
“Itu karena,” Endang terdiam sesaat, “kalian punya ayah yang sama.”
“Ibu jangan bilang kalau ...,” Bayu terkesiap.
“Ya Nak, dia adikmu. Adik satu ayah lain ibu. Ayahmu ‘bermain gila’ di belakang Ibu dan sebenarnya sejak umurmu masih dua tahun ayah dan ibu sudah bercerai. Ayahmu akhirnya tinggal dengan ibu Mahesa sebelum akhirnya tewas di tangan Laskar Pralaya.”
“Tunggu jadi ... kabar ayah tewas di medan perang itu bohong?”
“Maaf Nak, Ibu hanya tidak ingin membebani pikiranmu.”
Bayu tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia langsung saja menutup layar di hadapannya dan menatap Mahesa dengan tatapan benci.
Ada tiga kemungkinan ketika seorang istri mengetahu suaminya punya wanita idaman lain. Yang pertama mereka akan marah dan menuntut cerai, yang kedua mereka akan menerima istri kedua suaminya itu dengan hati dongkol, dan yang terakhir mencoba ikhlas dengan pilihan suaminya itu. Sementara di sisi anak, tak pernah ada anak yang mau melihat ibunya menderita karena dimadu. Sehingga ada dua kemungkinan yang akan terjadi ketika anak dari dua ibu yang berbeda bertemu, yang pertama : mereka akan bersikap sopan satu sama lain meski itu hanya sekedar basa-basi dan yang kedua salah satu dari mereka akan menghajar saudara lain ibunya sebagai pelampiasan amarah dan sakit hati.
Bayu merasakan yang kedua. Rasanya ia ingin menonjok wajah Mahesa dan memaki-maki ibu Mahesa yang berani-beraninya merebut ayahnya dari dekapan ibunya. Ia bahkan sudah menyiapkan satu set koleksi kata-kata makian untuk dilontarkan pada ibu Mahesa, termasuk di antaranya jalang dan sundal. Tapi pikirannya segera teringat pada kondisi di jalan raya tadi. Kalau bukan karena bantuan Mahesa, pasti dia sudah mati. Dia masih butuh bantuan Mahesa. Setidaknya sampai dia bisa keluar dari negeri ini.
Bayu menarik nafas dalam-dalam dan setelah dirinya cukup tenang ia menonaktifkan selubung digital yang menyelimuti dirinya lalu menggapai tas miliknya.
“Makan dulu yuk,.” Bayu menunjuk ke restoran cepat saji di samping mereka, “Setelah itu kita cari motel.”
“Semoga di sana ada menu yang nggak pakai sapi[4],” ujar Mahesa.
“Pasti ada. Ayo!”
[1]Wilayah gabungan antara DKI Jakarta dengan Bekasi, Depok, dan Tangerang
[2]Perwira pengawas : agen yang ditunjuk badan intelijen untuk mengawasi tindak-tanduk agen lapangan.
[3]Di masa ini beberapa tipe mobil dapat menurunkan atau membuka kaca belakangnya.
[4]Para penganut Hinduisme dilarang makan daging sapi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top