BAB X : KABUR
“Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.”
– Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa–
Vancouver, Kanada, 17.00 esok harinya.
Setelah mengalami ketidakjelasan selama berjam-jam akhirnya diputuskan juga bahwa upacara pembukaan akan diadakan di BC Place Stadium (Stadion British Columbia). Semua atlet langsung diminta berpakaian adat Bengkulu. Yang pria diminta memakai semacam kemeja safari berbahan wol warna merah dengan ikat kepala warna merah pula serta selempang kuning emas. Yang wanita diminta memakai atasan semacam gaun merah, sarung berwarna merah pula, serta mantol berwarna emas pada bagian bahu serta merah pada bagian lainnya, tidak lupa sebuah topi hias mirip mahkota wajib bertengger di atas kepala mereka.
Meski aturan berpakaian mereka tampak agak ribet, tak sampai 10 menit mereka sudah selesai berpakaian dan dituntun naik ke bus, menuju stadion.
*****
Para penonton telah berkumpul di tribun stadion, menunggu-nunggu dimulainya upacara pembukaan Olimpiade Tahun 2115, sebagai pengganti dua olimpiade sebelumnya yang gagal akibat konflik Taiwan-RRC ketika Olimpide hendak diadakan di Taipei delapan tahun lalu, serta konflik Yunani-Turki, tepat ketika Olimpiade hendak diadakan di Athena lagi tiga tahun lalu.
Si pria gelandangan tampak duduk di antara penonton yang memenuhi tribun. Ia tampak duduk dengan acuh-tak-acuh, sama sekali tidak mempedulikan kerumunan sekitarnya yang tengah mengibarkan bendera bersimbol daun maple merah – bendera Kanada. Sorak-sorai penonton pun tampaknya tak mampu mempengaruhinya untuk beranjak bangkit dan berjingkrak-jingkrak menikmati iringan musik dan lagu yang ditampilkan sebagai pembuka acara.
Ia melirik ke arah sekumpulan prajurit Angkatan Darat Kanada yang berjaga-jaga di seputaran stadion. Matanya juga sempat menangkap beberapa sosok penembak runduk (sniper) yang tengah berjaga di seputaran atap, bersiaga dengan senjata-senjata mereka.
Siap? Ia membatinkan kata itu dalam dirinya.
Kami siap, Paduka! Setidaknya puluhan suara menjawab pertanyaannya tadi.
Mulai! Gelandangan itu menjentikkan jarinya lalu mulai bangkit berdiri dan ikut serta dalam kehebohan massal para penonton.
Sementara di atas atap sana, beberapa puluh kucing tampak berjalan dengan cuek di seputaran atap. Para penembak runduk itupun saling berkomunikasi dengan penuh keheranan, “Kenapa hari ini kucingnya banyak sekali?”
“Entahlah, tapi biarkan saja. Hanya kucing, sama sekali tidak berbahaya.”
“Tapi ini aneh, biasanya mereka tidak sebanyak ini kan?”
“Seperti kataku tadi, biarkan saja ... huk!” prajurit itu habis kata-katanya karena sesosok makhluk telah mencabut jantungnya.
“Tiger-09? Ada apa?” teman-temannya mencoba berkomunikasi dengannya.
Tapi belum sempat teman-temannya mendapat jawaban, satu-per-satu mereka sudah dipatahkan lehernya oleh sesosok mirip manusia yang tersembunyi dalam kelamnya malam.
Sosok-sosok mirip manusia itu menanggalkan seragam para prajurit itu lalu segera menggigit dan mengoyak lalu mengunyah mayat-mayat yang mereka tumbangkan tadi dengan rakus. Suara decap suara mereka yang mengunyah daging-daging mausia itu tak terdengar oleh kerumunan yang ada di bawah mereka karena suara penonton begitu riuhnya.
Segera sesudah mereka menyantap habis daging para prajurit malang itu, beberapa dari mereka berubah wujud menjadi sosok yang 100 % persis dengan sosok-sosok prajurit yang tinggal tulang-belulang itu. Para sosok itu segera mengenakan seragam yang tadinya mereka tanggalkan dari para mayat lalu memungut senapan runduk masing-masing dan mulai membidikkannya ke arah jalur stadion ... yang akan dilalui para kontingen.
“Paduka Prabu! Kami siap!” ujar mereka bersamaan.
*****
Dan si gelandangan pun tersenyum lebar. Masih tampak turut larut dalam keriuhan massa, si gelandangan tiba-tiba berhenti, diam. Ia mencium sesuatu di udara, aroma yang ia kenal dari masa lalu.
Si Gelandangan segera memusatkan pikirannya, mengirim pesan kepada sosok-sosok penyaru penembak runduk yang bersiaga di atas atap. Jangan tembak dulu para kontingennya! Tembak dulu para prajuritnya! Aku hendak memastikan sesuatu!
Baik Paduka! Jawab sosok-sosok itu bersamaan.
*****
Ketika kontingen Indonesia dipanggil memasuki stadion Felisa Rahman – si atlet bulu tangkis dari Bengkulu– langsung melangkah maju mendahului teman-temannya. Bendera merah putih selebar 100 x 150 cm ia genggam kuat di tangannya sementara rekan-rekannya beserta pendamping mengiringi dari belakang sambil mengibar-ngibarkan bendera yang lebih kecil ukurannya. Dan saat itu terjadilah sesuatu yang tak disangka-sangka sebelumnya.
Tepat ketika kontingen Indonesia sudah hampir memasuki lapangan utama stadion tempat semua atlet dari masing-masing negara berkumpul si gelandangan tampak melenting tinggi, melayang di udara selama beberapa saat sebelum akhirnya mendarat tepat di depan barisan kontingen Indonesia. Sontak Felissa Rahman pun terkejut dan sempat mundur beberapa langkah ke belakang.
Penonton di tribun pun tak kalah terkejutnya menyaksikan seorang gelandangan hobo tiba-tiba saja sudah berdiri menghalangi jalan bagi para atlet kontingen.
“Hei kau! Minggir!” seorang prajurit Kanada berjalan mendekati si gelandangan namun si gelandangan dengan cepat mengibaskan tangannya dan si prajurit itupun roboh ke tanah ... dengan dada berlubang.
Suasana stadion pun segera menjadi panik. Para penonton berhamburan, berusaha segera keluar dari stadion namun segera saja terdengar rentetan tembakan dari atas atap, menghabisi para prajurit Kanada yang berjaga dalam stadion.
“KALIAN SEMUA DIAM DI TEMPAT!” si gelandangan menarik sebuah mik dan mengumumkan pengumuman itu tepat setelah rentetan tembakan itu berhenti, “TIDAK AKAN ADA YANG TERLUKA SELAMA KAMI MENDAPATKAN APA YANG KAMI CARI!”
“Apa yang kau cari?” seorang panitia, seorang pria Kaukasian berambut perak, bicara dengan terbata-bata pada si gelandangan.
“Aku hendak memastikan satu hal,” jawab Si Gelandangan sambil tersenyum jahat lalu melangkah ke arah para atlet kontingen Indonesia yang tampak ketakutan.
*****
Bayu kini tampak berkeringat dingin. Bukan hanya ada kemungkinan Gelandangan Gila di hadapannya ini adalah seorang Laskar Pralaya yang hendak mengincar nyawa mereka tapi juga karena adanya perasaan aneh yang muncul di dalam dirinya. Perasaan bahwa ia mengenal sosok Si Gelandangan. Tapi di mana?
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, Si Gelandangan sudah mengajukan pertanyaan yang ganjil, “Siapa di antara kalian yang bernama Bambang Irawan?”
DEG! Kali ini Bayu merasakan jantungnya terasa mau melompat keluar dari rongga dadanya. Serentetan bayangan menyeruak masuk ke dalam benaknya dan entah bagaimana ia merasakan bahwa Si Gelandangan di hadapan mereka ini bukanlah manusia ... barangkali saja dia adalah ... Srenggi.
“Tak ada yang menjawab eh? Baiklah!” Si Gelandangan itu mendekat ke arah para atlet itu lalu mendekatkan hidungnya ke arah para atlet, mengendus sejenak aroma tubuh mereka sebelum berpaling ke yang lain. Ia lakukan hal itu berulang kali sebelum akhirnya sampai pada Mahesa.
“Samar-samar,” ujar Si Gelandangan, “tapi mirip. Hei Nak!” Si Gelandangan mencengkeram kerah baju Mahesa, “Siapa teman sekamarmu?”
Mahesa yang pucat-pasi ketakutan dengan ragu-ragu menunjuk ke arah Bayu yang berdiri di deretan paling belakang. “Ahah, Irawan,” Si Gelandangan tersenyum jahat, memamerkan giginya yang kuning, “kita ketemu lagi.”
“Srenggi?!” Bayu asal menebak nama si Gelandangan.
“Hahaha,” Si Gelandangan tertawa, tawanya menggelegar, membahana ke sepenjuru stadion, suaranya jelas-jelas bukan tawa seorang manusia, “Kamu masih ingat aku rupanya Irawan,” suaranya kini berubah, menjadi suara bariton oktaf tinggi – atau lebih tepatnya suara yang sering didengungkan para dalang wayang kulit sebagai suara para buta – raksasa.
“Mau apa kau kemari?” tanya Bayu tegas meski rasa takut hebat menyusupi setiap sendi dan ototnya.
“Menurutmu?”
Bayu tidak menunggu jawaban lebih lanjut lagi, ia segera membuang bendera di tangannya lalu berlari kencang-kencang, mencoba keluar dari stadion itu. Si Gelandangan melihat musuh lamanya pergi begitu saja, berteriak keras-keras dan tak sampai sepuluh detik kemudian segenap prajurit Kanada yang tadinya berjaga di depan stadion bergerak masuk ke dalam stadion. Masing-masing menodongkan senjatanya ke arah yang berbeda lalu mulai menembak secara serampangan.
Korban pun berjatuhan, para penonton banyak yang tewas dan terluka akibat tembakan itu, sementara para panitia dan kontingen lain hanya bisa mematung di tengah stadion.
“Jadi Irawan,” Srenggi menuding ke arah Bayu, “Kalau kau mau serahkan nyawa baik-baik, aku takkan biarkan adanya korban yang jatuh lagi.”
Bayu hanya diam, mematung, tak tahu harus berbuat apa. Ia tidak rela mati begitu saja, tapi meloloskan diri dari tempat ini rasanya juga nyaris mustahil. Sepasukan tentara – yang entah bagaimana – telah diperintah Srenggi sama sekali tak bisa dilawannya seorang diri.
“Bagaimana Irawan, masih ragu?” Srenggi memberi isyarat pada seorang prajurit dan prajurit itu mengangguk, detik berikutnya otak Felissa Rahman berhamburan di wajah rekan-rekannya sesama atlet. Jeritan histeris kembali terdengar dari mulut-mulut para kontingen Indonesia tak terkecuali Mahesa.
*****
Mahesa tidak percaya apa yang dilihatnya barusan. Seorang rekannya baru saja dihabisi di acara pembukaan Olimpiade oleh sekelompok orang misterius. Bendera yang tadi dipegang oleh gadis itu kini terjatuh di tanah, bernodakan darah dan cairan otak yang merembes keluar dari kepala yang sudah hancur sebagian itu.
“Ini mimpi buruk! Ini mimpi buruk!” ujar Mahesa pada dirinya sendiri namun tak peduli betapapun kerasnya ia mencoba mencubit atau memukul dirinya sendiir, ia tak terbangun jua. “Ini nyata...,” desahnya lemas.
Dan di ujung sana Bayu masih tampak berdiri ragu memandangi Si Gelandangan dengan tatapan benci dan marah. Mahesa sendiri merasa sorot mata Bayu sepertinya familer dan bersamaan dengan itu ia mendengar sebuah suara berdengung di telinganya, “Lindungi Bayu Sutawijaya!”
Seolah tergerak oleh suara itu, Mahesa menarik keluar pistol Kamandaka miliknya yang ia kantongi di pinggangnya dan mulai menembak Si Gelandangan. Empat kali, tepat di dada, di bagian vital.
Si Gelandangan tersaruk ke depan lalu memandang Mahesa dengan tatapan marah. Kembali ia berteriak keras-keras namun kali ini sosoknya berubah. Otot-ototnya membesar empat kali lipat dan warna kulitnya berubah warna menjadi merah darah. Dari mulutnya tumbuh sejumlah taring yang mencuat keluar seperti harimau gigi pedang. Tubuhnya bertambah tinggi, menjadi dua kali ukuran manusia normal dan rambutnya kini tampak memanjang, hitam gimbal.
“A-apa itu?” seluruh yang hadir di sana dibuat menahan nafas ketika menyaksikan perubahan sosok Si Gelandangan itu.
Srenggi – wujud sejati dari Si Gelandangan – langsung saja menyemburkan kepulan asap ke arah Mahesa. Mahesa melompat ke samping dan balas menembaki si raksasa meski peluru tampaknya sama sekali tak menyakitinya.
“Keluar! Keluar! Keluar dari stadion sekarang!” para panitia berseru-seru panik memerintahkan para pengunjung dan atlet untuk segera angkat kaki dari tempat itu. Mereka lupa bahwa para prajurit bersenjata itu masih berjaga di sepenjuru stadion dan mereka yang tadinya tampak tak mempedulikan Mahesa, kini membidikkan senjatanya ke arah para pengunjung yang berlarian panik. Satu demi satu mereka yang mencoba lari berguguran, memaksa sebagian besar dari mereka tetap bertahan di dalam stadion menyaksikan pemandangan mengerikan : pertarungan antara si raksasa Srenggi dengan Mahesa.
Srenggi berkali-kali hendak memukul Mahesa namun entah mengapa pukulannya selalu luput. Mahesa sendiri merasa kini tubuhnya bergerak lebih cepat daripada yang biasanya. Tapi dengan kecepatan seperti inipun ia sadar bahwa ia tak mampu menghindar terus dari Srenggi. Ia melirik ke arah Bayu yang tampaknya tengah dikerumuni sejumlah prajurit Kanada dengan laras senapan teracung ke arahnya namun tanpa Mahesa duga, gelang di tangan Bayu berubah menjadi sebilah sundang, warnanya abu-abu gelap dengan sedikit corak emas di bagian tengahnya. Lalu dengan tanpa keraguan sedikitpun, Bayu membuat gerakan berputar, menebas lima prajurit Kanada yang mengepungnya lalu melemparkan sundang itu ke arah Srenggi.
Sundang itu menancap di punggung Srenggi, membuat sosok raksasa itu mengalihkan perhatiannya sejenak dari Mahesa ke arah Bayu. Apa yang Bayu kemudian lakukan tampaknya sangat aneh. Alih-alih lari, ia malah mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya lalu berucap, “Hamba memohon kepada Swargapati[1], bantulah hamba memerangi adharma. Bantulah hamba memusnahkan Srenggi!”
Langit tiba-tiba mencurahkan hujan dan petir menyambar-nyambar dan tak lama kemudian seberkas kilat menyambar Srenggi dan melontarkan tubuh raksasa itu ke arah satu sisi tribun. Tubuhnya menimbulkan suara berdebam ketika jatuh dan menghancurkan tribun itu. Sesaat kemudian Bayu melirik ke arah arlojinya, sebuah pesan terpampang di sana : LINDUNGI MAHESA!
Ia tak menunggu lebih lama lagi, tangan kanannya ia rentangkan dan sundang yang semula menancap di punggung Srenggi itupun kembali ke tangannya. Lalu ia tarik tangan Mahesa yang jatuh terduduk supaya pemuda itu bangkit, “Kita harus keluar dari sini!”
“Yang lain bagaimana?” tanya Mahesa.
“Ada yang akan mengurus mereka. Ayo cepat! Sebelum mereka mengincarmu juga!” Bayu menarik paksa tangan Mahesa dan menuntunnya keluar dari stadion melalui sebuah lorong. Pintu di hadapan mereka tampak terkunci namun Bayu tak melambatkan larinya bahkan ketika Mahesa memprotes, “Pintunya dikunci, Yu!”
“Tidak,” ia tetap berlari lalu mengayunkan sundangnya dan merusak kunci gerbang itu. Gerbang itupun akhirnya terbuka lebar, “Lihat kan? Tidak terkunci.”
“Kita ke mana?” tanya Mahesa ketika mereka sudah tiba di luar.
Bayu memandang sekelilingnya lalu melihat sekelompok orang, terdiri dari dua orang pria dan satu wanita tengah melambai ke arah mereka.
“Sini! Sini!” seru seorang dari antara mereka.
Bayu dan Mahesa pun bergegas menghampiri mereka dan seorang dari mereka segera bertanya, “Bayu Sutawijaya dan Mahesa Werdaya?”
Keduanya mengangguk dan segera saja sang wanita membukakan pintu mobil, “Masuk! Kita harus segera pergi dari sini!”
“Mau ke mana kalian!” setidaknya empat prajurit Paskhas tampak menodongkan senjata ke arah mereka. Dua pria itu tanpa banyak bicara langsung menarik pistol mereka dan menembak keempat prajurit Paskhas itu.
“HEI! Apa yang kalian lakukan?” Mahesa memprotes.
Kedua pria itu tidak menanggapi protes Mahesa, melainkan segera berjalan menghampiri keempat jenazah itu. Namun belum juga mereka bisa mendekat, para jasad itu bangkit dan wujud mereka pun berubah. Bukan lagi sosok manusia melainkan sosok raksasa seukuran manusia. Wujud mereka kurang lebih sama buruknya dengan Srenggi.
“Lari! Bawa mereka lari Tan!” seorang dari mereka berseru pada rekan wanita mereka yang sudah duduk di kursi kemudi.
“Siap anak-anak?” tanya wanita itu.
Belum juga Bayu dan Mahesa menjawab, wanita itu sudah menginjak pedal gasnya kuat-kuat, keluar dari area stadion, ngebut di antara jalanan Vancouver yang lumayan padat meskipun tak sepadat Jakarta.
Belum juga mereka jauh beranjak dari stadion terdengarlah suara dentuman dahsyat dari arah stadion. Baik Bayu maupun Mahesa melirik ke belakang dan mereka menyaksikan bagaimana sebongkah atap stadion itu terlontar tinggi sekali dan menuju ke arah mereka.
“Awas atap!” seru Bayu.
Sang wanita berkacamata di kursi kemudi langsung sigap dan membanting setir ke kiri sehingga loloslah mereka dari hantaman bongkahan atap itu. Sayangnya beberapa pengendara tidak seberuntung itu.
“Ya ampun,” Mahesa terduduk lemas, “Di sana ada teman-teman kita Yu.”
“Jangan khawatir, Nak. Ahmad dan Darius akan mencoba mengeluarkan mereka dari tempat itu.”
“Mencoba? Dengan hanya kekuatan mereka berdua?” tanya Bayu, “Apa tidak ada yang lain?”
“Maaf Yu. Serangan yang satu ini benar-benar tidak kami antisipasi. Kami tidak tahu jika ada raksasa sebesar itu menyusup di antara penduduk Vancouver.”
“Siapa ... sebenarnya mereka?” tanya Mahesa masih lesu.
“Kamu tahu Asura, Hes?” tanya wanita itu.
“Kaum raksasa penentang dewata yang sering muncul dalam Purana[2]? Ya, kenapa?”
“Kalian tadi baru saja bertemu dengan mereka.”
“Eh?” mata Mahesa membeliak, “Tapi itu mustahil kan? Asura sudah tidak ada di muka bumi ini lagi kan?”
“Mereka ada,” jawab Bayu, “bersembunyi di balik kegelapan, sebagian menyaru sebagai manusia atau hewan, sebagian lagi hidup dalam dimensi paralel – sesuatu yang mungkin disebut para ahli metafisika sebagai dimensi astral.”
“Kalian sebaiknya ganti baju,” wanita di bangku kemudi itu menunjuk ke arah bagasi belakang, “Kami sudah mengungsikan tas kalian tadi.”
“Sekarang kita ke mana Bu ... Intan?” tanya Bayu.
“Aku akan bawa kalian ke Ottawa, ke Kedubes RI. Di sana kalian akan aman dari serangan Asura. Aku sudah hubungi markasku, mereka akan segera kirim orang ke Ottawa dan kalian bisa pulang dengan aman.”
“Markas?” dahi Mahesa mengernyit, “Anda ini dari mana sih?”
“BIN – Badan Intelijen Negara.”
*****
Markas Dakara, Pejaten Timur, Jakarta, 09.00 WIB
Syailendra baru saja selesai menyeruput kopinya setelah semalaman berkutat mengamati puluhan laporan intelijen di komputernya ketika alarm komputernya berbunyi nyaring. Tangannya meraih satu panel yang sedang berisik membunyikan alarm itu dan menekannya. Tampak di layar itu wajah seorang pria botak dengan kulit berminyak yang melapor dengan panik, “Maaf Kolonel, sebaiknya anda ke ruang kontrol sekarang juga.”
Syailendra pun beranjak bangkit, meraih tongkat jalannya yang terbuat dari kayu bercat gelap lalu berjalan menuju ruang kontrol. Di sana tampak sebuah layar holografik besar menampilkan adegan ledakan di Stadion British Columbia, Vancouver Kanada.
“Berapa yang selamat?” tanya Syailendra.
“Dari negara mana Pak? Indonesia? Cuma tiga atlet yang selamat ditambah satu pendamping, Sersan Purnawirawan Robert Adipapa. Dua dari tiga yang selamat itupun entah kenapa tengah dikejar ...,” pria botak itu terdiam lama.
“Asura?” tebak Syailendra.
“Ya, gendruwo, buta, atau semacam itulah.”
“Statusnya bagaimana?”
“Ahmad dan Darius tewas. Tapi kita punya rekaman akhir dari kamera yang mereka bawa.”
“Tunjukkan!” perintah Syailendra.
Pria botak itu menekan beberapa tombol dan menunjukkan adegan di mana Srenggi yang tadinya dirobohkan oleh sambaran kilat kini telah bangkit kembali dan dengan marah membentuk sebuah bola api raksasa yang ia hantamkan ke atas tanah. Tiga detik kemudian sinyal dari kamera kedua agen itupun lenyap.
“Lalu ini Pak,” pria itu kembali menekan beberapa tombol dan menampilkan siaran langsung tentang kondisi Stadion British Columbia yang kini tak lebih dari puing-puing semata. Nyaris seluruh yang hadir di stadion itu tewas, hanya beberapa orang saja yang selamat.
“Ini pasti akan jadi insiden diplomatik, Pak,” kata pria itu lagi.
“Tidak, kita masih bisa mengelak. Skala serangan Laskar Pralaya tidak mungkin sebesar ini di mata dunia internasional. Lagipula data kamera pemerintah Kanada dan salah satu stasiun televisi di sana menunjukkan pelakunya kebanyakan tentara Kanada sendiri kan? Dalam urusan diplomatik kita masih bisa mengelak.”
“Tapi ...,” pria botak itu memandangi Syailendra dengan tatapan penuh arti, “kita jadi punya PR besar Pak dan PR pertama sudah diumumkan oleh Para Penerawang.”
“Apa kata mereka?” tanya Syailendra dengan mimik serius.
“Satu dari antara anak-anak yang diselamatkan Intan akan mati Pak. Intan juga. Mereka tidak akan bisa mencapai Ottawa dengan mengendarai mobil.”
“Dan apa saran mereka?”
“Mengganti moda transportasi dengan kereta atau pesawat tidak akan memperbesar peluang hidup dua anak itu. Satu Asura yang sangat kuat kemungkinan besar akan menghadang mereka di Ottawa, di kedutaan kita sendiri.”
Syailendra memijit-mijit dahinya sejenak sebelum berujar lagi, “Apa pelatihan untuk tiga agen lapangan baru itu sudah selesai, Rif?”
“Ah itu,” pria botak yang bernama Arif itu akhirnya menampilkan layar di mana tampak Riyadi, Markus, dan Janggala dikurung dalam sel tanpa jendela dan tanpa lampu, “Mereka bertiga bertahan dengan baik sejauh ini terutama Letnan Riyadi.”
“Bagaimana jika kita cabut satu orang dari pelatihan ini untuk menjemput Bayu dan Mahesa?”
“Pak, itu melanggar prosedur!”
“Rif, kalau kita terus ikut prosedur macam ini, nyawa dua anak itu bisa terbuang sia-sia.”
“Pak, apakah sebegitu pentingnya bagi kita untuk melindungi dua anak itu? Bagaimanapun juga kalau Bapak butuh saksi Bapak masih punya putra Sang Wapres dan pelatih Robert Adipapa. Kita sudah kehilangan dua agen lapangan terbaik kita hanya untuk dua anak ini, Pak.”
“Arif,” nada suara Syailendra kini terdengar amat serius dan dingin, “kau tidak usah banyak tanya. Lakukan saja tugasmu!”
Yang ditegur hanya bisa cemberut sesaat sebelum menjawab, “Ya Pak. Siap Pak!” Lalu berlalulah Syailendra dari ruangan itu.
Di luar ruangan, Syailendra mengaktifkan arlojinya dan menghubungi seorang petugas wanita di bagian pelatihan agen, “Cabut Ipda Markus Passaharya dari pelatihan, pesankan 1 tiket pergi ke Ottawa untuknya dan reservasi 3 tiket pulang dari Ottawa dalam 1 minggu ini.”
“Baik Pak,” jawab petugas wanita itu sebelum Syailendra menonaktifkan layar.
*****
Tiga hari sudah Markus dikurung dalam ruangan tanpa jendela dan lampu ini. Tiga hari itu pula ia tidak diberi makan dan minum. Hawa di tempat ini panas dan itu membuatnya merasa semakin haus, tapi seperti kata kakaknya, Riyadi, ini pelatihan dasar bagi para agen lapangan. Setelah sebelumnya menjalani segala simulasi dasar-dasar spionase di simulator sekarang inilah ujian akhirnya : mempertahankan kesadaran dalam ruang isolasi tanpa minum dan makan selama waktu yang tidak ditentukan.
Bagi Markus yang hobinya makan, ini siksaan yang lebih hebat daripada siksaan fisik. Belum lagi ditambah dengan isolasi selama tiga hari yang membuatnya tidak bisa bicara dengan satu orang pun. Ia sendiri tidak tahu apakah kakaknya ada di ruang sebelah atau tidak. Halusinasi mulai ia idap. Terkadang ia seperti melihat sosok pacarnya berdiri di samping tempat tidurnya. Terkadang dia seperti melihat ada senampan makanan di salah satu sisi kamarnya namun ternyata itu hanya sudut kamar yang kotor dan penuh debu.
Ia jadi lebih sering tidur di sini dan karena menunggu itu ia rasa menyiksa, ia mulai menonaktifkan jam digital yang ada di ruangan itu. Membiarkan dirinya tidak diikat dan disiksa oleh orientasi waktu. Lalu ia pejamkan mata, menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam, melakukan apa yang pernah diajarkan instrukturnya di Akademi Kepolisian dulu : meditasi.
Markus melakukan itu selama beberapa lama sampai kemudian pintu selnya tiba-tiba dibuka dengan kasar. Berkas sinar yang menyilaukan mata membuat Markus menutupi matanya, terlalu lama berada di sel gelap rupanya membuat matanya tak lagi terbiasa dengan cahaya.
“Ipda Markus Passaharya, kami punya misi untuk anda,” ujar seorang pria berseragam hitam-hitam.
“Interogasi?”
“Tidak, pelatihan untuk tahap ini sudah selesai. Tapi untuk pelatihan tahap berikutnya anda tidak akan diikutkan karena anda punya misi,” jawab pria itu lagi.
“Uh,” Markus memiringkan kepalanya selama beberapa saat, perut yang lapar dan dehidrasi rupanya membuat jalan pikirannya turut melambat pula, “Oke,” akhirnya ia bangkit berdiri dan keluar setelah berhasil mencerna perkataan lawan bicaranya.
Markus dibawa ke sebuah ruang makan di mana di sana sudah tampak Riyadi dan Janggala – yang tampak sama kacau dan kotor dengan dirinya – tengah makan dan minum dengan tergesa-gesa. Markus mengambil tempat di hadapan dua orang itu dan seorang pelayan robot segera meletakkan nampan di hadapan Markus. Nampan itu berisi sekaleng ransum tentara berbentuk bubur nasi lunak berbumbu dan segelas teh yang tampaknya diberi sejumlah rempah dan obat.
“Aku dicabut,” ujar Markus memulai pembicaraan sembari meminum minumannya yang terasa sangat aneh karena ada rasa manis, asin, dan sedikit rasa pedas di dalam minuman itu.
“Dapat misi?” tanya Janggala yang menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya.
“Ya,” jawab Markus sembari melirik Riyadi.
“Pelatihan selanjutnya apa?” tanya Markus.
“Keahlianmu. Mengajari kita jadi maling dan penyusup,” jawab Riyadi.
“Maling?” Janggala berhenti menyuap makanannya, “Apa maksudnya?”
“Tidak, tapi tidak ada gembok atau sistem keamanan hotel manapun yang bisa ‘selamat’ dari tangan Markus kalau dia berniat masuk ke dalam bangunan itu,” jawab Riyadi.
“Oh, hahaha, tampaknya aku salah menilaimu Pak Polisi. Aku kira polisi cuma bisa bertindak dengan kacamata kuda prosedur saja. Tapi ... apa benar dia sehebat itu, hei, Pak Tentara?”
“Wisanggeni,” Markus dengan cepat memborgol tangan Janggala dengan sebuah borgol laser.
“Hei!” Janggala memprotes tapi Markus memberinya isyarat untuk diam.
“Nah Mas,” Markus menyerahkan chip pembuka gembok itu pada Riyadi yang menerimanya dengan penuh senyuman, “Berapa lama kira-kira?”
“Dua menit,” ujar Riyadi.
“Oke,” Markus menarik keluar sebuah kawat dari saku celananya lalu mulai mengutak-atik sela-sela gembok itu selama beberapa saat.
“Hei, hei. Tidakkah tindakan ini terlalu ekstrem?” Janggala paham benar bahwa gembok laser tipe ini tidak bisa dibuka selain dengan chip pembukanya. Jika dibuka paksa, gembok ini akan meledak dan tangan si tergembok bisa cacat seumur hidup. Itulah yang membuatnya jadi sangat khawatir sekarang ini.
Tapi tampaknya Markus dan Riyadi hanya tertawa-tawa saja ketika ia menyatakan keberatannya sekali lagi. Polisi berdarah Maluku itu malah makin asyik dan ‘ganas’ menusuk-nusukkan kawat itu ke dalam gembok sampai indikator merahnya menyala.
“Ups!” Markus memberinya senyuman penuh arti pada Janggala sementara mantan debt-hunter itu tampak sangat ketakutan melihat lampu indikator merah itu. Ia sudah memejamkan matanya, bersiap merasakan sakitnya kehilangan tangan namun yang ia dapati kemudian justru suara benda plastik jatuh ke atas meja. Janggala perlahan membuka matanya dan di sana ia dapati sebuah batang plastik putih – yang dua sisinya dipasangi cincin logam tempat lajur laser akan keluar guna membelenggu tahanan – telah tergeletak begitu saja di atas meja.
“Satu menit 45 detik, Dik. Lumayan,” puji Riyadi.
Markus hanya tertawa, memamerkan giginya yang tampak putih, kontras dengan kulitnya yang hitam sementara Janggala tidak tahu apakah dia harus merasa lega – karena batal jadi orang cacat – atau marah – karena dengan seenaknya dipakai sebagai kelinci percobaan.
******
[1]Raja Surga – salah satu gelar Bathara Indra
[2]Bagian Veda yang memuat epos Ramayana dan Mahabaratha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top