BAB VII : PERSIAPAN
"Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!"
– Soekarno–
Semarang, 13.00 WIB
Kereta yang ditumpangi Mahesa dari Stasiun Solo Balapan tiba di Stasiun Tawang Semarang. Kursi di sebelah Mahesa sedari tadi kosong, karena kursi itu sudah dipesan oleh panitia KONI Semarang. Mahesa penasaran, siapa yang akan jadi teman duduknya karena ia bosan duduk sendirian tanpa teman. Memang ada dua atlet renang yang duduk di barisan sebelah tapi masalahnya satu : mereka cewek, dan mereka berdua sibuk membicarakan hal-hal soal cewek pula.
Kereta Argo Dwipangga II akhirnya berhenti di Stasiun Tawang Semarang tak lama kemudian. Atlet-atlet kontingan Jawa Tengah II – yang mencakup wilayah Semarang, Kudus, Kendal, dan kota-kota Pantura – mulai menaiki kereta. Mahesa tersenyum menyaksikan semua atlet yang naik itu cowok. Paling tidak dia tidak bakal canggung nantinya.
“Hei,” seorang pemuda berkacamata, berkulit sawo matang, dan tampak jutek menepuk pundak Mahesa cukup keras, “bangku ini kosong kan?”
“Uh iya,” jawab Mahesa yang tampak terkejut menyaksikan rekan sebangkunya yang ternyata adalah saingannya di PON tempo hari.
Pemuda berkacamata itu meletakkan tasnya di bagasi atas lalu menghempaskan dirinya di kursi di samping Mahesa kemudian mengeluarkan sebuah tc-earphone yang segera ia pasang di telinganya. Setelah itu ia tampak menyetel musik dari arlojinya, mengabaikan kehadiran Mahesa di sampingnya.
Ya ampun! Jutek sekali cowok ini! Hilang sudah harapan Mahesa untuk dapat teman ngobrol yang asyik sepanjang perjalanan.
Kereta ini kembali berangkat setelah transit selama sepuluh menit. Kereta ini bergerak ke arah utara, ke jalur double-track Pantai Utara Jawa.
Jalur double-track Pantai Utara Jawa adalah jalur tol dan kereta api yang dibangun di sepanjang pantai utara Jawa pada tahun 2041. Jalur ini pernah dirusak oleh Laskar Pralaya pada tahun 2099 namun dalam waktu kurang dari setahun segera diperbaiki. Kereta Argo Dwipangga II berjalan melalui jalur itu dengan cepat dan mulus, waktu tiba di Stasiun Gambir diperkirakan sekitar dua jam lagi.
Mahesa jemu menunggu dalam diam seperti ini. Dia butuh teman bicara tapi teman sebangkunya tampaknya bukan orang yang suka bicara banyak. Tapi di luar dugaannya, ada seorang pemuda yang duduk di belakangnya tampak mencolek dirinya, “Hei kamu dari mana?”
“Surakarta,” jawab Mahesa. Ia senang akhirnya ia dapat teman bicara juga.
“Cabang apa?”
“Panahan, Sasaran Bergerak.”
“Wohoo, sama kayak Bayu ya?”
Mahesa melirik ke arah pemuda berkacamata di sampingnya itu dengan tatapan ngeri, “Errr... iya.”
“Aku Amir, Amir Hamzah, cabangku renang 400 meter.”
“Mahesa,” Mahesa mengulurkan tangannya dan menjabat tangan pemuda yang rambutnya dicukur tipis nyaris gundul itu.
“Kursinya diputar saja, biar kita enak bicaranya.”
Mahesa melirik ke arah Bayu, lalu mencolek lengan rekan sebangkunya itu. Bayu tampak agak terganggu dan dengan kesal mematikan tc-earphonenya. “Mas, aku minta izin putar bangkunya ya,” ujar Mahesa.
“Ya, silakan,” Bayu menjawabnya dengan ketus sembari bangkit berdiri supaya Mahesa bisa memutar bangkunya. Begitu Mahesa selesai memutar bangku dan mengucapkan terima kasih, Bayu kembali menghempaskan diri di kursinya dan kembali asyik dengan pemutar musiknya.
“Apa dia selalu seperti itu?” tanya Mahesa pada Hamzah.
“Jangan diambil hati. Kita semua sudah paham kalau dia itu agak ... ‘anti-sosial’,” ujar Hamzah sambil tertawa kecil.
“Berapa orang yang berangkat dari Semarang?” tanya Mahesa.
“Tiga orang : aku, Bayu, dan satu atlet cewek cabang gymnastic. Kalau Surakarta?”
“Lima orang, dua atlet renang 100 meter, aku, dan satu atlet angkat besi, dan satu atlet tinju.”
“Mantap tuh.”
“Tapi kita masih harus ikut seleksi lagi kan?”
“Kamu sih nggak. Kamu kan sudah menang PON kan?”
“Cuma juara tiga. Temenmu ini nih,” Mahesa mengacungkan jempol kanannya ke arah Bayu, “yang langsung lolos.”
Hamzah kembali tertawa, “Tidak-tidak. Kemampuan kalian bertiga, kamu, Bayu, dan putra Wapres nyaris setara. Selama ini nyaris tidak ada orang Indonesia yang bisa menembak jatuh semua sasaran yang terbang dengan liar itu. Tapi olimpiade kan sasarannya lebih dari 25 ya?”
“Ah, kalah pun tak apa. Yang penting kan sudah pernah tahu dunia di luar Indonesia.”
“Ooo, jadi motivasi kita sama dong!”
“Kamu juga?”
“Semuanya rata-rata berpikir begitu. Di zaman ini sulit sekali cari yang namanya beasiswa ke luar negeri gara-gara Laskar Pralaya sialan itu menyabotase banyak aset industri dan perusahaan baik nasional dan multinasional. Investor asing takut dan pergi meninggalkan kita, sementara badan-badan asing mulai ragu memberi beasiswa untuk pemuda-pemudi Indonesia. Kombinasi yang klop kan? Kalau politik rusuh, ekonomi ikut rusuh, ujung-ujungnya warga biasa seperti kita ikut kena getahnya. Kita atlet masih agak beruntung karena masih bisa keluar negeri kalau kita ikut kompetisi macam ini.”
“Kamu kok tahu banyak sih?”
“Aku kan kuliah di Jurusan SOSPOL Universitas Diponegoro.”
“Ups, maaf. Aku kira Mas masih SMA.”
“Hahaha, nggak apa-apa juga. Kamu?”
“Masih SMA.”
“Kelas dua belas?”
“Iya.”
“Persis Bayu tuh.”
Hamzah dan Mahesa terus saja berbincang sampai akhirnya kereta mereka berhenti di Stasiun Gambir. Di sana mereka semua dibawa turun dan diangkut sebuah bus ke arah Cipayung, Jakarta.
*****
“Yak Teman-teman,” seorang pria muda berusia tiga puluhan tampak berdiri di sebuah podium, “Selamat datang di Pusat Pelatihan Atlet Cipayung. Di sini kalian semua akan berlatih menghadapi event Olimpiade 2115 di Vancouver yang kebetulan diadakan dua bulan dari sekarang.”
“Lho? Bukankah seharusnya kami dilatih di Batujajar? Dan bukankah event Olimpiade seharusnya tiga bulan dari sekarang?” terdengar seorang atlet pria memprotes.
“Panitia Olimpiade Vancouver mengubah jadwal pertandingan karena sebuah pertimbangan khusus. Pemberitahuan soal itu baru saja diterima oleh Kemenpora kemarin. Sementara soal Batujajar ... mohon maaf kami terpaksa membohongi teman-teman semua karena ada ancaman keamanan dari Laskar Pralaya. Mereka mengancam akan menyabotase Pelatnas karena itulah kami tempatkan teman-teman di sini sementara di Batujajar sana, pihak TNI sudah menyiapkan jebakan, umpan berupa Pelatnas palsu.”
Semuanya langsung diam, beberapa dari mereka kini begidik ketakutan karena mereka baru sadar bahwa Laskar Pralaya mengincar mereka. Pria muda di podium itu buru-buru melanjutkan perkataannya. “Tapi Teman-teman tak usah takut. Jakarta tidak pernah tertembus oleh Laskar Pralaya dan di bawah kota ini sebenarnya ada bunker-bunker militer yang memuat panser guna melawan musuh jika ibukota diserang. Lagipula ... di sini ada teman kalian yang dengan gagah berani mau mengambil resiko untuk tetap mewakili Indonesia meski ia bisa mundur di awal-awal. Silakan Saudara Wijayadi Saputra.”
Putra Sang Wapres! Mahesa cukup kagum akan keberanian (atau kenekatan?) pemuda itu. Kalau ada penyerangan, kepalanya akan jadi incaran pertama para Laskar Pralaya, tapi sekarang dia berdiri di sini dengan ekspresi penuh senyum pula.
“Teman-temanku yang saya cintai,” Putra memulai pidatonya, “Saya paham bahwa beberapa dari teman-teman datang kemari dengan diiringi oleh kekhawatiran orangtua teman-teman. Saya pun demikian. Ibu saya tidak tega melepas saya untuk melepas saya untuk mengikuti Pelatnas ini. Tapi ayah saya – Sang Wapres – sangat mendukung pilihan saya ini. Ini adalah cara saya mengucapkan terima kasih pada negara tempat saya lahir dan dibesarkan. Saya yakin teman-teman pun memiliki pemikiran yang sedikit banyak mirip dengan pemikiran saya karena itulah teman-teman datang kemari. Saya mengucapkan terima kasih atas keberanian teman-teman. Keberanian yang teman-teman tunjukkan adalah jiwa kita semenjak awal mula negeri ini berdiri.
“Bung Karno pernah menyatakan bahwa Rusia dan Amerika boleh bangga pada kekuatan militernya tapi kita bangsa Indonesia, haruslah bangga pada keberanian kita. Keberanian itulah yang membuat kita bisa merdeka dari penjajahan, keberanian itulah yang membuat atlet-atlet pendahulu kita selalu bisa menghantarkan medali untuk tanah air, keberanian itu pula yang membuat negeri ini bisa terus berdiri dalam sebuah kesinambungan hingga saat ini – meski didera berbagai konflik dan pemberontakan.
“Teman-temanku yang saya cintai, jangan takut akan ancaman Laskar Pralaya, sebab kita punya bapak-bapak TNI dan POLRI yang siap sedia bertaruh nyawa saban harinya untuk menghadapi mereka, memastikan kita dan keluarga kita, dan teman-teman kita aman. Janganlah sia-siakan pengorbanan mereka. Mari kita hargai pengorbanan mereka dengan terus berjuang di ajang Olimpiade yang akan datang! Mari kita tunjukkan pada dunia kekuatan muda-mudi Indonesia! Mari kita tunjukkan pada mereka bahwa kita ini bukan anak-anak muda yang penakut! Apapun hasil yang akan kita bawa dari sana, kalah atau menang, mari kita pastikan saja bahwa kita telah berjuang sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya.”
Tepuk tangan langsung membahana di sepenjuru aula itu. Baik pejabat, pelatih, maupun atlet, nyaris semuanya tergugah oleh pidato seorang pemuda bernama Wijayadi Saputra itu. Tepuk tangan itu masih saja riuh hingga beberapa menit sebelum akhirnya berhenti oleh suara seorang pria empat puluh tahunan yang dikenal sebagian besar yang hadir di sana sebagai Menpora. Sambutan Sang Menpora singkat saja, tak sampai dua menit setelah itu para atlet langsung disebar ke asrama mereka masing-masing.
Mahesa mendapat sebuah kamar yang dihuni tiga orang, dirinya, Bayu, dan Wijayadi. Mahesa menarik nafas lega mengetahui dia tidak harus sekamar berdua saja dengan pemuda berkacamata itu sebab ia merasa pemuda itu memiliki aura ... seram.
Cipayung, esok harinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat pagi dan Mahesa merasa ada seseorang yang mengguncang-guncangkan tubuhnya. Ketika ia membuka matanya ia melihat bahwa itu ternyata Wijayadi. “Hei bangun! Pelatih memanggil kita!”
Mahesa melirik arlojinya yang masih terpasang di tangannya sedari malam, “Jam segini?”
“Iya! Ayo cepat! Tidak perlu mandi!” Wijayadi bergegas mengenakan jaket atletnya sementara Mahesa yang masih mengantuk mengucek-ngucek matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya bangkit berdiri dan mengenakan jaket atletnya.
Meskipun ini Jakarta, udara pagi tetap lumayan dingin. Baik Mahesa maupun Wijayadi bergidik kedinginan ketika mereka tiba di sebuah lapangan terbuka di mana Bayu sudah tampak berdiri di sana. Dahi pemuda berkacamata itu berleleran peluh, tampaknya ia bangun lebih pagi daripada Mahesa maupun Wijayadi dan langsung melakukan pemanasan.
“Yak, pemanasan!” seorang pelatih berkulit hitam legam, berwajah garang, dengan kumis dan cambang tebal tampak sudah memasuki lapangan. Suaranya menggelegar dengan logat khas Indonesia Timur – mungkin Papua. “Lari! Tujuh kali keliling lapangan! Cepat!”
Mahesa dan Wijayadi berlari duluan, sementara Bayu tampak meregangkan otot sejenak sebelum mulai berlari. Di luar dugaan Mahesa, kecepatan lari Bayu sangat mengagumkan untuk ukuran atlet non pelari – bahkan ia merasa bahwa Bayu seharusnya jadi atlet pelari bukannya atlet panahan. Ketika Wijayadi dan Mahesa baru selesai tiga putaran, Bayu sudah selesai 4 putaran, ketika mereka selesai melakukan lima putaran, Bayu sudah menyelesaikan tujuh putaran. Dan mengherankannya ketika Mahesa dan Wijayadi masuk ke lapangan dengan nafas yang dipaksa teratur, Bayu tampak tidak terengah-engah sama sekali.
Orang ini mengerikan! Batin Mahesa.
“Ya anak-anak! Beta – saya – Robert Adipapa! Beta diminta pejabat datang kemari lagi untuk latih kalian orang! Beta pernah latih pendahulu kalian : Simon Anselmus Teng dan dia menang bronze – perunggu – di ASIAN GAMES! Sekarang beta tak mau lihat perunggu. Beta mau lihat silver. Jadi beta mau salah satu dari kalian paling tidak dapat perak di Olympic sana,” begitu pelatih itu berujar. Mahesa dan Wijayadi saling pandang, dalam hati mereka berdua berusaha tidak menertawakan logat si pelatih yang terdengar lucu di telinga mereka dan gaya bahasa si pelatih yang menggabungkan kosakata bahasa Inggris, Ambon, dan bahasa Indonesia.
“Hei kamu berdua!” si pelatih langsung menyadari bahwa Mahesa dan Wijayadi tampak tersenyum-senyum sendiri, “Tertawakan apa kalian?”
“Tidak Pak, tidak apa-apa,” jawab Wijayadi.
“Tidak-boleh-ada-yang-tertawa-selama-saya-bicara-dan-melatih! Paham?” Robert memberi penekanan pada setiap suku kata yang ia ucapkan dengan tudingan jari telunjuk ke tanah.
“Paham Pak,” jawab Mahesa dan kedua rekannya bersamaan.
“Bagus, sebab kalau tidak paham juga ... bersiaplah menemui ajal!”
Uh-oh, tampaknya itu tidak bagus. Mahesa langsung bersumpah tidak akan tersenyum lagi di hadapan pelatih yang satu ini.
******
Malam harinya, Mahesa merasa seluruh sendi tubuhnya terasa mau lepas dari tempatnya. Pelatih tadi benar-benar menghajar mereka dengan latihan fisik intensif selama seharian penuh. Mereka bahkan tidak sempat mandi seharian, hanya diizinkan makan dua kali yakni siang dan sore hari sebelum latihan dihentikan pada jam tujuh malam.
“Gila! Itu orang siapa sih? Dipikirnya kita militer apa?” gerutu Mahesa kepada dua rekannya ketika mereka sudah sampai kamar. Bayu hanya melirik Mahesa sesaat sembari melontarkan jawaban singkat.
“Sersan Satu Robert Adipapa, Mantan Anggota Kopassus dari Kodam Cendrawasih Papua. Terluka tembak dan terkena ledakan granat pada misi melawan Laskar Pralaya di Pulau Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Kehilangan kakinya karena harus diamputasi pasca terkena ledakan granat. Tapi dia dulu adalah marksman – kelas penembak jitu di atas sniper – paling hebat di Indonesia Timur,” jawab Bayu.
Wijayadi langsung melirik ke arah Bayu, “Kamu baca di mana?”
“Di profil prajurit di website TNI. Dari gaya bicaranya saja aku sudah tahu dia mantan prajurit. Dilihat dari jalannya yang agak miring ke kanan aku tahu bahwa panjang kakinya tidak sama. Dan mustahil seorang prajurit punya cacat fisik pada kaki, pasti itu kaki palsu. Karena itulah aku lacak asal-usulnya beliau.”
“Wow, kamu kok sempat-sempatnya menyelidiki hal seperti itu,” celetuk Mahesa.
“Sebab kita harus tahu siapa musuh kita dan siapa lawan kita,” jawab Bayu singkat.
“Ah, aku gerah nih. Kita mandi yuk?” ajak Putra.
Mahesa sebenarnya sudah terlalu letih untuk sekedar membersihkan diri tapi melihat kedua rekannya segera mengambil handuk dan pakaian ganti, mau tidak mau Mahesa turut melakukan hal yang serupa.
*****
Cipayung, sebulan kemudian.
Setelah sebulan berbagi kamar dengan dua pemuda ini, Mahesa baru menyadari bahwa di balik sikapnya yang kaku, jutek, dan dingin, Bayu sebenarnya adalah pemuda yang punya fokus tinggi pada apa yang ia lakukan. Itu sebabnya ia selalu berhasil memenuhi target yang ia tetapkan. Putra, meskipun ia adalah seorang anak wakil presiden tapi ia adalah sosok yang flamboyan, rapi, suka bercanda, dan ramah pada setiap orang – jauh berbeda dari stigma anak pejabat kebanyakan. Kemampuan panahannya harus ia akui lebih bagus daripada dirinya tapi Mahesa sedikit demi sedikit berusaha menyusul Putra dan akhirnya ia mulai bisa mengembangkan kemampuan panahannya hingga mendekati putra.
Hari ini Robert Adipapa menargetkan mereka untuk menembak jatuh 75 dari 100 sasaran yang ia pasang. Kecepatan gerak sasarannya pun ditingkatkan hingga melampaui batas normal, dua kali lebih cepat daripada yang seharusnya. Dalam waktu hanya 7 menit mereka harus bisa menembak jatuh sesuai target. Kalau tidak, mereka harus push-up sebanyak 50 kali.
Bayu – secara mengagumkan – mampu menembak jatuh 80 sasaran. Sementara Putra dan Mahesa apesnya hanya bisa menembak jatuh 72 dan 70 sasaran. Putra dan Mahesa langsung bertatapan ngeri ketika menyaksikan skor mereka yang tidak memenuhi target.
“Yahaa!!! Mahesa dan Putra,” Robert Adipapa langsung mengedarkan telunjuknya ke arah dua pemuda itu, “Gagal! Yak! Push up! Lima puluh kali!”
Bayu yang biasanya dingin kini tampak tersenyum geli ke arah Mahesa dan Putra tapi Robert langsung menegur Bayu, “Hei, kamu! Apa kamu tersenyum geli di atas penderitaan teman-temanmu?”
“Eh?” Bayu tampak gelagapan, “Tidak kok Pak,” memang baru pertama kali ini ia ditegur oleh Robert.
“Bohong! Kamu! Ikutan mereka! Push up! Lima puluh kali!”
“Tapi Pak,” Bayu mencoba memprotes.
“Beta tidak suka pola pikir macam ini. Pola pikir pemenang yang memandang yang kalah sebagai pecundang. Pola pikir inilah yang bikin negara kacau! Beta tidak suka punya anak didik yang kelak jadi pengacau negara! Push-up!”
Bayu menelan ludah sesaat sebelum akhirnya menuruti perintah si pelatih. Putra dan Mahesa kembali berpandangan sesaat sambil bertukar senyum lalu cepat-cepat buang muka sebelum pelatih mereka punya ‘ide kreatif’ lain untuk menghukum mereka.
Tiba-tiba saja terdengar suara dering bel yang nyaring di sepenjuru area Pelatnas. Sebuah drone berbentuk bola dengan diameter 15 cm tampak terbang melayang mendekati Robert Adipapa. Pelatih berkulit gelap itu segera mencomot sebuah layar holografik yang menampilkan sebuah pesan dari dalam drone tersebut.
“Aaahh, kalian bertiga stop push-upnya!” Robert tampak kesal – barangkali karena ia belum puas menghukum ketiga anak didiknya. Ya, sersan pelatih kemiliteran kadang memang punya obsesi ‘tidak sehat’ untuk mencari-cari alasan guna menghukum anak buah atau anak didiknya.
“Dengar!” kata Roberto dengan suara menggelegar, “Beta ingin kalian mandi sebersih-bersihnya lalu berkumpul di aula utama dalam waktu dua puluh menit. Sekarang bubar!”
*****
Ketika mereka sudah sampai di asrama mereka, Mahesa menyadari bahwa para atlet dari cabang lain juga tampak bergegas memasuki kamar mereka masing-masing untuk membersihkan diri.
“Ada apa sih?” Bayu bertanya pada Hamzah, si atlet renang yang masih mengenakan celana dan topi renang.
“Tampaknya ada masalah serius,” jawab Hamzah, “latihan kami dihentikan total selama seharian.”
“Ya sudah, ayo cepat!” Putra buru-buru mendorong Bayu dan Mahesa ke dalam kamar mereka untuk segera mengambil baju ganti.
*****
Ketika mereka berkumpul di aula utama sepuluh menit kemudian, Mahesa dan dua rekannya menyaksikan bahwa di panggung aula telah berderet sejumlah pistol seri Kamandaka tipe A4– varian pistol buatan PT. Pindad bermagasin 12 peluru yang biasanya dipakai oleh kalangan TNI.
“Buat apa mereka bawa pistol Kamandaka sebegitu banyaknya?” bisik Mahesa pada Bayu.
“Nah, Hes. Aku juga tidak tahu. Tra?” Bayu menyikut lengan Putra, “Menurutmu ini apa?”
“Ya ampun,” wajah Putra tampak tegang, “mereka benar-benar serius melakukan ini.”
“Melakukan apa?” tanya Mahesa.
“Mempersenjatai semua atlet kontingen Olimpiade,” jawab Putra lirih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top