BAB V : PANGGILAN

Indonesia sejati belum muncul dari tenggelamnya yang berabad-abad.

-Tan Malaka, Madilog-

 

Surakarta, 12.00 WIB

 

Pidato Presiden tadi kontan membuat kepala sekolah Mahesa langsung memutuskan untuk memulangkan seluruh siswanya lebih awal. Kegiatan sekolah dan ekstrakurikuler diliburkan total sampai seminggu. Keputusan itu diambil setelah kepala sekolah menerima edaran dari Dinas Pendidikan yang menyatakan ada ancaman dari Laskar Pralaya untuk melakukan teror bom di seluruh sekolah di Jawa Tengah.

Sebetulnya Mahesa pikir ini kesempatan bagus untuk bicara lebih banyak dengan Ratih, tapi naas sekumpulan pengawal bertampang seram tiba-tiba saja sudah menjemput Ratih pulang dari sekolahnya sebelum Mahesa sempat bicara dengannya lalu membawa Ratih pulang dengan tergesa-gesa.

“Gagal Hes?” Herlambang yang tengah mendorong sepeda jingganya menanyai Mahesa.

“Iya, orang-orang bapaknya sudah ngerebut dia duluan tuh.”

“Sabar Hes. Kirimi saja pesan via jejaring sosial.”

“Apa dia bakal jawab?”

“Kok kamu pesimis banget sih Hes? Bakal jawab kok!”

“Bapaknya nggak bakal bunuh aku gara-gara aku kirim pesan ke putrinya kan?”

Herlambang ngakak, “Duh Hes, bapaknya Ratih itu meski pengusaha dan masuk lingkar Kesunanan Surakarta bukan orang seperti itu. Aku saja pernah ketemu orangnya. Dia santai kok.”

“Tapi kok pengawalnya serem-serem?”

Herlambang langsung merangkul Mahesa, “Gini deh. Kalau kamu diundang Ratih ke rumahnya dan kamu nggak berani ke sana sendirian, ajak aku saja. Oke?”

“Ah nggak ah.”

“Lho kenapa?”

“Teman-teman OSIS bilang kalau kamu ke rumah Ratih, dua toples kue kamu habisin sendirian. Malu-maluin ah.”

“Yeee, rejeki nggak boleh ditolak Hes.”

“Itu sih bukannya nolak rejeki, Mbang, itu namanya rakus!”

Herlambang hanya tertawa keras-keras mendengar kata-kata Mahesa.

*****

 

Ketika sudah sampai di pekarangan tempat tinggalnya, Mahesa segera mengembalikan sepeda sewaannya ke garasi langsung cepat-cepat naik ke lantai atas tempat kamar tinggalnya. Di sana ia langsung melempar tasnya lalu cepat-cepat mengaktifkan personal terminal, biasa disebut personal saja, – sebuah benda yang di awal abad 21 mungkin dikenal sebagai pc tablet namun di masa kini kemampuannya setara komputer pribadi – miliknya di kamar, menunggu sesuatu yang muncul di layarnya dengan harap-harap cemas.

Sebuah balon peringatan muncul di layar, namun Mahesa tidak membukanya. Ia masih sibuk menatapi deretan nama teman-temannya di jejaring sosial yang ia buka. Lalu foto seseorang yang dia amati sedari tadi secara serius tiba-tiba menyala – menandakan orang itu sedang online.

Dengan cepat Mahesa langsung mengetik pesan.

Mahesa : Halo Ratih.

Pesan itu terkirim namun Ratih tak segera menjawabnya. Jantung Mahesa langsung berdetak lebih cepat daripada biasanya, bahkan jauh lebih cepat daripada ketika ia habis menyelesaikan lari cepat sejauh 200 meter.

Aku salah ngomong ya? Begitu pikir Mahesa. Namun kekhawatirannya sedikit mereda ketika Ratih menjawab pesannya.

Ratih : Halo Hes. Lagi apa?

Yayyy!!! Mahesa bersorak dalam hatinya karena akhirnya gadis itu menjawab.

Mahesa : Nggak ngapa-ngapain J

 

Ratih : Karena jalanan diblokade ya?

Mahesa melihat papan notifikasinya yang sempat tidak ia hiraukan tadi dan melihat isinya. Isinya adalah pemberitahuan soal jam malam dan himbauan agar warga Surakarta tetap waspada.

Mahesa : Waktu aku pulang belum ada pemblokadean jalan sih. Tapi aku baru saja dapat info soal jam malam.

 

Ratih : Nyebelin banget sih Laskar Pralaya itu. Mereka nggak punya kerjaan lain apa selain neror orang?

 

Mahesa : Entah ya, orang-orang macam mereka sulit dimengerti sih.

 

Ratih : Pentasku ditunda. Sebeeelll!!!!

 

Mahesa : Pentas sendratari di Ngarsopuro itu ya?

 

Ratih : Iya. Padahal kamu tahu nggak? Kita sudah latihan tiga bulan lho. TIGA BULAN! Dan hanya gara-gara teror Laskar Pralaya semuanya jadi batal. Sia-sia.

 

Mahesa : Ah nggak sia-sia kok. Paling tidak kalau ada pentas mendadak kan kamu nggak perlu latihan terlalu berat.

 

Ratih : Belajar dari pengalaman yaa?

 

Mahesa : Maksudnya?

 

Ratih : Dulu menjelang seleksi atlet panahan tingkat kota kamu kan latihan di aula mulai dari jam empat pagi lalu dilanjutkan lagi setelah pulang sekolah sampai Maghrib.

 

Mahesa : Lho kok kamu tahu?

 

Ratih : Aku kan lihat Hes :D

 

Mahesa : ....

 

Ratih : Lho kok diem?

 

Mahesa : Ah, nggak. Aku cuma kaget saja kamu masih ingat masa-masa itu.

 

Ratih : Oh ya, Hes? Boleh aku tanya?

 

Mahesa : Silakan.

 

Ratih : Kenapa sih kamu kok suka banget dengan olahraga panahan?

 

Mahesa : Ummm ... kenapa ya? Entahlah. Aku suka saja.

 

Ratih : Bukan karena ajakan ibu atau paman?

 

Mahesa : Ibuku bilang ini mungkin gen keturunan ayahku. Ayahku dan saudara-saudaranya semuanya mantan atlet panahan.

 

Ratih : Wow, hebat!

 

Mahesa : Ah, biasa saja kok. Kamu lebih hebat. Tarianmu itu lho seperti ...

 

Ratih : Seperti apa?

 

Mahesa : Seperti ... perayaan yang hidup. Seolah kamu menari untuk kegembiraan dunia. Sebuah Tandava – tarian sakral. Seolah aku menyaksikan bukan seorang gadis manusia yang menari di hadapanku tapi seorang bidadari dari kahyangan.

 

Ratih : Wow, Hes! Aku tersanjung.

 

Mahesa : Err, masa.

 

Ratih : Benar kok. Aku senang karena akhirnya ada yang mengerti makna tarianku.

 

Mahesa : Memangnya yang lain tidak mengerti?

 

Ratih : Ah, mereka Cuma beri pujian macam : “Oh bagus Ratih, terima kasih telah menjaga kelestarian budaya bangsa.” Atau “Wuiih, Ratih hebat.”

 

Mahesa : Ah, terus apa bedanya dengan pujianku?

 

Ratih : Aku menari bukan untuk menjaga kelestarian budaya semata, Hes. Aku menari untuk mengekspresikan diri. Aku menari untuk merayakan hidup. Aku menari untuk mensyukuri hidup.

 

Mahesa : Wow, itu ... menakjubkan.

 

Ratih : Aku senang akhirnya ada yang mengerti.

 

Mahesa : Sama-sama.

 

Ratih : Kembali soal pertanyaanku yang tadi.

 

Mahesa : Soal apa?

 

Ratih : Minatmu pada olahraga panahan.

 

Mahesa : Wow, kok kamu penasaran banget sih?

 

Ratih : Ada dua alasan : satu aku memang penasaran. Dua : aku lagi bantu Tantri buat artikel majalah sekolah.

 

Mahesa : Sebentar ... Tantri ada di sana?

 

Ratih : Nggak kok. Tapi daripada nganggur, aku bantuin saja si Tantri ngerjain artikel ‘Selebriti Sekolah’. Kebetulan sekali ‘Selebriti Sekolah’ bulan ini kamu Hes.

 

Mahesa : Errr ...

 

Ratih : Kamu nggak mau offline dalam waktu dekat kan?

 

Mahesa : Nggak kok.

 

Ratih : Oke Hes. Pertanyaan pertama –

 

Ratih mengajukan setidaknya 20 pertanyaan pada Mahesa dan Mahesa kadang kelabakan menjawabnya karena jika Mahesa menjawab pertanyaannya singkat saja, Ratih akan menanyakan jauh lebih detail bak wartawan politik pro saja. Tapi Mahesa cukup senang. Selama ini dia dicap gynophobic – takut perempuan – oleh banyak orang dan memang benar Mahesa sering merasa sangat tidak aman jika dekat-dekat dengan perempuan kecuali dengan ibunya. Tapi dengan Ratih entah kenapa Mahesa merasa gadis itu memiliki aura yang sama dengan ibunya. Aura wanita yang lemah-lembut dan mampu menenangkan hati lelaki manapun yang resah – namun di sisi lain menyimpan potensi kekuatan yang tangguh luar biasa.

Ratih menyudahi percakapan mereka karena ibu dan ayahnya memanggilnya. Mahesa sendiri berniat untuk menyudahi aktivitasnya di depan komputernya namun sebuah pesan masuk menyurutkan niatnya untuk menonaktifkan benda itu.

Pesan masuk itu berasal dari Herlambang dan Mahesa melihat bahwa kawannya itu baru saja mengirimkan sebuah link video kepada Mahesa.

Herlambang : Hes, kamu harus lihat video ini. Cepat! Sebelum dihapus pemerintah!

 

Mahesa : Ini video apa?

 

Herlambang : Video serangan Laskar Pralaya di Surabaya. Tapi ada yang aneh di sini!

 

Mahesa : Apanya yang aneh?

 

Herlambang : Lihat dulu deh!

 

Mahesa : Oke.

Mahesa membuka video yang dikirimkan oleh kawannya itu. Semula ia mengira bahwa yang dikirimkan oleh Herlambang hanya sebuah video berita biasa. Tapi apa yang ia lihat jauh di luar bayangannya. Video itu menampilkan dua orang yang wajahnya tidak jelas tengah terbang melayang di langit Surabaya sementara di jalanan suara tembakan senapan terdengar saling bersahutan. Sosok dua orang ini kemudian berbenturan dan menimbulkan sebuah suara gemuruh seperti guntur kemudian video itu terhenti. Mahesa cepat-cepat menulis pesan balasan pada Herlambang.

Mahesa : Gila!

 

Herlambang : Ya kan? Apa aku bilang?

 

Mahesa : Mereka Laskar Pralaya?

 

Herlambang : Entah ya? Aku sendiri sudah setel semua saluran televisi tapi belum ada konfirmasi soal video itu dan ah...

 

Mahesa : Kenapa?

 

Herlambang : Videonya dihapus.

 

Mahesa mencoba memainkan kembali video itu dan mendapati bahwa perkataan Herlambang benar. Video itu sudah dihapus.

Mahesa : .... Eh iya.

 

Herlambang : Hes, jadi apa rencanamu selama liburan dadakan ini?

 

Mahesa : Nggak tahu ya? Main di rumah saja mungkin.

Herlambang : Eh sudah dulu ya Hes, aku mau makan dulu.

 

Mahesa : Oke.

Beberapa detik setelah setelah Herlambang offline, ada pesan lain masuk ke akun Mahesa. Mahesa membuka pesan itu dan mendapati sesuatu yang tidak ia sangka sebelumnya. Kementrian Pemuda dan Olahraga serta Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) memanggilnya untuk ikut serta dalam Kompetisi Panahan Sasaran Bergerak Tingkat Dunia yang diadakan di Vancouver. Tiga bulan dari sekarang.

Mahesa langsung bersorak girang ketika membaca surat panggilan itu. Ia sempat berpikir dirinya takkan dipanggil, mengingat pemerintah Indonesia dengan ‘teganya’ telah memotong anggaran untuk divisi-divisi KONI yang mengurus bidang selain sepak bola sejak kemunculan kembali Laskar Pralaya. Alasannya : ada pos-pos lain yang perlu diperhatikan oleh negara. Alasan retoris klasik yang tampak masuk akal, tapi Mahesa dan kawan-kawannya jadi bertanya-tanya, “Terus kenapa anggaran untuk tim sepakbola nggak dipotong coba?”

Waktu itu semuanya hanya bisa dongkol. Mahesa lebih dongkol lagi, karena sudah dapat tempat ketiga sekalipun ia tak bakal dikirim oleh KONI ke Olimpiade, paling-paling hanya kompetisi di seputaran ASEAN saja. Bagi Mahesa satu-satunya cara baginya untuk bisa sekedar ‘jalan-jalan’ ke luar negeri ya hanya dengan menang kompetisi, lain tidak.

Pesan baru kembali masuk, kali ini sebuah lampiran form yang wajib ditandatangani wali atau orangtua. Mahesa langsung melirik ke jam yang terpampang di layar. Masih jam 14.00. Masih dua jam lagi sebelum ibu pulang. Batin Mahesa.

*****

Ternyata tidak sampai satu jam kemudian, ibu Mahesa sudah pulang dengan wajah lelah dan khawatir. Tapi wajahnya menjadi sedikit sumringah ketika melihat Mahesa sudah tiba di rumah, “Ah syukurlah kamu sudah pulang Hes. Dari tadi Ibu mau telepon dan kirim pesan tapi tidak sempat karena ada kepanikan di sekolah Ibu tadi.”

“Kepanikan apa, Bu?”

“Ancaman teror bom di sekolah Ibu. Murid-murid panik, dan harus ditenangkan. Setelah murid-murid dipulangkan, kepala sekolah memaksa guru-guru untuk rapat darurat.”

“Lalu sekolah diliburkan kan?”

“Ya,” ibunya menaruh tas kerjanya di sebuah sofa berwarna kelabu, “sampai batas waktu yang belum ditentukan.”

“Eh Bu, ngomong-ngomong aku punya berita bagus nih.”

“Oh ya, berita apa?”

“Aku ditunjuk Kemenpora dan KONI untuk jadi kontingen Indonesia! Ke Olimpiade yang akan diadakan tiga bulan lagi di Kanada, Bu! ”

 

Reaksi yang diharapkan Mahesa justru berkebalikan dengan reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya. Alih-alih turut gembira atau paling tidak sumringah, wajah ibunya justru tegang dan tampak pucat.

“Bu, kenapa?” Mahesa kini bingung sendiri dengan reaksi ibunya itu.

Ibunya terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengajak Mahesa untuk duduk di sofa. Mahesa masih bertanya-tanya, apakah yang hendak dikatakan oleh ibunya itu.

“Hes, kamu ingin ikut serta dalam kompetisi itu?”

“Tentu dong Bu.”

“Kamu nggak berpikir untuk mundur?”

Kali ini Mahesa benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran ibunya, “Bu, kenapa aku harus mundur?”

“Kondisi negeri ini tidak kondusif, Hes. Teman Ibu, Pak Toni, yang juga jadi guru pendamping atlet basket Surakarta tadi sempat dapat pesan dari temannya bahwa Laskar Pralaya juga mengancam akan membunuh semua jajaran pengurus KONI dan atlet-atletnya kalau mereka berani ‘memboroskan’ uang negara dengan ikut Olimpiade.”

“Ah Ibu, ancaman mereka cuma ancaman kosong.”

“Cuma ancaman kosong?” ibunya menghela nafas, “Mereka menyerbu apartemen ibu dan ayah di Bandung waktu kamu kecil, Hes. Dan mereka sukses meluluhlantakkan bangunan itu lengkap dengan ayahmu.”

“Itu ...,” Mahesa terdiam, ia ingat kembali bagaimana saat itu hari tengah hujan deras, dan ayahnya entah kenapa memilih tinggal di dalam apartemen sementara ibunya membawa lari dirinya.

“Kenapa saat itu ayah tinggal?”

“Ayah tinggal supaya mereka tidak mengejar kita, Hes. Bukankah kita sudah membicarakan ini berkali-kali?”

“Bu, kenapa Laskar Pralaya mengincar nyawa ayah?”

“Itu ...,” Ibunya terdiam kembali.

“Kenapa Bu?”

“Karena ayahmu menulis sebuah artikel politik yang menyudutkan Laskar Pralaya.”

“Berarti ayah dibunuh karena mereka benci ayah kan? Bu, aku bukan wartawan politik seperti ayah, aku hanya atlet. Mereka tidak punya alasan untuk mengincar aku,” Mahesa berusaha untuk membujuk ibunya.

“Hes,” ibunya kembali berkata, “Laskar Pralaya membenci semua yang ada di negara bernama Indonesia ini. Mereka membenci semuanya, mulai dari presiden sampai pejabat lurah sekalipun. Mereka berusaha untuk mengubah paksa tatanan negara ini seutuhnya tapi mereka tidak punya pikiran jernih untuk membedakan mana orang yang tak bersalah dan mana orang yang bersalah. Bisa saja mereka mengincar dirimu. Nak, aku sudah kehilangan ayahmu 12 tahun yang lalu. Aku tak ingin kehilangan kamu.”

“Bu,” Mahesa jadi salah tingkah ketika melihat mata ibunya mulai berkaca-kaca. Di satu sisi ia ingin membahagiakan ibunya dengan memutuskan menolak tawaran itu, tapi di sisi lain ia tahu bahwa ‘masa emas’ atlet di zaman seperti ini hanyalah sebentar. Tak ada jaminan dalam tahun-tahun ke depan ia beroleh kesempatan untuk keluar negeri lagi mengingat situasi keamanan Indonesia yang makin tak menentu. Ia tak ingin selamanya terjebak di Indonesia dan tak pernah sekalipun melongok negara orang. Ia ingin tahu seperti apa dunia di luar negeri ini secara langsung, tanpa harus melihatnya melalui siaran dokumenter atau buku.

Layar personal Mahesa mengeluarkan suara dering. Mahesa langsung berujar, “Terima!” dan sebuah layar holografik keluar dari layar monitor komputernya dan terbang ke arah meja yang memisahkan Mahesa dan ibunya. Sosok seorang pria pejabat berkopiah hitam dan berseragam batik biru tua tersenyum ramah ke arahnya lalu berujar, “Selamat siang Mahesa. Perkenalkan, saya Imam Mustofa dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.”

“Selamat siang, Pak,” jawab Mahesa sopan, “Apa Bapak ada perlu dengan saya?”

“Kami menanyakan soal keputusanmu, Hes. Bagaimana? Apa kau memutuskan untuk ikut?”

“Itu ...,” Mahesa bimbang sementara ibunya terus-menerus menatapnya dengan harapan anaknya itu akan mengatakan ‘tidak’.

“Itu ... sebaiknya Bapak berkomunikasi dengan ibu saya saja,” Mahesa mengibaskan tangannya dan membalik layar holografik itu sehingga wajah pria di layar itu kini menatap ibunya.

“Ah selamat siang, Bu. Tampaknya Ibu cemas dengan kondisi keamanan Mahesa ya?”

“Tentu Pak, saya cemas sekali. Saya khawatir ia akan kenapa-kenapa di sana nanti. Saya khawatir Laskar Pralaya punya rencana gila untuk membahayakan segenap kontingen atlet Indonesia.”

“Ah, untuk itu Ibu tak usah khawatir. Kami tak akan menggunakan pesawat komersil biasa, Bu. Kami menyewa pesawat kemiliteran untuk mengangkut anak-anak kita. Mungkin sedikit tidak nyaman, tapi kami bisa memastikan bahwa Laskar Pralaya takkan bisa macam-macam. Mereka takkan bisa menembus pangkalan militer.”

“Bagaimana dengan wisma yang dipakai PELATNAS (Pelatihan Nasional)? Apakah anda menjamin wisma itu aman?”

“Wisma Atlet untuk PELATNAS kami tempatkan di sekitar Batujajar, dekat dengan Tempat Pelatihan Kopassus dan akan dijaga oleh enam batalyon tentara calon Kopassus.”

“Bagaimana jika Laskar Pralaya tiba-tiba punya orang di Kanada dan membunuh mereka semua?”

“Bu, saya yakin 100% bahwa mereka takkan berani melakukan itu. Mereka itu sekumpulan orang yang ingin merebut kekuasaan, dan orang-orang seperti itu pasti punya aktor intelektual yang pastinya sadar bahwa membuat insiden diplomatik bisa sangat merugikan perjuangan mereka.”

Ibu Mahesa dan pria itu terus saja berdebat dalam waktu yang cukup lama, sementara Mahesa hanya bisa diam. Perdebatan itu akhirnya dimenangkan oleh Imam Mustofa dan ibu Mahesa akhirnya menandatangani formulir persetujuan itu – meski tampaknya ia melakukannya dengan sangat berat hati.

*****

Tiga hari kemudian Mahesa dijemput oleh sebuah bus yang akan membawanya ke Stasiun Solo Balapa, di mana seluruh kontingen Jawa Tengah akan diberangkatkan menggunakan kereta api melalui stasiun itu menggunakan kereta Argo Dwipangga II. Mahesa mengecup tangan ibunya sebelum ia berangkat namun kali ini tangan ibunya terasa lain. Terasa berat dan dingin, tak lagi hangat seberti biasanya. Nasihat ibunya pun singkat saja, “Hati-hati di jalan,” itupun beliau ucapkan dengan nada datar.

“Ayo Mahesa!” Pak Imron, pelatihnya sudah tampak tidak sabaran dan mengisyaratkan dirinya untuk segera naik.

“Mahesa berangkat dulu Bu,” ucapnya sekali lagi sebelum berlari ke arah bus itu dan naik ke dalamnya.

Bus itu segera beranjak pergi dan Tari – ibu Mahesa – pun kini berdiri bak orang linglung di gerbang depan gedung apartemennya. Seorang ibu paruh baya yang rambutnya telah memutih sebagian dan baru saja pulang belanja langsung menegurnya, “Bu Tari? Kenapa kok bengong?”

“Eh, tidak apa-apa Bu. Hanya sedikit khawatir pada Mahesa.”

“Ooo, Nak Mahesa pergi ke Olimpiade ya?”

“Iya Bu, tapi saya khawatir akan terjadi apa-apa dengan dia. Laskar Pralaya semakin mengganas saja.”

“Iya Bu, mari berdoa saja supaya teror organisasi itu segera berhenti. Mari Bu, saya duluan,” wanita itu pamit undur diri dan Tari membalas ucapannya dengan tersenyum tipis.

Sepuluh menit kemudian barulah ia beranjak dari tempat itu dan kembali ke kamarnya.

*****

 

Di dalam kamarnya, Tari langsung menyambar sebuah gadget mirip ponsel sepanjang 10 cm – varian mini dari personal – dan mulai menekan serangkaian nomor – menghubungi seseorang. Nada sambung terdengar beberapa kali dan layar ponselnya tampak menampilkan garis ‘loading’ selama beberapa saat sebelum akhirnya layar ponselnya memunculkan wajah seorang wanita berkulit sedikit gelap yang rambutnya tergerai sampai bahu. Wanita itu mengenakan blazer kelabu kehijauan dan tampak menatap dirinya dengan tatapan seorang kawan lama.

“Mbak Endang,” begitu Tari memanggil wanita itu.

“Biar kutebak,” wanita itu langsung memotong perkataan Tari, “anakmu bersikeras ikut Olimpiade di Vancouver itu kan?”

“Ya.”

“Dia minta izin kan?”

“Ya.”

“Lalu kau izinkan?”

“Ya. Aku tidak tahu harus bagaimana. Mengengkangnya artinya aku membelenggu potensinya, membiarkannya ikut kompetisi ini rasanya ... aku telah mengantarkannya ke kandang singa.”

“Berbahagialah kamu.”

“Kenapa?”

“Karena anakmu minta izin dan mohon restumu. Kau tahu apa yang dilakukan anakku – Bayu? Ia memalsukan tanda tanganku di formulir persetujuan lalu kabur dari rumah ketika pengawas yang aku tugaskan lengah. Anak-anak lelaki, mereka selalu haus akan pengakuan. Tidak sadar bahwa pengakuan yang mereka cari itu bisa membawa petaka bagi mereka.”

“Lalu bagaimana ini Mbak? Apa kita jemput paksa saja mereka?”

 

“Tidak, jangan. Menjemput paksa mereka akan membuat anak-anak kita terluka dan membuat mereka membenci kita seumur hidup mereka.”

“Lalu bagaimana? Mbak, kita sudah pernah kehilangan anak-anak kita satu kali. Masa kita hendak membiarkan mereka hilang sekali lagi?”

Wajah Endang tampak muram, “Kita juga kehilangan suami kita. Pria berengsek yang telah berkali-kali meremukkan hati kita berdua namun entah kenapa kita tetap tak bisa membencinya.”

Tari dan Endang sama-sama terdiam. Dua wanita itu saling punya perasaan yang sama meski di masa lalu mereka sempat bertengkar memperebutkan cinta seorang lelaki.

“Baiklah,” akhirnya Endang kembali buka suara, “Kau coba hubungi Kolonel Syailendra di Dakara. Laporkan keberadaan Mahesa, sementara aku akan atur sesuatu. Rencana cadangan kalau-kalau segala sesuatunya memburuk.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top