BAB IX : PESAN

Orang yang berpikir dengan cara lama, yang pasrah, yang percaya pada takhayul dan menekankan diri pada unsur rohani, takkan bisa diajak bekerjasama merubah realitas. Mereka akan mudah dieksploitasi oleh mereka yang sudah berpikir aktif-rasional.

–Tan Malaka–

 

Vancouver, Kanada, 01.00 waktu setempat

 

Di sebuah puncak menara pemancar, seorang pria berpenampilan layaknya gelandangan dengan jenggot kasar dan kacamata hitam tampak tengah bertengger di puncaknya. Lelaki itu meneguk segelas kola dari gelas kertas berlogo Mc Donald dengan rakus sebelum meremas gelas itu hingga gelas itu remuk menjadi serpihan – sebuah aplikasi teknologi nano dari masa ini untuk mempercepat penguraian limbah industri dan restoran. Serpihan itu ia sebarkan ke udara.

“Bleh!” ia menggerutu, “Rasanya mengerikan!”

Sesaat kemudian arloji di tangannya tampak berkedip-kedip, menandakan sebuah pesan tengah masuk ke dalam arlojinya itu. Ia menekan tombol arlojinya lalu tampillah setidaknya enam layar pesan dengan dimensi ukuran 8 x 5 cm. Dahi pria itu langsung mengernyit melihat tampilan-tampilan itu, “Ah, benda sial ini ... bagaimana cara memperbesar tulisannya coba?”

Ia tampak menguta-atik layar itu beberapa kali sebelum akhirnya berhasil memperbesar tampilan layar dua kali lipat ukuran semula. Ia tersenyum ketika menyaksikan deretan kalimat yang tertulis di sana.

“Ha! Hahaha! Haha! Hahahaha!!” pria itu tertawa lepas dalam tempo-tempo yang tidak sama sebelum akhirnya tersenyum lebar, “Akhirnya! Akhirnya! Perintah untuk kita sudah turun para prajuritku!” ia berseru-seru ke arah kota yang terbentang di bawahnya, “Besok, kita, para raksasa-raksasa Selamangleng akan kembali merasakan yang namanya darah segar! Kalian dengar?!”

Yang terjadi berikutnya sangat aneh, seolah menanggapi seruan si pria misterius itu, terdengar lolongan sejumlah besar anjing liar dan raungan kucing-kucing liar dari sepenjuru kota. Seru-seruan itu berlangsung singkat saja, hanya dua menit lebih, dan tampaknya tak ada satupun penduduk Vancouver yang menyadari bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.

*****

Vancouver, Kanada, 16.00 waktu setempat

Ketika Mahesa dan kawan-kawannya tiba di asrama atlet tampak gerbang tempat itu dijaga oleh sekumpulan tentara Angkatan Darat Kanada yang berpakaian seragam loreng hijau – sekilas mirip dengan seragam TNI AD – meski bercak polanya lebih kecil dan warna hijau tua lebih mendominasi serta tak ada corak coklat tanah seperti seragam TNI AD, tampak berjaga di sepenjuru area tempat mereka akan menginap ini.

“Kenapa penjagaannya ketat sekali?” tanya Mahesa pada Putra.

Yang menjawab malah Hamzah, yang duduk di deretan samping Mahesa, “Di Kanada juga ada gerakan separatisme yang mirip-mirip Gerakan Laskar Pralaya.”

“Dari Quebec?” tanya Bayu, karena sepanjang pengetahuannya wilayah itu memang punya motif yang paling kuat untuk memberontak terhadap Kanada sebab Quebec adalah satu-satunya wilayah di Kanada yang menggunakan Bahasa Prancis sebagai bahasa sehari-hari – sesuatu yang sedikit banyak menimbulkan ‘benturan budaya’ dengan wilayah Kanada lainnya.

“Tidak, tidak. Bukan Kanada. Semacam pengikut sekte akhir zaman yang fanatik. Namanya APOCALYPSE ARMY – Laskar Akhir Zaman.”

Putra kali ini tampak diam saja sampai Bayu berujar, “Orang-orang di berbagai negara sudah mulai bosan diperintah oleh pemerintah ya?”

“Demokrasi memberikan kekuatan pada para separatis untuk berekspresi. Itu sebabnya kini mereka merajalela sebab demokrasi mengaburkan batas-batas antara yang pantas dan yang tak pantas dilakukan atau dituntut seorang warga negara.”

“Euh,” Mahesa langsung pusing mendengar bahasa penuh istilah politik dari mulut Putra, “Kuliah politiknya nanti saja ya, Tra?”

Dan Putra pun kembali diam, larut kembali dalam pikirannya sendiri. Entah apa yang tengah dipikirkannya.

 

Bus mereka berhenti di sebuah kompleks rumah susun yang memasang bendera merah-putih di depan gerbangnya. Para atlet itu pun segera turun dari bus, menuju ke sebuah aula. Hari itu juga gladi resik baris-berbaris untuk upacara pembukaan Olimpiade dilangsungkan. Seorang atlet bulu tangkis bernama Felisa Rahman dari Bengkulu ditunjuk sebagai pembawa bendera kontingen yang akan berdiri paling depan saat mereka memasuki stadion nanti.

Gladi resik berakhir pukul 18.00 waktu setempat dan para atlet pun langsung digiring ke ruang makan untuk makan malam. Tiga puluh menit kemudian para pengawas dan pelatih dikejutkan oleh sebuah panggilan dari Komite Olimpiade yang memanggil mereka secara mendadak. Sebagian besar pendamping para atlet segera memenuhi panggilan itu dan hanya tiga orang yang berjaga di asrama atlet dan salah satunya – siapa lagi kalau bukan Robert Adipapa.

*****

 

Bayu memanfaatkan kesempatan waktu bebas ini untuk berpura-pura ke kamar mandi dan di sana ia kembali membuka arlojinya. Ia menepi ke sebuah sudut yang sepi di ruang makan lalu menekan ikon folder kedua.

Yang tampil di hadapannya ada sebuah layar panggilan video. Bayu menunggu beberapa saat sebelum panggilannya tersambung. Tapi yang dia dapati adalah sebuah peringatan : HARAP MENCARI TEMPAT YANG SEPI DAN TIDAK DIAMATI BANYAK ORANG!

Bayu pun lantas angkat kaki dari tempat itu, memasuki toilet dan duduk di atas kloset berwarna putih dengan malas lalu kembali mencoba panggilan video itu lagi. Ia menunggu dan sekali lagi panggilan itu masuk dan yang tampak di layar yang terbentang hadapannya kini adalah sosok seorang wanita berkacamata yang mengenakan blazer coklat dengan rambut hitam lebat yang diikat ekor kuda. Wajah wanita ini sudah ia kenal benar sebab wanita ini adalah ibunya.

Bayu langsung menelan ludah, otaknya sudah membayangkan aneka sanksi yang akan dibacakan ibunya. Tahulah ia sekarang mengapa ibunya menyuruhnya menyingkir dari kerumunan orang sebab ibunya hendak menghakiminya, memvonisnya, mengomelinya. Ia terdakwa sekarang, dan ibunya adalah jaksa sekaligus hakimnya. Tak ada pengacara untuknya, peran itu harus ia ambil sendiri untuk menghadapi ibunya.

“Bayu ...,” ibunya mulai bicara dengan nada datar dan tenang. Kembali Bayu menelan ludah, air beriak tanda tak dalam, air tenang menyimpan gelora besar di bawahnya, dan pepatah itu berlaku benar untuk ibunya. Wanita itu selalu tampak tenang dan dingin tapi di balik itu semua ia bisa melakukan tindakan ‘kejam’ semisal memecat sopir yang sudah mengabdi bertahun-tahun hanya karena sopir itu melakukan satu kali tindak pencurian atau mengkorting uang jajannya saat di SD dahulu ia pernah mendapat nilai ‘5’ dalam ujian matematika. Argumen ibunya tajam dan sulit dibantah, itu belum ditambah dengan sesuatu yang disebut Bayu sebagai semacam ‘aura jahat’ yang mengelilinginya – yang membuat banyak orang tidak mau berurusan langsung dengan wanita itu. ‘Aura jahat’ itu masih bisa ia rasakan meski jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dan kini ia dan ibunya hanya bertatap muka melalui sebuah layar holografik.

Pixel-pixel tajam sialan! Bayu merutuk dalam hatinya, merutuki ketajaman resolusi gambar yang ditampilkan layar di hadapannya, menduga bahwa itulah yang menyebabkan ‘aura jahat’ ibunya masih terasa sampai tempat ini. Menyesal sudah ia dulu sempat sangat menginginkan arloji model ini.

“Ya Bu,” jawab Bayu gemetar.

“Kau sudah di Vancouver?”

“Uh-huh. Iya.”

“Dikawal ketat?”

“Iya. Um Bu ... .”

“Aku tidak akan menghakimimu sekarang, Nak. Nanti saja kalau kau sudah pulang.”

Ada sedikit perasaan lega meresap di dada Bayu. Kalau setidaknya dia bisa memenangkan kompetisi ini dan menggondol medali pulang mungkin sikap ibunya akan melunak.

“Kau masih ingat kisah tentang Irawan, Putra Arjuna, Nak?” tanya ibunya.

“Ibu ... masa Ibu mau ceritakan kembali kisah itu di saat-saat seperti ini?”

“Tidak. Tapi kamu masih ingat kan intisari ceritanya?”

“Iya, iya Bu,” untuk sesaat Bayu lupa bahwa tadi ia sempat ketakutan setengah mati ketika memanggil ibunya. Tapi kini perbincangannya dengan ibunya tampak lebih santai – sebagaimana yang biasa ia lakukan di waktu-waktu yang lampau, “Irawan adalah putra tunggal Raden Arjuna – penengah Pandawa – dengan Dewi Palupi – putri seorang Rsi Kanwa dari ras Naga. Secara urutan Irawan adalah anak pertama Raden Arjuna dan semasa kecilnya ia tinggal bersama ibu dan kakeknya, tak pernah bertemu ayahnya.

“Lalu tibalah Bharatayudha, dan Irawan remaja yang mendengar kabar itu langsung mohon diri untuk berangkat membantu ayahnya di medan laga. Baik ibunya maupun kakeknya tidak setuju, tapi remaja itu berkeras hati untuk pergi. Maka pergilah ia tanpa izin ibunya.

“Di medan laga ia bertemu dengan saudara-saudaranya yang lain, Abimanyu, Prabakusuma dan sejumlah besar putra Arjuna lainnya. Sekilas pertemuan para saudara itu tampak akrab tapi dalam hati Irawan muda ada sepercik rasa iri pada Abimanyu.”

“Karena?” ibunya bertanya, menanyakan sebuah hal yang sebenarnya mereka berdua sudah tahu betul jawabannya.

“Karena Abimanyu adalah putra yang paling disayang Arjuna. Abimanyu juga satu-satunya putra Arjuna yang paling lama berkumpul dengan Arjuna. Setidaknya sampai balita Abimanyu selalu bersama Arjuna. Pada saat Arjuna dan Pandawa lainnya kembali dari pembuangan selama 13 tahun, Abimanyu jugalah yang pertama kali ditemui Arjuna.”

“Lalu?” kembali ibunya bertanya lagi.

“Irawan maju ke medan laga dengan gagah perkasa. Ia menumbangkan banyak musuh Pandawa, mencoba membuktikan diri bahwa ia sehebat ayahnya, bahwa ia mampu melampaui Abimanyu, bahwa ia berhak mendapatkan perhatian yang lebih banyak dari ayahnya dibanding saudara-saudaranya yang lain. Sampai suatu ketika bertemulah ia dengan Srenggi, raja raksasa dari Selamangleng, sekutu Hastina. Irawan dan Srenggi bergumul, keduanya sama kuat, dan pada satu kesempatan Irawan menusukkan pedangnya ke perut Srenggi, Srenggi pun balas menggigit leher Irawan kuat-kuat sampai leher Irawan putus dan ... habislah nyawa kedua petarung itu.”

“Dan apa yang terjadi pada Palupi?”

“Aku tidak tahu, Ibu tidak pernah cerita.”

“Aku pernah, tapi kau langsung tertidur saat aku baru sampai setengah cerita. Heh, tampaknya darah laki-laki hanya berdesir pada kisah kaum mereka ya? Darah mereka tidak berlaku demikian jika mereka mendengarkan kisah tentang kesedihan para wanita yang ditinggal mati suaminya, atau mereka yang berduka atas kematian anaknya.”

“Ibu sebenarnya mau bilang apa sih?”

“Nak, kelemahanmu satu : kau tidak sabaran. Aku melatihmu untuk sabar sekarang.”

“Bu, aku bisa ditegur pelatih nih!”

“Lima menit lagi saja, Nak.”

“Bu!”

Le![1]”

Dan Bayu pun terdiam. Kalau ibunya sudah memakai bahasa Jawa itu artinya ibunya minta perhatian penuh!

“Ya Bu, maaf.”

“Palupi meratapi kematian anaknya sampai berbulan-bulan lamanya. Lalu setelah itu bertapa, mencoba membebaskan diri dari pikiran-pikiran duka itu. Tapi sayang ingatan akan anak tunggalnya yang pergi dari dirinya tanpa mohon izin masih terus membayanginya. Dalam tapanya sempat terucap keinginannya untuk diizinkan sekali lagi untuk menjadi ibu dari Irawan.”

“Dan?”

“Dan keinginan itu terwujud.”

“Wow, aku tidak pernah dengar cerita itu. Jadi Palupi mengandung lagi?”

“Ya, tapi tidak di masa itu, Bayu. Ia memperoleh kesempatan itu di abad ini ketika ia terlahir kembali sebagai manusia bernama Endang Widya Palupi dan Irawan terlahir kembali sebagai Bayu Sutawijaya.”

Dahi Bayu langsung mengernyit dan kepalanya ia miringkan, “Ibu sedang bercanda kan?”

Apa aku kethok kaya lagi dagelan, Le ?– Apa aku terlihat seperti sedang bercanda, Nak?”

Ibunya memang sedang tidak bercanda jadi Bayu beralih ke kemungkinan kedua : ibunya mengalami stress berat dan perlu bantuan seorang dokter jiwa, “Er ... Ibu sehat. Maksudku ... apa Ibu tidak merasa harus berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog?”

“Aku tahu kamu pasti bilang seperti itu. Tapi jawabannya : tidak, Yu. Mungkin kamu skeptis dan tidak percaya tapi kamu masih ingat dengan gelang ukir perak yang aku berikan sebagai hadiah ulang tahun itu kan?”

“Iya.”

“Itu senjata. Coba ambil dan rasakan aliran energi di dalamnya dan di situ kau akan temukan jawabannya. Oh ya, folder ketiga baru akan terbuka ketika sesuatu yang sangat buruk terjadi.”

“Eh Bu.”

“Ya?”

“Bagaimana aku harus berdoa pada Bathara Indra?”

“Mintalah perlindungan. Kau juga keturunan Bathara Indra, ia pasti akan mendengarkan permohonananmu.”

*****

Bayu cepat-cepat beranjak keluar dari toilet itu dan berlari ke aula. Aula sudah sepi. Tas-tas yang tadi diletakkan di sebuah troli melayang sudah tak ada di sana. Baru saja ia kebingungan, Mahesa sudah memanggilnya via arloji, “Tasmu sudah aku bawa ke kamar, Yu. Kita sekamar. Lantai tiga kamar 308. Lekas masuk kamar! Sebelum Sersan Galak inspeksi!”

Bayu bergegas menuju lift, menekan tombol lantai tiga dan masuk ke dalam lift. Sepuluh detik kemudian lift itu berdenting dan ia keluar di lantai tiga. Cepat-cepat ia mencari kamar nomor 308 dan mengetuk pintunya.

Mahesa membukakan pintu dan berkata, “Ayo cepat!” memberinya isyarat untuk segera masuk. Bayu pun segera menghambur masuk lalu tampak sibuk mengais-ngais tasnya.

“Cari apa sih?” tanya Mahesa heran melihat tingkah rekannya ini.

Tapi Bayu tak segera menjawab, dikeluarkannya sebuah gelang perak berukirkan para Apsara – bidadari kahyangan – yang tengah menari serta Gandarwa – pemusik kahyangan – yang tengah memainkan alat-alat musik semacam sitar dan ketipung. Dengan pucat ia segera masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Membiarkan Mahesa kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati, “Apa dia keracunan makanan ya? Kok bolak-balik masuk ke WC?”

Di dalam kamar mandi itu, Bayu memasangkan gelang hadiah ulang tahun dari ibunya itu di tangan kirinya. Ia elus gelang itu untuk sesaat sambil memejamkan matanya. Ada sensasi hangat keluar dari gelang itu, dan energi itu masuk perlahan-lahan ke kulit dan urat-uratnya, memenuhi tubuhnya dengan energi aneh yang menenangkan juga memberi semangat.

Gelang di tangannya semakin lama semakin terasa panas namun panas itu tidak membuatnya melepaskan gelang itu. Rasa panas itu anehnya tidak membuat kulitnya melepuh namun malah justru mendorongnya untuk menciptakan sebuah imaji tentang sebuah senjata yang tiba-tiba saja bercokol di pikirannya. Sebuah pedang sundang[2] dengan ukiran ular yang membelit sesuatu seperti pohon.

“Taksaka!” tanpa sadar ia berseru kencang di dalam kamar mandi dan gelang itu berubah wujud menjadi sebilah sundang berbilah lurus dan berukirkan seekor ular yang membelit pohon, persis seperti yang ia bayangkan.

“Hei Yu! Kamu ngapain di dalam? Latihan drama buat 17 Agustusan? Ini olimpiade woi! Olimpiade?!!” Mahesa berseru dari luar kamar mandi, membuatnya tersadar, kembali ke dunia nyata setelah sebelumnya dibawa ke dunia angan-angan yang aneh dan absurd. Lalu keberadaan senjata tajam di tangannya ini tiba-tiba membuatnya tersadar.

“Duh, eh, ampun! Ini disimpan di mana nih? Ngembalikannya ke bentuk gelang gimana nih?”

Ketukan di pintu terdengar lagi, kali ini suara Hamzah yang terdengar, “Yu, Yu, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit, stress, kebanyakan latihan? Perlu dokter?”

“Waduh!” kali ini Bayu semakin panik karena pedang di tangannya masih dengan gagahnya mentereng tanpa bisa dikembalikan ke wujudnya yang semula. Tapi entah mengetahui pikiran Bayu atau memang Bayu tanpa sadar punya kekuatan mengontrol wujud senjata itu, akhirnya senjata itu kembali beralih rupa menjadi wujudnya yang semula : gelang perak.

Bayu menarik nafas lega ketika pedang itu kembali menjadi wujudnya semula. Ia langsung membuka pintu yang sedari tadi diketuk (bahkan sampai digedor-gedor) dan menemukan Mahesa, Hamzah, dan dua atlet wanita dari kota yang sama dengannya tengah berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah khawatir.

“Alhamdullilah,” ucap seorang gadis itu, “Bayu nggak jadi bunuh diri.”

“Heh?! Memang siapa yang bilang aku mau bunuh diri?” Bayu tampak kaget.

“Dia!” dua atlet wanita itu menunjuk ke arah Hamzah.

“Kamu, Ham? Ampun deh! Dapat dugaan dari mana sih?”

“Maaf Yu, habisnya tadi Mahesa keluar kamar kayak orang linglung dan bilang kamu tiba-tiba masuk kamar mandi sambil bawa gelang perak. Kamu tahu sendiri kan, gelangmu itu mbeler – punya sisi tajam yang dapat melukai kulit – jadi kupikir kamu mau bunuh diri.”

“Ida Bathara Yang Punya Ayun[3]! Ham! Jangan sok jadi Sherlock Holmes kalau memang kemampuan belum sampai situ!”

“Yee!! Detektif sotoy nih, Hamzah!” dua teman wanitanya langsung saja memperolok Hamzah sementara Mahesa yang dipandangi oleh Bayu hanya mengedikkan bahu.

“Ngapain tadi Yu? Kok buru-buru amat dan sampai keringatan pula?”

Bayu melirik kaus putihnya yang ada di balik jaket merah-putihnya memang sudah kuyup oleh keringat, “Push up,” jawabnya, “Empat puluh kali.”

“Sambil ngeloco – onani?” tuduh Hamzah.

“Kagak!” Bayu mengelak.

“Lha terus ngapain tadi kamu kabur kayak orang kesetanan begitu?” Hamzah bertanya lagi penuh selidik.

Dan kini Bayu jadi serba salah. Mau mengaku bahwa ia sedang menguji coba senjata yang ada di luar regulasi perizinan pemerintah, sudah pasti ia akan dipulangkan paksa. Terus menyangkal mungkin saja Hamzah dan kawan-kawannya akan melapor pada para pelatih dan dia akan diinterogasi para pelatih. Tapi berbohong dengan mengatakan ia sedang melakukan onani di dalam kamar mandi ... itu sama saja menghancurkan reputasinya sebagai sosok yang selalu serius dan fokus pada tiap tugas.

“Iya ... aku ngeloco!”jawabnya singkat.

“Alhamdulillah!” ujar Hamzah dan kedua temannya.

“Kenapa kok kalian malah bilang ‘Alhamdulillah’ begitu?” tanya Mahesa.

“Soalnya selama ini kita kira Bayu itu aseksual!” jawab mereka bersamaan.

“Eh ... kalian ini ...,” Bayu sudah siap menjewer telinga Hamzah tapi Hamzah berkelit dan bersama kedua temannya. Pandangan Bayu pun beralih ke Mahesa.

“Ke mana para pengawas dan pelatih?” tanya Bayu.

“Berjaga di luar. Rupanya selain ada ancaman dari Laskar Pralaya, pemerintah Kanada juga dapat ancaman dari Apocalypse Army. Kita dilarang keluar dari asrama dan belum tentu upacara Olimpiade jadi dilakukan besok. Keputusan ada tidaknya upacara baru diumumkan besok pagi. Tapi toh kita sudah selesai dengan gladi resik jadi kita bisa tenang.”

“Iya.”

“Aku mau tidur. Ngantuk! Kamu mau langsung tidur juga atau masih mau ngobrol sama Hamzah dkk?”

“Ada saluran National Geographic nggak di televisi kita?”

“Nggak tahu. Aku belum coba. Coba saja buka.”

Mahesa langsung melepaskan jaket merah-putihnya dan menarik selimut tempat tidurnya lalu merebahkan diri sambil memejamkan mata sementara Bayu tampak menyalakan televisi dan mencari-cari saluran National Geographic. Ia menemukan saluran tersebut dan menontonnya, sambil menunggu kantuk tiba serta mencoba untuk mendamaikan pikirannya yang kacau.

Irawan? Aku Irawan? Berkali-kali ia menggumamkan hal itu dalam pikirannya.

Sementara itu tak sampai semenit berada di pulau kapuk, Mahesa sudah berlayar ke alam mimpi. Tapi kali ini mimpinya benar-benar tidak indah.

*****

Mimpi menjadi pembantai sekumpulan raksasa itu mungkin menyenangkan karena Mahesa jadi teringat betapa serunya saat ia memainkan sebuah game RPG di mana ia menjadi sosok seorang kesatria. Tapi di mimpi kali ini ia dibuat merasakan bagaimana pedihnya kalah.

Ratusan atau mungkin ribuan musuh mengepungnya dari segala arah, mengelilinginya, membentuk sebuah lingkaran pagar betis yang berlapis-lapis. Wajah-wajah berjanggut kasar, wajah-wajah para raksasa yang penuh angkara menatap benci ke arahnya. Masing-masing dari mereka memegang senjata, entah itu busur panah, pedang, gada, pisau, ataupun tombak. Mereka berputar mengelilinginya secara konstan dan secara bergantian para pemanah menembakkan anak-anak panah ke arahnya. Mahesa pun tak tinggal diam, ia angkat busur panahnya, ia rentangkan tali busurnya lalu terbentuklah empat anak panah dari cahaya dan ia lepaskan ke arah kerumunan itu.

Anak-anak panah itu lekas saja menggandakan diri, dari empat menjadi 16, dari 16 menjadi 32 dan terus bertambah dengan cepat, seiring berlalunya detik. Para pemanah dari pihak lawan pun membalas, dengan serangan serupa – anak panah yang menggandakan diri. Anak-anak panah itupun bertubrukan di udara, beberapa saling menghancurkan. Beberapa lolos dan mengarah ke arah sasarannya. Tapi Mahesa melihat – dengan jelas sekali – bahwa ia menembakkan jauh lebih banyak anak panah daripada musuh-musuhnya yang ratusan itu sehingga bukannya dia yang terkena serangan anak-anak panah itu, namun justru musuh-musuhnya yang banyak terkapar setelah diterjang anak-anak panah yang ia tembakkan.

Semangat Mahesa mulai muncul lagi setelah sempat dibuat gugup dengan kerumunan musuh itu. Ia kembali tarik tali busurnya dan menembak lagi, tarik dan tembak, tarik lagi dan tembak. Begitu terus hingga tak terasa sudah ratusan mayat terkapar di sekelilingnya.

Tapi sayangnya musuhnya masih ada ribuan, dan tenaganya sudah banyak terkuras ketika melepaskan anak-anak panah itu. Dahi, punggung dan dadanya basah oleh keringat. Rasa nyeri mendera otot-ototnya, pertanda ia sudah terlalu memaksakan diri. Dan di saat seperti itu tiba-tiba saja melesat sebuah anak panah berwarna kemerahan ke arahnya, menghancurkan busur di tangan Mahesa sampai hancur-lebur menjadi abu.

“Ah!” hanya itu yang sempat keluar dari mulut Mahesa. Namun ia segera berlari ke sebuah bangkai kereta yang telah hancur dengan seorang pria kusir telah tergeletak tanpa nyawa bersama kuda-kudanya. Ia ambil sebilah keris berluk 13 sepanjang 40 cm dari dalam kereta itu, lalu ia cabut satu rodanya sembari menghindari terjangan anak-anak panah yang dibidikkan ke arahnya. Sebagian besar luput, tapi satu berhasil menancap di betis kirinya dan satu lagi menancap di punggungnya, menembus sesuatu di dalam perutnya, mungkin ginjal, mungkin usus, entahlah.

“Ayo maju kalian sekutu-sekutu Kurawa sialan! Biar aku babat dan bantai kalian!” begitu Mahesa berseru dalam mimpinya.

Kembali ratusan anak panah mengarah ke arahnya, tapi Mahesa malah nekat menerjang. Para pasukan bersenjatakan gada, pedang, dan tombak pun langsung turut maju. Mereka semua menyerang ke arahnya. Satu raksasa bertaring menyabetkan gadanya ke kepalanya, namun Mahesa berkelit, merunduk lalu menyabetkan kerisnya ke arah perut si raksasa. Isi perut si raksasa langsung terburai dan ia roboh tak bernyawa. Kawan-kawannya mulai menerjang lagi tapi Mahesa dengan gesit menghindari serangan mereka – tusukan, sabetan, hantaman – lalu balas menyerang dengan memenggal beberapa kepala, mengeluarkan isi perut beberapa orang, dan menusuk jantung beberapa musuh. Sekali lagi korban berjatuhan di pihak lawan. Tapi kondisi Mahesa pun kini sudah tidak dalam kondisi baik. Tangannya terkilir ketika tak sengaja menghantam titik keras dari tubuh salah satu lawannya. Rusuknya mungkin retak karena sempat terhantam gada dan setidaknya ada empat anak panah baru menancap di tangan dan badannya.

“Cih,” Mahesa merasakan kakinya kini goyah dan tak mampu menyangga tubuhnya lagi. Ia jatuh terduduk dan nyaris saja tersungkur kalau saja tidak ia tancapkan kerisnya ke tanah dan ia pakai sebagai penyangga. Ia menoleh lemah dan dilihatnya pasukan musuh sudah bersiap menyerang lagi.

“Hentikan!” tiba-tiba terdengar suara seseorang menghentikan gerak pasukan itu, suaranya cempreng dan tidak enak didengar. Mahesa menoleh dan sesosok pria kurus ceking berjalan angkuh ke arahnya. Wajahnya tak jelas, tak terlihat, kabur di mata Mahesa tapi suaranya jelas terdengar.

“Hehehe, Abimanyu. Hari ini juga sejarah akan mengingat Lesmana Mandrakumara telah menaklukkan putra Arjuna dan istrimu hehehehe ... akan jadi janda. Dan akan aku persunting dia, akan aku rebut kembali hakku yang sudah kau rebut!”

“Aku tidak sudi takluk di hadapanmu dan aku tak sudi istriku jadi istrimu!” Mahesa menarik keluar kerisnya dan dilemparkannya ke arah pria bernama Lesmana itu. Dan pria itupun terjatuh, terkapar, tanpa nyawa diiringi seruan panik seorang bermahkota raja dari arah pasukan musuh.

“Bunuh dia!” seru sang raja histeris dan satu prajuritnya menarik satu anak panah. Anak panah itu melesat, menggandakan diri dan meski Mahesa mencoba menghalangi laju anak panah itu dengan perisai roda keretanya, tubuhnya tetap saja koyak oleh anak-anak panah itu. Mahesa pun roboh ke tanah, merasakan dirinya tengah sekarat. Dadanya sesak dan tak mampu menarik oksigen masuk, tangan dan kakinya lumpuh tak mampu bergerak dan pria yang memanahnya tadi kini semakin mendekat. Wajahnya tidak terlihat namun sebuah gada tampak tergenggam di tangan kanannya. Dan ia melihat gada itu diangkat tinggi-tinggi. Sedetik kemudian gada itu sudah meremukkan kepalanya, menghantarkannya pada kematian.

*****

“Hua!” Mahesa terbangun dengan nafas memburu dan tubuh banjir keringat. Dipandanginya Bayu sudah tampak terlelap di tempat tidurnya. AC masih menyala perlahan dan Mahesa memutuskan berdiri tepat di bawah AC itu, guna menyejukkan diri. Kepalanya sendiri masih panas mengingat mimpi itu karena ia tahu persis mimpi apa itu. Itu adalah adegan tewasnya Abimanyu tapi kenapa ia berulang-ulang memimpikan soal itu?

“Terbangun, Hes?” tiba-tiba Bayu beranjak bangun dari tempat tidurnya.

“Lho, maaf. Aku tadi mengigau keras ya?”

“Iya, sampai-sampai aku terbangun. Mimpi buruk apa? Dimarahi pelatih kita lagi?”

“Nggak.”

“Terus mimpi apa?”

“Um, eh,” Mahesa ragu apakah ia harus ceritakan mimpinya itu pada rekannya. Ia takut malah jadi bahan tertawaan nantinya. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk cerita juga.

“Aku mimpi aneh banget.”

“Soal apa?”

“Entah kenapa aku sudah dua kali mimpi aneh. Di mimpiku aku jadi Abimanyu – putra Arjuna. Mimpi pertama aku membantai puluhan atau mungkin ratusan raksasa. Mimpi kedua aku mimpi saat-saat terakhir Abimanyu menjelang kematiannya. Aneh banget kan?”

Mahesa sudah bersiap ditertawakan Bayu, tapi yang ia dapati justru wajah tegang Bayu yang akhirnya tampak membuang muka. “Silakan ketawa,” ujar Mahesa.

“Aku nggak akan ketawa.”

“Lho?”

“Serius Hes, aku nggak akan ketawa malah sebaliknya ... aku mau tanya.”

“Soal?”

“Apa kamu punya gelang jimat kayak gini?” Bayu menunjuk ke arah gelang peraknya.

Mahesa baru ingat soal gelang peninggalan ayahnya dahulu, yang sengaja tidak ia pakai selama Pelatnas tapi tetap ia bawa sampai sekarang, “Um, punya sih,” Mahesa beranjak mengais-ngais tasnya lalu menarik keluar gelang perunggu itu.

“Kamu disuruh ibumu pakai itu terus?” tanya Bayu.

“Iya, kok tahu?”

“Mmhh, nggak apa-apa sih. Kamu nggak pakai gelang itu?”

“Malas ah!” ujar Mahesa sembari mengembalikan gelang itu ke tasnya.

“Aku sarankan kamu pakai gelang itu deh, Hes.”

“Eh, Yu,” dahi Mahesa mengernyit, “sejak kapan kamu jadi komplotannya ibu saya?”

“Nggak, bukan. Ketemu saja belum pernah tapi ... nggak ada salahnya bawa ini sebagai jimat keberuntungan kan?”

“Yu, Yu, ini zamannya berpikir pakai logika bukan takhayul.”

“Anggap saja itu tanda bakti kita pada orangtua dan lagi tidak ada larangan bagi kita untuk pakai aksesoris macam ini kan?”

******

[1]Bahasa Jawa, singkatan dari Tole, panggilan untuk anak lelaki.

[2]Pedang tradisional Nusantara, ada yang berbentuk seperti keris panjang berlekuk, seperti mandau, maupun seperti parang lurus.

[3]Ucapan ini kira2 sama artinya dengan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top