BAB IV: LASKAR PRALAYA
Surakarta, 06.00 WIB, dua hari kemudian.
Mahesa sudah tampak bersiap dengan seragam sekolahnya – setelan celana panjang abu-abu dan kemeja putih dengan logo OSIS yang tersemat di saku dadanya. Desain seragam SMA Indonesia nyaris tidak pernah berubah dalam 100 tahun terakhir ini kecuali kewajiban memakai batik di hari Rabu-Kamis dan seragam Pramuka di hari Jumat-Sabtu. Ibunya sering berkata bahwa satu-satunya yang stagnan dalam dunia pendidikan Indonesia adalah aturan dan desain seragam sekolahnya. Kurikulum pastilah berubah dalam tiga atau lima tahun, nama sekolah menengah sudah berkali-kali berubah, dari SMU – Sekolah Menengah Umum – menjadi SMA – Sekolah Menengah Atas – lalu kembali menjadi SMU dan kembali menjadi SMA lagi. Pemerintah Indonesia dan birokratnya punya obsesi tidak sehat soal penamaan instansi dan istilah. Butuh waktu setengah abad bagi mereka untuk mempertahankan tradisi ‘tidak merubah nama terlalu sering’.
Tapi Mahesa dongkol bukan main hari ini, sebab ia ‘dipaksa’ menggunakan gelang logam perunggu yang dulu selalu dipakai ayahnya ke sekolah. Ia tidak bermasalah jika gelang itu harus ia gunakan di luar jam sekolah, tapi menggunakannya ke sekolah? Itu masalah! Aturan sekolahnya jelas : siswa lelaki tidak boleh menggunakan aksesoris lain selain arloji komunikasi. Tapi ibunya bersikeras bahwa ia harus memakai benda itu ke mana saja mulai saat ini. Ibunya bahkan sudah mengirimkan surat izin yang memohon ‘dispensasi khusus’ untuk menggunakan aksesoris tambahan pada sekolah Mahesa sebanyak empat kali. Alasannya klasik tapi ampuh : terapi pengobatan alternatif.
Mahesa benci mengakuinya, tapi di Indonesia – meski zaman sudah berubah – kepercayaan terhadap magi dan mistik masihlah kuat. Pihak sekolah manapun pasti tidak akan bisa menolak jika orangtua murid memohon dispensasi untuk hal-hal khusus berlabel ‘pengobatan alternatif’. Mahesa masih ingat ada satu teman sekelasnya – seorang cowok – saat kelas sepuluh yang mengenakan anting emas di telinga kirinya dan orangtuanya mengirim surat izin mohon dispensasi dan sekolah pun mengabulkan permohonan orangtuanya. Jadilah anak itu mengenakan anting emas selama satu tahun sebelum akhirnya keluar setahun kemudian karena tidak tahan diledek dan diintimidasi sebagai ‘banci’.
“Bu, apa aku punya penyakit yang tidak aku ketahui?” tanya Mahesa.
“Tidak, kamu sehat dan fit. Kalau tidak mana mungkin kamu diloloskan jadi atlet kontingen Jawa Tengah?” jawab ibunya yang tampak mengemasi barang-barang bawaannya ke dalam sebuah tas jinjing berwarna coklat susu.
“Lalu gelang ini buat apa sih? Kenapa kok Ibu sekarang main rahasia?”
“Hes, kita sudah bicara berkali-kali soal ini. Untuk satu dan lain hal, Ibu ingin kau memakai benda itu. Saat waktunya tepat, Ibu akan jelaskan semuanya.”
“Oke deh,” Mahesa bangkit dari kursi setelah mengenakan sepatunya dengan malas, “aku berangkat duluan ya, Bu?”
“Hati-hati di jalan,” ibunya masih tampak sibuk menatap arsip-arsip di komputer tabletnya.
*****
Mahesa turun ke lantai dasar, menuju garasi rumah susun di mana sekumpulan kendaraan – rata-rata sepeda motor beroda dan sejumlah sepeda kayuh – terparkir. Ia menyapa seorang Pak Ahmad, seorang petugas jaga tempat parkir ini dan menyerahkan KTPnya kepada pria kurus berkulit legam itu. Pria itu memasukkan KTP Mahesa ke dalam sebuah mesin dan menariknya keluar setelah beberapa saat.
“Beres Mahesa,” pria itu mengembalikan KTPnya.
“Matur sembah nuwun – Terima kasih, Pak.”
“Inggih! Sing ati-ati ning dalan yo, Le – Hati-hati di jalan ya, Nak!”
Mahesa berjalan ke deretan sepeda-sepeda yang terparkir di sana dan menarik satu sepeda berwarna silver yang segera ia naiki dan bawa keluar dari tempat parkir itu. Ini sebenarnya bukan sepedanya, ia menyewanya. Setiap hari ia berangkat dan pulang dengan sepeda sewaan. Positifnya adalah : dia tidak perlu minta dibelikan sepeda pada ibunya, negatifnya : ia harus hati-hati memilih sepeda. Sebulan yang lalu ia dapat sepeda yang rantainya kendor dan akhirnya putus rantai di jalan. Memang ia tidak harus membayar denda, tapi tetap saja menuntun sepeda pulang di siang hari yang terik itu menyebalkan.
Mahesa tiba di gerbang sekolahnya, memarkir sepeda (sewaan)nya di tempat parkir lalu beranjak menuju ruang kelasnya – XII IPS 3 – dengan langkah gontai. Ia berusaha sebisa mungkin mempersiapkan diri untuk menghadapi ledekan teman-teman sekelasnya.
“Pagi!” sapa Mahesa pada teman-temannya yang sudah berada dalam kelas.
“Pagi Hes, wah kamu pakai apa itu?” balas seorang siswa.
Ini dia! Bayangan horor sudah menghantui otak Mahesa.
“Hei, apa ini Mahesa?”
“Bagus sekali!”
“Beli di mana? Kotagede[1] ya?”
Pertanyaan teman-temannya begitu beruntun sampai Mahesa tidak sempat bereaksi untuk sekedar menjawabnya.
“Ih, Mahesa jahat, ih, nggak mau beritahu di mana belinya.”
“Ini milik ayahku,” jawab Mahesa.
“Oh,” teman-temannya akhirnya diam, “maaf.”
“Tak apa, untuk alasan yang tidak jelas, ibuku memintaku untuk memakai benda ini ke manapun aku pergi.”
“Semacam jimat?” tanya seorang siswi.
“Mungkin,” jawab Mahesa.
“Eh Hes,” seorang siswa yang baru datang menepuk bahunya, “Aku punya kabar bagus nih.”
“Kebar bagus apa, Mbang?” tanya Mahesa pada siswa bernama Herlambang itu.
“Ratih kemarin terkesan sama penampilanmu lho.”
“Oh ya?”
“Ya, dan sekarang dia mau ketemu kamu. Mau ucapkan selamat secara pribadi.”
“Uh?” Mahesa menatap Herlambang ngeri, “sekarang?”
“Iya, ayo ke kelasnya,” ujar Herlambang sembari menarik tangan kiri Mahesa.
“Hei, hei, tunggu sebentar dong!” Mahesa memprotes.
“Cieee!!! Sukses ya Hes!” sorak teman-temannya yang ada di dalam kelas.
“Duh Mbang, lepasin! Sakit tahu!” Mahesa berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Herlambang. Herlambang memang punya postur tidak seperti anak SMA kebanyakan. Ia berkulit legam serta berambut cepak, bertubuh kekar dan berotot seperti prajurit TNI – yang bagi Mahesa tidak aneh mengingat ia adalah putra seorang prajurit Marinir. Tampangnya boleh dibilang menyeramkan dan setiap murid baru yang baru masuk ke sekolah ini pasti akan segan berhadap-hadapan dengannya. Tapi kontras dengan kesan ‘angker’ yang terpancar dari dirinya, Herlambang adalah anak yang supel dan terkadang usil. Seperti yang tengah ia coba lakukan kali ini.
Mereka memasuki kelas XII Bahasa dan di sana tampak seorang gadis manis berkulit langsat, beralis tipis dengan mata yang berbentuk seperti mata wayang, rambutnya hitam panjang dan diikat ekor kuda. Gadis itu tengah berbincang dengan beberapa temannya sebelum akhirnya melambai ke arah Herlambang ketika melihat rekan OSISnya itu melambaikan tangan dari balik jendela.
“Tih, ada yang mau ketemu kamu nih,” ujar Herlambang.
“Siapa?”
“Ini,” Herlambang menarik tangan Mahesa yang mencoba kabur lalu mendorong pemuda itu ke arah Ratih.
“Cieee!!!” beberapa siswa dan siswi XII Bahasa yang hadir di sana bersorak menggoda, “Ada yang mau ditembak nih!”
Mahesa pun menjadi salah tingkah dan akan menjadi semakin salah tingkah kalau saja Ratih tidak mengajaknya keluar dari ruangan itu. Herlambang mengikuti dua orang itu dari belakang lalu berhenti ketika Ratih memberinya tatapan tajam yang artinya kurang lebih : Kami hanya ingin bicara berdua!
Herlambang mundur sambil tersenyum-senyum sementara Ratih mengajak Mahesa bicara di satu sudut yang sepi. “Maaf, teman-temanku agak berlebihan tadi. Jadi kamu mau bicara soal apa, Mahesa?”
“Um ... uh ... terima kasih sudah datang saat final PON tempo hari. Aku ... aku ... eh ... merasa sangat tersanjung,” Mahesa berusaha keras menyusun kata-kata yang pantas namun yang ia merasa kata-kata yang ia hasilkan sungguh menyedihkan.
Bagus banget Mahesa! Mahesa merutuki dirinya sendiri yang tampak seperti orang tolol di hadapan Ratih.
“Aksimu bagus kok, Hes,” ujar Ratih sembari tersenyum, “ngomong-ngomong selamat ya atas kemenanganmu itu.”
“Ah, terima kasih.”
Lalu bel sekolah mereka berbunyi dan suara seorang guru bergema di sepenjuru sekolah melalui sistem speaker, meminta segenap siswa berkumpul di lapangan upacara. Mahesa dan Ratih menghentikan perbincangan mereka (apa itu bisa disebut perbincangan?) dan bersama rombongan siswa lainnya turun ke bawah dan menuju lapangan upacara.
*****
Upacara bendera di sekolah ini biasanya berlangsung selama 30-45 menit setiap hari Senin dan biasanya terus dilangsungkan selama cuaca cerah. Tapi kali ini ada mendung tebal menggelayut di atas kepala para siswa, membuat para siswa sedikit khawatir bahwa hujan lebat akan segera turun. Kepala sekolah mereka – seorang pria botak berpeci – tampaknya tak terlalu peduli dengan kondisi cuaca ini, ia tetap memberi instruksi bahwa upacara harus tetap dilakukan.
Beruntung hujan tidak jua turun sampai upacara bendera selesai dilaksanakan, meski sang kepala sekolah sempat berpidato panjang lebar soal keberhasilan Mahesa di ajang PON. Kebiasaan klasik, pikir Mahesa, kalau kamu sukses mencapai sesuatu banyak orang akan ikutan nimbrung atau minimal berkomentar.
Begitu upacara selesai dan barisan siswa dibubarkan barulah hujan turun dengan derasnya.
“Terima kasih, Pukulun[2],” ucap Mahesa ketika menyaksikan turunnya hujan itu.
*****
Mahesa menghabiskan empat jam berikutnya dengan kelas sosiologi-antropologi yang sudah lama ia tinggalkan karena harus ikut pelatihan menjelang PON. Beruntung tugas-tugas yang diberikan guru mata pelajaran ini termasuk mudah dan sedikit sehingga Mahesa bisa langsung menyerahkan seluruh tugas susulan pada sang guru hari itu juga.
Ketika bel istirahat berbunyi, Herlambang dengan pandangan usil mendekat ke arah Mahesa, “Bagaimana tadi? Sukses?”
“Nggak!” jawab Mahesa.
“Yah kamu, coba lagi?”
“Jangan sekarang deh.”
“Kalau begitu ayo ke kantin saja yuk,” ajak Herlambang, “kamu yang traktir tapi.”
“Oke deh,” Mahesa beranjak berdiri lalu berjalan keluar kelas menuju kantin yang letaknya ada di lantai dasar.
Herlambang dan Mahesa baru saja tiba di lantai dasar ketika keduanya melihat ada kerumunan siswa-siswi di depan televisi-televisi yang dipasang di lorong. Biasanya layar-layar televisi itu digunakan untuk menampilkan jadwal kegiatan akademik, informasi lomba, atau promosi kegiatan OSIS. Tapi kali ini tampaknya ada sesuatu yang serius sampai-sampai banyak siswa yang berkumpul di tempat itu.
“Mbang,” Mahesa melirik ke arah temannya itu.
“Yo Hes, ayo kita lihat dulu ada apa itu.”
“Ada apa?” tanya Mahesa pada seorang siswi ketika ia tiba di kerumunan itu.
“Ada pidato darurat Presiden,” jawab siswi itu sebelum kembali menyimak tayangan di televisi.
Pidato darurat Presiden? Sepertinya bukan hal yang bagus. Pikir Mahesa.
Sang Presiden Republik Indonesia – Arif Yudhoyono – tampak berdiri di mimbar kepresidenan Istana Negara dengan mengenakan dasi merah, jas hitam berlurik biru, serta peci hitam bersematkan pin burung garuda. Ada raut ketegangan tergambar jelas di wajahnya.
“Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,” sang Presiden memulai pidatonya.
“Selamat pagi segenap Rakyat Indonesia, hari ini ... –”
Transmisi terputus dan layar televisi berubah menjadi layar biru untuk sesaat sebelum muncul logo yang menjadi momok ketakutan bagi guru-guru yang turut hadir di tempat itu. Sebuah logo lingkaran putih dengan simbol sileuet berbagai senjata mulai dari kujang, pedang jenawi, parang, golok, mandau, badik, keris dan sebagainya membentuk sebuah bentuk segi-delapan dalam lingkaran putih tersebut.
Lalu transmisi baru muncul dan tampak sosok pria yang wajahnya disamarkan oleh suasana gelap ruangan berbicara di layar televisi.
“Salam kepada segenap rakyat Republik Indonesia,” pria yang wajahnya tak tampak itu mulai berbicara, “Kami adalah Laskar Pralaya, sebuah badan pembawa perubahan bagi negeri yang sudah nyaris runtuh ini.”
“Pemerintah menyangkal keberadaan kami, mereka menyatakan bahwa kami sudah kalah, sudah hancur sejak 10 tahun yang lalu. Tapi hari ini kami membuktikan bahwa kami masih ada. Kami akan terus hidup dan terus ada. Selama keadilan belum tegak di negeri ini maka kami akan selalu ada.”
“Wahai segenap rakyat Indonesia, atas alasan apa kalian masih mempertahankan negeri ini? Atas alasan apa kalian tetap memilih mempertahankan status quo? Apa karena pemerintah mengucapkan kata maaf atas ketidakbecusan kerja mereka? Kami beritahukan : maaf adalah kata dan satuan yang tidak bisa diukur, baik di mulut seorang kawula apalagi di mulut seorang pejabat.”
“Pemerintah – orang-orang yang kalian pilih untuk mewakili aspirasi dan menata hidup kalian – telah tuli telinganya. Hujatan, demonstrasi, caci-maki tidak akan menyadarkan mereka. Satu-satunya cara untuk menyadarkan mereka adalah dengan memukul kepala mereka keras-keras. Kami adalah guru sejarah jalanan, kami telah melihat kegagalan demi kegagalan pemerintah dan dengan rendah hati telah menyampaikannya berkali-kali pada pemerintah melalui surat resmi, pengaduan, dan segala jalan yang mereka anggap ‘benar’ dan ‘bermartabat’. Tapi apa yang kami dapat selain menelan ludah kekecewaan? Selain mati perlahan-lahan karena himpitan tangan perkasa Sang Penguasa? Tidak ada! Segudang undang-undang yang mereka buat tidak pernah diterapkan dengan benar, politisi gemar mempersulit hal-hal yang sebenarnya sederhana, kompromi para seniman politik papan atas isa saja membuka gerbang peluang untuk sebuah negosiasi yang tidak menguntungkan! Kami sudah bosan terhimpit dan kini kami melawan.
“Tapi pengkhianat terbesar dalam gerakan kami adalah rakyat-rakyat yang tidak mau bekerjasama. Rakyat-rakyat yang masih saja percaya pada pemerintah yang pembohong daripada kami yang jujur. Maka dari itu kami membawa sebuah maklumat baru. Semua yang menghalangi jalan kami akan kami hancurkan tak peduli ia seorang warga sipil, ibu hamil, atau anak-anak yang dipaksa pasang badan oleh pemerintah.”
“Kami adalah amarah rakyat, kami adalah amarah orang-orang yang kalah. Kami adalah pembawa kehancuran. Sikap abai pemerintah selama inilah yang mengundang kami. Nantikan kami wahai kalian rakyat Indonesia, nantikan pralaya yang akan datang menghampiri, nantikan kehancuran. Takkan ada yang bisa selamat dari kami kecuali kalian mengikrarkan kesetiaan pada kami!”
Transmisi itu terputus dan siaran pidato Presiden kembali mengemuka. Tapi wajah Sang Presiden kini semakin pias. Dengan gugup ia mulai kembali berbicara dan meminta rakyat untuk tetap tenang dan membiarkan aparat berwajib menangani kasus ini. Tapi di akhir pidato ia mengumumkan bahwa selama seminggu kegiatan sekolah dan instansi pendidikan akan diliburkan menyusul ancaman serangan Laskar Pralaya ke instansi-instansi tersebut.
“Ini gila Hes!” ujar Herlambang ketika transmisi itu berakhir, “Orang-orang itu gila!”
“Mbang, banyak orang gila hidup di negeri ini,” ujar Mahesa, “tapi Laskar Pralaya itu benar-benar sudah sinting.”
“Mereka melanggar hukum perang! Seharusnya warga sipil tidak boleh dilibatkan dalam pertikaian macam ini.”
“Setuju Mbang, tapi kamu sudah lihat berita kan? Soal Surabaya?”
“Ah iya, mereka menyerang saat Surabaya sedang lemah.”
“Hei Mbang, menurutmu ...,” Mahesa kemudian diam, ragu-ragu untuk melanjutkan.
“Apa pemerintah kita sebentar lagi akan melaksanakan wajib militer lagi?”
“Kalau pemerintah kita buka pendaftaran aku dengan senang hati akan ikut mendaftar.”
Ada ketakutan berkecamuk di pikiran Mahesa. Takut jika kota tinggalnya selama ini harus menghadapi nasib seperti Surabaya yang hancur lebur beberapa saat yang lalu.
*****
Medan, 10.00 WIB.
Riyadi tampak tengah bersandar di lorong rumah sakit yang didominasi warna putih dan biru muda cerah, menunggu seseorang yang tengah berada di sebuah kamar. Seorang wanita paruh baya dengan wajah yang sudah berhias kerut dan rambut ikal yang sudah memutih seluruhnya tampak keluar dari kamar itu dan mengajak Riyadi untuk bicara di tempat lain.
Riyadi mengikuti wanita itu ke sebuah taman rumah sakit dan duduk di sebuah bangku yang terpasang di bawah sebuah pohon trembesi yang sangat rindang dan duduk diam menunggu wanita itu bicara.
“Anak itu tak pernah bicara,” wanita itu mendesahkan nafas panjang, “sejak kejadian itu.”
“Sejak ibunya wafat?” tanya Riyadi.
“Ya, sejak saat itu. Sebelumnya ia adalah anak yang periang dan suka bicara. Ia suka memasak bersama-sama ibunya, ia gemar bermain kelereng bersama anak-anak tetangganya sampai ... tragedi itu terjadi.”
“Hasil investigasi polisi menurut saya sangat janggal dan asal jadi,” ujar Riyadi.
“Anak itu tidak pernah memberitahu kami, psikolog, maupun psikiater atas apa yang terjadi pada ibunya. Tapi Pak Riyadi, apapun yang ia lihat di hari itu pastilah sangat mengerikan dan traumatis.”
Wanita itu mendesah lalu memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, “Sejak putri saya tewas mengenaskan dan Mandala menjadi seperti itu, saya selalu bersumpah akan melindungi dan membesarkan anak itu sekuat tenaga saya tapi persitiwa hari ini membuat saya .... ,” wanita itu terdiam sesaat sebelum melanjutkan, “Tempat ini sudah tidak aman lagi baginya, Pak Riyadi. Kalau apa yang dikatakan kantor Bapak itu benar adanya, maka bawalah dia bersama kalian. Lindungi dia dari orang-orang jahat itu!”
“Oma kini mengizinkan kami membawanya?”
“Ya!”
“Ada kemungkinan Oma takkan berjumpa dengannya lagi. Identitasnya akan diubah, segala riwayat hidupnya akan dihapus, dan hidupnya akan jadi milik negara.”
“Saya sudah rela hal itu terjadi, Pak Riyadi.”
“Baiklah kalau begitu. Anak itu akan saya bawa kembali ke Jakarta sore ini juga.”
“Terima kasih Pak Riyadi.”
P.S. : bagi yang penasaran wajahnya Mahesa kayak apa, author sudah post gambarnya di sidebar ^_^
[1]Wilayah DI Yogyakarta, di sana ada sentra pengrajin perak.
[2]Panggilan hormat untuk para dewata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top