BAB III : PUTRA BIDADARI
Resort Sentosa Island, Singapura, 09.00 waktu setempat.
Wijayadi Saputra tampak menikmati segelas koktail dingin yang baru saja disajikan oleh seorang pelayan restoran bersama sekumpulan hidangan lainnya.
“Please enjoy your drink and your meal, Sir,” ucap pelayan itu dalam bahasa Inggris.
“Thank you,” balas Jaya sembari melirik ke arah kolam renang di mana ibu dan adik perempuannya masih tampak berenang, sementara di sisi kolam tampak ayahnya, Sang Wapres, tengah berbincang serius dengan sejumlah pengawal sebelum beranjak mendekat ke arah meja tempat putranya duduk.
“Urusan negara lagi?”
Sang Wapres mengangguk lalu mengalihkan topik pembicaraan, “Sudah lama ya, kita tidak berkumpul seperti ini?”
“Kalau kita keluarga normal, pasti hal ini akan lebih sering terjadi,” ujar Jaya agak ketus.
“Jaya,” ayahnya berdehem, “ayah minta maf bahwa kesibukan ayah memang menyita sebagian besar waktu ayah bersama kalian. Tapi kamu juga harus paham bahwa ayah sedang melakukan sesuatu yang besar. Untuk mewariskan sesuatu yang kelak dapat kamu dan adikmu banggakan.”
Jaya melirik ke arah ayahnya dengan tatapan tidak suka, namun ayahnya segera melanjutkan kata-katanya, “Ayah harus membangun Indonesia, Presiden butuh banyak bantuan ayah, dan kelak ayah harus mempersiapkan diri memimpin 300 juta rakyat Indonesia yang masing-masing butuh ‘dipuaskan’ kebutuhannya.”
“Hei Yah, untuk apa bersusah payah mencapai posisi ini? Sampai kapan Ayah mau direpotkan oleh sekumpulan orang-orang tak tahu terima kasih itu?”
Sang Wapres hanya tersenyum saja mendengar perkataan putranya itu, “Nak, akan ada waktunya nanti mereka akan berterimakasih pada kita.”
“Kupingku panas tiap kali menonton berita dan mataku merah tiap kali aku membaca koran.”
“Nah, itulah sebabnya ...,” Sang Wapres menyesap seteguk es jeruk dari gelasnya, “ayah membawa kalian kemari. Keluar dari Indonesia, keluar sejenak dari hiruk-pikuk dan kegaduhan politik yang ada di sana.”
Jaya menghela nafas lalu diam sejenak sebelum berkomentar soal hal lain, “Resort ini indah, bagus, mewah, dan memukau. Sepertinya kita bisa bangun kawasan semacam ini di Lombok.”
“Ah, rupanya kau sudah mulai menaruh minat soal mengelola usaha keluarga kita ya? Bagus! Bagus! Tapi ... kenapa Lombok? Manado juga bisa dibuat kawasan seperti ini.”
“Taman Laut Bunaken bisa rusak kalau kita buat kawasan sebesar ini, Yah.”
“Masa? Bukankah ada protokol keamanan lingkungan yang sudah kita pakai sejak lama?”
“Eh? Masa?”
“Tentu, kalau kau mau tahu detailnya,” Sang Wapres mengambil sebuah benda logam berbentuk lingkaran berdiameter 5 cm dan mengaktifkannya sehingga sekumpulan layar holografik muncul, “Ayah bawa buku protokol lengkapnya di terradisk ini, plus undang-undang lingkungan hidup, dan keputusan presiden dan ... .”
“Stop Yah! Jangan sekarang!” Jaya mengibas-ngibaskan tangannya, tanda ketidaketujuan, “Ini sedang masa liburan dan aku tidak mau otakku kram dengan membaca hal-hal seperti itu.”
Sang Wapres terkekeh, “Akan ada waktunya di mana kamu akan mengetahui semuanya, Nak. Suatu hari nanti kau akan tahu semuanya. Belajar banyak hal akan membawa banyak dampak positif.”
“Termasuk belajar ilmu pedang dari aliran tidak jelas itu?”
“Hohoho, itu ilmu kuno, sudah nyaris hilang dari peredaran zaman. Beruntung sekali lho kalau bisa belajar ilmu itu. Hitung-hitung untuk melestarikan budaya dan mempertahankan diri.”
“Tapi susah, Pak Pratopo menjelaskan dan memperagakannya dengan sangat rumit!”
“Jalani sajalah, Nak. Dalam waktu dekat kamu pasti akan tahu bahwa ketrampilan ini akan sangat berguna,” wajah Sang Wapres menyunggingkan senyum – misterius.
“Lagi-lagi Ayah berteka-teki.”
“Hidup ini teka-teki, Nak. Semakin sering kau bermain dengan teka-teki semakin mudah kamu menjalani hidup.”
*****
Jakarta, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 12.00 WIB
Janggala tampak duduk meringkuk di sebuah sofa panjang berwarna ungu di ruang tunggu penumpang Bandara Soekarno Hatta. Tangannya tampak menggenggam sebuah tablet yang menampilkan konten majalah yang membahas soal dunia dirgantara sementara di sampingnya Riyadi yang tengah membaca koran elektronik di alat yang serupa sesekali melirik ke arah Janggala – memastikan orang dalam pengawasannya ini tidak bertingkah macam-macam.
Markus datang menghampiri mereka beberapa saat kemudian. Di tangannya tampak tergenggam tiga lembar kertas kuning – tiket pesawat. “Yo!” sapanya murung, “kota kopi tiam sudah menunggu kita.”
“Ayo Wisanggeni,” Riyadi menepuk bahu Janggala sembari meletakkan tablet itu di sebuah nampan terbang berkepala robot yang langsung mendekat ke arahnya begitu ia bangkit, Janggala pun melakukan hal serupa.
“Terima kasih sudah menggunakan layanan kami, Tuan-Tuan yang terhormat,” ujar nampan berkepala robot itu.
Riyadi menyambar sebuah travel bag berwarna biru, Markus menjinjing sebuah koper beroda berwarna coklat, sementara Janggala memanggul sebuah ransel merah. Ketiganya berjalan menuju petugas layanan bagasi untuk meletakkan barang-barang bawaan mereka. Begitu urusan bawaan mereka selesai, mereka segera berjalan masuk ke sebuah bus anti-gravitasi yang segera saja membawa mereka terbang mendekati pesawat yang akan mereka tumpangi.
Sebuah lorong menghubungkan bus yang mereka tumpangi dengan pintu masuk pesawat. Para penumpang bergegas berjalan masuk ke dalam pesawat melalui lorong tersebut. Markus, Riyadi, dan Janggala pun turut serta dalam antrian itu. Memasuki lorong interior pesawat, ketiganya berjalan menempati sederet bangku yang terdiri atas tiga kursi di sisi kiri pesawat. Markus baru saja hendak duduk di kursi yang paling dekat jendela ketika Riyadi mencengkeram bahunya sambil menggelengkan kepalanya.
“Itu untuk ‘sepupu’ kita. Kamu duduk di tengah,” ujar Riyadi dengan suara yang amat perlahan.
Markus akhirnya mempersilakan Janggala menduduki kursi yang paling dekat dengan jendela itu. Sementara ia sendiri duduk di bangku tengah dan Riyadi duduk di bangku paling kanan.
“Tingkah kalian terlalu berlebihan, sungguh!” Janggala berkomentar pada kedua agen Dakara itu ketika ketiganya sudah duduk.
“Kami tidak bisa langsung percaya pada orang yang bisa saja menggorok leher kami saat kami lengah atau tak sadarkan diri,” jawab Riyadi.
“Kalau aku mau,” Janggala menudingkan jarinya ke bagian atas pesawat yang tampak terbuat dari kaca transparan yang dipasangi filter anti-UV, “aku bisa saja kabur saat ini juga dengan menghancurkan atap itu.”
“Kamu takkan bisa kabur dari saya!” ancam Markus, “Saya bisa terbang lebih cepat dari kamu!”
“Mungkin benar kalau di masa lalu kita ini satu keluarga besar atau satu persekutuan atau semacamnya, tapi jangan kira hanya karena mendengar hal itu kami bisa percaya padamu begitu saja.”
“Heh,” Janggala mendecakkan lidahnya, “Andai itu benar sekalipun, hal itu tak lagi jadi sesuatu yang patut aku banggakan lagi. Keluarga – menurut pengalamanku – tak lebih dari sekumpulan orang yang punya hubungan darah. Konflik memperebutkan harta, saling bunuh, saling fitnah, dan saling benci bisa saja terjadi di dalam persatuan semu yang namanya keluarga. Jadi ... aku sama sekali tidak masalah kalian akan menganggap aku ini apa.”
“Kau debt-hunter, dan di mataku kalian tak lebih dari sekumpulan pembunuh,” ujar Markus.
“Dan kalian aparat kepolisian adalah sekumpulan pencoleng berlencana. Yang membiarkan gadis-gadis yang telah dibawa paksa dari kampung halaman mereka mengais sendiri sebagai pemuas syahwat lelaki-lelaki kaya bejat, yang merampas hak hidup para tunawisma dengan satu sentuhan lembut jari telunjuk dan melaporkannya sebagai korban pertikaian antar geng, dan yang memalingkan muka saat seorang tak berdaya dan berpunya menuntut keadilan atas sebuah ketikdakadilan yang dilakukan oleh suatu pihak yang kuat dan berkuasa,” balas Janggala.
“Ehm,” Riyadi berdehem sebelum akhirnya menyuruh Markus untuk menyingkir sejenak dan mencengkeram wajah Janggala dengan telapak tangan kirinya. Janggala tak sempat bereaksi dan tanpa ia sadari, kesadarannya menghilang.
“Aku tidak suka pakai ilmu sirep, tapi keributan ini bakal menarik perhatian.”
Markus tampak gusar, “Dia bicara seenaknya saja soal kepolisian.”
“Dan kamu juga bicara seenaknya saja soal bekas profesinya,” balas Riyadi.
“Tapi ...,” Markus mencoba membantah.
“Dik,” Riyadi menyodorkan sebuah terradisk kepada Markus, “baca ini dan pahami apa peranan para debt-hunter ini pada perekonomian kita, baru kemudian kamu boleh hakimi dia.”
*****
Bandara Kualanamu, Medan, 15.00 WIB
Janggala baru tersadar kembali ketika Markus menepuk-nepuk pipinya dan mengatakan bahwa mereka sudah sampai di Kaualanamu, “Hei bangun. Kita sudah sampai di Kualanamu.”
“Ungh,” Janggala tampak bangun dengan malas sembari mengerjap-ngerjapkan matanya, “Sudah sampai?”
“Iya, ayo cepat turun.”
Janggala bangun dengan sedikit terseok-seok, rasa kantuk hebat masih menderanya dan sialnya lagi ia sudah tidak ingat lagi apa yang terjadi pasca ia naik ke atas pesawat ini, tak peduli sekeras apapun ia mencoba.
Ketiga orang itu naik ke sebuah bus anti gravitasi yang menurunkan mereka di ruang pengambilan bagasi 5 menit kemudian. Begitu mereka bertiga selesai mengambil bawaan mereka, keluarlah mereka keluar dari bandara itu. Para sopir taksi pun segera berebut menawari mereka tumpangan. Riyadi dengan cepat memilih satu, “Ke pertokoan Asia Mega Mas, Pak.”
Kompleks Pertokoan Asia Mega Mas dan kompleks rumah susun Sukaramai adalah daerah pecinan di kota Medan. Mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa dan rumah makan dan toko-toko milik kaum Tionghoa bertebaran di daerah ini. Taksi yang ditumpangi Riyadi dan rombongannya berhenti di sebuah rumah makan bernama ‘Rumah Makan Citra’. Riyadi membayar argo taksi itu dan turun bersama dua orang lainnya.
“Ayo,” Riyadi mengajak Markus dan Janggala untuk masuk ke dalam rumah makan itu. Seorang wanita Tionghoa lanjut usia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga cerah tersenyum menyapa mereka bertiga.
“Mau pesan apa?” tanya wanita itu.
“Pesannya nanti saja Oma, saya kemari hendak menemui anak ini,” Riyadi mengeluarkan sebuah layar hologram dari arlojinya yang memuat foto seorang anak lelaki berperawakan sedang, berkulit kuning, bermata sipit, dan berambut hitam lurus.
“Oh,” ekspresi wanita itu berubah murung, “rupanya anda ya.”
“Ya Oma, apa dia ada di sini?”
“Dia masih di sekolah. Seharusnya sebentar lagi dia pulang.”
“Di mana sekolahnya?” tanya Markus.
“Tidak jauh dari sini, sekitar empat blok ke arah barat. Aneh, harusnya sekarang dia sudah sampai di sini. Kegiatan ekstrakurikulernya kan sudah selesai?”
“Oma!” tiba-tiba saja terdengar suara seorang pemuda Tionghoa dari depan pintu, pemuda itu tampak terluka di sisi kanan perutnya, seperti tercabik oleh sesuatu, “Man .. Mandala, diculik!”
“Ya ampun! Kamu kenapa Wan?” wanita itu bergegas mendudukkan pemuda itu di sebuah kursi sementara Riyadi, Markus dan Janggala buru-buru menarik beberapa kursi, menciptakan sebuah jalinan kursi sebagai tempat berbaring bagi si pemuda.
“Mobil apa yang menculiknya?” tanya Riyadi
“Ayata ... S-553 warna abu-abu metalik. Plat nomornya ... aku tidak ingat.”
“Markus! Janggala!” wajah Riyadi tampak tegang, “Cari dia! Sekarang!”
“Ya Mas,” jawab Markus sementara Janggala hanya menganggukkan kepalanya saja.
Markus dan Janggala berlari menuju sebuah gang sempit yang tak diperhatikan orang lalu dengan satu hentakan kaki keduanya melesat ke angkasa. Keduanya melayang ke arah barat lalu mencari-cari mobil yang dimaksud di antara lalu lintas kota Medan.
“Pak Polisi ... ah tidak ... Markus, mereka hendak membunuh anak itu atau hendak menculiknya saja?”
“Kemungkinan besar sih mereka berniat membunuh.”
“Kalau begitu kita harus mencarinya ke selatan.”
“Kenapa?”
“Karena di Medan Selatan ada gudang rahasia yang pernah dipakai Satyawati Corp. untuk membuang mayat.”
“Di mana?”
“Aku tunjukkan jalannya.”
“Kau tidak sedang menipuku kan?”
“Tidak Pak Polisi, tidak sama sekali. Anak ini bukan penghutang, jadi dia tak layak mati.”
Debt-hunter hanya boleh membunuh dan mengambil paksa organ-organ tubuh milik para penghutang yang kabur selama lebih dari 10 bulan tanpa jejak lalu mendapati bahwa si penghutang tidak juga mempunyai uang atau aset yang senilai 20 % dari total hutangnya.
Markus teringat pada penggalan keterangan yang ia baca di pesawat tadi. Kode etik para debt-hunter. Selama ini ia beranggapan bahwa para debt-hunter ini bekerja tanpa kode etik karena gerak-gerik mereka sangat misterius dan nyaris tak terdeteksi oleh polisi sekalipun. Kaum pers yang memberitakan soal kegiatan mereka juga sangat minim dan hanya menyinggung hasil kerja mereka saja. Saat ini Markus hanya berharap bahwa Janggala tidak sedang menggiringnya ke dalam jebakan, namun karena kemungkinan itu masih ada, Markus memasang sebuah tc-earphone di telinganya lalu menghubungkannya dengan Riyadi selagi mengikuti laju Janggala dari belakang.
“Di sana!” Janggala menunjuk ke arah sebuah bangunan mirip bunker yang berada di sebuah bukit yang tampak terpisah dari bagian kota Medan yang lain meski hanya beberapa ratus meter.
“Tempat itu dijaga dan diawasi. Kalau kita merangsek maju ... akan timbul keributan,” ujar Markus.
“Ya, kau benar sekali Pak Polisi. Tapi ... apa kau punya topeng ski?”
Markus merogoh jaketnya dan mengeluarkan dua set topeng penutup wajah serta mengeluarkan sekotak alat teknisi elektronik, “Apa kau tahu di mana panel alarmnya?”
“Tidak, tapi aku tahu dari mana bangunan ini mendapat suplai listrik,” Janggala menunjuk ke sebuah gardu listrik yang berada di kaki bukit dan tersenyum ke arah Markus.
“Kau mau buat satu area mengalami pemadaman listrik eh?” Markus balas tersenyum.
“Aku ini profesional, Pak Polisi,” jawab Janggala.
*****
Empat penjaga bersenjatakan senapan mesin yang berjaga di depan bunker itu tampak berjatuhan satu demi satu bersamaan dengan terdengarnya suara desis – suara tembakan pistol yang laras pistolnya dipasangi peredam suara.
“Akan lebih cepat kalau kita bisa pakai Astra,” Janggala – yang sudah memakai penutup muka – menggerutu “daripada memakai senjata api.”
“Astra memang lebih efektif, tapi itu beresiko melukai tawanan atau lebih buruk lagi ... menewaskannya.”
“Aaah, itu sebabnya aku benci tugas penyelamatan!”
“Sudahlah,” Markus memukul panel kontrol pintu masuk bunker dengan tangan kanannya hingga panel itu remuk dan hancur kemudian pintu bunker itu pun terbuka, “Ayo masuk!”
Bunker itu mempunyai lorong menurun yang curam dan panjang yang berakhir di sebuah jalan buntu yang dinding-dindingnya berlapis beton tebal.
“Apa ada semacam jalan rahasia di sini, Janggala?” tanya Markus sembari meraba-raba tembok beton itu.
“Hmm ... sebentar ...,” Janggala turut meraba-raba tembok itu sesaat sebelum akhirnya bicara kembali, “Ada semacam jalan rahasia di balik tembok ini, tapi ada mekanismenya. Dibuka menggunakan remote control. Panel kontrolnya bisa diakali tapi sayangnya panel itu ada di balik pintu ini.”
“Heeeh, ya sudahlah. Tolong minggir sebentar,” Markus mulai meremas-remas tangannya.
“Sekarang kau mau gunakan Astra, Pak Polisi?”
“Hmm bukan Astra,” Markus merapal sederet mantra dalam bahasa yang asing di telinga Janggala lalu memukulkan tangan kanannya ke tembok itu keras-keras. Tembok itu luluh, semennya kembali ke bentuk cair dan berjatuhan ke lantai berlapis beton di bawahnya. Begitu tembok itu berlubang Markus dan Janggala segera memasuki lorong di baliknya.
“Hei ... kau gunakan teknik yang sama pada Dursala. Apa ini?”
“Ambus, sebenarnya ini ilmu hitam, dari Pulau Flores. Siapa yang kena ilmu ini pasti otot dan tubuhnya menjadi lembek, berair, kemudian hancur.”
“Oh, pantas saja mereka buru-buru membawa Dursala ke Manggarai.”
Markus mendelik, “Jadi dia masih hidup?”
“Ya.”
“Mengalahkannya jadi semakin sulit.”
“Kau kan pernah mengalahkannya? Yah ... setidaknya ... ribuan tahun yang lalu.”
“Betul, tapi aku lupa caranya.”
“Kau menggunakan semacam ... Aji Narantaka atau semacamnya? Setidaknya begitulah para dalang wayang menceritakan kisahmu.”
“Oke, lalu bagaimana caranya menggunakan Aji Narantaka itu? Para dalang itu memberi tahu mantranya?”
“Sayangnya tidak.”
“Bagus sekali, calon mertuaku baru saja merestui hubunganku putrinya dan sekarang sekumpulan orang jahat berkekuatan khusus bersepakat untuk memburuku sampai mati.”
Pembicaraan dua orang itu terhenti ketika mereka mendengar suara erangan dari sebuah ruangan di ujung lorong. Markus dan Janggala saling berpandangan sejenak sebelum kembali mengeluarkan pistol mereka masing-masing dan berjalan cepat menuju ruangan itu. Markus menempelkan telinganya di dinding dan samar-samar ia mendengar suara hardikan, pukulan, dan tendangan.
Markus merogoh sebuah granat asap yang ia bawa di saku celananya lalu memberi isyarat pada Janggala untuk turut masuk ke dalamnya sesuai aba-abanya. Janggala mengangguk – mengiyakan sebelum akhirnya Markus mendobrak pintu ruangan itu dan melemparkan granat asap yang langsung memenuhi seisi ruangan dengan asap putih pekat.
“Penyusup!” beberapa orang melepaskan tembakan ke arah Markus dan Janggala, namun Janggala sigap mencari tempat berlindung di balik sebuah tiang sementara peluru-peluru yang mengenai Markus berjatuhan ke lantai, tak mampu menembus tubuhnya. Ia segera merengkuh tubuh seorang anak lelaki yang terbaring meringkuk di lantai lalu mendekapnya sembari membawanya keluar dari kepulan asap itu.
“Janggala, ayo!” Markus segera mengajak Janggala keluar dari tempat itu. Tapi orang-orang di dalam ruangan itu segera menyusul dan mencoba menghadang mereka. Markus mempererat dekapannya pada anak itu tapi seseorang tampak memukulkan sebuah tongkat besi ke kepalanya. Markus terhuyung sesaat dan dekapannya melonggar namun ia segera balas menghantam lawannya itu dengan tangan kirinya. Terdengar suara tembok terbentur oleh sesuatu beberapa saat kemudian, tampaknya lawannya terlempar dan membentur tembok, Markus tak dapat melihatnya dengan jelas di tengah kepulan asap ini.
“Yo!” Janggala menepuk bahu Markus dan berlari mendahului Markus. Markus menyusul Janggala beberapa saat kemudian dan kedua orang itu pun berlarian di lorong bawah tanah itu menuju ke permukaan. Anak lelaki di dekapan Markus terdengar menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
“Kenapa Dik?” tanya Markus yang masih juga berlari.
Anak itu masih menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
“Hei, awas!” Janggala berseru ketika sekelompok orang bersenjata berat tiba-tiba sudah berdiri di ujung lorong dan bersiap menembakkan senjata mereka. Markus segera tersadar oleh peringatan Janggala dan langsung berlindung di balik tembok dengan menyeret anak remaja itu.
Tembakan itu terus berlanjut, sesekali berhenti namun segera berlanjut kembali. Dari sisi yang lain terdengar langkah sekelompok orang dan terdengar kokangan senjata dari antara mereka.
“Pak Polisi! Kita harus gunakan Astra!” pekik Janggala.
“Baiklah! Pakai Astramu!”
Janggala mulai memasang astranya di tangan kanannya sementara Markus mulai melepaskan belenggu di tangan anak remaja itu.
“Kamu tunggu di sini, Dik,” ujar Markus pada remaja itu namun remaja itu malah menahan langkah Markus.
Markus menoleh dan melihat anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa?” tanya Markus lagi.
Anak itu hanya diam lalu tanpa Markus duga sebelumnya ia malah berlari ke arah terjangan peluru-peluru itu.
“HEI JANGAN!” Markus menjerit histeris ketika menyaksikan anak lelaki itu melompat ke arah lintasan-lintasan peluru itu. Tapi sesaat kemudian ia menyaksikan bahwa peluru-peluru itu sama sekali tidak mengenainya. Ada semacam selubung tenaga tak terlihat yang melindunginya dari terjangan-terjangan peluru itu.
Markus terpaku, terperangah, sementara anak remaja itu maju seolah hendak menantang sekumpulan pria bersenjata itu. Ia mengibas-ngibaskan kedua tangannya lalu menepukkan kedua tangannya keras-keras lalu memisahkannya kembali sehingga kedua tanganya bergerak membentuk setengah lingkaran. Bersamaan dengan memisahnya kedua tangannya itu sebuah energi tak kasat mata mendorong pria-pria bersenjata itu ke dinding lalu dengan kejam anak itu menghantamkan kepala mereka ke tembok keras berkali-kali hingga mereka kepala mereka tidak utuh lagi.
Sementara itu Janggala yang sudah berhasil merobohkan enam orang lawannya kini tengah berhadap-hadapan dengan seorang pria berjas biru yang menggegam sebuah badik – sejenis pisau tradisional asal Makassar berukuran ± 0,5 meter – dan tengah berusaha keras menghindari sabetan-sabetan badik itu.
Janggala mundur enam langkah ketika sabetan-sabetan badik lawannya terasa semakin cepat dan mustahil untuk terus ia hindari. Ditembakkannya sebuah bola api ke arah lawannya namun lawannya itu menghindar dan malah melempar badik yang ia genggam ke arah Janggala. Janggala berkelit dan menepis badik itu dengan tangan kanannya yang diselimuti kobaran api. Badik itu melayang dan menancap di sebuah pilar.
Tapi badik itu tidak menancap lama, dengan satu sentakan tangan pria berjas biru itu, badik tersebut kembali mengincar Janggala. Janggala kembali mempersiapkan diri untuk menghindar namun ia kemudian melihat bahwa badik tersebut tiba-tiba terdiam di udara. Kemudian – alih-alih melesat menuju ke arahnya – badik itu justru melesat dan menghujam dada si pemiliknya sendiri. Janggala kaget bukan kepalang lalu ditolehkannya kepalanya ke arah Markus dan ia melihat anak lelaki yang bersama Markus tadi tampak tengah menggerak-gerakkan tangannya – seolah-olah menggerakkan benang yang tak terlihat ke arah badik tersebut.
Kemudian anak remaja itu berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan berdiri diam mematung. Baik Janggala maupun Markus sempat tak bereaksi atau melakukan apapun selama beberapa detik, selain mengamat-amati sosok anak remaja itu dan memperkirakan apa lagi yang bakal dilakukannya.
Lalu anak remaja itu terjatuh tak sadarkan diri. Markus langsung sigap menopang tubuhnya supaya kepalanya tidak membentur tanah lalu berseru pada Janggala, “Ayo keluar, kita harus bawa dia ke rumah sakit.”
“Tunggu sebentar Pak Polisi,” jawab Janggala sembari mendekati lawannya yang tengah sekarat dan nafasnya tampak putus-putus.
“Sejak kapan Satyawati Corp. melibatkan diri dalam penculikan anak-anak?” Janggala menodongkan pistolnya ke kepala pria berjas biru itu.
“Apa yang kau tahu soal kami heh, Nak?”
“Kita punya kode etik, bahkan debt-hunter sekalipun punya kode etik! Menculik anak di bawah umur lalu memukulinya sampai memar-memar begitu jelas tidak ada dalam peraturan kita!”
“Kode etik, etika, peraturan hanyalah penghambat perubahan, Nak. Badai perubahan tengah datang, ia akan segera menerjang.”
“Badai perubahan apa?” bentak Janggala sembari mencengkeram baju pria itu namun nyawa pria itu telah meninggalkan raganya.
“Bangsat!” Janggala melepaskan cengkeramannya dan jasad pria itu rubuh tak berdaya ke lantai. Darahnya semakin membanjir, menggenangi lantai.
“Ayo!” Markus yang tengah menggendong tubuh remaja yang tak sadarkan diri itu kembali memperingatkan Janggala sekali lagi.
“Iya,” Janggala akhirnya melangkah keluar bersama Markus. Langkah mereka cepat dan tergesa-gesa. Begitu sampai di luar Markus langsung membuka topengnya, mengaktifkan tc-earphone miliknya dan menghubungi Riyadi.
“Markus, bagaimana?” tanya Riyadi dari seberang sana.
“Aku berhasil selamatkan anak bernama Mandala itu. Sedikit memar memang dan sempat dipukuli tapi sekarang ia jatuh tak sadarkan diri.”
“Bawa dia ke Rumah Sakit Umum Dokter Pirngadi di Jalan M.H. Thamrin. Segera!”
“Baik,” Markus mengakhiri panggilannya.
“Ayo kita ke jalan besar dan cari taksi, Pak Polisi, akan terlalu mencolok jika kita tiba di RS dengan melakukan aksi melawan gravitasi.”
“Oke,” Markus menyetujuinya dan bersama-sama mereka berdua berlari menuruni bukit.
“Siapa sebenarnya anak ini?” tanya Janggala pada Markus.
“Aku tidak tahu Janggala, aku tidak tahu.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top