BAB II : PULANG

Surakarta, 17.00 WIB

 

Sebuah bus berwarna putih dengan pola bendera merah putih di sisi kanan dan kirinya berhenti di sebuah kompleks rumah susun yang dindingnya bercat dominan hijau muda. Mahesa tampak turun dari bus tersebut sembari menenteng sebuah ransel, sementara piala miliknya masih dibawa oleh pelatihnya, Pak Imron, untuk diserahkan pada sekolah saat upacara bendera minggu depan.

Ada seorang pria muda tampak tengah mendandani sebuah motor di sebuah bengkel yang ada dalam kompleks itu, pria itu berambut spike dan hanya mengenakan celana pendek hitam serta kaus singlet mengangkat tangannya, menyapa Mahesa, “Hei Mahesa! Gimana hasil pertandingannya?”

“Lumayan Mas,” jawab Mahesa datar, “juara tiga.”

“Wohohoho!! Uapik tenan – bagus sekali!” pria itu mengacungkan dua jempolnya, “Lanjutkan!”

Matur nuwun – terima kasih, Mas. Saya naik dulu ya?”

Monggo, monggo!” si pria muda itu sembari kembali mengutak-atik mesin motor di hadapannya.

Mahesa masuk ke sebuah lift yang dindingnya berlapis kertas dinding bermotif burung-burung bangau yang sudah mengelupas di sana-sini. Mahesa menekan tombol bernomor ‘7’ dan lift itu segera naik dengan menimbulkan sedikit suara decit menuju lantai tujuh.

Terdengar suara denting bel ketika lift itu telah mencapai lantai tujuh, Mahesa beranjak keluar dari lift dan dia kini berada di sebuah persimpangan lorong, satu menuju ke utara dan satu menuju ke selatan. Mahesa mengambil jalur utara dan berhenti melangkah setelah melewati tiga kamar, berhenti di sebuah kamar bernomor 714. Mahesa mendekatkan telapak tangannya pada sebuah panel di dpintu dan pintu kamar itu pun terbuka di hadapannya.

Ada suara salakan anjing di dalam kamar itu selagi Mahesa menyalakan lampu-lampunya. Begitu lampu-lampunya telah menyala tampaklah sesosok anjing berbadan metal berdiri di hadapan Mahesa. Anjing robot itu duduk dekat kaki Mahesa sembari menjulurkan lidahnya – layaknya anjing asli.

“Halo, Igor,” Mahesa menepuk-nepuk kepala robot anjing itu, terdengar suara metal beradu dengan metal ketika  ia melakukannya. Robot anjing itu kemudian berlari ke arah beranda sembari menolehkan kepalanya ke arah matahari yang sudah mulai terbenam.

“Iya, iya, aku tahu kok,” Mahesa paham apa maksud robot anjingnya itu. Ibunya sudah memprogram robot itu untuk mengingatkan Mahesa setiap kali matahari akan terbit atau akan tenggelam selagi Mahesa ada di rumah supaya pemuda itu tidak lupa sembahyang.

Mahesa melepaskan jaket atletnya, celana panjangnya, kemudian kausnya sebelum masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, ia muncul tiga menit kemudian dengan sebuah handuk melingkar di pingangnya dan masuk ke dalam sebuah kamar untuk mengambil satu setel pakaian santai dan mengenakannya.

“Guk!” robot anjing itu kembali menyalak dan Mahesa buru-buru mengambil sebuah canang (wadah yang dibuat dari janur – daun kelapa) berisi sedikit bunga mawar, melati, kenanga, dan kantil, dari tempat penyimpanan lalu menarik keluar dua buah hio[1] dari sebungkus plastik dan menyulutnya lalu berjalan ke arah sebuah altar palinggih yang ada di beranda, menancapkan hio itu pada sebuah ceruk kecil dan meletakkan canang yang ia pegang di samping hio tersebut kemudian memposisikan tangannya di depan dahi. Mahesa mulai merapalkan mantram doa, bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib di kota itu.

Jakarta, 20.00 WIB

 

Kembali Janggala melihat sekumpulan orang yang pernah ia bunuh di masa lalunya kini berdiri di hadapannya sembari menudingkan jemari mereka ke arahnya. Pria, wanita, dan anak-anak yang meledeknya itu muncul kembali dalam aneka rupa dan wujud. Ada yang masih berwujud manusia utuh, ada juga berwujud manusia utuh namun dengan luka sayat di dada yang menunjukkan rongga dada yang kosong tanpa organ, ada juga yang berwujud mayat dengan daging hitam hangus, dan ada pula yang mewujudkan diri sebagai siluet-siluet asap.

Kami menuntut kematianmu! Pembunuh! Pecundang! Anak haram! Anak iblis!

“Kalian semuaaa!!!! Diaaaamm!!!” Janggala menghantam tanah yang ia pijak dengan kepalan tangan kanannya dan sebuah kobaran api muncul di sekelilingnya, menghanguskan sosok-sosok itu. Tapi suara-suara mereka masih bergema di sekitar Janggala sebelum akhirnya sebuah tangan lembut terasa menyentuh dahi dan lehernya.

Janggala pun tersadar, dilihatnya tangan dan kakinya masih terikat di ranjang sementara sang pria beruban tampak duduk angkuh di sampingnya dengan diawasi oleh Markus dan Riyadi di sudut ruangan.

“Seharusnya ... anda biarkan saya mati saja,” Janggala mendesah sembari menatap ke arah pria beruban itu.

“Kau tidak akan banyak berguna jika mati.”

“Apa yang anda inginkan dari saya?”

Pria beruban itu tersenyum, “Aku ingin kau bekerja untuk kami, dan aku berjanji akan memberimu sebuah kehidupan baru, yang jauh dari dunia darah, mesiu, dan kekerasan. Kau boleh memilih menjadi apa saja yang kau suka dengan identitas barumu.”

“Aku tidak perlu itu, aku hanya minta satu hal.”

“Apa itu?”

“Sebelum itu ... bisakah tanganku dibebaskan?”

“Aku tidak setuju,” sahut Markus, “kau terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas.”

“Lepaskan dia,” ujar pria beruban itu.

“Tapi Pak Syailendra ...,” Riyadi kini juga memprotes.

“Aku bilang lepaskan dia,” Syailendra mengulangi perintahnya.

Dengan dongkol Markus akhirnya melepaskan ikatan borgol pada tangan dan kaki Janggala sementara Riyadi sudah bersiap-siap kalau-kalau Janggala akan melakukan tindakan perlawanan pasca dilepaskan.

Ketakutan Riyadi terbukti, dalam sekejap Janggala melayangkan sebuah pukulan ke arah Syailendra, mengarah tepat ke dahi Sang Kepala Dakara. Tapi Kolonel Syailendra ternyata tidak seringkih penampilannya. Ia menangkap kepalan tangan Janggala dengan tangan kirinya lalu mencengkeram leher Janggala dengan tangan kananya dan terdengar bunyi ‘kluk’ dari leher Janggala dan tubuh pemuda itu langsung merosot ke lantai tanpa daya. Seluruh tubuhnya tampak lumpuh dan tak mampu bergerak, yang bisa ia lakukan hanyalah mengerang.

Syailendra berbisik di telinga Janggala, nada suaranya mengancam, “Jika aku biarkan kau dalam lima menit tanpa pertolongan, kau akan menjadi lumpuh seumur hidup. Kalau kau mau sembuh dan bisa bergerak lagi maka aku minta sumpah setiamu pada kami. Jawab dengan anggukan kalau kau setuju.”

Janggala menggerak-gerakkan kepalanya, membentuk sebuah anggukan. Namun Syailendra tak segera mempercayainya, diulanginya pertanyaan yang sama pada Janggala dan kembali Janggala menjawab dengan anggukan. Syailendra mengulangi pertanyaannya sampai berkali-kali sampai sebuah titik air mata terlihat di pelupuk mata Janggala.

“Baiklah,” Syailendra menotok satu titik di leher Janggala dan perlahan-lahan pemuda itu pun bangkit berdiri dengan kaki gemetaran sebelum jatuh bersimpuh di hadapan Sang Kolonel sambil mengucapkan janji yang membuat baik Markus maupun Riyadi ternganga.

“Hidup saya kini menjadi milik anda Tuan,” ujar Janggala.

Syailendra mengulum senyum tipis, “Aku tidak memintamu serahkan hidupmu padaku, aku hanya minta kau membantu kami dalam beberapa hal dalam tempo tertentu dan sebagai imbalannya kami akan mencari asal-usul dirimu. Cukup adil bukan?”

“Ya,” jawab Janggala lirih.

“Baiklah,” Syailendra mencengkeram kedua tangan pemuda itu lalu membimbingnya untuk duduk kembali di ranjangnya, “sebagai permulaan, ceritakan pada kami segala hal yang kau tahu soal Satyawati Finance Corp.”

*****

Surakarta, 19.00 WIB

Hari sudah beranjak malam, namun Mahesa belum juga mendapati ibunya pulang. Sudah beberapa kali ia mengirim pesan ke aloji komunikator milik ibunya, bahkan ia sampai mengirim pesan via jejaring sosial ke kotak surel ibunya namun tidak ada jawaban. Mahesa mulai khawatir terjadi apa-apa pada ibunya sehingga ia segera menyambar jaket atletnya, mengenakannya, dan mengangkat tudungnya untuk menutupi kepalanya lalu beranjak keluar dari ruangan itu.

Di lorong ia bergegas menuju lift namun baru saja ia hendak memanggil tombol lift, pintu lift itu terbuka dan sosok ibunya muncul dari balik pintu lift.

“Lho Le? Ada apa kok malam-malam keluar?” wanita itu mengenakan seragam KORPRI warna coklat tua, wajahnya mulus untuk ukuran wanita yang hampir menginjak usia 40 tahunan sementara rambutnya yang panjangnya sebatas leher diikat ekor kuda.

“Cari Ibu,” jawab Mahesa, “habis aku kirim pesan ke ibu tidak dibalas terus sih.”

“Eh? Masa?” Ibu Mahesa langsung menyerahkan tas kain jinjing yang ia bawa ke Mahesa lalu mengecek arloji komunikasinya, “Tadi Ibu kirim pesan ke kamu. Masuk nggak?”

Mahesa angkat bahu, “Nggak.”

“Ah, provider-provider hari ini kenapa sih?” omel wanita itu sembari melangkah menuju kamarnya dengan diikuti Mahesa dari belakang.

Wanita itu membuka pintu dengan meletakkan telapak tangannya pada sensor pintu dan masuk ke dalam kamar kemudian menjatuhkan dirinya di sofa biru yang ada di tengah ruangan.

“Kamu sudah makan malam, Le?”

“Belum Bu,” jawab Mahesa.

“Kalau begitu bisa kamu turun ke bawah dan belikan nasi liwet dua porsi?”

“Bisa Bu,” Mahesa langsung kembali keluar dari ruang apartemen itu.

*****

Setengah jam kemudian Mahesa kembali dengan dua bungkus nasi liwet yang ia bawa dengan sebuah tas kain. Ibunya – yang tampak sudah mandi dan berganti pakaian dengan daster – menyiapkan dua buah piring dan sendok. Mahesa meletakkan sebungkus nasi liwet itu di setiap piring lalu ibunya menyalakan sebuah televisi layar datar yang terpasang di dinding.

Mahesa dan ibunya mulai makan di sofa selagi layar televisi menayangkan sejumlah video klip musisi-musisi luar dan dalam negeri. Lalu ibunya bertanya pada Mahesa, “Bagaimana pertandingannya tadi?”

Mahesa berhenti menyuap makanannya lalu terdiam sejenak sebelum menjawab, “Juara tiga.”

“Wah bagus dong.”

“Nggak Bu. Jelek.”

“Lho kenapa? Kalau kamu bisa dapat gelar juara tiga kan berarti kamu kan hebat, kamu ada di posisi lebih atas dibandingkan anak-anak yang lain.”

“Bu, negeri ini cuma melihat  nomor satu. Nomor dua, tiga, empat itu cuma ‘penggembira’. Secara teori kalau nanti Olimpiade 2116 diadakan, aku pasti akan dipanggil Pelatnas, tapi para prakteknya cabang panahan hanya akan ambil satu orang, dan itu si juara satunya!”

“Hes,” ibu Mahesa meletakkan sendoknya lalu membelai kepala Mahesa, “Kamu itu harus belajar bersyukur dan ‘nrimo’. Kalau kau ingin pergi ke luar negeri, hal itu tidak harus terjadi sekarang kan? Bisa saja itu kamu lakukan setelah kamu kerja atau punya istri. Sudahlah Hes, kalau itu memang rejekimu, maka kamu pasti akan mendapatkannya.”

Mahesa hanya diam, merenungi perkataan ibunya, dan sesaat kemudian ia kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Ibunya pun tak berkata apa-apa lagi. Ia sudah paham tingkah putra semata wayangnya itu saat sedang kecewa. Tapi di dalam hatinya ia bangga benar melihat putranya telah tumbuh menjadi seorang pemuda berkemauan keras walau kadang-kadang terlalu mudah untuk sakit hati dan merasa kecewa ketika ia gagal.

“Hes, besok kita ke Pasar Malam Ngarsopuro yuk,” ajak ibunya.

“Ibu bukannya harus koreksi tugas murid-murid Ibu?”

“Cuma sedikit kok yang harus Ibu koreksi. Gimana Hes? Mau? Sekalian merayakan kemenanganmu itu. Maaf Ibu tidak bisa datang.”

“Ah Bu, tidak apa-apa. Ibu kan tidak bisa izin dari kewajiban mengajar, lagipula penontonnya penuh sesak tadi, jadi Ibu pasti merasa tidak nyaman.”

“Penuh sesak?” dahi wanita itu mengernyit, “Ini kan bukan pertandingan sepak bola atau basket?”

“Iya, tapi ada putra Wapres yang ikut serta.”

“Wapres Murdiono?” wajah wanita itu tiba-tiba tampak tegang.

“Iya,” jawab Mahesa cuek, tidak menyadari perubahan ekspresi wajah ibunya.

“Hes, kamu mau nambah?” wanita itu menyodorkan bungkusan nasi liwetnya yang masih tersisa separuh porsi.

“Ibu kok makannya sedikit?”

“Perut Ibu sakit nih, kamu mau habiskan ini nggak?”

“Mau,” Mahesa menuang sisa nasi ibunya ke piringnya sendiri lalu melanjutkan makan sementara ibunya beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi wanita itu menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi. Kaki dan tangannya gemetaran, keringat dingin mengalir dari punggung dan lehernya, sementara matanya nyalang – memancarkan sorot ketakutan. Tapi sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, berkali-kali sebelum menatap kaca cermin dan mengucapkan kalimat-kalimat sugestif.

“Dia tidak tahu siapa Mahesa. Mahesa aman. Mahesa aman. Mahesa aman,” begitu kalimat-kalimat yang terucap dari bibir wanita itu. Setelah itu ia membasuh mukanya dengan air wastafel.

Begitu wanita itu keluar dari kamar mandi, didapatinya putra tunggalnya tengah mencuci piring dan mengeringkannya. Kemudian pemuda itu berjalan kembali ke ruang tengah dan menikmati siaran televisi.

“Hes, ibu tidur duluan ya?”

“Iya Bu,” jawab Mahesa yang masih terpaku pada layar televisi.

Wanita itu menuju wastafel dapur, menyikat giginya, lalu berjalan ke sebuah kamar sempit yang ada di sisi barat ruangan itu dan merebahkan diri pada sebuah kasur yang ada di dalamnya.

Mahesa sendiri masih menonton siaran televisi itu hingga waktu beranjak menuju pukul 10 malam. Secara tiba-tiba Mahesa merasakan seluruh tubuhnya lemas dan nyaris tak dapat bergerak. Rasa kantuk hebat yang semula tidak ada tiba-tiba menyerangnya. Perlu usaha keras baginya untuk menekan tombol ‘matikan televisi’ pada panel kontrol holografik yang ada di meja. Setelah itu ia lakukan, pemuda itu jatuh tertidur di sofa.

*****

Mahesa merasakan dirinya dibawa ke sebuah masa lalu yang jauh sekali dari peradaban yang ia kenal. Ia tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah medan perang yang berkecamuk hebat. Di tangannya tergenggam sebuah busur panah, tampak terbuat dari sejenis logam berwarna tembaga namun elastis bagaikan busur grafit karbon yang biasa ia gunakan dalam lomba-lomba panahan. Di tangan kirinya tergenggam keris berbilah lurus namun dihiasi aneka pamor – ornamen ornamen khas pada keris – yang diwarnai dengan suatu bahan yang tidak ia ketahui sehingga bisa ornamen itu tampak berwarna keemasan. Tubuhnya berlapiskan zirah kuning tembaga tanpa lengan, gelang emas berukirkan motif dwarapala menghiasi lengan dan pergelangan tangannya. Dua buah cincin bermata batu mulia terpasang di jari-jari manisnya.

 

Satu sosok berpenampilan seperti raksasa yang biasa ia lihat dalam gambaran cerita-cerita wayang menyerbu ke arahnya, Mahesa secara refleks melemparkan keris di tangannya dan raksasa itu rubuh bersimbah darah, sosok-sosok raksasa lain bermunculan dan dengan garang menyerbu ke arah Mahesa sambil mengayun-ayunkan gada mereka. Mahesa menarik tali busur miliknya dengan tangan kiri dan sebuah anak panah muncul dari ketiadaan. Anak panah itu ia lepaskan dan satu raksasa tumbang. Ia lakukan sekali lagi dan satu lagi raksasa tumbang. Beberapa raksasa balas menyerang dengan anak panah, tapi ia segera sabetkan busur panahnya dan anak-anak panah itu rontok, berjatuhan ke tanah. Ia rentangkan tangan kirinya dan keris yang ia pegang tadi kembali kepadanya. Lalu dengan membabi buta ia maju ke arah para raksasa itu. Satu per satu raksasa itu tumbang oleh tebasan kerisnya, ada sedikit rasa perih dan nyeri yang ia rasakan namun ia tak peduli. Ia terus saja menerjang, menyabet, dan menusuk hingga akhirnya tak ada lagi raksasa yang menyerangnya. Setelah melihat bahwa tak ada lagi musuh yang menyerangnya, dipalingkannya wajahnya ke belakang dan dilihatnya setumpuk mayat raksasa yang bersimbahkan darah, berjajar sepanjang beberapa ratus meter.

“Huh?” Mahesa terbangun tepat saat jam digital di ruang tengahnya menunjukkan pukul 03.00. Keringat membanjiri kaus yang ia kenakan dan rasa kantuknya yang tadi begitu hebat lenyap begitu saja. Mahesa menoleh ke arah beranda dan di sana ia melihat ibunya tengah berdiri di hadapan palinggih, mengucapkan mantram-mantram doa lebih lama dan lebih panjang daripada biasanya. Mahesa melirik ke arah cakrawala, “Masih terlalu pagi untuk sembahyang pagi, kenapa Ibu sampai berdoa lama sekali ya?”

Wanita itu menghabiskan waktu di hadapan palinggih itu selama setengah jam sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam ruangan, wanita itu tampak terkejut ketika Mahesa menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya, “Ibu ada masalah?”

“Ah nggak. Kenapa kamu pikir Ibu punya masalah?”

“Soalnya Ibu berdoa lama sekali dan ini bukan waktu untuk sembahyang pagi juga kan?”

“Hes, Ibu memang punya sedikit masalah. Tapi kamu tak perlu risau. Lho, baju kamu basah kuyup begitu, ganti sana,” wanita itu mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku sekalian mandi saja, Bu,” jawab Mahesa.

“Ya sudah mandi sana, lalu jangan lupa sembahyang pagi dan nanti ke pasar ya?”

“Iya Bu.”

“Oh ya Hes.”

“Ada apa Bu?”

“Kamu masih ingat dengan gelang yang diberikan Om Dharmawangsa padamu dulu?”

“Yang katanya punya ayah itu.”

“Masih kamu simpan?”

“Masih, di kamar.”

“Ibu ingin kamu memakainya, Hes. Ke mana saja kamu pergi.”

“Kenapa Bu?”

“Hes, bisakah kamu kabulkan permohonan Ibu tanpa banyak tanya?”

“Errr,” Mahesa melihat ekspresi memelas dan penuh harapan di wajah ibunya sehingga akhirnya ia mengiyakan perintah ibunya, “Ya Bu.”


[1]Batang dupa / dupa batangan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top