9. Masalah Besar
Dyah Wijaya berkeliling mengecek persiapan pengiriman logistik untuk pasukan Singasari di Melayu dan Dharmasraya. Persiapan itu sangat penting mengingat beberapa waktu yang lalu Raja Kertanagara mempermalukan utusan Kubilai Khan dengan memotong telinganya. Sudah sangat jelas sikap sang raja terhadap Mongol. Singasari tidak akan tunduk pada kekuatan manca.
Selama ini, orang-orang tahu betapa kuat Mongol di bawah Kubilai Khan. Mereka menundukkan Cina dan mendirikan Dinasti Yuan. Mereka juga bergerak ke barat dengan menundukkan Persia dan sebagian Eropa. Selain itu, mereka menguasai Korea, Jepang, dan beberapa Asia Tenggara seperti Vietnam dan Campa.
Pergerakan pasukan Mongol itu tentu meresahkan Kertanagara. Apalagi kondisi dwipantara yang terdiri atas ribuan pulau dan terpisah lautan. Bisa dikatakan, sebagian besar luas wilayah Singasari adalah lautan. Jalur perdagangan saat itu adalah melalui Selat Malaka dan Laut Sulawesi. Sebagai raja, ia harus mengamankan pusat pemerintahan Singasari di Pulau Jawa dan menyejahterakan rakyat. Karena itu mengusai jalur perdagangan adalah mutlak dilakukan. Laut nusantara tidak boleh jatuh ke tangan asing. Konsep ini disebut sebagai mandala dwipantara. Yaitu penguasaan daerah-daerah di sekeliling Jawa demi kemakmuran rakyat dan keamanan negara.
Gudang senjata kerajaan yang berupa bangunan kayu luas terletak di pangkalan militer Singasari di dekat istana raja. Area itu dikelilingi pagar batu bata tinggi agar tidak mudah dipanjat dan dijaga ketat oleh pasukan khusus baik siang maupun malam. Begitu melihat calon penguasa Singasari memasuki gudang, seluruh prajurit dan perwira di tempat itu langsung bersimpuh dan memberi hormat.
Dyah Wijaya berjalan berkeliling di antara tumpukan tombak, tameng, golok, serta panah. Ia tampak menonjol di antara para prajurit karena kulitnya yang kuning langsat dan bersih, serta hidung mancung. Sepasang matanya lebar dan berbulu mata lentik. Tidak ada yang menyangkal bahwa Dyah Wijaya mewarisi rupa rupawan dari Ken Dedes yang termasyur itu. Selain terlahir tampan, ia satu-satunya di ruangan itu yang mengenakan hiasan dada lebar, menjuntai sampai ke ulu hati, serta bertabur permata. Gelang lengan, tangan dan kaki, serta hiasan pinggang pun dibuat khusus oleh pengrajin emas kerajaan sehingga ornamennya sangat detail dan halus. Sebuah tali badan—yang biasa disebut upawita—semakin menambah kewibawaannya. Namun, ada yang berbeda dari aura Dyah Wijaya kali ini. Air muka menantu Kertanagara itu terlihat keruh.
Kepala gudang, Nambi, dan Gajah Pagon mengiringi sambil menjelaskan kondisi persenjataan mereka. Dyah Wijaya mengamati dengan saksama senjata-senjata itu. Kilatan kemarahan sesekali memancar dari wajahnya. Walaupun tidak tanduknya masih tenang dan santun, semua orang yang berada di tempat itu merasakan awan badai datang melanda.
Dyah Wijaya mendesah dan berhenti di deretan meriam cetbang dari perunggu yang baru datang dari daerah Pamotan dan Wengker. Jumlahnya tidak sesuai perkiraan. Bahkan bukan cuma meriam, namun jumlah mata tombak dan mata panah pun tidak sesuai harapan. Hal itu membuatnya kecewa.
"Mengapa para pengrajin itu tidak bisa memenuhi jumlah pesanan kita? Padahal kita sudah memberi harga yang bagus dan waktu yang cukup," keluh Dyah Wijaya. Matanya yang sehari-hari menyorot teduh, kali ini berkilat tajam. Sangat jelas perkara pasokan senjata ini hal yang mahapenting.
"Ampun, Paduka," sahut Nambi. "Dari laporan pegawai yang hamba kirim untuk mengecek, mereka kekurangan bahan baku."
Tangan Dyah Wijaya terkepal. "Mana mungkin? Bukankah kita sudah membeli bijih timah, tembaga, dan besi sangat banyak dan mengirimkannya ke mereka?"
"Menurut penelusuran pegawai yang hamba kirim, bijih besi yang datang itu jelek. Hanya sebagian saja dari kiriman itu yang bisa dipakai," sahut Nambi.
Dyah Wijaya seorang yang tenang, namun bila mulai marah, akan tampak wujud aslinya yang garang bak singa. "Ini masalah besar, Nambi! Segera usut sampai tuntas!"
"Siap laksanakan, Paduka," sahut Nambi.
Dyah Wijaya kemudian mengajak Nambi dan Gajah Pagon kembali ke kediamannya untuk membahas strategi berikutnya. Tentara di pangkalan militer armada laut maupun sungai sudah diperiksa oleh Lembu Sora dan Rangga Lawe. Kondisi mereka sangat bagus, siap menjalankan pertempuran di atas air kapan pun dibutuhkan. Seorang perwira tinggi yang sangat terampil di lautan bernama Aria Adikara menjadi andalan Dyah Wijaya untuk tugas itu. Negara harus siaga untuk menghadapi serbuan pasukan Mongol karena Kubilai Khan pasti tidak akan tinggal diam saat mengetahui utusannya dilecehkan. Mereka tengah menyiapkan ratusan ribu prajurit laut dan ratusan jung untuk membentengi laut Jawa.
"Nambi, Pagon. Aku merasa ada yang janggal dalam masalah ini," bisik Dyah Wijaya saat mereka telah duduk di pendopo depan. "Ada orang yang menghalangi pekerjaan kita. Menurut kalian, siapa yang berani mengganggu urusan pasukan Singasari?"
Nambi segera mendekat ke kaki balai-balai tempat Dyah Wijaya duduk. "Ampun, Paduka. Apakah Paduka sepemikiran dengan hamba bahwa ada telik sandi musuh di sekeliling kita?"
"Aku sangat yakin ada pengkhianat. Tapi, untuk siapa orang itu bekerja? Siapa musuh Singasari saat ini selain Mongol?"
Nambi membuka mulut dengan ragu. "Bila mendengar desas-desus di warung-warung makan pasar atau pelabuhan, orang-orang menyebut tentang kebangkitan Wangsa Isyana, Paduka."
"Tidak mungkin. Wangsa Isyana sudah tidak bergigi sejak Raja Kertajaya dikalahkan eyang buyut, Paduka Ranggah Rajasa[1]. Bisa dikatakan mereka sudah menjadi bawahan Singasari. Penguasa yang daerah yang masih berdarah Isyana hanya Paman Jayakatwang, besan Paduka Raja."
"Itu benar sekali, Paduka," jawab Nambi. "Tidak ada alasan untuk mencemaskan sisa-sisa Wangsa Isyana. Paduka Raja Kediri sangat menghormati Paduka Raja Kertanagara."
Dyah Wijaya mengangguk, lalu berpaling ke Gajah Pagon. "Apa hasil penelusuran yang aku minta tempo hari, Pagon? Apakah hasilnya bisa mengarahkan untuk menemukan dalang di balik semua ini?"
"Sebelum hamba menjawab, bolehkah hamba mengetahui ke mana Paduka mengirim Banyak Seta?" tanya Gajah Pagon dengan hati-hati. Ia tahu Banyak Seta adalah orang kesayangan Dyah Wijaya, bahkan mereka dilatih bersama oleh Mpu Nadajna.
Dyah Wijaya menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan sensitif itu. "Dia mencurigai Paman Jayakatwang akan melakukan makar pada Yang Mulia Raja. Masuk akalkah itu?" ucap Wijaya. Untuk sesaat, baik Nambi maupun Gajah Pagon tidak berani membuka mulut.
"Paman Jayakatwang dalam pertemuan dengan Paduka Raja dua bulan yang lalu sudah berikrar akan membela Singasari bila negara ini diserang Mongol. Tapi Banyak Seta justru memberi laporan yang menunjukkan sebaliknya," lanjut Wijaya. "Karena itu, hari ini aku utus dia kembali ke wilayah Kediri dan Matahun untuk mengumpulkan bukti nyata."
Nambi dan Gajah Pagon saling pandang sejenak, kemudian menatap junjungannya dengan wajah tegang. Wijaya segera merasa ada yang tidak beres.
"Ada apa? Katakan sejujurnya!"
"Ampun, Paduka," ucap Gajah Pagon. "Hamba telah mengirim telik sandi untuk menyelidiki Banyak Seta dan hasil yang hamba dapat adalah ...."
Gajah Pagon mendekatkan mulut ke wajah Wijaya yang kini menunduk. Wajah sang pangeran yang telah keruh seketika menjadi tegang.
"Benarkah? Untuk apa dia melakukan itu?" seru Wijaya. Wajahnya memerah karena murka.
Gajah Pagon memberi penjelasan lagi dan Wijaya mendesah beberapa kali karena dadanya mendadak sesak.
"Bagaimana mungkin? Setahuku, Seta tidak pernah menginginkan kekuasaan," gumam Wijaya karena seserpih keraguan sempat menyelip di dalam hati. "Kalaupun ia memiliki keinginan kuat, pasti hanya sebatas menjadi panglima armada perang laut. Seta selalu berkata bahwa dirinya anak lautan."
"Paduka, serigala yang paling keji adalah serigala yang menyamar sebagai domba," sahut Gajah Pagon. "Bila Paduka berkenan, hamba akan memanggil telik sandi yang mendapatkan bukti itu ke hadapan Paduka."
"Baiklah, panggil dia kemari," titah Wijaya. Gajah Pagon lalu keluar untuk memberi perintah kepada anak buahnya agar membawa orang yang dimaksud.
_______________
[1] Ranggah Rajasa adalah nama Ken Arok setelah menjadi raja dan mendirikan Wangsa Rajasa. Setelah membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok menggulingkan raja terakhir Kerajaan Kediri, Kertajaya, yang berwangsa Isyana.
//////////
Author's Note:
Selain catatan kaki dan author's note, sekali lagi Fura ingatkan bahwa cerita ini adalah fiksi semata walau berlatar peristiwa sejarah dan menggunakan karakter dari tokoh nyata masa lalu.
Fura belum menemukan bukti cetbang sudah digunakan pada zaman Singasari, tapi senjata itu sudah lumrah dipakai selama masa pemerintahan Dinasti Yuan dan Kubilai Khan. Menurut Fura, sih, Singasari kemungkinan besar juga update teknologi meriam ini karena pada masa itu hubungan perdagangan Singasari sudah mencapai India dan Tiongkok.
Djadoelers, berikan pendapatmu, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top