67. Hujung Galuh

Kelulus yang mengantar Banyak Seta, Sarba, dan Kambang berlayar dari Sumenep di ujung timur Pulau Madura menuju barat. Setelah satu hari satu malam mengarungi laut di lepas pantai pulau kecil itu, mereka memasuki Selat Madura. Awak kapal memasang layar untuk menangkap angin timur. Layar yang terbuat dari tikar yang kuat itu kini mengembang anggun, disangga tiang besar di tengah geladak. Perjalanan pulang pun menjadi lebih singkat. Pada pagi hari kedua, kelulus telah mendekati Hujung Galuh. Nakhoda kapal memerintahkan anak buahnya menggulung sebagian layar untuk memperlambat laju kapal agar lebih mudah dikendalikan saat berlabuh nanti.

Banyak Seta, Sarba, Kambang, dan kepala pasukan kelulus berdiri di haluan, memandangi perairan di sekitar tempat itu. Bagaimanapun juga, situasi perang mengharuskan mereka tetap waspada sepanjang waktu. Ada yang terasa berbeda di jalur pelayaran yang mereka arungi. Kepala pasukan kelulus yang pertama kali menyadari perubahan itu.

"Tuan, mengapa kapal yang berlayar di sini jauh lebih sedikit dari biasanya?"

Jalur pelayaran ini biasanya ramai dilalui kapal-kapal dagang yang datang dari ujung timur Jawadwipa seperti Pakembangan dan Blambangan. Tidak hanya itu, musim angin timur juga membawa kapal-kapal yang penuh bermuatan rempah-rempah dan hasil bumi dari pulau-pulau seperti Bali, Bantayan, Salaya, Gurun, Hutan Kadali, dan Seram (lihat peta di Bab 5). Mereka sudah ditunggu saudagar-saudagar dari manca yang akan mengangkut barang-barang itu ke Tiongkok dan Jambudwipa sebelum musim angin ini berakhir. Sebab bila terlambat dan angin barat keburu bertiup, mereka harus menunggu enam bulan sebelum bisa berlayar ke barat dan utara lagi. Jadi seharusnya, wilayah ini tidak selengang sekarang. [1]

"Kemungkinan kabar tentang peperangan di Singasari sudah sampai ke para pedagang dari timur," terka Banyak Seta.

"Atau mereka tertahan di pelabuhan Hujung Galuh karena tidak bisa membongkar muatan," imbuh sang kepala pasukan.

"Bisa jadi."

Mereka terdiam sambil terus mengawasi pergerakan kelulus yang semakin mendekati Hujung Galuh. Ternyata benar dugaan kepala pasukan itu. Semakin dekat ke pelabuhan, semakin terlihat jelas keadaan di sekitar deretan kapal kecil dan jung yang berjejer di sepanjang pantai. Seharusnya, mereka membongkar muatan ke kapal yang lebih kecil agar barang dagangan itu bisa di bawa ke pedalaman Sungai Brantas, dan juga sebaliknya, menaikkan barang dagangan dari pedalaman ke kapal. Akan tetapi, kesibukan bongkar muat itu tampaknya tidak terjadi.

"Lihat, Tuan, kapal-kapal itu tertahan di pelabuhan. Mereka tidak berani berlayar ke hulu," keluh Sarba, mengomentari perubahan itu dengan hati sedih.

"Pedagang dari pedalaman tidak ada yang berani turun." Kambang menunjuk muara Sungai Brantas yang jauh lebih lengang. Padahal, pada kondisi biasa, muara sungai terbesar di Jawa sisi timur itu selalu dipadati kapal-kapal kecil yang lalu lalang. Jung-jung besar itu sebagian terlihat bergerak ke utara. Kemungkinan besar, mereka mengalihkan rute pelayaran ke Kambang Putih dan Lasem di pesisir utara agar bisa menjual barang dagangannya dan mendapatkan hasil bumi seperti beras dari pedalaman.

"Ah, kasihan pedagang-pedagang itu ...." gumam Sarba.

Banyak Seta tidak berkomentar. Hatinya sepenuhnya setuju dengan kedua abdi itu. Perang selalu menyisakan kekacauan yang entah butuh waktu berapa lama agar tertata kembali.

"Sampai sekarang, saya masih tidak mengerti mengapa Paduka Jayakatwang harus menyerang sepupu, ipar, sekaligus besannya sendiri," lanjut Kambang.

"Keserakahan tidak mengenal hubungan darah," sahut Banyak Seta.

"Menurut Tuan apakah Paduka Jayakatwang bisa menggantikan mendiang Baginda Kertanagara menjadi raja besar di dwipantara?" tanya Kambang lagi.

Pertanyaan yang sangat menggelitik. Banyak Seta terpaksa merenung sejenak sebelum akhirnya menggeleng kecil dan menjawab lirih, "Raja yang hanya memikirkan kemenangan golongannya dengan menggunakan segala cara, hampir pasti tidak akan mau bersusah payah untuk merangkul rakyat banyak. Mungkin dia akan membasmi semua orang yang berseberangan dengannya."

Sarba dan Kambang menoleh dan memandang tuannya dengan sorot mata horor. "Apakah Kediri akan menyerang semua daerah yang setia kepada Baginda Kertanegara? Apakah pertumpahan darah tempo hari belum cukup?"

"Semoga tidak. Itulah mengapa Paduka Wijaya akan menyatakan takluk kepada Kediri agar peperangan ini tidak meluas."

"Saya tidak yakin!" Sarba membantah. "Paduka Jayakatwang dan Paduka Wijaya bisa saja berdamai, tapi orang-orang di tingkat bawah mungkin tidak menuruti mereka dengan patuh."

Percakapan serius itu terhenti saat seorang awak kelulus berteriak, "Asaaap! Tuan, ada kebakaran di pelabuhan!"

Sontak, empat orang yang sedang berdiskusi di geladak atas menoleh ke depan. Di kejauhan, tampak asap hitam tebal membubung ke udara. Sebuah jung terbakar bagian atas dan layarnya!

Kepala pasukan segera memerintahkan nakhoda kapal untuk menurunkan layar. Kapal pun melaju dengan kecepatan penuh. Semakin mendekat ke pelabuhan, semakin jelas apa yang terjadi.

"Wah, ada kerusuhan di pelabuhan!" seru Sarba.

Sarba tidak salah lihat. Telah meletus perkelahian massal di area pelabuhan, yaitu di dekat tempat jung yang terbakar. Pertarungan sengit itu terjadi antara dua kelompok. Awak kapal dan penduduk setempat berusaha melawan serangan gerombolan bersenjata.

Perkelahian memang bukan hal aneh di pelabuhan karena orang dari berbagai wilayah berdatangan, membawa karakter masing-masing. Akan tetapi, kerusuhan seperti itu biasanya hanya terjadi antara orang per orang, bukan kekacauan besar yang sampai mengakibatkan sebuah jung terbakar.

"Lihat!" seru Kambang. "Ada orang-orang berpakaian hitam bertempur dengan penduduk dan awak kapal!"

"Orang-orang berpakaian hitam? Bukankah itu seragam pasukan bayaran Kediri?" ucap Sarba.

"Ya," sahut Banyak Seta tanpa melepas pandangan dari pusat kerusuhan.

"Ya, Dewata! Apakah Kediri juga menyerang Hujung Galuh?" keluh Kambang.

"Mereka pasti akan menjarah kapal dagang!" geram kepala pasukan kelulus. Ia baru ingat Arya Gala dan pasukannya masih bertahan di Sumenep untuk melindungi Dyah Wijaya. "Celaka! Pangkalan pasukan Hujung Galuh kosong!"

Lelaki itu kemudian berbalik dan meneriakkan perintah, "Pasukaaaan! Siapkan senjata kaliaaan!"

Perintah itu segera dilaksanakan. Prajurit kelulus dengan sigap berderet di atas geladak, lengkap dengan busur, anak panah, serta tombak. Mereka juga menyiapkan meriam. Siapa tahu pertempuran itu lebih besar dari yang terlihat sekarang.

Dengan layar terkembang penuh, kelulus meluncur cepat menuju pelabuhan. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada cukup dekat dengan pusat kerusuhan. Nakhoda segera memerintahkan awak kapal menggulung layar serta mendayung sekuat tenaga menuju pantai.

Sekarang terlihat jelas siapa saja yang terlibat dalam pertempuran itu. Dari bendera dan sosok awak kapalnya yang berkulit hitam dan berambut keriting, jung itu kemungkinan berasal dari Gurun. Geladaknya terbakar hebat. Puluhan awak kapal berusaha mempertahankan kapal mereka dari serbuan orang-orang berseragam hitam-hitam. Banyak Seta memerintahkan anak buahnya mengamati benar-benar para penyerang itu.

"Tuan, mereka memang orang-orang bayaran Kediri. Pakaian dan baju zirahnya sama persis dengan pasukan yang menyerang kita di Kembangsri," lapor Sarba.

"Mereka juga membawa umbul-umbul merah putih. Lihat!" Kambang menunjuk segerombol orang berkuda di pantai yang memegang umbul-umbul Kediri.

Banyak Seta juga melihatnya. "Kepala Pasukan, perintahkan kelulus merapat ke jung, lalu serang perusuh Kediri itu!"

Kepala pasukan meneriakkan perintah lagi. Kelulus segera mendekati jung yang terbakar. "Panaaaah!" teriaknya.

Pemanah-pemanah jitu membidik pasukan hitam itu satu per satu. Mereka harus berhati-hati agar tidak mengenai awak kapal. Teriakan kematian musuh disambut sorak-sorai awak kapal. Bantuan itu mengembalikan semangat juang mereka. Segera saja, serangan balasan menimpa para perusuh yang tersisa di geladak itu.

Pimpinan prajurit bayaran Kediri yang berada di pantai dan melihat teman-temannya terbantai di atas jung segera mengerahkan pasukan yang masih berada di darat untuk menyerbu ke atas. Prajurit yang berjumlah sekitar tiga puluh orang berlari menuju batas air. Dua puluh lagi, termasuk pasukan berkuda, tinggal di tempat, menjaga lokasi.

Melihat perkembangan itu, kepala pasukan kelulus memerintahkan anak buahnya mengarahkan cetbang ke pasukan musuh yang berada di pantai. Namun, buru-buru Banyak Seta mencegahnya dengan menepuk bahu sang kepala pasukan.

"Sepertinya tidak perlu." Banyak Seta menunjuk perkembangan baru di garis pantai. Ratusan orang bersenjata tombak, golok, dan keris berlarian menyerbu dari segala sisi pelabuhan. Sebagian turun dari bukit di dekat tempat itu. Sebagian lagi datang dengan perahu-perahu kecil yang memang banyak terdapat di sekitar pelabuhan. Bahkan, awak kapal dari jung-jung lain ada yang langsung terjun ke air, lalu berenang ke pantai. Teriakan perang pun membahana dari segala penjuru, menggetarkan dinding-dinding kapal yang tengah berlabuh.

"Oh, itu penduduk Hujung Galuh dan orang-orang kapal!" ucap kepala pasukan. Wajah tegangnya sontak berubah semringah. "Bagus! Lawan, ayo lawaaan!"

Keadaan kini berbalik. Lima puluh prajurit Kediri yang tersisa diserbu beramai-ramai oleh sekitar dua ratus penduduk yang bergabung bersama awak kapal. Sesakti apa pun jawara musuh, tetap saja kewalahan menghadang serbuan rakyat jelata yang telanjur marah. Prajurit yang berpakaian hitam-hitam itu dengan cepat terdesak. Banyak yang tumbang terkena tombak atau golok. Yang masih hidup, berusaha diri melarikan dengan memacu kuda ke arah muara Sungai Brantas. Sepertinya, mereka akan kabur menggunakan perahu. Akan tetapi, usaha itu sia-sia karena penduduk bersenjata tombak telah menunggu mereka di bibir sungai. Anggota gerombolan yang lari ke hutan pun diburu beramai-ramai.

Orang-orang yang menonton perkelahian dari atas geladak kelulus bersorak-sorai memberi dukungan untuk saudara-saudara mereka yang tengah berjuang.

"Hajar teruuuuuus!" seru kepala pasukan. Girangnya bukan main. "Apa kalian kira rakyat biasa tidak punya kekuatan, ha? Kalau penduduk sudah bersatu, kalian bisa apa, hooooi!"

Sarba dan Kambang ikut meloncat-loncat dan mengangkat tinju ke udara.

"Kami rakyat Singasari tidak bodoh, hooooi!"

"Jangan coba-coba merusuh di rumah kami, hooooooi!"

Banyak Seta tidak ikut bersorak dan hanya diam memandangi tragedi di pantai itu. Baginya, orang-orang kecil, entah pihak Kediri atau Singasari, semuanya adalah korban keserakahan dan ketidakbijaksanaan para pemimpin negeri. Andai para petinggi itu bisa memahami Sandyasa Lebu, pesan terakhir Raja Kertanagara, mungkin pralaya Singasari tidak perlu terjadi. Kekuasaan dan kejayaan sejatinya adalah ujian hidup yang paling berat karena dengan mudah membuat seseorang meninggalkan keadaan suwung dan menjadi wayang yang memberontak terhadap Sang Dalang.

Diam-diam, Banyak Seta teringat kebersamaannya dengan Gayatri, terutama saat mereka membuka Sandaya Lebu. Ia tahu gadis itu belum memahaminya, namun ia merasa tidak berhak untuk memberi tahu isi pesan keramat itu. Mengingat Kertanagara wanti-wanti memerintahkan untuk menyelamatkan Dyah Wijaya, ia yakin pesan itu ditujukan bagi sang pangeran. Harapannya kini tertumpu pada kedua junjungan itu. Semoga mereka cukup bijaksana saat memegang tampuk kekuasaan nanti.

Laju kelulus akhirnya berhenti di pantai Hujung Galuh. Saat mereka turun ke darat, kerusuhan itu telah berakhir. Penduduk dan awak kapal sedang meneriakkan kemenangan. Banyak Seta dan pasukan kelulus segera memeriksa keadaan pantai, lalu jung yang diserang perusuh. Para penjarah Kediri sudah berhasil dihalau, tersisa jenazah beberapa orang yang sedang diangkut ke perahu untuk dibuang ke laut. Orang-orang yang masih kesal berkerumun di dekat jung yang terbakar, membahas kejadian mencekam hari itu. Sebagian lagi mengobati yang terluka dan bergotong-royong memadamkan api. Kapal itu memang berasal dari Gurun dan mengangkut cengkih, pala, serta kemiri. Geladak sisi depannya hangus, namun badan kapal masih bisa diselamatkan.

"Tuan Seta!" Seorang lelaki paruh baya menyeruak dari kerumunan, lalu berlari menyongsong Banyak Seta yang baru saja turun dari jung yang terbakar. Banyak Seta mengenalnya sebagai Kepala Desa Hujung Galuh.

"Paman, apa yang terjadi?"

"Orang-orang Kediri tiba-tiba datang, lalu meminta upeti dari semua kapal dan semua pedagang di pelabuhan dan pasar. Mereka kasar dan memaksa mengambil banyak sekali. Tentu saja, para pedagang keberatan. Mereka ini siapa? Berani-beraninya meminta upeti pada kami!" sungut sang kepala desa.

"Paman yang mengajak penduduk dan awak kapal melawan?"

"Tentu saja! Tadinya mereka takut. Tapi, saya dengan tegas mengatakan bahwa kita tidak boleh mengalah pada perusuh!" ucap sang kepala desa dengan membusungkan dada. "Tadinya, cuma tiga puluh orang yang bergerak. Lama-lama, semua orang di sini turun tangan bahu-membahu dan melawan bersama-sama. Hasilnya seperti yang Tuan lihat, kami menang!"

Senyum Banyak Seta mau tak mau terkembang karena kagum pada keberanian kepala desa dalam menggalang kekuatan penduduk dan awak kapal. Ya, mereka tidak boleh tunduk pada perusuh!

"Tindakan Paman sangat tepat!" pujinya.

"Setelah ini, tolong bantu kami untuk membuat pertahanan di pelabuhan, Tuan," pinta kepala desa. "Maklumlah, kami hanya orang kampung yang tidak tahu ilmu dan siasat bertempur."

Banyak Seta tentu saja tidak menolak. Rakyat yang cerdas dan setia seperti ini akan menjadi modal bagi Dyah Wijaya untuk membangun negara yang kokoh. "Saya pasti membantu sekuat tenaga, Paman!"

"Nanti malam, saya akan mengumpulkan warga desa dan perwakilan awak kapal untuk membahas pengamanan pelabuhan. Bisakah Tuan hadir untuk membimbing kami?"

Banyak Seta mengangguk. "Saya pasti datang!"

Kepala desa kemudian mohon diri untuk mengatur orang-orangnya. Banyak Seta mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan betapa orang-orang sederhana itu berhasil mengatasi segala perbedaan suku, bahasa, dan budaya, lalu bahu-membahu menghalau perusuh yang merusak tatanan hidup mereka. Dengan semangat seperti ini, ia yakin Singasari akan bangkit dengan cepat.

"Tuaaaan!" Wingsil menyeruak keluar dari kerumunan orang yang bergerombol di dekat tumpukan jenazah perusuh dan langsung berlari menjumpai Banyak Seta. Tangannya menggenggam golok dan badannya penuh peluh dan debu setelah ikut bertempur bersama penduduk. Matanya membasah begitu melihat sang tuan selamat dari maut.

Saat mencari kayu bakar di bukit kecil yang terletak di belakang rumah, Wingsil melihat kemunculan kelulus di cakrawala. Buru-buru pemuda itu berlari ke pelabuhan dan menunggu kapal sang tuan merapat. Apa daya, kerusuhan pecah. Sebagai bagian dari penduduk Hujung Galuh, ia ikut terjun dalam pertempuran tanpa diminta.

"Wingsil!" sahut Banyak Seta dengan senyum terkembang. Ditepuknya bahu Wingsil dengan hangat.

"Saya sampai tidak bisa tidur berhari-hari. Orang-orang berkata pasukan Dyah Wijaya tersisa dua belas orang, Tuan."

"Dewata belum berkenan memanggilku pulang, Wingsil. Kamu sendirian kemari?"

"Tidak, Tuan. Saya bersama Wuru." Wingsil memutar tubuh, menunjuk pemuda lain yang tengah bergegas mendatangi mereka dengan tombak yang ujungnya berlumur darah. Wuru adalah anak buah Piyung yang dulu ditugaskan menemani Wingsil mencari bantuan ke Hujung Galuh.

"Tuan selamat!" Wuru menyapa Banyak Seta, juga dengan mata basah.

Sementara itu, Sarba dan Kambang pun bergabung bersama mereka setelah membantu orang-orang yang terluka.

"Kakang Sarba, Kakang Kambang, kalian juga selamat!" sapa Wingsil. Pemuda itu kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar, seperti mencari seseorang. Setelah celingukan sejenak, akhirnya ia berpaling ke tuannya sambil memberikan tatapan penuh tanya. Begitu pula Wuru.

Sarba dan Kambang menepuk-nepuk bahu kedua pemuda yang kebingungan itu. "Yang kalian cari tidak ada."

Mata Wingsil dan Wuru kontan membelalak. "Paman Weling, Kakang Piyung, Pulung, Subala, Putri Runi ...?" tanya Wingsil.

Sarba dan Kambang hanya bisa menggeleng kecil. Melihat itu, tangis Wingsil dan Wuru kontan pecah. Wingsil yang sangat dekat dengan Weling, Pulung, dan Runi sampai berjongkok dan meraung memanggil-manggil nama mereka. Betapa kejam peperangan. Dari lima belas orang, hanya tersisa lima saja.

Banyak Seta menepuk-nepuk punggung Wingsil agar berhenti menangis. Abdi setia itu segera sadar dan mengambil alih barang bawaan Banyak Seta yang berupa bungkusan kain besar. Maklumlah, sebelum berangkat dari Sumenep, Gayatri datang mengantar semua barang bawaan itu. Katanya bekal untuk di jalan. Setelah dibuka, ternyata berisi uang, beberapa lembar kain batik dan selimut, serta rupa-rupa makanan yang diawetkan dan jamu.

"Bagaimana keadaan rumah?" tanya Banyak Seta saat mereka berjalan meninggalkan pelabuhan, menuju rumah Wiskira di dekat pangkalan militer. Ia khawatir rumahnya dihancurkan setelah Wiskira ditangkap karena tuduhan menyelundupkan senjata.

"Rumah Tuan baik-baik saja. Waktu saya datang, cuma tinggal Bibi Dhawuk, Tuan. Semua pekerja jung dipulangkan begitu jung pesanan terakhir selesai dibuat," lapor Wingsil. "Ada atap yang bocor dan dinding yang berlubang, tapi sudah saya bereskan semua, sudah bersih, dan siap ditinggali."

Banyak Seta lega. Pasukan Dyah Wijaya tidak sekeji orang-orang Kediri. "Persediaan beras masih ada?"

"Beras masih satu tempayan, Tuan. Ikan asin dan ikan asap pun ada."

"Janganlah makan ikan lagi. Ikan-ikan itu pasti sudah makan daging mayat," ucap Sarba.

"Oh, ikan asin dan ikan asapnya buatan sebelum pralaya, dijamin aman."

"Ya, terserah kalau kamu tetap mau makan ikan. Tapi, kami mau ini!" Sarba mengangkat bungkusan pemberian Gayatri. "Dendeng kambing dan rusa yang empuk!"

Wingsil hanya mengangguk kecil. Ia masih belum selesai bersedih karena kehilangan Weling dan teman-teman yang lain. "Saya akan minta Bibi Dhawuk memasak sayur."

"Kamu punya sayur apa?" tanya Kambang, sengaja mengajak bicara tentang hal yang remeh-temeh agar perhatian Wingsil teralihkan.

"Ada kangkung di samping rumah, Kakang," sahut Wingsil, datar.

"Wah, aku suka oseng kangkung. Jangan lupa diberi teri," pesan Kambang yang air liurnya membuncah ketika mendengar nama sayur itu disebut.

Wingsil kembali mengangguk kecil. Tahu gelagat Wingsil yang masih berkabung, Sarba segera menyikut pinggang adiknya agar tidak banyak mengoceh.

"Dasar tidak punya perasaan! Orang sedang berduka, kamu malah memikirkan makanan!" bisik Wingsil sambil mendelik, memamerkan kegarangan mata kala kirtimukhanya.

Kambang tidak terima. "Kakang belum tahu rupanya. Salah satu obat manjur buat kedukaan adalah makanan yang enak!"

Wingsil tiba-tiba menoleh pada kedua kakak beradik itu. "Kakang sudah ditunggu Nik dan Nok di rumah."

"Nik?"

"Nok?"

Sarba dan Kambang seperti tersambar petir. Sungguh sebuah anugerah tak terkira bisa menemukan keduanya baik-baik saja. Melihat ibukota menjadi lautan api, mereka sebenarnya sudah mengikhlaskan gadis-gadis itu. Nasib perempuan muda di negeri yang kalah perang tidak pernah baik. Kalau tidak meninggal, kemungkinan besar mereka ditangkap musuh dan dijadikan budak.

"Benar, Kakang. Nik, Nok, dan Gendhuk berhasil selamat dari pralaya dan mengungsi ke Hujung Galuh. Ketiganya saya tampung di rumah Tuan Seta."

"Ooooh, Nik Nok sayangku!" seru Kambang tanpa malu.

"Heh, Nik Nok katamu? Punyamu cuma Nok!" tukas Sarba.

"Tidak. Kita sudah membuat kesepakatan di atas perahu kalau Nik juga punyaku. Kakang berjanji memberikan keduanya."

Kesal diakali sang adik, Sarba berkacak pinggang dan mendelik. "Kamu mau keduanya? Serakah!"

"Aku tidak serakah karena Kakang memberikannya dengan ikhlas. Termasuk sawah di Waru Gapit."

Sarba kontan mengamuk. Dijitaknya kepala sang adik dengan membabi buta. "Heeeeh, adik kurang ajar! Adik durhaka!"

___________________

[1] Angin timur yang dimaksud di sini adalah angin monsun timur atau muson timur yang bertiup dari daratan Australia menuju kepulauan nusantara, lalu ke utara menuju China, dan ke barat, melintasi Samudra Hindia hingga Jambudwipa (India). Kebalikannya adalah angin muson barat. Para pelaut memanfaatkan kedua musim angin ini untuk melayari Samudra Hindia hingga ke Laut China Selatan.


☆-Bersambung-☆

Ternyata end chapter-nya nggak cukup 1 bab. Sabar, ya, para Djadoelers. Fura masih berjuang nulis satu bab lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top