6. Ruang Rahasia

Diiringi Cemplon dan Candil, Gayatri melangkah menyusuri jalan di dalam kompleks istana Singasari. Seorang punggawa yang diutus dari istana raja, menjemput dan mengiringi ketiga orang itu. Jalan di dalam istana telah diperkeras menggunakan batu kali. Setiap pagi dan sore, ada pekerja yang menyapu jalan agar bebas dari dedaunan dan pasir. Kaki para bangsawan dan petinggi kerajaan tidak boleh kotor oleh sampah jalanan. Apalagi para putri yang telapak kakinya wajib dijaga agar tetap halus. Orang Singasari tidak seperti orang manca dari Cina atau Arab yang mengenakan alas kaki. Penduduk negeri ini meyakini seseorang lebih mudah bergerak bila langsung menapak di bumi. Bahkan Raja Kertanagara pun bertelanjang kaki walaupun bagian tubuh lain mengenakan perhiasan emas bertabur permata.

Gayatri berjalan cepat. Sepasang kaki jenjangnya segesit kaki kijang, menderap dengan cepat. Dua orang emban yang mengiringinya sudah tahu perangai sang momongan.

"Duh, Paduka Putri, jangan terlalu cepat jalannya. Nanti tersandung," bujuk Cemplon yang napasnya mulai terengah. Istana kediaman raja berada di bagian paling dalam sehingga mereka harus berjalan lebih dari seratus meter untuk mencapai gapura terdepan.

"Ni Cemplon, coba kalau bicara jangan dimulai dengan kata 'jangan'. Hati saya sakit setiap mendengarnya," kilah Gayatri.

Cemplon kontan serba salah. "Ampun, Paduka Putri. Hamba tidak bermaksud menyakiti perasaan Paduka Putri. Hamba tidak akan mengucapkannya lagi. Tapi, hamba bingung akan menggantinya dengan apa."

Jengkel karena dibantah, Gayatri segera membalas, "Ni Cemplon, apakah 'bingung' termasuk dalam tugasmu?"

"Ampun Paduka?" Cemplon kebingungan. Memang sulit mengurus gadis yang cerdas. Dinasihati tidak digubris, dilarang pun malah dilakukan. Diancam? Oh, siapa yang sanggup membuat seorang Gayatri takut? Hanya kata-kata Raja Kertanagara yang dituruti gadis itu.

"Kamu tidak boleh bingung, Ni."

"Tapi Paduka, hamba juga bertugas mengingatkan dan menyiapkan Paduka untuk menjadi calon istri raja Singasari."

"Duh, Ni! Mengapa telinga saya penuh dengan nama Kanda Wijaya? Sebentar lagi, saya tidak bisa mendengar apa pun!" keluh Gayatri sambil mempercepat langkah. Ia mulai berpikir untuk menyihir Cemplon menjadi danyang botol. Kalau mulai cerewet, tinggal disedot dan diperangkap dalam botol. Gayatri meringis sendiri saat ide gila itu mencuat.

"Ampun, Paduka. Hamba se—"

Gayatri langsung memotongnya. "Sudah, jangan mengajak bicara lagi, nanti saya tersandung!"

Rahang Cemplon langsung terkatup. Sementara itu, Candil dan punggawa raja menahan tawa sambil menunduk. Barangkali mereka paham bahwa Wangsa Sinelir memang berisikan orang-orang berkemauan kuat yang tidak mudah tunduk pada kekuasaan. Mulai dari sang ibu wangsa, Ken Dedes, yaitu Ratu Singasari pertama, istri Tunggul Ametung dan Ken Arok. Para tetua mengatakan bahwa Ken Dedes memiliki kepribadian kuat dan dianugerahi kekuatan dewa. Sebuah nubuat menyebutkan Ken Dedes akan menurunkan raja-raja Jawa. Sekarang pun telah terlihat buktinya. Dari Tunggul Ametung, Ken Dedes menurunkan Anusapati, Wisnuwardhana, dan Kertanagara yang disebut sebagai Wangsa Sinelir. Sedangkan dari Ken Arok, Ken Dedes menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Mahisa Campaka, Dyah Lembu Tal, dan Dyah Wijaya. Ken Arok menamakan keturunannya Wangsa Rajasa. Dua kubu kuat di Singasari itu sekarang dipersatukan oleh pernikahan Dyah Wijaya dengan Tribhuwana dan Dyah Duhita, putri pertama dan kedua Kertanagara. Kabar angin yang sekarang santer beredar, putri ketiga dan keempat pun akan dinikahkan dengan Dyah Wijaya.

Rombongan kecil itu akhirnya sampai di gerbang kediaman raja. Area agung itu dimulai dari gapura bentar, yaitu gapura yang bentuknya mirip candi mini dibelah dua. Tidak seperti gapura di bagian lain istana yang terbuat dari batu bata tanpa banyak hiasan, gapura bentar sebagai pintu masuk kediaman raja ini diberi berbagai ukiran, sehingga tampak megah.

Setelah dipersilakan oleh punggawa penjaga gerbang, Gayatri menapaki anak tangga gapura. Sebuah halaman luas yang dikelilingi pagar tembok bata merah menyambutnya. Di bagian belakang lapangan, terdapat gapura berbentuk candi kecil yang dinamakan gapura paduraksa atau Kori Agung. Area di balik Kori Agung terdapat kediaman raja, yang merupakan area suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Hal itu karena Raja Kertanagara adalah perwujudan Dewa Siwa, sekaligus Budha yang Sempurna.[1]

Di kaki anak tangga gapura paduraksa yang menjulang tinggi dengan sangat anggun, Gayatri berhenti sejenak untuk mengatur napas dan merapikan pakaian. Setelah yakin semuanya sempurna, ia mengaitkan kedua tangan di depan perut, lalu berjalan dengan anggun memasuki area istana agung tempat kediaman ayahandanya.

Seorang punggawa mengantarkan Gayatri untuk menemui ayahnya. Tidak seperti biasa, di mana ia dibawa ke pendopo di bagian depan istana, kali ini punggawa langsung mengantarkannya ke ruangan pribadi sang ayah. Gayatri mulai memikirkan hal-hal buruk. Akhir-akhir ini, ia terus terjaga di tengah malam. Ada saja mimpi buruk yang mengganggu tidurnya.

"Apakah Ayahanda Raja sedang sakit?" tanya Gayatri.

"Tidak, Paduka. Baginda Raja sangat sehat," jawab pengawal pribadi raja itu.

Kekhawatiran Gayatri tidak terbukti. Kertanagara menyambutnya dengan senyum lebar dan mata yang berkilau cemerlang. Begitu pintu ruang utama istana dibuka, sebuah sapaan hangat berkumandang dari dalam.

"Gayatri, Putriku!" seru Kartanegara. Suara lantang itu selalu membuat Gayatri merasa dilindungi. Sang raja tengah duduk dengan penuh wibawa di balai-balai yang dilapisi bantal berbalut sutra. Wajah tegas yang dihiasi kumis dan cambang rapi semakin menguatkan kewibawaannya sebagai penguasa dwipantara.

Gayatri bersimpuh di depan ayahnya, lalu menghaturkan sembah. "Sehat dan sejahtera selalu dalam lindungan Sang Hyang Tunggal, Ayahanda Raja."

Kertanagara mengelus kepala putri bungsunya dengan penuh sayang. "Terima kasih, Putriku." Ia memberi isyarat kepada pelayan dan pengawal untuk meninggalkan mereka berdua saja.

Tempat peraduan raja itu kini sunyi dan agak gelap walau belum lama matahari melewati puncak. Mendung tebal tengah menutupi surya. Angin berembus melewati jendela yang daunnya dihiasi ukiran indah. Angin itu terasa dingin dan aneh.

"Bagaimana pelajaranmu dengan Mpu Nadajna? Kelihatannya tidak berjalan lancar," tanya Kertanagara. Ia senang mendapati mata cemerlang putrinya semakin berkilau.

Sejak kecil, ia sudah melihat bakat dalam diri Gayatri. Si sulung Tribhuwana cantik dan penyayang. Dyah Duhita dan Prajna Paramita juga cerdas, namun yang memiliki ketegasan dan kekuatan seorang pemimpin, hanya Gayatri seorang. Gadis ini tidak punya rasa takut, tidak segan mempertanyakan segala sesuatu, bahkan kerap nekat melebihi para lelaki. Ia seperti melihat penjelmaan dirinya dalam bentuk seorang wanita.

"Mpu Nadajna kesal bila saya bertanya, Ayahanda," lapor Gayatri. "Saya bertanya karena benar-benar ingin tahu. Tapi, pertanyaan saya malah dijawab pertanyaan lagi."

"Benarkah? Seperti apa misalnya?"

"Saya bertanya tentang bagaimana menyatukan seluruh tanah Jawa. Mpu Nadajna malah bertanya mengapa ada penobatan Ayahanda Raja sebagai Mahaksobya tiga tahun yang lalu."[2]

"Hmm, apa jawabmu, Gayatri?"

"Saya tidak menjawab, Ayahanda. Saya belajar cara bertanya dari Mpu Nadajna sehingga saya memberi pertanyaan sebagai jawaban atas pertanyaan beliau."

Mau tak mau, Kertanagara terkekeh. Seperti Gayatri inilah ia dulu membuat susah para guru. "Hm, apa pertanyaanmu?"

"Saya bertanya lagi, mengapa tidak memilih berperang seperti dulu Ayahanda mengirim pasukan ke Melayu dan Bali dan malah membangun patung?"

"Lalu?"

"Lalu, Mpu Nadajna langsung mengambil sikap semadi, Ayahanda. Pertanyaan saya tidak dijawabnya sampai sekarang," ucap Gayatri sambil manyun.

Kertanagara terbahak. Ia bisa membayangkan guru yang telah lanjut usia itu dilawan oleh gadis yang masih berbau kencur ini.

"Gayatri, gurumu tidak salah. Menyatukan negeri tidak harus dengan mengirim pasukan perang. Ada banyak cara, salah satunya dengan membangun patung Mahaksobya itu."

Gayatri terlihat tidak puas sehingga ayahnya terpaksa harus menjelaskan secara lebih gamblang.

"Kamu tahu, cerita apa yang ditulis oleh Mpu Nadajna di bawah patung itu?"

"Cerita tentang Mpu Bharada yang membagi kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala dan Panjalu atau Kediri."

"Benar sekali," ucap Kertanagara sambil mengembuskan napas panjang. Beberapa waktu yang lalu, situasi politik di Singasari memanas. Ada kecenderungan orang-orang Kediri, yaitu para kerabat Wangsa Isyana terakhir, tidak ingin tunduk lagi kepada Singasari. Sepertinya, mereka menginginkan kejayaan Kediri kembali seperti dulu.

Otak cerdas Gayatri berputar dengan cepat. "Oh, jadi dengan menobatkan Ayahanda sebagai Siwa Budha, Ayahanda berhak atas seluruh tanah Jawa sehingga mereka yang ingin memberontak menjadi kehilangan nyali!" serunya.

"Putriku pandai sekali!" puji Kertanagara.

"Tapi maafkan saya, Ayahanda. Apakah itu saja sudah cukup?"

"Tentu saja! Dengan bantuan langit, kita pasti berhasil!" ucap Kertanagara.

Gayatri termangu sejenak, lalu mengangguk. "Apalagi Kanda Ardharaja sekarang telah menjadi menantu Ayahanda. Paman Jayakatwang pasti tidak akan berani melawan Ayahanda."

"Benar, sekarang keadaan sudah aman."

Kertanagara tiba-tiba termangu. Ia teringat mimpinya beberapa malam belakangan ini. Isi mimpi-mimpi itu serupa. Kalau bukan air bah, maka awan hitam, ular, atau langit yang runtuh melanda istana agung ini sampai luluh lantak.

"Ah, Gayatri, Ayah akan menunjukkan sebuah surat penting."

"Surat tentang apa, Ayahanda?"

"Bila membacanya, kamu akan bisa menjawab semua pertanyaan gurumu."

Mata Gayatri membulat dan berkilau. "Benarkah? Jadi tentang apa isi surat itu?"

Kertanagara berdeham. "Apa hal paling penting yang harus dilakukan oleh seorang raja?"

Bahu Gayatri langsung melorot. "Duh, Ayahanda telah terjangkit penyakit mematikan dari Mpu Nadajna! Saya tidak akan berumur panjang bila terus ditanyai seperti ini."

"Gayatri, kamu akan menjadi wanita terkuat di Singasari. Jawablah dengan layak!" tegur Kertanagara, hanya berpura-pura keras. Sebenarnya, ia sangat menyukai sikap putri kecil itu. Pasti sifat Gayatri inilah yang membuat Wijaya jatuh hati.

"Maaf, Ayahanda. Saya akan menjawabnya. Jawaban itu suliiiiiit sekali karena Ayahanda ribuan kali membahasnya," sahut Gayatri, setengah bergurau. "Jawabannya adalah mandala dwipantara, Ayahanda."[3]

"Kamu benar. Barang siapa memiliki surat itu, ia akan mampu membangun mandala dwipantara yang kuat."

Mata Gayatri semakin bersinar cemerlang. Kertanagara pun turun dari balai-balai dan memberi isyarat agar Gayatri mengikutinya. Kertanagara berjalan tegap ke bagian belakang ruangan. Ia mengucapkan mantra, lalu menggerakkan tangan menyapu udara. Dalam sekejap, sebuah pintu rahasia terbuka oleh kekuatan gaib sang raja.

"Mari masuk,Putriku."

______________

[1] Karena sulitnya menemukan sumber tentang istana Singasari, maka penggambaran istana Singasari dalam cerita ini memakai gambaran istana Majapahit dalam Kitab Nagarakertagama. Menurut seorang peneliti arsitektur kuno, infrastruktur pada era Singasari sangat mirip dengan infrastruktur pada era Majapahit (sumber: buku Sejarah Raja-Raja Majapahit dan Sketsa Ilustrasinya, karya Tjahja Tribinuka)

[2] Berdasarkan prasasti Wurare, yang dibuat tahun 1211 Saka, Kertanagara dinobatkan sebagai Mahaksobya, yang berarti menjadi perwujudan Dewa Siwa dan Budha yang Sempurna. Sehingga dalam Kitab Pararaton, Kertanegara disebut sebagai Batara Siwa Budha.

Beberapa peneliti meyakini alasan di balik penobatan itu adalah untuk meredakan ketegangan politik akibat Wangsa Isyana yang diwakili oleh Jayakatwang mulai bangkit untuk mengklaim sebagai pihak yang paling berhak atas tahta tanah Jawa. Oleh karena itu, Kertanagara dinobatkan lebih tinggi dari para raja keturunan Wangsa Isyana (keturunan Airlangga). Prasasti Wurare ditulis di bagian bawah patung Mahaksobya yang sekarang dikenal sebagai patung Joko Dolog.

[3] Mandala dwipantara adalah konsep geopolitik Kertanagara untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Dengan konsep itu, ia harus bisa mengontrol daerah di sekeliling Singasari. Wilayah-wilayah lain di luar Jawa, bila tidak mau bekerja sama dengan Singasari dan mengakui kekuasaannya, dianggap sebagai musuh dan harus ditundukkan dengan ekspansi militer.


Catatan Penulis:

Saat ini ada cerita rakyat mengenai asal usul patung Joko Dolog yang berada di Surabaya. Menurut cerita itu, patung Joko Dolog adalah seorang bangsawan yang dikutuk menjadi batu karena menipu.

Fura jadi bertanya-tanya kenapa patung perwujudan Raja Kertanagara yang agung berubah menjadi patung kutukan. Mengsedih juga kalau dipikir-pikir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top