59. Kudadu

Belasan prajurit Kediri menusuk Banyak Seta bersamaan. Banyak Seta mengambil napas dalam-dalam, lalu amblas ke bawah. Di dalam air, tombak Ranggah Rajasa mengejutkan mereka dengan tusukan ganas. Lima orang menjadi korban dan air sungai mengeruh oleh darah yang terburai. Sebelum mereka mengatasi kekagetan, Banyak Seta meluncur keluar dari kepungan dan meluncur ke arah tepi sungai.

Ia menyembul sebentar ke permukaan sungai, kemudian kembali menyelam. Sambil menahan nyeri yang membuat dada serasa akan meledak, ia menyerang sebanyak mungkin musuh. Pasukan Kediri itu tidak terlalu gesit bertempur sambil berenang. Mereka hanya menang jumlah. Satu berhasil di tusuk, yang lain datang merangsek. Ia harus berputar-putar di dalam air untuk meloloskan diri dari kepungan. Tenaganya nyaris habis hanya untuk menghindari serbuan tombak musuh.

Banyak Seta naik ke permukaan sambil gelagapan menghirup udara. Kepalanya mulai berkunang-kunang. Napasnya semakin berat. Tangan yang menggenggam tombak sudah gemetar.

Orang-orang Kediri yang mencari-cari keberadaan Banyak Seta. Salah seorang yang melihat kepala sang panglima menyembul, langsung berteriak, "Di sanaaaaa!"

Kontan saja, pasukan musuh berenang ke tempat Banyak Seta berada. Di saat genting itulah, terdengar teriakan dari pinggir sungai.

"Itu Tuan Setaaa!"

Dalam satu kedipan mata, puluhan anak panah berdesingan di atas kepala Banyak Seta.

"Aaaargh!" Orang-orang Kediri yang mengejar Banyak Seta menjadi sasaran anak panah, kemudian tenggelam. Yang sempat menghindar berusaha kabur menjauhi tepi sungai.

Banyak Seta menoleh ke sumber suara. Di tepi sungai, berdiri Sarba dan Kambang, tengah memegang busur dan membidiki orang-orang Kediri. Kedua abdi itu tidak sendiri. Bibir sungai telah dipenuhi sekitar seratus orang bersenjata tombak dan panah. Banyak Seta tahu mereka bala bantuan dari Desa Kudadu yang setia kepada Singasari. Dyah Wijaya dan para panglimanya berada di antara orang-orang itu, ikut menghujani pasukan Kediri yang masih berada di air dengan anak panah. Prajurit Kediri yang mencapai tepi sungai diserang dengan tombak sehingga tidak sempat naik ke darat. Keadaan menjadi terbalik. Puluhan anak buah Mahisa Rubuh sekarang menerima pembalasan, terbantai di dalam air.

"Setaaaaa! Cepat kemariiiiiiii!" panggil seorang lelaki berusia empat puluhan. Banyak Seta mengenalnya dengan sangat baik karena masih ada hubungan kekerabatan. Dia Macan Kuping, Kepala Desa Kudadu.

Banyak Seta teringat Piyung. Ia berenang menuju tempat Piyung terapung, lalu berusaha membawanya ke tepi. Sarba dan Kambang terjun ke sungai untuk membantu junjungannya yang tampak jelas kepayahan, sementara Macan Kuping melindungi ketiganya dengan panah dari atas tebing.

Barangkali Mahisa Rubuh tidak mau kehilangan lebih banyak pasukan secara sia-sia. Suara trompet tanduk kerbau menggema dari seberang sebagai perintah untuk mundur. Orang-orang Kediri yang masih hidup buru-buru berenang kembali ke pasukannya.

Suasana aman itu dimanfaatkan Banyak Seta dan kedua abdinya untuk secepat mungkin merapat ke tepi sungai. Dibantu orang-orang Kudadu, Piyung dinaikkan ke darat. Banyak Seta segera memeriksa nadi Piyung. Ia tidak menemukan apa pun selain jasad yang dingin.

"Ah ... Kakang ...." Banyak Seta menepuk-nepuk pipi Piyung, berusaha membuatnya bangun, walau tahu usaha itu tidak berguna sama sekali. Kemungkinan besar, Piyung telah mengembuskan napas terakhirnya di sungai.

Ia memeriksa punggung Piyung. Tombak yang menyebabkan kematian lelaki itu dicabut, kemudian Piyung dibaringkan telentang. Tangannya gemetar saat mengusap wajah Piyung agar matanya menutup sempurna. Hatinya sudah tidak sanggup terisi apa pun selain niat untuk mengabulkan pesan terakhir sang kakak seperguruan. Dengan sisa tenaga, ditariknya keris Piyung dari pinggang lelaki itu, digenggamnya erat, seolah itulah harta terakhirnya.

Pandangan Banyak Seta kemudian mengabur. Dunia sekitar menjadi gelap.

☆☆☆

"Seta, kemari!" Wiskira mengulurkan tangan dari tangga tali yang menjuntai di sisi jung yang baru selesai dibuat.

Banyak Seta menengadah dan lega melihat ayahnya masih hidup. "Bapa? Kapan Bapa pulang?"

"Baru saja!" sahut Wiskira dengan wajah semringah. "Lekas naik, kita akan segera berlayar!"

Banyak Seta meloncat ke anak tangga dan dengan gesit menyusul ayahnya. Sampai di geladak, aroma kayu yang baru dioles minyak agar awet menyambutnya.

Jung ini sangat besar. Daya muatnya hampir tujuh ratus orang dan bertiang lima. Ini jenis yang sanggup mengarungi samudra selatan yang terdalam dan terbuas. Bila kapal-kapal kecil akan tergulung ombak besar, raksasa lautan ini hanya bergoyang saja di atas samudra.

Ratusan awak kapal hilir mudik mempersiapkan keberangkatan. Tahu-tahu, layar-layarnya turun dengan sendirinya dan langsung terkembang. Ajaib!

Terjadi guncangan saat jung turun dari galangan dan meluncur masuk ke samudra. Dada Banyak Seta pun mengembang. Ia berlari ke ujung haluan, menikmati angin menggoyang rambut sebahunya yang terurai. Burung-burung camar terbang di sisi layar sambil meneriakkan nyanyian. Cakrawala di depan sana terang benderang, seolah menantang untuk dijelajahi.

Banyak Seta menoleh ke kiri. "Kita mau ke mana, Bapa?"

Wiskira hanya tersenyum. Yang bersuara justru seseorang yang tiba-tiba muncul di sisi kanan. "Kamu mau ke mana, Seta?"

Banyak Seta sangat mengenal suara lembut itu. Kerinduannya membuncah. Hatinya menghangat. "Ibu!"

"Itu, lihat!" Sang ibu menunjuk pantai di mana seorang gadis melambai padanya.

"Paduka Gayatri?" gumam Banyak Seta. Ia lantas dirundung rasa bersalah. "Saya ... saya tidak ...."

Tangan wanita yang telah lama tiada itu terulur ke pipi putranya. Lembut dan menenangkan. Banyak Seta terpejam untuk menikmati kehangatan itu.

"Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?" Banyak Seta membuka mata, namun yang ia temui justru wajah perempuan lain. "Runi?"

"Ibu? Apa aku tampak setua itu?" Tangan Runi menepuk-nepuk lembut pipi Banyak Seta. Senyumnya merekah lebar hingga kedua matanya membentuk bulan sabit. Banyak Seta berdebar. Senyum itu sangat indah.

"Seta! Seta!"

Tepukan lembut itu mendadak berubah menjadi keras. Pipi Banyak Seta terasa panas sampai-sampai dahinya mengernyit.

"Tuan Seta!" Sebuah lagi tepukan keras membuat mata Banyak Seta terbuka.

Laut, cakrawala, burung camar, layar dan geladak jung menghilang, begitu pula wajah ayah dan ibunya, serta Runi. Wajah-wajah lain yang buram muncul dalam pandangan, semakin lama semakin jelas. Saat kesadarannya pulih sempurna, ia menemukan Dyah Wijaya, Gajah Pagon, Sarba, Kambang, dan Macan Kuping duduk mengelilingi dirinya.

"Oh, Pa-paduka ...?" Banyak Seta berusaha bangun, namun dicegah oleh Dyah Wijaya.

"Syukurlah, akhirnya kamu siuman," ucap sang pangeran sambil tersenyum lebar. Keningnya basah oleh keringat.

"Seta, Paduka Wijaya sejak tadi berusaha mengalirkan tenaga dalam untuk menyelamatkanmu," ucap Gajah Pagon.

Banyak Seta tertegun dan merasa sangat malu. "Ma-maaf sudah merepotkan Paduka."

"Jangan dipikirkan, Seta. Sekarang, makan dan minumlah agar tenagamu cepat pulih."

"Baik, Paduka." Banyak Seta mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Dyah Wijaya kemudian bangkit berdiri. "Setelah makan, tidurlah yang nyenyak, jangan banyak pikiran supaya tidak mengigau." Senyum Dyah Wijaya kembali terkembang. Senyum itu tampak penuh arti.

Jantung Banyak Seta kontan kram. Jangan-jangan ia meracau hal-hal yang memalukan. Begitu Dyah Wijaya dan Gajah Pagon keluar bilik, dicengkeramnya tangan Sarba dan Kambang.

"Sarba, Kambang, berapa lama Paduka Wijaya di sini?"

"Sejak siang tadi sampai sore ini. Beliau hanya beristirahat untuk makan dan minum sebentar, lalu kembali mengobati Tuan," sahut Sarba.

Mata Banyak Seta melebar. "Apa aku mengigau selama pingsan tadi?"

Sarba menggeleng, tapi Kambang mengangguk.

"Hei, yang benar saja! Aku mengigau atau tidak?" Banyak Seta benar-benar panik. Ia belum lupa rasanya menanggung malu sebesar gunung ketika tahu mulutnya meracau menyebut nama Gayatri selama pingsan tempo hari.

"Tuan mengingau tanpa henti," sahut Kambang. Pinggangnya langsung disikut oleh Sarba.

Wajah Banyak Seta yang sudah pucat semakin putih saja. "A-aku bicara apa saja?"

Sarba menjadi tidak tega. "Tenang, Tuan. Kali ini Tuan tidak menyebut nama Paduka Gayatri."

Banyak Seta melempar tatapan tidak percaya dan berpaling ke Kambang. "Kambang, jujurlah!"

Kambang memilih menunduk dan tetap bungkam. Hal itu membuat Banyak Seta yakin keduanya menyembunyikan sesuatu.

"Sudahlah, Seta." Macan Kuping menepuk-nepuk bahu Banyak Seta. "Apa pun itu, sepertinya Paduka Wijaya bisa mengerti. Beliau tetap memberikan tenaga dalamnya sekalipun kamu mengoceh tidak karuan."

Hati Banyak Seta kontan kalut. Keringat dingin mulai membulir di kening dan wajahnya benar-benar pucat. "Paman, saya harus bagaimana?"

"Ya, tidak perlu berbuat apa-apa. Sekarang yang penting makan dulu," ucap Macan Kuping. Perawakan dan bentuk wajah kepala desa itu sangat mirip Wiskira sehingga Banyak Seta kembali merindukan ayahnya.

Istri Macan Kuping datang membawa semangkuk bubur bersantan yang diberi telur rebus dan sepotong paha ayam di atasnya. Banyak Seta duduk dan mulai menyuap sedikit demi sedikit. Makanan hangat itu lumayan meredakan kekalutan di dalam hatinya.

"Jenazah Kakang Piyung di mana, Sarba?" tanya Banyak Seta setelah hampir menghabiskan buburnya.

"Kakang Piyung dan lima belas jenazah pasukan kita sudah diantar ke pekuburan, Tuan," sahut Sarba.

"Paman Weling dan Subala?" tanya Banyak Seta lagi. "Anak buah Kakang Piyung?"

Sarba dan Kambang menggeleng bersamaan. "Saya melihat Paman Weling dan Subala ditikam prajurit Kediri sebelum terjun ke sungai. Anak buah Kakang Piyung entah bagaimana nasibnya."

Runi juga sudah gugur .... Banyak Seta pilu mengingat saat-saat terakhir gadis itu.

"Kita berhutang budi pada Kakang Weling," ucap Macan Kuping. "Dia mendatangi aku beberapa waktu lalu. Berkat dia, aku segera menyiapkan orang-orang."

"Terima kasih, Paman," ucap Banyak Seta.

Macan Kuping tidak tampak bahagia, justru penyesalan membayang di wajahnya. "Hanya sayang, kami terlambat. Begitu tahu ada pembakaran di Kembangsri, kami langsung berangkat ke Sungai Brantas. Tapi, kami salah perkiraan. Semula kami pikir Paduka Wijaya akan menuju hilir Kembangsri, ternyata malah ke hulu. Coba aku tahu sebelumnya, mungkin kita bisa menyelamatkan lebih banyak prajurit."

"Paman sudah berusaha yang terbaik," hibur Banyak Seta. "Apa Paman bertemu bapa saya? Saat ibukota diserang, dia bilang akan pergi ke utara untuk mencari bantuan. Apa tidak mampir di sini, Paman?"

Macan Kuping menggeleng. Ia ikut khawatir terjadi sesuatu pada Wiskira. "Kalau ada kabar, aku akan segera memberi tahu kamu."

Keempat orang itu terdiam, tenggelam dalam kesedihan. Perang telah merenggut orang-orang terdekat mereka dengan sangat kejam.

☆☆☆

Macan Kuping dan warga Kudadu melindungi dan melayani Dyah Wijaya dan rombongannya dengan sangat baik. Selain menyediakan makanan, pakaian bersih, dan tempat istirahat, mereka juga memanggil tabib untuk mengobati luka-luka.

Pasukan Dyah Wijaya hanya tersisa dua belas orang. Selain Banyak Seta dan kedua abdinya, mereka yang selamat adalah Nambi, Gajah Pagon, Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang, Lembu Sora, Dangdi, Lembu Peteng, serta Wirot.

Selepas petang, datang utusan dari desa sebelah. Arya Gala telah tiba di pelabuhan Rembang. Ia membawa tiga kelulus[1] yang masing-masing berisi enam puluh orang.

Dyah Wijaya mengumpulkan semua panglimanya di pendopo rumah Macan Kuping. Banyak Seta ikut datang karena kekuatannya berangsur pulih setelah tidur sepanjang sore. Tapi, ia tidak berani memandang wajah sang junjungan setelah meracau tadi. Mereka membicarakan rencana kepergian ke Sumenep dan apa yang akan mereka lalukan di sana. Di akhir pembicaraan, sang pangeran berpaling ke Banyak Seta.

"Seta, bagaimana lukamu?" tanya Dyah Wijaya. Melihat sang abdi salah tingkah, ia hanya bisa memaklumi.

"Berkat pertolongan Paduka, hamba pulih lebih cepat," sahut Banyak Seta. Ia sempat mencuri pandang ke senior-seniornya. Untunglah, mereka tidak memandang aneh dirinya.

"Kuatkah kamu bepergian jauh?"

"Hamba yakin sanggup, Paduka."

"Baiklah. Panji Patipati ikut dalam rombongan Arya Gala setelah mengantar istriku ke Sumenep. Kamu tidak perlu ikut ke Sumenep, Seta. Bawalah satu kelulus dan pergilah bersama dia," titah sang pangeran.

Banyak Seta menengadah. Ia tidak bisa menebak akan diberi tugas apa bersama Panji Patipati.  "Hamba, Paduka?"

Dyah Wijaya mengangguk. "Tolong, cari Gayatri sampai ketemu. Kata anak buahmu dia menuju Tawangalun."

Wajah Banyak Seta langsung memucat. Mengapa justru dirinya yang ditugaskan mencari Gayatri? Pertanda baik atau burukkah ini?

_______________

[1] Kelulus adalah perahu kayu yang menggunakan dayung sebagai penggerak utama. Tapi bila digunakan untuk perjalanan jauh, bisa dipasangi layar. Kapasitasnya hanya puluhan orang. Ada yang terdiri dari satu lantai, ada pula yang bertingkat. Cocok digunakan untuk pertempuran di perairan dangkal dan sungai karena gesit dan bisa menyusup ke mana saja.

Salah satu contoh kelulus yang penuh ornamen. Sumber: Wikipedia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top