58. Sungai Brantas Saksi Bisu

Banyak Seta limbung akibat memaksakan diri menggunakan jurus pamungkas. Untungnya ia masih cukup waras, tidak mengerahkan semua kekuatan sehingga hanya menderita nyeri di dada dan kepala terasa ringan saja.

Runi bergerak cepat. Ditahannya punggung Banyak Seta sambil menyalurkan tenaga dalam. Dalam lima tarikan napas, nyeri itu berkurang dan keseimbangan Banyak Seta pulih kembali.

"Terima kasih," ucap Banyak Seta singkat. Ia merasa tidak enak harus berhutang budi sekali lagi pada Runi. Takut nanti ditagih membayar balik, sementara ia sendiri tidak yakin apakah masih bisa melihat matahari terbenam sore nanti.

Runi mencibir. Baru kali ini Banyak Seta terang-terangan mengucapkan terima kasih. "Ayo cepat ke tempat Paduka Wijaya!"

Runi melesat menerobos orang-orang yang bertempur antara hidup dan mati. Banyak Seta segera mengikuti. Ia sempat para panglima Singasari. Kemampuan mereka sesungguhnya masih di atas para pendekar itu. Mereka hanya perlu waktu untuk menumbangkan pengeroyok itu satu per satu. Dan jeda itulah yang dimanfaatkan oleh Mahisa Rubuh untuk menghabisi sebanyak mungkin prajurit lawan.

Setelah melumpuhkan beberapa prajurit Kediri yang menghalangi jalan, Banyak Seta dan Runi tiba di arena pertarungan Dyah Wijaya. Sang pangeran bertempur sendiri melawan tujuh orang, sementara para pengawalnya juga sedang bertahan dari keroyokan prajurit Kediri. Saat itu, lima pendekar pengeroyok Dyah Wijaya telah tumbang. Sekarang mereka baru merasakan sendiri kesaktian sang pangeran. Golok, keris, tombak, dan gada yang mereka gunakan hanya mampu menggores baju zirah dan sedikit kulit lengannya, sedangkan mereka telah menderita luka dalam yang lumayan menyakitkan.

"Ayo, maju kalian!" tantang Dyah Wijaya. Keris pusakanya telah berlumur darah. Pertarungan ini harus segera dibereskan supaya bisa melindungi anak buahnya kembali.

Tujuh musuh mengelilingi Dyah Wijaya dengan senjata terhunus. Mereka menguatkan kuda-kuda dan merapal mantra. Tujuh lelaki dengan mata menatap garang itu kemudian meloncat bersamaan sambil mengerahkan ajian tertinggi yang dimiliki. Dyah Wijaya merasakan bahaya dan segera meloncat ke udara sambil menebaskan keris ke arah musuh. Ujung keris memang tidak mengenai mereka, namun energi gaibnya mengenai tiga pendekar dan kontan membuat mereka terjungkal. Ketiganya terluka cukup dalam, namun masih sanggup kembali bertarung.

Celaka! pikir Dyah Wijaya. Kalau begini terus, mungkin pertarungan ini baru selesai saat matahari terbenam. Dan bila itu terjadi, bisa dipastikan anak buahnya akan habis tanpa sisa.

Banyak Seta dan Runi terjun ke tengah kepungan, langsung membantu Dyah Wijaya. Kedatangan mereka jelas membalikkan keadaan. Tujuh musuh itu mulai kewalahan.

"Paduka, segeralah meninggalkan tempat ini," pinta Banyak Seta setelah memaksa para pendekar mundur dengan sabetan tombak Ranggah Rajasa.

Dyah Wijaya mengangguk, lalu dengan cepat meloncat keluar dari kepungan. "Paman Sora, munduuuur!" serunya ke arah Lembu Sora yang bertarung tak jauh darinya.

Lembu Sora yang pertama kali terbebas dari pengeroyok. Begitu mendengar seruan Dyah Wijaya, ia meniup trompet tanduk kerbau untuk menarik pasukan. Para panglima yang tengah bertempur dengan para pendekar, menghentikan perlawanan dan mencari celah untuk meninggalkan arena. Sisa pasukan yang masih hidup segera meloncat ke punggung kuda dan mengikuti para panglima.

Mahisa Rubuh merasa diperdaya melihat musuhnya melarikan diri, sementara ia tertahan di tempat karena menghadapi Banyak Seta dan Runi. "Kurang ajar! Kejaaaar merekaaaa!"

Panglet akan pergi untuk mengatur pasukan, namun langkahnya tertahan oleh pukulan Runi. Melihat itu, Mahisa Rubuh semakin emosi.

"Runi! Apa yang kamu pikirkan? Kembali, atau nyawamu akan melayang!" ancam Mahisa Rubuh. Ia menjadi sedikit lengah karena perhatiannya terarah pada Runi.

Ancaman itu langsung dibalas dengan tusukan tombak oleh Banyak Seta. Mahisa Rubuh berusaha menangkis, namun serangan itu terlalu kuat dan akhirnya mengenai dadanya. Panglima muda itu terjengkang ke belakang, tapi masih mujur karena ujung tombak hanya merobek kulit dan tidak sampai mengenai paru-parunya.

Sekarang tombak Banyak Seta mencari mangsa lain, menyasar leher Panglet yang kaget melihat kakaknya tumbang. Pemuda itu sempat melindungi lehernya, namun pinggangnya terkena tendangan Runi.

"Aargh!" Panglet terpelanting dan ambruk.

"Runi, kita pergi!" seru Banyak Seta.

☆☆☆

Dyah Wijaya dan pasukannya berhasil meloloskan diri dari kepungan Kediri untuk sementara waktu. Mereka akhirnya mencapai Sungai Brantas. Sialnya, Mahisa Rubuh dan pasukannya bergerak sangat cepat. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menyusul. Kedua kubu kembali bertempur. Kali ini, pasukan Dyah Wijaya dipukul mundur hingga terpaksa bertahan di pinggiran sungai. Mahisa Rubuh benar-benar memenuhi tekadnya untuk tidak membiarkan orang-orang Singasari menyeberang.

Banyak Seta mendekati Dyah Wijaya. "Paduka, segeralah menyeberang, hamba akan menahan mereka agar tidak melintasi sungai."

Dyah Wijaya mengangguk. Tatapannya berubah penuh penghormatan. Ia tahu Banyak Seta akan mengorbankan diri seperti Wiragati, Pamandan, dan Mahisa Pawagal. "Aku menunggumu di seberang, Seta."

Banyak Seta mengangguk hormat, lalu kembali bertempur bersama para panglima sambil memastikan Dyah Wijaya berhasil menyeberang dengan selamat. Tepi Sungai Brantas kini menjadi riuh oleh pertarungan antara hidup dan mati.

Banyak Seta mulai berpikir keras agar pasukan Kediri lumpuh secepat mungkin. Sebab bila tidak, kecil kemungkinan mereka bisa menyeberang dengan selamat. Begitu masuk ke air, teman-temannya akan menjadi sasaran empuk tombak dan panah musuh.

"Runi, kamu jaga di sini!" pamit Banyak Seta setelah berhasil membuat tiga pengeroyoknya roboh.

"Jangan!" Tangan Runi menahan tangkai tombak Ranggah Rajasa. Gadis itu bisa menduga niat Banyak Seta. "Kamu kawal Paduka Wijaya menyeberang. Biar aku hadapi Mahisa Rubuh dan Panglet."

"Aku bukan anak buahmu!" Banyak Seta mengibaskan tangkai tombak sehingga cengkeraman Runi terlepas. Ia akan bergerak, namun tangannya digenggam oleh Runi dan membuatnya membeku sejenak.

"Lukamu terbuka lagi. Kamu tidak mungkin menang melawan Mahisa Rubuh."

Banyak Seta menepis tangan Runi dan melesat ke atas pohon mencari posisi Mahisa Rubuh. Runi terpaksa membiarkannya karena tiga orang pendekar yang tadi sempat tumbang telah berhasil bangkit dan menyerang secara bersamaan.

Sementara itu, pasukan Singasari semakin banyak yang bertumbangan. Sebagian terdesak sampai ke tebing sungai dan akhirnya tercebur ke air. Pasukan Kediri beramai-ramai menyerang mereka dengan tombak. Permukaan Sungai Brantas mulai berubah warna menjadi merah darah.

☆☆☆

Banyak Seta memaksakan diri bertarung dengan Panglet dan Mahisa Rubuh, padahal ia sudah kepayahan karena luka dalam sehingga tidak bisa mengeluarkan jurus pamungkas dengan maksimal. Sabetan keris Mpu Cakrangga hanya membuat kedua kakak beradik itu terpelanting. Sebaliknya, Banyak Seta kehilangan banyak tenaga dan menjadi sesak napas. Ia terbungkuk sambil memegangi dada.

Mahisa Rubuh bangkit dengan cepat. Dalam sekali terjang, tendangannya bersarang di dada Banyak Seta.

"Uuugh!" Banyak Seta merasakan tulang-tulang rusuknya gemertuk dan dadanya serasa remuk. Ia roboh ke tanah.

Melihat Banyak Seta dalam kondisi kritis, Runi melesat meninggalkan lawannya. Dibantunya Banyak Seta berdiri. "Cepat pergi!" pintanya.

Melihat kedekatan Runi dan Banyak Seta, hati Mahisa Rubuh kembali tersayat. Ia masih punya segunung perasaan suka pada gadis itu. "Runi, aku tarik ucapanku tadi. Aku masih tunanganmu."

Runi tidak menjawab karena tengah memberikan tenaga dalam kepada Banyak Seta.

"Kembalilah. Aku akan menjamin semua orang di sini tutup mulut sehingga kamu tidak perlu menerima hukuman," bujuk Mahisa Rubuh.

"Maaf, Raka. Aku bukan orang Kediri lagi," sahut Runi, dingin.

Hati Mahisa Rubuh semakin biru. Entah apa yang membuat tunangannya membelot, yang jelas perang ini telah memisahkan dirinya dan Runi.

"Apa yang kamu cari dari orang itu?"

"Bukan urusanmu!" sentak Runi. "Pertunangan kita sudah berakhir!"

Mata Mahisa Rubuh berkilat marah mendengar penolakan itu. Pasti gara-gara Banyak Seta gadisnya berubah. Ia memberi kode rahasia pada Panglet dan adiknya itu kemudian meneriakkan sesuatu. Beberapa saat kemudian, puluhan prajurit bersenjata panah berjajar di belakang Mahisa Rubuh.

"Seta! Kemari kau! Jangan berlindung di belakang perempuan!" tantang Mahisa Rubuh sambil memasang kuda-kuda.

Banyak Seta mengangkat tombak, namun Runi menarik tangannya. "Pergi!" hardik gadis itu.

Alih-alih menuruti Runi, Banyak Seta malah menerjang Mahisa Rubuh. Pemanah-pemanah Kediri meregang busur, siap membidik, namun Panglet mencegahnya. Ia tahu sang kakak ingin berduel secara kesatria dengan Banyak Seta. Namanya akan harum di kalangan pendekar bila berhasil mengalahkan panglima terkuat Singasari itu dengan cara yang layak dan pantas.

Mahisa Rubuh sudah menanti dengan dua golok yang terisi tenaga dalam. Begitu Banyak Seta mendekat, ia mengayun goloknya, menangkis serangan tombak. Hantaman itu membuat tangkai tombak Ranggah Rajasa berderik, namun luar biasanya, kayu itu tidak sampai patah. Justru Banyak Seta terkena imbas benturan energi dan terempas ke samping.

Mahisa Rubuh meloncat, menyasar bagian pertahanan Banyak Seta yang terbuka. Ia hampir membabat pinggang sang panglima andai Runi tidak menyerangnya. Keris Runi tahu-tahu menghunjam dari samping kanan. Mahisa Rubuh sempat berkelit, namun baju zirahnya tertembus. Mahisa Rubuh meraba baju zirahnya dan menemukan darah merembes. Ia menjadi geram.

"Runi, ini peringatan terakhir. Menyingkirlah!" bentaknya.

"Tidak sudi!" balas Runi sambil menyeret Banyak Seta ke pinggir sungai. "Pergi, kataku!" desaknya pada Banyak Seta.

Melihat Runi tidak main-main dalam membantu Banyak Seta, rasa pilu dalam hati Mahisa Rubuh berubah menjadi api amarah. Tanpa berkata-kata lagi, disabetnya Runi. Gadis itu berusaha menangkis, namun pada sabetan kedua, ujung golok Mahisa Rubuh berhasil menembus pertahanannya. Darah mengucur dari perut Runi yang robek.

Runi menahan nyeri sambil tetap berusaha berdiri. Banyak Seta melihat darah terburai dari perutnya. Ia juga melihat gumpalan merah muda menyembul dari luka yang menganga itu. Hatinya langsung kram. Ia berniat membalas Mahisa Rubuh, namun Runi menahan dengan berdiri di depannya.

"Ususmu ...," desah Banyak Seta. Tangannya terulur, ingin ikut menahan organ dalam itu agar tidak terburai.

Runi tidak menggubris lukanya. Dengan sisa tenaga, didorongnya Banyak Seta hingga terjungkal ke sungai. Ia kemudian berbalik. Niatnya akan menyerang Mahisa Rubuh lagi. Namun, panglima muda itu sudah tidak mau mengotori tangannya dengan darah Runi.

"Panah!" perintah Mahisa Rubuh sambil berjalan membelakangi tunangannya. Ia sebenarnya tidak sanggup menyaksikan kematian gadis itu.

Panglet kaget melihat kekejaman sang kakak. Runi sudah terluka parah dan tak mungkin bertahan. Untuk apa dipanah lagi? "Tungguuu!" serunya kepada pasukan pemanah.

Terlambat.

Pemanah-pemanah Kediri membidik Runi. Gadis itu berusaha menangkis. Hanya beberapa saja yang berhasil digagalkan. Lima anak panah akhirnya menancap di dada dan perutnya. Ia langsung roboh dan jatuh ke sungai. Arus Sungai Brantas segera menelan tubuhnya.

Mahisa Rubuh berdiri di belakang pasukannya sambil menunduk. Ia mendengar panah-panah berdesingan. Ia juga sempat mendengar desahan terakhir Runi sebelum terjungkal ke sungai. Ada buliran bening merembes perlahan dari pelupuk mata, lalu jatuh ke tanah. Napasnya tersengal menahan desakan kepedihan dan tiba-tiba meledak.

Ada suara langkah seseorang, berlari ke tepi sungai. "Runi, Runiiii! Mana dia?"

Itu suara Panglet yang kental dengan kesedihan. Bagaimanapun, mereka saling kenal sejak kecil dan dididik ilmu kemiliteran bersama-sama. Permusuhan keluarga kerajaan ini telah membuat orang-orang terpisah dari keluarga, kekasih, dan sahabat. Sungguh kejam peperangan, sekalipun diatasnamakan tujuan mulia.

Setelah beberapa saat, Panglet mendekati kakak sepupunya. Mahisa Rubuh tidak sanggup menghadapi tatapan sang adik.

"Raka, mereka melarikan diri ke sungai. Apakah kita sudahi peperangan ini?" Suara Panglet memaksa Mahisa Rubuh mengakhiri tangisan.

"Jangan. Panah dan tombak mereka sebanyak mungkin," titahnya tegas, kemudian cepat-cepat pergi ke tempat kudanya ditambatkan. Bayangan wajah Runi saat menerima sabetan golok jelas tak mau pergi dari benaknya. Kesedihan Mahisa Rubuh kini berubah menjadi amarah yang menyesakkan dada.

Panglet tertegun. Pasukan yang terjun ke air itu jumlahnya sedikit. Paling banyak hanya 150 orang. Praktis, mereka telah mengalahkan Dyah Wijaya.

Mahisa Rubuh naik ke punggung kuda dan melayangkan pandangan ke tepi sungai. Saat dilihatnya Panglet terdiam setelah mendengar perintahnya, kemarahannya meledak. "Mengapa diam saja? Serang mereka sekarang juga!"

"Laksanakan!" seru Panglet. Ia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk berjajar di tepi sungai.

☆☆☆

Banyak Seta berenang menuju seberang bersama puluhan prajurit yang berhasil lolos dari kepungan pasukan Kediri. Ia melihat Sarba dan Kambang sudah lebih dulu berenang di depan dan menjadi lega. Ia juga sempat melihat tubuh Runi yang bersimbah darah jatuh, lalu hanyut ke hilir, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

"Seta, cepat!" suara Piyung membuat Banyak Seta menoleh. Lelaki itu menunjuk ke tepi sungai.

Pasukan Kediri berjajar di tepi sungai. Segera saja, mereka menghujani sisa-sisa pasukan itu dengan tombak dan panah seperti membidik ikan. Puluhan prajurit menjadi korban. Salah satunya Piyung. Gerakan lelaki itu terhenti ketika sebuah tombak menembus punggungnya.

"Kakang!" Banyak Seta melupakan rasa nyerinya dan meraih Piyung agar tidak tenggelam.

"Hei, tolong!" Banyak Seta memanggil seorang prajurit yang berenang di dekat mereka. Dengan bantuan pemuda itu, Banyak Seta berusaha membawa Piyung ke seberang.

Gelombang tombak dan anak panah berhenti setelah menelan korban puluhan orang. Mahisa Rubuh belum puas walau musuhnya sudah jelas kalah total.

"Panglet, kirim orang-orang terbaikmu. Habiskan mereka sebelum sampai di seberang!"

Panglet terkejut. "Mereka sudah kalah, Raka. Perlukah diburu lagi?"

Mahisa Rubuh bergeming. Hatinya telah mengeras semenjak Runi rela mati demi melindungi Banyak Seta. "Lakukan saja!"

Panglet mengangguk dan kembali meneriakkan perintah. Ratusan prajurit Kediri bersenjata tombak terjun ke sungai dan memburu sisa-sisa pasukan Singasari. Permukaan Sungai Brantas pun kembali merah oleh darah para prajurit yang gugur.

Melihat gelombang serangan baru itu, Banyak Seta menyerahkan Piyung kepada dua prajurit. Sambil bertahan di permukaan sungai, ia mengirim tenaga dalam melalui air. Gelombang besar pun tercipta dan berhasil menggulung perenang-perenang Kediri. Namun, jumlah prajurit Kediri terlampau banyak. Puluhan orang berhasil dilumpuhkan Banyak Seta, sedangkan ratusan lainnya masih terus berdatangan dan membunuhi orang-orang Singasari.

Banyak Seta tetap melancarkan serangan sambil berusaha mencapai tepi sungai. Setelah beberapa tarikan napas, sungai mendadak menjadi sepi. Banyak Seta melihat orang-orang Singasari tinggal sedikit. Piyung bahkan mengapung seorang diri beralas batang kayu. Mungkin prajurit yang membawanya tadi telah tewas. Ia berenang ke arah Piyung dan menahannya agar tidak terguling.

Di saat tenaga Banyak Seta telah terkuras dan nyaris tenggelam, serombongan orang-orang Kediri berenang cepat ke arahnya. Banyak Seta sudah siap untuk menghadapi yang terburuk. Dieratkannya genggaman pada tombak Ranggah Rajasa. Prajurit-prajurit Kediri itu memekik sambil menghunus keris.

"Hiyaaah!" Banyak Seta menjejak air dan membuat tubuhnya melesat ke depan. Mungkin inilah pertarungan terakhirnya.

Bukankah cita-cita masa kecilnya adalah hidup dan mati di laut? Yah, sungai memang bukan laut. Namun, tak mengapa. Ia akan tetap dikenang sebagai prajurit yang gugur di air. Sungai Brantas akan menjadi saksi pengabdiannya.

//////////////////

Author's Note:

Prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Dyah Wijaya tahun 1216 Saka menyebutkan jumlah anak buah yang selamat sampai di seberang hanya dua belas orang.


☆-Bersambung-☆

Komen, pleaseee ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top