5. Laporan
Banyak Seta masih mematung di tempat walau Gayatri telah menghilang dari pandangan beberapa detik yang lalu. Selama ini, ia berusaha menjaga sikap. Bahkan pucuk-pucuk harapan yang kerap muncul dengan liar di dalam kalbu segera dibabat habis tanpa ampun. Sebab, sekalipun dicari-cari seribu pembenaran, ia hanya akan menemukan jalan gelap yang sangat mungkin berujung tragedi, baik bagi dirinya maupun bagi Gayatri sendiri.
Sekuat apa pun jiwa Banyak Seta, pertemuan singkat yang dekat dan erat tadi telah mengikis benteng batin yang selama ini dijaga ketat. Debaran yang melanda dadanya ini tidak mungkin dianggap tidak ada. Matanya nanar menatap besek pemberian Gayatri.
Duh, Paduka. Kalau seperti ini terus, hamba akan jatuh juga.
Sepuluh tahun yang lalu, saat usianya empat belas tahun, ia dipanggil untuk mengabdi di istana Singasari. Mulai saat itu pula, ia pindah dari kadewaguruan Mpu Nadajna di lereng Gunung Pawitra ke ibukota. Sebagai orang yang sejak kecil digembleng untuk menjadi pasukan elite Dyah Wijaya, dengan sendirinya ia ikut bergaul dengan kerabat istana, termasuk keempat putri Raja Kertanagara. Di istana inilah ia mulai mengenal Gayatri, gadis kecil yang sangat tertarik pada ilmu pertempuran dan tata negara.
"Seta!" Sebuah seruan dari arah belakang menyentak kesadaran Banyak Seta. Ketika ia berbalik, ternyata orang yang ia cari telah berada di situ, bersama Gajah Pagon dan Nambi. Tubuh Dyah Wijaya tidak setinggi dirinya, namun tak kalah berotot. Wajahnya berkesan damai karena memiliki senyum manis dan sepasang mata lebar yang menyorot ramah.
Banyak Seta segera berlutut untuk memberi hormat kepada Dyah Wijaya. "Hamba, Paduka."
"Bicara dengan siapa kamu tadi?" tanya Wijaya.
Hati Banyak Seta kontan resah. Apakah kejadian berpelukan secara tidak sengaja tadi dilihat oleh junjungannya? "Hamba tidak sengaja berjumpa Paduka Gayatri."
"Hm, pasti Gayatri sangat sayang padamu hingga memberikan bingkisan itu." Dyah Wijaya mengerling ke arah besek yang di berada di tangan Banyak Seta.
Banyak Seta lemas. Bila Dyah Wijaya tahu dari mana besek itu berasal, kemungkinan besar kejadian sebelumnya juga .... Matilah aku!
"Ampun, Paduka. Sesungguhnya, hamba tidak pantas menerima ini."
Dyah Wijaya tersenyum. Ia telah mengenal Banyak Seta sejak kecil dan paham benar bagaimana perangainya. Sebagai seorang lelaki, tentu saja ia mengerti apa arti pandangan dalam yang diam-diam dilayangkan Banyak Seta kepada Gayatri. Hanya saja, ia tidak ingin masalah wanita menjadi ganjalan hubungan antara dirinya dan abdi paling berbakat ini.
"Ah, sudahlah," ucap Dyah Wijaya untuk mengakhiri pembicaraan yang tidak berguna itu. "Mengapa kamu di sini bukan di tempat pelatihan prajurit?"
"Hamba hendak melaporkan sesuatu kepada Paduka," ucap Banyak Seta.
"Kalau begitu, mari kita bicara di kediamanku." Dyah Wijaya berjalan mendahului para prajurit itu menuju gapura yang menjadi pintu masuk ke area kediamannya.
Area kediaman Dyah Wijaya dijaga dua orang punggawa di pintu masuknya. Saat rombongan itu datang, mereka membukakan pintu besi dan mempersilakan rombongan itu masuk. Dyah Wijaya melangkah menaiki tangga gapura, namun Nambi dan Gajah Pagon terlihat ragu dan berhenti di kaki tangga. Melihat itu, Wijaya teringat sesuatu.
"Seta, sebenarnya aku dan kedua kakakmu ini akan membicarakan tentang pengiriman bantuan untuk Paman Kebo Anabrang di Melayu[1]," ucap sang pangeran.
Banyak Seta segera mengerti maksud tersirat Dyah Wijaya. "Hamba akan menunggu di sini sampai Paduka selesai dengan Raka Nambi dan Raka Gajah Pagon." [2]
Melihat itu, Nambi yang paling senior di antara mereka segera menyela, "Hamba dan Pagon lebih baik menunggu di kesatrian, Paduka. Sebab pembicaraan tentang angkatan perang di Melayu pasti akan memakan waktu lama."
Dyah Wijaya mengangguk. "Baiklah, kalian akan aku panggil lagi nanti."
Dyah Wijaya kemudian memasuki wilayah kediamannya, diikuti Banyak Seta. Setelah melintasi halaman luas yang diperkeras dengan batu-batu yang disusun berpola kotak-kotak dan lingkaran, mereka naik ke pendopo tempat menerima tamu dan melaksanakan pertemuan pegawai. Sang pangeran bersila di balai-balai dari kayu berukir, sedangkan Banyak Seta duduk di lantai kayu yang dipoles hingga mengkilap.
"Sekarang katakan berita penting apa yang membawamu ke sini, Seta."
Banyak Seta membuka bungkusan kain yang dibawanya, lalu diserahkan kepada Dyah Wijaya. "Seseorang teman hamba membawa ini dari Lasem."
Kening Dyah Wijaya mengernyit saat mengamati isi bungkusan. Ia terlihat tegang, namun tidak menunjukkan kekagetan. "Hmm, Lasem."
"Benar, Paduka." Banyak Seta kemudian menceritakan awal mula ia mendapat benda-benda itu. Sambil menceritakannya, Banyak Seta mengamati perubahan reaksi atasannya. Ia agak merasa aneh karena Dyah Wijaya seperti telah mengetahui hal itu.
Dyah Wijaya terdiam beberapa saat sambil membolak-balik mata tombak dan panah. "Bila dilihat dari bentuknya, sepertinya barang-barang besi ini dari Campa, dan mesiu ini dari Cina. Berapa banyak barang ini datang?"
"Menurut teman hamba, ada sepuluh kapal berukuran kecil dan sedang mendarat di Lasem. Tapi karena tidak sebesar jung, mereka tidak menarik perhatian," lanjut Banyak Seta.
Dyah Wijaya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk menyela perkataan Banyak Seta. Tatapannya menelisik tajam. "Menurutmu, ke mana barang-barang itu dibawa setelah mendarat, Seta?"
Banyak Seta tergagap karena dicecar seperti itu. "Menurut perkiraan hamba berdasarkan keterangan teman serta penyelidikan selama ini, senjata selundupan itu dikirim ke Kediri, Paduka."
Alis Dyah Wijaya terangkat dan badannya condong ke depan. "Ahaa! Kediri! Berarti kamu ingin mengatakan bahwa pelakunya adalah Paman Jayakatwang."
Banyak Seta langsung menangkap kecurigaan Dyah Wijaya. "Ampun, Paduka. Hamba tidak bermaksud memfitnah Paduka Jayakatwang. Mana mungkin abdi rendahan seperti hamba berani bicara buruk tanpa bukti tentang besan Paduka Raja Kertanagara? Apa yang hamba sampaikan semata-mata demi keselamatan negeri ini."[3]
"Di mana si pembawa kabar itu sekarang? Mengapa kamu tidak membawanya kemari?" tanya Dyah Wijaya lagi.
"Dia sudah meninggal. Seseorang menyerangnya saat memasuki ibukota."
"Hmm, meninggal ...." gumam Dyah Wijaya. Entah mengapa, laporan Banyak Seta terasa menjengkelkan. Bukan hanya karena serba tidak jelas, namun kabar yang ia terima tentang pemuda itu akhir-akhir ini membuatnya gamang.
"Paduka, perkenankan hamba menjelaskan tentang penyelidikan di Dusun Turus dan Girah," lanjut Banyak Seta.
"Turus dan Girah? Bukankah itu termasuk wilayah Kediri juga?"
"Benar Paduka."
"Baik, ada apa di sana?"
Banyak Seta kemudian menceritakan kunjungannya ke seorang pembuat senjata. Semula, ia ditugaskan untuk mencari tambahan pengrajin besi agar Singasari bisa membuat senjata dalam jumlah besar. Pencariannya malah berujung kecurigaan akan adanya pabrik senjata besar di wilayah Kediri yang berlokasi di dusun kecil di lereng Gunung Welirang, bernama Turus. Hal ini tentu saja mengherankan karena kebutuhan senjata negara bawahan setingkat kabupaten seperti Kediri seharusnya kecil. Untuk apa mereka memesan senjata sebanyak itu bila tidak sedang mempersiapkan sebuah perang besar?
Dyah Wijaya mengelus dagu beberapa kali. "Jadi menurutmu, Raja Kediri tengah membentuk angkatan perang untuk menandingi Singasari?"
"Benar, Paduka. Maafkan pemikiran hamba yang sempit ini."
"Tidak mengapa. Kamu adalah prajurit yang sangat cerdas. Tapi, apakah kamu punya bukti tentang pabrik senjata dan penyelundupan itu?"
"Ampun, Paduka. Saat hamba datang lagi ke Turus bersama Gajah Wilis, dusun itu telah ditinggalkan warganya dan tidak ditemukan bekas-bekas pandai besi. Semuanya bersih tanpa sisa."
"Kosong? Ke mana mereka semua?"
"Dari desas-desus yang hamba dengar, mereka meninggal karena wabah."
"Bagaimana menurutmu, Seta, apakah benar mereka meninggal karena wabah?" telisik Wijaya lagi.
"Ampun, Paduka. Hamba menduga mereka sengaja dibunuh atau disembunyikan di tempat lain."
"Lalu, apa hasil penyelidikanmu di Girah? Jangan katakan terkait dengan Kediri juga," tukas Wijaya.
"Benar, Paduka." Banyak Seta mendadak serba salah. Haruskah ia melaporkan bahwa penyerangan kiriman senjata dari pengrajin di Wurare beberapa waktu lalu berasal dari Girah dan pemimpinnya diperintah oleh seorang misterius dari Kediri? Akan tetapi, sudah menjadi kewajibannya untuk melapor, bukan? "Orang-orang Kediri berada di balik pencurian senjata istana beberapa waktu yang lalu."
"Wah, sangat mengesankan pemikiranmu itu." Ucapan Dyah Wijaya terkesan meremehkan. "Menyebut besan Baginda Raja tengah mempersiapkan makar adalah tuduhan yang sangat pelik, Seta."
Banyak Seta kontan bersujud. "Ampun, Paduka. Hamba akan menyelidiki lebih lanjut."
"Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya. Bagaimanapun juga, selama ini aku percaya padamu."
Banyak Seta menangkap makna tersirat dari kalimat pendek terakhir itu. Selama ini Dyah Wijaya percaya padanya. Apakah sekarang kepercayaan itu telah tergerus?
_____________
[1] Ekspedisi ke Melayu atau Pamalayu (1197 – 1215 Saka) adalah ekspedisi militer Singasari ke Pahang dan Tumasik di wilayah Semenanjung Melayu, serta Dharmasraya di Sumatra untuk mengamankan jalur perdagangan luar negeri dan membendung ekspansi Mongol. Ekspedisi ini dipimpin oleh Kebo Anabrang.
[2] Raka berarti kakak laki-laki. Fura pakai raka untuk panggilan para panglima kerajaan karena terasa lebih halus dari panggilan kakang.
[3] Salah satu putri Kertanagara dari selir menikah dengan Ardharaja, putra Jayakatwang, Raja Kediri. Ardharaja kemudian mengabdi di Singasari. Diduga, pernikahan ini bertujuan untuk memperkuat kekuasaan Kertanagara sebagai raja. Jayakatwang adalah keturunan putra Airlangga yang bernama Samarawijaya, Raja Panjalu atau Kediri pertama. Ia termasuk Wangsa Isyana. Leluhurnya membangun kerajaan besar bernama Medang. Dengan demikian, Jayakatwang merasa berhak atas tahta Jawa. Sedangkan Kertanagara bukan keturunan raja-raja Jawa terdahulu. Ia cicit Ken Dedes dari Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Dulu, Tumapel adalah wilayah kecil di bawah Kediri. Ken Arok kemudian menaklukkan Kediri dan membangun kerajaan baru bernama Singasari.
Mandala Singasari pada masa pemerintahan Raja Kertanegara. Sumber: Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata
🌼🌼🌼
Fura mau rekomendasikan lagi satu karya member jurusan Fiksi Sejarah The WWG. Kisahnya tentang cewek yang dihantui masa lalu leluhurnya. Setelah terlempar ke masa lalu, ia malah menemukan benang merah rahasia hidupnya.
Penasaran? Yuk cuus ke lapaknya: Alveename
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top