45. Gugur

Makasih buat Sobat Pembaca yang udah memberi emot api-api buanyaak. Bikin Fura semangat nulisnya :)

☘☘☘


Jerit kengerian Sarba dan Kambang menyertai keris Kebo Mundarang yang menyerbu Banyak Seta.

Buk!

Sebuah pukulan jarak jauh menghantam pipi Kebo Mundarang. Patih sakti itu terjatuh dan kerisnya tidak jadi mengenai Banyak Seta. Pandangannya berkunang-kunang. Ia menggeleng keras untuk mengembalikan kesadaran, lalu berusaha bangkit berdiri. Dicarinya siapa orang yang telah memukulnya. Begitu menemukan sosok itu, ia menggeram marah.

"Kau! Akhirnya keluar juga dari persembunyian!"

Kertanagara telah keluar dari Paseban. Dengan sekali entakan kaki, tubuh kekar itu melejit ke udara, langsung menuju tempat Kebo Mundarang berdiri.

Dalam kondisi biasa, kesaktian Patih Kediri itu masih berada di bawah Kertanagara. Namun, racun dalam arak yang ia minum benar-benar merusak nadi-nadi dan mengacaukan otak. Kesaktiannya menjadi tersumbat. Berkali-kali ia mengutuk diri sendiri. Mengapa tidak curiga pada arak yang rasa dan aromanya berbeda. Ia percaya saja saat pelayan mengatakan minuman tersebut adalah arak jenis baru yang sedang digemari di mancanegara. Memang benar, rasa arak itu sangat enak dan kuat. Namun di balik kenikmatan itu, terselip bahan berbahaya.

"Kertanagara! Serahkan pusaka rahasiamu sekarang juga!" hardik Kebo Mundarang.

Kertanagara menyeringai mengejek. "Pusaka rahasia untuk apa Mundarang? Kamu sudah tua, tidak membutuhkan penguat lingga lagi!"

"Heh! Kamu pasti tahu apa yang kumaksud! Pusaka untuk menguasai seluruh dwipantara! Cepat serahkan!"

Kertanagara terbahak. "Kalau itu yang kauinginkan, ambil otak dan jantungku. Pusaka itu ada di sini ... dan sini!" Sambil menatap tajam musuhnya, Kertanagara menuding kepala dan dadanya.

"Hah?"

"Pusaka pemersatu dwipantara itu adalah pikiran dan tekadku, bodoh! AMBILLAAAH!" Tawa Kertanagara membahana ke angkasa.

Merasa dipermainkan, Kebo Mundarang menggeram keras. "Biar kausembunyikan rapat-rapat, aku pasti menemukannya!"

"Sampai mati pun kamu tidak akan mendapatkannya, Kebo Dungu!"

Kebo Mundarang murka disebut dungu. Tanpa menjawab Kertanagara, ia berpaling ke anak buahnya. "Hadapkan tawanan itu kemari!"

Seorang prajurit perempuan datang membawa lelaki tua yang terikat dan tubuhnya luka-luka. Dari tempat duduknya di bagian belakang Balai Manguntur, Banyak Seta bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Ia masih bisa mengenalinya walau sekarang orang itu mengenakan pakaian prajurit.

"Kau!" seru Banyak Seta, geram.

Kebo Mundarang berpaling pada Banyak Seta dan terbahak saat melihat wajah yang terperangah. "Seta, kamu kaget? Perempuan ini telah mengecohmu! Ketahuilah, dia telik sandi paling berbahaya yang dimiliki Kediri. Namanya Wiji. Kamu pasti mengenalnya sebagai Seni, emban Putri Gayatri."

Wanita itu menyeringai, memamerkan kemenangan. Banyak Seta tidak ingin membuatnya senang dengan meladeni hinaan itu. Pandangannya beralih pada pria yang dibawa Seni. Melihat penampilannya, pria malang itu seperti seorang pendeta. Wajahnya terlihat asing, padahal Banyak Seta mengenal semua pendeta istana dan luar istana yang dekat dengan Kertanagara.

Melihat Kertanagara sangat mengenal lelaki itu, Banyak Seta yakin junjungannya menyimpan rahasia besar di istana ini.

"Paduka, maafkan hamba yang telah gagal melindungi perpustakaan milik Paduka." Sang pendeta ambruk, bersujud di hadapan Kertanagara.

Kertanagara mengangguk. "Sudahlah. Melihat Kebo dungu ini mengamuk di hadapanku, aku yakin kamu telah menjalankan amanat dengan sangat baik, Mpu Sambi."

Kebo Mundarang menjambak rambut Mpu Sambi dan menekan kerisnya di leher pria itu. "Mpu tua bangka! Katakan di mana pusaka itu!"

Kertanagara terbahak. "Dia tidak akan buka mulut, Kebo Bodoh!"

"Kertanagara, katakan di mana pusaka itu atau kubunuh orang ini!" Kebo Mundarang menekan keris semakin dalam sehingga leher Mpu Sambi tergores.

"Lepaskan dia! Dia tidak tahu apa-apa!" tukas Kertanagara.

Tanpa terduga, Mpu Sambi berseru, "Maafkan hamba, Paduka! Hamba mohon pamit!"

Selesai mengucapkan kata perpisahan, Mpu Sambi mengerahkan sisa tenaga untuk bangkit dan menghantam dada Kebo Mundarang dengan kepalanya. Benturan penuh tenaga itu berhasil mengenai ulu hati Kebo Mundarang dan membuat jantungnya kram. Ia jatuh terjengkang dengan mata membeliak. Namun, upaya itu memakan korban. Kepala dan tubuh Mpu Sambi lebur menjadi percikan cahaya ketika membentur tubuh Kebo Mundarang. Rupanya, sang Mpu mengorbankan diri untuk melemahkan kesaktian musuh. Dalam sekejap, pendeta gaib itu lenyap dari pandangan.

Banyak Seta berhasil memulihkan tenaga selama perdebatan itu. Ia segera mengambil tombak Ranggah Rajasa, lalu menyerbu Kebo Mundarang yang masih terduduk di lantai balairung akibat terjangan Mpu Sambi.

Tahu dirinya diserang, Kebo Mundarang memasang tangan di depan dada sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan mata tombak agar tidak menembus tubuh. Terjadilah adu kesaktian. Kali ini, kekuatan mereka seimbang karena jantung Kebo Mundarang telah terluka oleh Mpu Sambi.

"Hhhhrrrgh!" Geraman Banyak Seta menyertai pengerahan energi tingkat tinggi.

"Hiyaaaah!" Kebo Mundarang menyerang balik dan berhasil menghalau tombak Ranggah Rajasa.

Banyak Seta terpelanting akibat serangan balik itu. Kebo Mundarang bangkit dengan cepat dan puas melihat mulut musuhnya kembali mengeluarkan darah segar.

"Inikah panglima Singasari yang kata orang sangat sakti? Ternyata hanya sampai di situ kemampuanmu!" ejeknya.

Banyak Seta kembali bangkit tanpa memedulikan tawa Kebo Mundarang yang menggelegar. Tombak pusaka kembali digenggam erat. Seluruh ototnya mengencang saat menghunus senjata ke dada musuh. Tatapannya garang, menghunjam manik mata Kebo Mundarang tanpa ragu. Berkat adu kesaktian tadi, ia justru melihat celah untuk merontokkan kekuatan pria itu.

"Hiyaaaaah!" Banyak Seta menerjang secepat kilat ke depan, menyasar titik kelemahan Kebo Mundarang.

Ternyata, Banyak Seta salah. Kebo Mundarang dengan cepat menutupi titik kelemahannya. Akibatnya fatal. Banyak Seta kembali terpental dengan dada nyaris remuk.

Banyak Seta masih sanggup bangkit walau kini napasnya tersengal. Bukan panglima bila ia menyerah begitu saja. Kaki kanannya ditarik ke belakang dan tombaknya kembali diarahkan ke Kebo Mundarang. Dengan pekikan keras, ia menerjang.

"SETA, CUKUUUP!" Kertanagara berseru nyaring untuk menghentikan serangan Banyak Seta. Ia tahu pemuda itu tidak akan sanggup mengalahkan Kebo Mundarang.

Gerakan Banyak Seta membeku. Ia hendak menyanggah rajanya, namun Kertanagara memberi isyarat agar berhenti.

"Pulihkan tenagamu. Dia bukan lawanmu," ucap Kertanagara.

Raja terbesar Singasari itu maju ke hadapan Kebo Mundarang sambil mencabut keris warisan Ranggah Rajasa yang selama ini hanya disimpan di gedung pusaka. Keris bertuah telah dilepaskan dari sarungnya. Dengan demikian, senjata itu pasti akan mengambil nyawa sebelum disarungkan.

Kebo Mundarang sempat melihat kilau keris yang berlekuk tujuh itu. Ukiran di bilahnya kasar, seperti belum selesai dihaluskan. Tangkainya pun hanya besi mentah yang dilindungi pengapit kayu jati polos tanpa hiasan. Nyali Kebo Mundarang langsung ciut. Ia tahu senjata apa yang tengah teracung ke wajahnya itu.

Keris Mpu Gandring? Bahaya!

Kertanagara dan Kebo Mundarang memasang kuda-kuda sambil merapal mantra untuk mengerahkan kesaktian pamungkas. Kertanagara juga menyiapkan jurus tersaktinya. Dalam beberapa tarikan napas, kedua orang itu menerjang bersamaan. Pukulan-pukulan penuh energi tingkat tinggi saling menyasar ke tubuh lawan. Benturannya memekakkan telinga. Beberapa prajurit rebah bersimbah darah terkena serangan nyasar. Anggota pasukan yang lain memilih mundur hingga jarak yang aman, sekitar dua puluh tombak dari arena.

Tak berapa lama, arena pertempuran Kertanagara dan Kebo Mundarang beralih ke halaman depan Balai Manguntur. Walau telah meminum arak beracun, Kertanagara masih lawan yang tangguh. Keris Mpu Gandring membabat semua celah kelemahan musuh. Kebo Mundarang sempat kewalahan. Di satu titik, ia terpaksa jungkir balik untuk menangkis dan menghindari serangan. Saat berguling itulah, ia sempat melihat tangan Kertanagara yang memegang keris gemetar setelah terkena tangkisannya.

Ternyata di situ letak kelemahanmu!

Tahu musuhnya kewalahan, Kertanagara memburunya dengan beringas. Kebo Mundarang sempat berguling ke samping untuk menyelamatkan diri sehingga Keris Mpu Gandring hanya menerjang udara. Dari posisi jongkok itu, ia bangkit dengan gesit. Pertahanan Kertanagara telah terbuka akibat serangan yang tidak mengenai sasaran. Segera dipukulnya lengan Kertanagara. Suara gemertak terdengar. Keris Mpu Gandring terlempar dua tombak jauhnya.

"Aaargh!" Kertanagara mengerang keras sambil memegangi lengan kanannya yang sangat ngilu. Sepertinya, ada tulang yang retak.

Melihat musuhnya melemah, Kebo Mundarang menghunjamkan keris ke dada Kertanagara, tepat di jantungnya.

Trang!

Alih-alih menembus dada Kertanagara, keris Kebo Mundarang malah terpental dan jatuh di tanah.

"Hah? A-apa ini?" Kebo Mundarang kaget. Ternyata ilmu kebal Kertanagara sangat hebat. Kalau seperti ini, tinggal menunggu waktu saja. Ia pasti akan kalah dan terbunuh.

Kebo Mundarang memutar otak mencari akal. Mumpung Kertanagara masih terengah akibat mengerahkan tenaga dalam penyerangan tadi, ia meloncat untuk mengambil keris Mpu Gandring. Ia tahu kutukan yang disematkan oleh pembuatnya. Mpu Gandring dibunuh oleh Ken Arok atau Ranggah Rajasa ketika membuat pusaka itu. Dalam sakaratul maut, sang mpu mengutuk Ranggah Rajasa dan keturunannya akan mati oleh kerisnya.

Kertanagara sebenarnya sudah sangat kepayahan akibat racun dan pengerahan kesaktian. Ia tahu musuhnya mengambil keris Mpu Gandring. Akan tetapi, tenaganya hanya tersisa sedikit untuk meladeni pertempuran. Ia pasti akan mati saat memperebutkan senjata itu. Ia harus menggunakan sisa tenaga untuk hal yang paling berguna.

"Hiyaaaah!" Kertanagara memekik sambil mengirim gulungan energi ke arah Banyak Seta. Pemuda itu kontan melambung jauh, keluar dari arena pertempuran.

Selanjutnya, Kertanagara menggulungkan energi ke arah Sarba dan Kambang sehingga tubuh keduanya ikut terpelanting ke udara, menyusul tuannya.

Selepas mengirim ketiga orang itu keluar istana, Kertanagara benar-benar kehabisan tenaga. Ia berusaha berdiri tegak dan memutar tangan kiri di depan dada untuk membuat perisai gaib. Kebo Mundarang tidak menyiakan kesempatan itu dan segera menerjang dengan keris Mpu Gandring. Kertanagara berusaha menahannya sekuat tenaga. Namun sia-sia. Kutukan Mpu Gandring kembali berlaku.

Kertanagara pasrah menerima takdir. Sepanjang hayat, ia sudah memenangkan banyak pertempuran dan menyatukan dwipantara. Belum ada raja Jawa yang menandingi pencapaian itu. Senyum puas tersungging di wajah sang raja besar ketika keris Mpu Gandring menembus pertahanan terakhirnya.

Author's Note:

Kitab Negarakertagama mencatat Kertanagara wafat pada tahun 1214 Saka. Mengenai penyebab meninggalnya Kertanagara akibat tusukan keris Mpu Gandring hanyalah rekaan Fura.

Tragis ya, nasib Kertanagara. Padahal angkatan tempurnya disegani oleh negara-negara manca. Namun saat tragedi itu terjadi, mereka berada jauh dari ibukota. Serangan pemberontak telah direncanakan matang jauh-jauh hari dengan diam-diam, lalu langsung menyerang pusat kekuasaan.

Di masa sekarang, ancaman terhadap kedaulatannegara selalu ada. Mari kita mempelajari sejarah agar belajar dari kesalahanpara pendahulu di masa lalu..

Bagi Sobat pembaca yang merasa mendapat sesuatu dari kisah Singasari ini, dimohon untuk menyematkan emoticon apa pun di kolom komentar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top