42. Pertempuran di Balai Manguntur

Banyak Seta mengerang sambil memegangi bahu kiri yang terluka. Keris Kebo Wungkul masih menancap di sana. Untung saja ia sempat berkelite sehingga senjata itu hanya menyasar puncak bahu, lalu tembus ke punggung bagian atas. Hanya ototnya yang terluka, sedangkan organ dalamnya masih aman.

Ketiga Kebo tidak mau membiarkan musuhnya mengumpulkan tenaga. Ketiganya terjun ke tanah untuk memburu Banyak Seta. Kebo Wungu dan Kebo Sumurup segera menyerang sebelum Banyak Seta sempat bangkit. Kebo Wungkul mengambil tombak milik prajurit yang tewas, lalu menyusul kedua saudaranya.

Banyak Seta berguling ke samping dengan cekatan. Sabetan keris Kebo Wungu dan Kebo Sumurup hanya mengenai udara. Tombak Kebo Wungkul malah menancap di tanah dan sulit dicabut. Banyak Seta memanfaatkan saat kritis itu untuk bangkit dan mencabut keris Kebo Wungkul. Rasa sakit yang menyayat tak dihiraukannya.

"Hiyaaah!" Banyak Seta menyerang balik menggunakan keris Kebo Wungkul yang diisi tenaga dalam. Ia terpaksa mengerahkan ilmu pamungkas demi menghemat waktu.

Ketiga Kebo langsung terpelanting. Tubuh mereka menghantam dinding gedung, lalu jatuh ke tanah. Darah meleleh dari luka robek di perut. Banyak Seta meninggalkan mereka dan melesat menuju Balai Manguntur tempat Kertanagara disandera.

"Tuan!" Sarba dan Kambang berlari menyusul atasannya.

Banyak Seta menoleh dan seketika kecewa karena hanya menemukan kedua kakak beradik itu. "Di mana penjaga penjara? Mereka gugur?"

"Tidak, Tuan. Kami tadi sempat dikeroyok tiga puluh orang, tapi selamat karena dibantu Tuan Panji Patipati. Para penjaga penjara itu sekarang diminta membantu mengawal putri-putri Paduka Raja karena Tuan Panji Patipati hanya seorang diri," sahut Kambang.

Banyak Seta tahu siapa Panji Patipati. Pemuda itu telah menjadi murid kesayangan Kertanagara sejak kecil, bahkan selalu berada di kaki sang raja untuk memijatnya. Ayahnya—yang juga bernama Panji Patipati—adalah pujangga kerajaan yang memangku agama Siwa. Karena jasanya, Panji Patipati Tua mendapat anugerah tanah perdikan Sukamerta. Sedangkan jabatan Panji Patipati Muda saat ini adalah rakryan demung yang memimpin pasukan penjaga keselamatan raja.[1]

"Panji Patipati hanya seorang diri? Ke mana pasukan pengawal raja?" Banyak Seta semakin cemas akan nasib Kertanagara.

"Semua sudah gugur," sahut Kambang. "Tuan Panji Patipati meninggalkan balairung karena diperintah Baginda Raja untuk mengungsikan putri-putri Paduka ke Sumenep, ke tempat Paduka Arya Wiraraja."

Banyak Seta merasakan kehancuran sudah di depan mata. Pasukan elite yang merupakan garda pertahanan terakhir Kertanagara pun telah sirna. Ia teringat Gayatri dan berusaha mendeteksi keberadaan kerisnya. Hanya sayang, tidak terasa getaran apa pun. Ia bahkan tidak tahu di mana pusaka itu berada. Hati Banyak Seta semakin carut-marut. Mengapa bisa begini? Ke mana perginya gadis itu?

"Tuan terluka?" Sarba mengerling ke bahu kiri junjungannya yang berlumur darah.

Banyak Seta segera meredakan debaran jantung akibat bayangan Gayatri sempat melintas. "Tidak apa-apa, hanya luka kecil. Apakah Panji Patipati memberi tahu tentang keadaan di dalam balairung?"

Kilau mata Sarba dan Kambang meredup. Bahkan terlihat air mata menggenang.

"Tuan Panji Patipati bertempur sampai semua pasukannya terdesak ke dalam balairung. Beliau dan sisa pasukan pengawal akhirnya hanya bisa berdiri di sekeliling Baginda Raja dan Mahapatih sebagai tameng," tutur Kambang sambil berusaha menahan air matanya agar tidak berjatuhan. "Tapi, Baginda Raja kemudian memerintahkan pasukan Tuan Panji Patipati menerobos keluar untuk menyelamatkan putri-putri Baginda. Dalam usaha keluar itu, semua anggota pasukan beliau gugur."

"Ada siapa saja di dalam balairung?"

"Baginda Raja, Paduka Permaisuri Bajradewi, Mahapatih Aragani, mahapatih terdahulu Paduka Raganata, dan semua menteri, serta pendeta istana." Kambang melaporkan kondisi istana sesuai permintaan Panji Patipati.

"Tuan Panji Patipati berharap Tuan Seta bisa menyelamatkan Baginda Raja. Hanya Tuan satu-satunya panglima yang tersisa di istana ini." Sarba tak kuasa menahan air mata yang memaksa jatuh dari pelupuk. Singasari yang digdaya dan disegani di seantero dwipantara runtuh dalam satu malam.

Banyak Seta menepuk pundak kedua anak buah setia itu untuk meneguhkan semangatnya. "Ayo, kita harus bisa masuk ke dalam balairung!"

Ketiga orang itu dengan hati-hati mengendap di antara bangunan yang tidak terbakar. Dari tempat persembunyian itu, mereka dapat melihat keadaan istana. Lapangan di depan Balai Manguntur dan Balai Witana telah dipenuhi oleh prajurit Kediri yang bersiaga penuh. Mereka mengenakan kain hitam di lengan sebagai penanda. Jumlahnya ternyata lebih banyak dari yang semula terlihat, kemungkinan mencapai dua ribu orang. Terlihat Pudot dan Bowong berada di atas kuda, memimpin dari belakang. Semua pengepung itu hanya diam di tempat. Tampaknya, mereka menunggu sesuatu.

"Pasukan Kediri sebanyak itu," keluh Kambang.

"Tidak semua dari Kediri. Lihat baik-baik kain batik mereka." Sarba menunjuk ke pasukan yang bersiaga itu.

Kambang memicing sejenak, lalu menggeram. "Banyak sekali yang memakai kain seragam pasukan Singasari, tapi mengenakan kain hitam di lengan. Kurang ajar! Pengkhianat!"

"Mereka orang-orang yang disusupkan ke pasukan tempur Singasari," sahut Banyak Seta. "Mereka diam-diam dikendalikan oleh Kediri."

Ketiga orang itu terdiam saat menyadari betapa para pembesar Singasari telah lengah. Bertahun-tahun penyusupan itu berlangsung tanpa terdeteksi.

"Kita harus ke mana, Tuan, Balai Manguntur atau Balai Witana?" tanya Sarba.

Banyak Seta mengamati dengan mata batinnya untuk mencari keberadaan Kertanagara. Balai Witana yang lebih kecil hanya berisi para pemain musik dan penari dan pelayan yang terjebak dalam kekacauan ini. Mereka dikumpulkan di tengah balai, dibawah acungan belasan tombak. Orang-orang ini pasrah menanti nasib.

Balai Manguntur bagian depan dipenuhi menteri dan pendeta yang juga berkumpul di tengah. Hanya saja, mereka menggenggam senjata dan siap melawan bila para pemberontak itu menyerbu. Posisi mereka membentuk barikade manusia di depan pintu yang memisahkan ruang terbuka dengan ruang privat di sisi selatan balai yang disebut Paseban. Pasukan pemberontak menjaga mereka dengan ketat, namun tidak melakukan serangan.

Banyak Seta yakin Kertanagara dan para pejabat tertinggi pasti berada di Paseban. "Baginda ada di Paseban. Kita langsung ke sisi kanan Balai Manguntur, lalu kalian masuk ke Paseban."

"Bagaimana cara masuk ke sana? Tidak ada celah untuk menyelinap ke dalam balairung," tanya Sarba, lebih lirih dan terasa lemas.

"Aku akan membuka jalan. Begitu mereka kacau, kalian segera masuk dan bawa Baginda Raja keluar istana. Kita bertemu di bukit di utara rumahku. Paham?"

Ketiga orang yang dipersatukan dalam banyak pertempuran itu saling tatap untuk terakhir kali sebelum berpencar. Mereka tidak tahu apakah badan dan nyawa mereka tetap utuh saat matahari terbit nanti. Satu hal yang nyata di depan mata adalah darah dan lautan api itu telah memanggil jiwa-jiwa pejuang. Dan mereka akan menjawabnya dengan bertempur hingga embusan napas penghabisan.

Sarba dan Kambang mengangguk paham. Banyak Seta pun melesat ke tengah ribuan prajurit pemberontak yang mengepung balairung. Belasan prajurit roboh dalam sekali tebasan keris berisi ajian pamungkas. Sarba dan Kambang membuntuti di belakang tuannya.

Para prajurit itu kaget, namun segera melancarkan serangan balasan. Mereka beramai-ramai menyerang Banyak Seta dan kedua abdinya. Tiga orang itu bagaikan manisan yang dikerubut ribuan semut. Banyak Seta kembali mengayunkan senjata ke segala arah. Energi mematikan itu menyapu para prajurit. Mereka kontan bergelimpangan meregang nyawa seperti kawanan semut yang terkena semprotan racun serangga. Serangan itu berhasil membuka jalur masuk ke Balai Manguntur.

Sarba dan Kambang memanfaatkan momen yang hanya berlangsung beberapa kedipan mata itu untuk melesat masuk ke Balai Manguntur. Di dalam, mereka langsung diserang oleh puluhan prajurit pemberontak. Melihat masih ada prajurit Singasari yang berusaha menyelamatkan mereka, para menteri dan pendeta yang memiliki kemampuan bela diri segera menceburkan diri dalam perkelahian. Pertempuran sengit pun tak terelakkan.

Banyak Seta tidak meladeni prajurit rendahan di luar Balai Manguntur. Ia segera melesat ke dalam balai, menyusul Sarba dan Kambang. Tiba-tiba, seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauh. Banyak Seta terpaksa menghentikan langkah untuk menangkisnya. Ketika telah menguasai keadaan, ia menemukan dua lelaki berdiri menghadangnya.

Banyak Seta yakin, waktu adalah penentu. Ia harus mendapatkan Kertanagara segera dan membawanya pergi. Tanpa berkata apa pun, ia menerjang Pudot dan Bowong. Keris milik Kebo Wungkul yang digenggamnya menjadi beringas dan haus darah, menebas ke semua titik lemah musuh. Keris kecil berlekuk lima itu terpaksa beradu dengan gada milik Bowong dan golok besar yang merupakan senjata andalan Pudot.

Pudot dan Bowong sebenarnya cukup malu harus main keroyok seperti ini. Namun, mereka tidak yakin bisa menandingi Banyak Seta dalam duel satu lawan satu. Keduanya pun menyatukan tenaga dalam dan menghadang serangan Banyak Seta dengan balas memukul.

Kedua panglima Kediri itu ternyata sangat sakti. Pukulan bersama mereka membuat Banyak Seta kewalahan dan terpental jauh. Ia masih selamat dari luka dalam berkat kesaktiannya.

Banyak Seta segera bangkit sebelum lawannya menyerbu. Dibuangnya keris Kebo Wungkul karena terlalu ringkih untuk dimuati energi kesaktiannya. Sebagai ganti, ia mengambil dua golok milik prajurit yang tewas.

"Hiyaaaah!" Banyak Seta melejit ke arah Pudot dan Bowong.

Kedua panglima Kediri itu memekik bersamaan. Empat senjata beradu hingga timbul percikan bunga api dan bunyi yang membuat ngilu telinga. Gagal dalam usaha pertama, Banyak Seta melancarkan serangan kedua. Kali ini, goloknya berhasil ditahan oleh Pudot dan Bowong.

"Hhhgh!" Banyak Seta berusaha menekan goloknya ke gada Bowong dan golok Pudot. Wajahnya memerah. Pembuluh darah menyembul di kening, leher, dan lengan karena ia mengerahkan segenap tenaga.

"Heeeeegghh!" Pudot dan Bowong berusaha mati-matian menahan golok Banyak Seta.

Ketiganya membeku di tengah arena, kekeh mempertahankan diri. Sementara itu, pasukan pemanah Kediri telah meregangkan busur dan mengarahkan anak panah ke arena pertempuran ketiga panglima itu. Mereka tinggal menunggu aba-aba untuk melepaskan serangan.

Tiba-tiba, Pudot dan Bowong yang semula berada di hadapan Banyak Seta menyingkir ke samping secara bersamaan. Kekuatan yang semula berusaha didesak oleh Banyak Seta lenyap. Akibatnya, pemuda itu terhuyung ke depan dan jatuh tersungkur.

"Panaaaaah!" seru Pudot.

Puluhan anak panah berdesingan menembus udara, menyerbu tubuh Banyak Seta yang masih dalam kondisi terjerembab.

__________________

[1] Panji Patipati ayah dan anak disebut dalam Prasasti Sukamerta yang ditemukan di lereng Gunung Penanggungan. Prasasti ini menetapkan kembali status Desa Sukamerta sebagai desa bebas pajak atau sima. Dikeluarkan pada tahun 1218 Saka oleh Dyah Wijaya, yang saat itu telah menjadi Raja Majapahit bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

Tapiiii, jabatan Panji Patipati Muda sebagai kepala pasukan pengawal raja hanya rekayasa Fura. Heheh ....


Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊 Makasiiiih!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top