41. Ibukota Lautan Api
Pasukan Kediri yang dipimpin oleh Kebo Mundarang, Pudot, dan Bowong bergerak diam-diam ke utara, menuju ibukota Singasari. Agar tidak menarik perhatian, mereka bersembunyi di hutan-hutan sekitar ibukota dan di desa-desa kecil di sekitarnya. Sudah bertahun-tahun lamanya Kediri menyiapkan puluhan desa di sepanjang jalur selatan untuk menjadi sekutu dalam melawan Raja Kertanagara. Petani-petani sederhana itu menyediakan tempat transit, gudang senjata, serta pasokan makanan bagi pasukan ketika serangan besar berlangsung.
Ribuan prajurit terlatih mengendap di kegelapan malam. Mereka bergerak tanpa suara, tanpa tabuh-tabuhan yang biasa mengiringi pasukan tempur, bahkan umbul-umbul dan selembar bendera pun tidak. Pasukan besar itu seperti kabut neraka yang merayap diam-diam. Di dekat gerbang selatan ibukota, mereka membagi diri. Sebagian tinggal di selatan, sedangkan yang lain menuju sisi timur, barat, dan utara. Dalam waktu tidak terlalu lama, ibukota telah dikepung oleh orang-orang Kediri. Mereka tinggal menunggu aba-aba untuk menyerbu.
Tepat tengah malam, Kebo Mundarang mengamati ibukota dari puncak bukit di dekat gerbang selatan. Di sisinya, berdiri Pudot dan Bowong. Seorang prajurit telik sandi berlari dari kaki bukit menuju ke tempat mereka.
"Lapor, Paduka Patih," ucap lelaki itu setelah berlutut dan menghaturkan sembah. "Semua pasukan telah siap di tempat mereka masing-masing dan menunggu perintah Paduka."
Kebo Mundarang yang malam ini terlihat semakin angker karena sosok kekarnya hanya diterangi obor kecil, menyahut dengan berdeham lirih.
"Bagaimana penduduk desa?"
"Penduduk desa di sekitar kutaraja juga telah siap untuk menghancurkan semua arca dan tempat pemujaan," lanjut prajurit itu lagi.
"Baiklah. Pastikan mereka menghancurkan semua pelindung gaib Kertanagara," titah Kebo Mundarang.
"Hamba laksanakan!" Prajurit itu memberi sembah, lalu melesat menuruni bukit untuk bergabung dengan pasukannya.
Kebo Mundarang sejenak menengadah, memandang langit yang kelam. Mendung tebal menggayut dan udara menjadi berat dan dingin. Ia dapat mencium aroma kematian dari embusan angin yang menerobos pekatnya malam. Alam seolah memberikan restu untuk misi besar mereka.
Kebo Mundarang berpaling ke Bowong. "Tembakkan panah api!"
"Siap!" Bowong segera memberi kode kepada bawahannya. Dalam beberapa tarikan napas, sebuah panah menyala membelah langit Singasari yang gelap pekat. Perintah untuk menyerbu telah diluncurkan. Segenap pasukan Kediri melihat tanda itu dan segera bergerak.
Dari tempatnya berdiri, Kebo Mundarang menyaksikan lautan obor yang dinyalakan oleh ribuan prajurit yang telah mengepung ibukota. Bersamaan dengan itu, terdengar gemuruh pekikan perang dari empat penjuru mata angin.
Senyum terulas di bibir Patih Kediri tersebut saat api mulai berkobar, membakar pemukiman di dekat gerbang kota. Pasukannya berhasil masuk ke kutaraja dan mulai membumihanguskan isinya. Teriakan para prajurit segera bercampur dengan jerit tangis perempuan dan anak-anak. Pemukiman damai berubah menjadi arena pembantaian. Ibukota Singasari pun menjadi lautan api dalam sekejap.
Kegaduhan luar biasa itu terdengar sampai di penjara. Banyak Seta mengakhiri semadinya. Saat membuka mata, ia melihat langit yang semula gelap pekat, kini menjadi terang karena kobaran api yang melalap perumahan penduduk.
"Apa itu, Tuan?" Sarba beringsut ke jeruji besi sambil menengadah ke langit.
Wiskira, Kambang, dan tawanan dari Bakula Pura ikut mendekat ke depan sel. Wajah mereka seketika memucat.
"Orang Kediri!" seru Wiskira. "Mereka datang secepat ini!"
"Mengapa istana terlihat tenang-tenang saja?" Kambang rupanya melihat gelagat mencurigakan.
"Pasukan pembela Paduka Raja Kertanagara sebagian besar berangkat ke utara," sahut Banyak Seta. "Yang tersisa di istana pastilah antek-antek Kediri."
Penjaga penjara yang berjumlah delapan orang juga melihat kegaduhan itu. Mereka memanjat tembok pagar untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian, mereka turun dan langsung kalang kabut.
"Kutaraja diserang musuh!"
"Kurang ajar! Dari mana mereka?"
"Pasukan apa itu?"
"Mereka tidak punya bendera atau umbul-umbul!"
"Mana pasukan kita?"
"Ya, dewa! Ke mana pasukan tempur kita?!"
"Kita harus lapor!"
"Lapor kepada siapa? Paduka Wijaya membawa semua bekel dan panglima."
Delapan prajurit rendahan itu panik dan tidak tahu harus berbuat apas. Banyak Seta segera memanfaatkan kelengahan para prajurit itu.
"Sarba, Kambang, sekarang saatnya kita keluar!"
Banyak Seta segera bertindak. Dilepaskannya ikatan Wiskira dan temannya, lalu membuka pintu sel dengan kekuatan tenaga dalamnya. Rantai pengikat pintu putus tertebas oleh pukulannya.
Perbuatan itu mengundang perhatian penjaga yang baru bergunjing di halaman.
"Hei! Mereka mau kabur!" seru penjaga. Delapan prajurit yang berjaga malam itu kontan mengambil golok serta tombak.
Mereka penjaga berlari mendatangi sel Banyak Seta. Namun, upaya itu terhenti karena serombongan prajurit lain menerobos penjara dan menyerang para penjaga itu.
"Kurang ajar! Mengapa kalian menyerang kami?" seru pemimpin para penjaga. Sudah pasti, ia kebingungan diserbu teman sendiri.
Sepuluh orang musuh itu tidak menjawab, malah semakin gencar mengayunkan golok dan keris ke tubuh mereka. Terjadilah pertempuran antara hidup dan mati di tempat angker itu.
Banyak Seta dan anak buahnya segera bergabung dengan para penjaga untuk menyelamatkan mereka. Dalam sekejap, musuh kalah jumlah. Belum lagi kesaktian Sarba dan Kambang memang di atas para prajurit rendahan itu. Hanya dalam beberapa jurus, kesepuluh orang itu tergeletak di tanah sambil mengerang kesakitan.
"Siapa sebenarnya orang-orang ini?" seru pemimpin penjaga.
"Mereka pemberontak Kediri."
Para prajurit itu kaget. "Kediri?"
"Ya! Istana ini sudah dipenuhi orang-orangnya Paduka Ardharaja. Mereka akan membunuh Paduka Raja."
Para prajurit lugu itu membeku seketika. Peristiwa ini terlalu sulit untuk dicerna nalar. Bagaimana mungkin sekutu terdekat raja malah berkhianat?
"Aduh! Paduka Wijaya malah dikirim ke utara," keluh pemimpin mereka. Ia kemudian menatap Banyak Seta dan mulai memahami mengapa panglima muda ini dijebloskan ke penjara. Tanpa Banyak Seta, kekuatan Dyah Wijaya akan berkurang banyak.
"Cepat kalian pergi! Istana ini akan dihancurkan oleh mereka!" perintah Banyak Seta.
Pemimpin penjaga itu percaya pada Banyak Seta. Ia juga berhutang nyawa. "Tidak, Tuan. Saya akan ikut Tuan!"
"Ya! Kami tahu Tuan setia pada Paduka Raja!" timpal rekan-rekannya.
"Baiklah. Ada berapa orang kalian?" tanya Banyak Seta.
"Giliran jaga malam ini, hanya kami berdelapan."
"Kalau begitu, ambil semua senjata kalian. Kita harus menyelamatkan Paduka Raja."
Banyak Seta mempersenjatai dirinya, anak buah, Wiskira, serta pedagang dari Bakula Pura dengan golok dan tombak dari penjaga penjara. Ia meminta ayahnya dan si pedagang untuk menyusup keluar istana.
"Bapa, buatlah jalur pelarian yang aman untuk Paduka Raja," pintanya.
Wiskira mengangguk. "Aku sudah menyusuri daerah utara sampai selat Madura. Mereka masih setia pada Paduka Raja."
"Daerah mana yang paling aman, Bapa?"
"Terung, Kembang Sri, sampai Hujung Galuh. Lalu Tawangalun dan Pamotan."[1]
"Berarti kita ke Madura?" tanya Banyak Seta lagi. "Bukankah Paduka Arya Wiraraja sempat kesal pada Paduka Raja karena disingkirkan ke Madura?"
Wiskira menggeleng. "Walaupun begitu, Paduka Arya Wiraraja adalah sesepuh yang dihormati baik oleh Baginda Raja Kertanagara maupun oleh Paduka Jayakatwang. Beliau hanya tidak setuju dengan niat Paduka Raja menentang Mongol. Aku yakin Madura adalah tempat paling aman untuk mengungsi."
Banyak Seta tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Di luar tembok penjara, denting senjata dan pekikan pertempuran semakin riuh. Ia langsung setuju. "Baik, Bapa. Kita buat jalur ke Madura."
Wiskira mengangguk. Sebelum berpisah, ia memeluk putranya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Banyak Seta. Kerinduannya pun belum tertuntaskan. Entah, apakah semesta masih mengizinkan mereka untuk berjumpa kembali, atau justru memisahkan mereka selamanya. Agaknya, kali ini pun hatinya dipaksa untuk mengikhlaskan, seperti tiga tahun lalu saat ibu Banyak Seta dipanggil pulang ke alam suargaloka.
"Hati-hati, Seta." Air mata Wiskira merembes tanpa diminta.
"Bapa juga," bisik Banyak Seta. Disesapnya untuk terakhir kali aroma tubuh sang ayah dan kehangatan pelukannya, lalu segera melepasnya. Ia tidak ingin hanyut dalam kesedihan.
Wiskira dan si pedagang Bakula Pura bergegas memanjat tembok penjara, lalu menyusup keluar istana. Dari penjara yang terletak di sisi barat kamp pasukan elite Dyah Wijaya, mereka memilih jalan yang sepi dan gelap demi menjauh dari pertempuran. Sementara itu, Banyak Seta segera mengatur pasukan penjaga penjara.
"Kita langsung menuju Balai Manguntur[1]," perintah Banyak Seta. "Kalian siap?"
Banyak Seta mengedarkan pandangan pada pasukan kecilnya. Ia tidak khawatir dengan Sarba dan Kambang. Walau luka-luka, keduanya memiliki keterampilan bertempur yang mumpuni. Namun, para penjaga ini terlalu hijau. Bahasa tubuh mereka menampakkan jiwa yang menggelepar gelisah. Beberapa orang terlihat gemetar saat mengusung perisai, tombak, dan golok dari gudang penyimpanan senjata. Sebagian lagi mematung dengan tatapan kosong. Kematian yang mungkin menunggu mereka di luar tembok penjara pasti tampak sangat mengerikan bagi para pemula ini.
"Kalian siap?" seru Banyak Seta. Tangannya meraih beberapa golok yang teronggok di tanah.
"S-siap!" sahut kepala penjaga dengan gagap, diikuti anak buahnya.
"Kalian ingat kemuliaan seorang prajurit adalah melindungi Baginda Raja dan Singasari sampai titik darah penghabisan!"
Para prajurit itu mulai menegakkan tubuh. Banyak Seta membagikan golok kepada mereka yang belum memegang senjata sambil menatap lurus-lurus ke dalam manik mata mereka satu demi satu. Para prajurit itu seperti mendapat sengat listrik. Jiwa pejuang mereka seketika tergugah. Sekarang mereka mengerti mengapa panglima muda ini paling disegani di antara panglima-panglima Dyah Wijaya.
"Kematian tidak menghalangi kita untuk berjuang!" Banyak Seta kembali membakar semangat mereka.
"Siap berjuang!" sahut mereka.
Para prajurit yang semula ketakutan, kini menegakkan tubuh dan membusungkan dada. Air mata merembes tanpa sengaja.
"Kami siap mati demi Raja dan Singasari!" seru mereka penuh tenaga. Golok-golok terhunus ke udara.
Banyak Seta mengangguk puas. "Bagus! Sekarang, dengarkan perintahku!"
Banyak Seta kemudian menjelaskan apa yang harus dilakukan secara singkat. Beberapa saat kemudian, mereka keluar dari area itu melalui pintu yang menghubungkan kantor penjara dengan area kamp pasukan elite yang terletak di sisi barat kompleks istana. Kamp itu sekarang sepi karena sebagian besar penghuninya berangkat ke utara bersama Dyah Wijaya. Hanya satu dua musuh berada di situ dan langsung mereka lumpuhkan.
Banyak Seta kemudian membawa pasukannya ke tembok barat istana dan memilih sebuah lorong yang kerap dilewati abdi keraton saat mengantar makanan. Jalur kecil yang tidak banyak diketahui orang itu mengarah halaman tengah kompleks istana yang terletak di utara Balai Manguntur dan Balai Witana[2], tempat Kertanagara mengadakan upacara pancamakarapudja.
Setelah memasuki kompleks istana, mereka disambut suasana mencekam. Saat patroli malam, Banyak Seta biasanya menemukan gedung-gedung istana yang damai dalam naungan kegelapan dan keheningan. Namun malam ini, musuh membakar banyak bangunan. Kobaran api membuat malam berubah menjadi merah membara. Hiruk-pikuk pertempuran terdengar dari segala penjuru. Di beberapa tempat, jasad-jasad pasukan Singasari dan abdi istana tergeletak bersimbah darah dan tak bernapas.
"Tuan, saya tidak merasakan tabir gaib yang melindungi istana," bisik Kambang.
Banyak Seta tidak menjawab, namun hatinya sangat yakin musuh pasti telah menghancurkan arca-arca kala yang diletakkan di seluruh penjuru kota dan istana. Arca-arca itu adalah kepanjangan kekuatan gaib Kertanagara yang melindungi wilayah ini.[3]
"Kurang ajar! Dari mana mereka tahu cara menghancurkan tabir gaib?" geram Sarba.
"Istana sudah disusupi habis-habisan!" Kambang menoleh ke atasannya yang sedang mengerahkan indra batin untuk mendeteksi situasi sekeliling.
Mereka bergerak ke selatan, mendekati Balai Manguntur. Suasana semakin mencekam karena semakin banyak jenazah bergelimpangan di lorong-lorong. Kobaran api memberi gambaran yang lebih mengerikan. Cahaya kuning kemerahan itu memperlihatkan dengan nyata darah yang berceceran di tanah dan dinding bangunan.
"Mereka tidak menyisakan seorang pun," keluh kepala penjaga penjara ketika menemukan beberapa jenazah wanita dan lelaki tua. Sepertinya, orang-orang malang itu dieksekusi saat akan menyelamatkan diri. "Emban dan kakek tukang bersih-bersih ikut dihabisi."
Banyak Seta tiba-tiba menghentikan langkah dan membuat kode dengan tangan. "Awas, musuh di sebelah kanan!"
Benar saja, serombongan pasukan musuh yang terdiri dari sepuluh orang memergoki mereka. Pertempuran pun tak terhindarkan. Golok-golok beradu menimbulkan dentingan yang memekakkan telinga. Suara pukulan menjadi satu dengan erangan. Banyak Seta tidak punya waktu untuk meladeni prajurit tingkat rendah. Ia terus bergerak ke selatan dan menyerahkan sisanya kepada Sarba dan Kambang.
Dengan gesit, Banyak Seta melejit ke bubungan sebuah bangunan kantor yang belum terbakar. Atap tembikar kualitas khusus sangat kuat dan mampu menahan berat tubuhnya. Dari ketinggian itu, ia baru tahu seluruh istana telah dikepung. Sedangkan perumahan penduduk kutaraja telah menghilang, berubah menjadi lautan api. Kediaman kehormatan Raja Singasari ini pun hanya menunggu waktu untuk dilenyapkan.
Mata elang Banyak Seta segera memindai situasi. Ia dapat melihat Balai Manguntur dan Balai Witana di kejauhan. Kedua bangunan besar tanpa dinding dan beratap tinggi itu masih berdiri kokoh dan tak terjangkau api. Atap tembikar halusnya masih berkilau. Hiasan kepala singa di sudut atap dan lekuk-lekuk lisplang tetap menyiratkan kejayaan Singasari. Pilar-pilar bangunan yang dihiasi ukiran berbagai corak pun menyuarakan kewibawaan seorang raja besar Tanah Jawa. Namun, kewibawaan dan kesakralan itu malam ini ternodai oleh kehadiran ratusan pasukan pemberontak.
"Sial!" Banyak Seta menggeram, marah bercampur sedih. Ia menduga Kertanagara dan para pejabat tinggi tengah disandera di dalam gedung itu.
Banyak Seta tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Tiga sosok lelaki meloncat naik ke atap yang sama dan langsung menyerang.
"Hiyaaah!" Banyak Seta menangkis pukulan bersamaan itu dengan mengerahkan tenaga dalam. Ketiga musuhnya terpelanting mundur, namun segera bangkit kembali.
"Kalian?" Banyak Seta kaget saat tahu penyerangnya adalah Klan Kebo, anak buah Ardharaja. Siapa lagi kalau bukan Kebo Wungu, Kebo Sumurup, dan Kebo Wungkul. Yang pertama dan kedua adalah putra Kebo Mundarang, Patih Kediri. Yang terakhir adalah keponakan sang patih.
"Kaget melihat kami, Seta?" Kebo Wungu menyeringai keji. Penampilannya yang kekar dan garang sangat menyerupai ayahandanya. Bahkan mata, mulut, hidung, dan cambangnya sangat mirip. Hanya rambut memutih saja yang membedakan ayah dari anak.
"Hmm, jadi seperti ini akal licik kalian! Kalian sengaja tidak ikut pasukan yang berangkat ke utara!"
Ketiga orang itu terbahak nyaring. "Bodoh sekali orang-orang Singasari, sangat mudah dikelabui. Dan itu salahmu, Seta! Mana telik sandi yang kata orang paling ditakuti? Mengapa tidak tahu kami akan menyerang dari selatan?"
Banyak Seta malas menjawab dan segera bersiap untuk menyerang ketiga orang itu. Goloknya terhunus dan ia meloncat ke arah mereka. Ketiga Kebo tak mau kena tebas golok bertenaga dalam. Mereka segera menangkisnya dengan menyatukan kesaktian. Serentak, ketiganya memperkokoh kuda-kuda dan memutar keris di depan dada. Sebuah helaan energi berpusing, membentuk perisai gaib. Dengan lengkingan nyaring, mereka melejit ke depan, menyongsong ayunan golok Banyak Seta.
Serangan Banyak Seta dapat ditangkis. Pemuda itu oleng sejenak. Ketiga Kebo segera menyerbu dengan sabetan keris. Banyak Seta berhasil menghadang dengan goloknya. Suara adu logam itu berdenting nyaring dan memercikkan bunga api.
"Wungkul! Cepat! Unyeng-unyeng!" Kebo Wungu memberi kode ke sepupunya untuk menyasar area kelemahan Banyak Seta, yaitu pusat pusaran rambut di puncak kepala.
"Hiyaaah!" Kebo Wungkul meloncat ke udara. Ujung kerisnya mengarah ke puncak kepala Banyak Seta yang tengah sibuk menangkis serangan dua Kebo yang lain.
Jlep!
Banyak Seta sempat berkelit. Keris tidak mengenai unyeng-unyeng, namun menancap di bahunya, tembus ke punggung. Pemuda itu seketika kehilangan keseimbangan. Tubuh gagahnya terguling dan jatuh ke tanah dengan suara berdebum.
________________
[1] Daerah ini adalah pesisir timur Pulau Jawa yang berbatasan dengan Selat Madura.
[2] Balai Manguntur dan Balai Witana adalah bangunan terbuka besar atau balairung yang digunakan raja untuk mengadakan pertemuan penting.
[3] Tentang arca kala sebagai router energi perlindungan Kertanagara hanya halunya Fura.
☆Bersambung☆
Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top