38. Pembebasan
Gayatri menderap cepat demi menyusul tunangannya yang sudah menghilang di lorong istana. Para abdi, emban, dan pengawal mengiringi kepergian orang penting Singasari itu.
Dari kejauhan, Dyah Wijaya diam-diam merasa miris. Sebesar itu pengaruh Banyak Seta terhadap gadisnya. Kalau punya banyak waktu dan tidak sedang menghadapi masalah genting, ia tidak keberatan membuat masalah ini menjadi panjang demi melampiaskan rasa geregetan. Masalahnya, calon penguasa harus menjaga sikap dan kewibawaan serta bisa memilah mana masalah mana yang layak untuk diutamakan.
Kaki kecil Gayatri akhirnya bisa menyusul Wijaya karena lelaki itu sengaja memperlambat langkahnya. Di jalan menuju gerbang penjara, Gayatri memberanikan diri bertanya.
"Kanda, apakah Kakang Seta akan dijatuhi hukuman mati?" Suara Gayatri lirih karena ia sadar perhatian sekecil apa pun untuk Banyak Seta sama saja menancapkan jarum di jantung tunangannya. Namun, ia tidak bisa menutupi rasa khawatir yang menggayuti batin akan nasib panglima muda itu.
"Menurutmu, hukuman apa yang layak untuknya?" Wijaya balik bertanya. Sebenarnya, bukan hanya Gayatri yang bersedih karena kejadian ini. Ia pun merasa sangat kehilangan Banyak Seta. Mengingat banyaknya bukti yang memberatkan, hampir dipastikan bila persidangan itu jadi digelar, Banyak Seta akan dijatuhi hukuman mati. Ada untungnya juga terjadi serangan di Jasun Wungkal sehingga mereka terpaksa menunda persidangan itu.
Rahang Gayatri kontan terkatup. Ia tahu Wijaya tidak membutuhkan jawaban.
"Mengapa diam? Aku membutuhkan jawabanmu," lanjut Wijaya.
"Saya ... saya hanya berharap Kanda menyelamatkan nyawanya," sahut Gayatri dengan takut-takut.
Wijaya tidak menjawab karena prajurit penjaga telah menyambut mereka. Pintu gerbang yang terbuat dari besi pun dibuka, menghasilkan suara berdecit yang membuat hati ngilu.
Rombongan Wijaya dan Gayatri segera disambut embusan angin dingin yang membawa nuansa muram dari dalam penjara. Di halaman, di dekat pohon beringin, terlihat ceceran darah yang sedang diguyur air oleh petugas penjara. Sepertinya, ada tawanan yang baru saja dieksekusi. Tak sanggup melihat situasi miris itu, Gayatri melengos ke arah lain.
Wijaya bergegas masuk dan membisikkan sesuatu pada kepala penjara. Sang petugas kemudian meneruskan perintah itu kepada bawahannya. Setelah orang itu berlari pergi ke tempat yang dimaksud, Wijaya mengajak Gayatri mendatangi sel Banyak Seta.
Banyak Seta bagai terkena sengat lebah saat tahu siapa yang mengunjunginya. Wajah ayu itu semalam hadir dalam mimpi, dengan sangat nyata pula. Ia bahkan masih merasakan debaran sensasi saat mengelus rambut panjang yang hitam dan tebal itu. Sekarang kemunculan Gayatri benar-benar membuat jantungnya memantul-mantul dalam rongga dada. Demi menutupi rasa malu, ia segera bersujud dan menghaturkan sembah.
Wijaya menyaksikan perubahan wajah Banyak Seta. Kontan saja, rasa geramnya membuncah. "Aduhai! Mengapa wajahmu mendadak memerah, Seta? Pasti bukan karena bahagia melihatku, bukan?"
"Ampun, Paduka. Hamba tidak tahu diri ...."
"Ah, sudahlah!" potong Wijaya, lalu berpaling ke gadisnya sambil manyun. "Dinda bisa bicara dengannya sepuas hati setelah aku pergi nanti."
Gayatri hanya bisa menunduk sambil melirik pujaan hatinya diam-diam. Penampilan Banyak Seta yang lusuh dan rambutnya yang tergerai secara ajaib membuat matanya ingin terus memandang.
"Gayatri meminta pengampunan atas nyawamu, Seta. Apa pendapatmu tentang itu?" tanya Wijaya lagi.
"Ampun, Paduka. Nyawa hamba adalah milik Paduka," sahut Banyak Seta sambil tetap bersujud.
Sementara itu, dua pengawal datang sambil menggelandang dua tawanan. Yang seorang sudah senior, berusia sekitar empat puluhan, namun badannya masih tegap. Yang seorang lagi jauh lebih muda dan berkulit kuning terang. Wajah keduanya penuh luka memar dan bengap.
"Masukkan mereka ke tempat Banyak Seta," titah Wijaya.
Para pengawal itu membuka pintu sel Banyak Seta dan mendorong kedua orang itu ke dalamnya. Banyak Seta kaget saat melihat siapa teman satu selnya yang baru, apalagi saat tahu kondisinya yang lemah dan penuh luka. Pasti para penjaga penjara telah menyiksa mereka demi mendapat informasi.
"Bapa?!" serunya. Ia ingin menghambur untuk memeluk ayahnya, namun kilatan mata Wijaya membuatnya mematung di tempat.
"Semoga kamu tidak penasaran lagi dengan nasib ayahmu, Seta," ucap Wijaya.
Ia mengambil napas panjang dan menatap bergantian antara Banyak Seta dan Gayatri. Hatinya seperti tercabik menjadi dua. Yang satu ingin percaya bahwa lima orang di depannya adalah pengkhianat negara. Namun, sisi lain justru mengatakan sebaliknya.
"Dinda Gayatri, aku pasti sudah gila bila percaya pada mimpimu," dengkus Wijaya sambil berkacak pinggang.
Gayatri kaget mendengarnya. "Kanda, kadang negara ini memang membutuhkan orang gila agar mencapai kejayaan," ucapnya asal saja.
"Benarkah?" tanya Wijaya tanpa mengharap jawaban. Ia sendiri yang kerap mengatakan hal itu pada Gayatri bila mereka sudah lelah berdebat tentang ide dan pemikirannya yang absurd. Asal tahu saja, Gayatri adalah tukang kritik paling pedas di istana Singasari. Gadis itu tidak pernah berhenti mencari celah kelemahan dari setiap kebijakan yang ia buat.
"Benar, Kanda," sahut Gayatri mantap.
Wijaya menoleh ke Banyak Seta dan teman-teman satu selnya. "Kau dengar itu, Seta?"
"Ampun, Paduka. Hamba akan menerima apa pun keputusan Paduka," sahut Banyak Seta.
"Baiklah. Aku akan pergi ke utara untuk membasmi perusuh. Jagalah apa yang harus kamu jaga. Lalukan apa yang harus kamu lakukan," titah Wijaya dengan suara yang pelan dan dalam.
Banyak Seta mendongak karena kebingungan dengan maksud junjungannya. "Ampun, Paduka?"
"Jangan memintaku mengulang kata-kata. Kamu sudah mendengarnya dengan jelas!" tukas Wijaya.
Banyak Seta segera bersujud kembali. "Siap laksanakan!"
"Dinda Gayatri, aku sudah memenuhi keinginanmu. Sekarang tinggallah di sini bersama Seta bila engkau mau," ucap Wijaya kepada tunangannya.
Gayatri pun ikut kebingungan. Apakah Wijaya telah merestui hubungannya dengan Banyak Seta? bagaimana mungkin?
"Saya ... saya ...."
Wijaya mengibaskan tangan, tanda tidak ingin mendengar kata-kata Gayatri. "Aku tidak punya waktu lagi. Aku harus berangkat sekarang."
Setelah berkata begitu, Wijaya memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu. Namun, Gayatri dengan sigap menarik selendang yang menjuntai di pinggangnya.
"Kanda, tunggu, Kanda!" seru Gayatri.
Wijaya terpaksa membalikkan badan. "Ada apa lagi, Dinda?"
Gayatri terlihat ragu. "Bagaimana nasib Kakang Seta? Apakah ia masih harus mendekam di penjara?"
Tentu saja, Wijaya semakin nelangsa. "Jangan meminta berlebihan. Seta pasti tahu apa yang harus dilakukan."
Gayatri mengerjap, tanpa melepaskan selendang Wijaya. "Apa maksud Kanda?"
"Tanyakan itu pada Seta," jawab Wijaya santai. Ia tahu Banyak Seta bisa keluar dari penjara dengan mudah berkat kesaktiannya.
"Sekarang, tolong lepaskan selendangku, Dinda!"
Gayatri menggeleng. "Tidak akan saya lepaskan. Kanda tidak boleh berangkat ke utara!"
"Bagaimana ini? Kamu ingin dua lelaki di sisimu? Pilihlah dia. Aku tidak bisa memenuhi semua keinginanmu," tukas Wijaya sambil menyentak selendangnya hingga terlepas dari genggaman Gayatri.
Gayatri termangu. Yang ia pikirkan adalah urusan negara, mengapa Wijaya malah membahas cinta segitiga?
"Tolong, jangan bercanda! Nasib Singasari sedang dipertaruhkan!"
"Untuk itulah aku harus berangkat sekarang!" tukas Wijaya lagi.
"Tidak bisa! Tidak boleh!" Gayatri sekarang nekat menggenggam tangan Wijaya erat-erat.
Wijaya pun menjadi pusing mendadak. Gayatri dibujuk tidak mempan, diakali pun tidak berguna. Minta diapakan lagi gadis ini?
"Lepaskan tanganmu!"
"Tidak!" Gayatri kekeh membantah.
"Dinda ...!" ancam Wijaya. Posisi mereka begitu dekat sehingga ia semakin geregetan.
"Tidak!"
Tahu-tahu, Wijaya menarik pinggang Gayatri dan mendaratkan kecupan di pipinya. Tentu saja, gerakan itu sukses membuat Gayatri syok dan langsung mematung. Wijaya segera memanfaatkan momen yang hanya beberapa detik itu untuk melesat pergi.
"Aku berangkat, Dindaaa!" serunya dari kejauhan.
Gayatri yang masih mengalami sengat-sengat akibat ciuman itu hanya bisa berkedip menyaksikan tunangannya menghilang di balik gerbang.
☘-Bersambung-☘
Kok jadinya malah uwu-uwuan sama Wijaya, sieh?
Komen, pleaseee ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top